• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum humaniter dan invasi AS ke Irak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hukum humaniter dan invasi AS ke Irak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep

Pre-emptive

war

Amerika Serikat

sebagai Antisipatory

Self-Defense

dalam Melawan Terorisme ditinjau dari Hukum Humaniter

Oleh : Husnul Chotimah Rahanyamtel (201310360311173)

Pendahuluan

Hukum internasional merupakan sebuah aturan yang mengatur hubungan antar negara, bukan hanya negara namun juga aktor-aktor lainnya yakni negara dengan non negara dan non negara dengan non negara. Hukum internasional selalu mengalami perkembangan karena kondisi dunia tidak bersifar statis akan tetapi bersifat dinamis yang selalu bergerak dari waktu ke waktu, hukum internasional selalu disesuaikan dengan kondisi dunia agar terciptanya suatu keseimbangan. Salah satu perkembangan dari Hukum Internasional adalah adanya International Humanitarian Law, ILH (Hukum Internasional Humaniter) atau juga disebut sebagai “hukum perang”. Ada banyak sarjana yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum perang. Lauterpacht secara singkat mengatakan laws of war are the rules of the law of nations respecting warfare.1

Hukum humaniter dibuat untuk mengatur kekuatan senjata jika terjadi perang. Hukum ini bukan berarti untuk menghentikan suatu perang yang telah terjadi akan tetapi mengurangi penderitaan yang di alami ketika terjadi perang yang tidak dapat lagi di cegah. Ada upaya pengaturan yang dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan baik bagi masyarakat awam atau penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota “combatant” (pelaku pertempuran) yang terluka.2

Hukum Humaniter Internasional mengenal dua kategori konflik bersenjata, yaitu International Armed Conflict dan Non-International Armed Conflict. International Armed Conflict adalah pertikaian bersenjata yang melibatkan dua atau lebih negara yang sifatnya internasional, sedangkan Non International Armed Conflict adalah pertikaian bersenjata yang dilakukan antara angkatan bersenjata pemerintahan suatu negara dengan angkatan bersenjata yang terorganisir atau pertikaian antara dua atau lebih angkatan bersenjata yang terorganisir, yang sifatnya domestik.

1 H. Lauterpacht, Oppenhelm’s International Law, Vol 11, 1955, hlm. 226

(2)

Sementara isu yang muncul sekitar abad ke 20 adalah pertikaian bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara dengan kelompok brsenjata yang tidak terorganisir. Kejahatan bersenjata seperti ini sering terjadi, sehingga untuk mengamankan stabilitas suatu negara dari kejahatan bersenjata muncullah sebuah konsep Antisipatory self defence yang terdapat pada pasal 51 piagam PBB.3 Pengertian self defence atau “bela-diri” pada saat ini telah meliputi konsep pre emptive strike sebagaimana yang di klaim oleh Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme. Hal ini sebagai respon dari penyerangan teroris ke WTC, yang dikenal dengan peristiwa 9/11, pemerintahan Bush mendeklarasikan Perang melawan Terorisme. Untuk melancarkan aksinya, Bush kemudian berlindung dibalik antisipatory self-defense

untuk menjustifikasi aksinya. Namun prinsip pre-emptive strike telah menimbulkan kontroversi yang amat politis. Sebab, prinsip tersebut telah menyimpang dari pengertian yang sebenarnya.4 Sehingga apakah prinsip Pre emptive strike yang digunakan oleh Amerika dalam melawan teroris dibenarkan oleh hukum ? dan bagaimanakah relevansinya dengan hukum humaniter ?

Pembahasan

Pada tahun 2001 dunia di gemparkan dengan sebuah serangan teroris kepada Amerika Serikat. Tepatnya pada tanggal 9 November 2001 yang dikenal dengan peristiwa WTC 9/11. Kelompok teroris melakukan aksinya dengan membajak empat pesawat Amerika, 2 pesawat di tabrakan ke menara kembar World Trade Centre (WTC) di New York oleh pesawat United Airlines 175 di pagi hari waktu New York, selang beberapa jam kemudian salah satu pesawat Amerika yakni American Airlines di tabrakan ke gedung Pentagon di Washington yang merupakan gedung pertahanan AS. Hari naas bagi Amerika di tambah lagi dengan berita bahwa ada sebuah pesawat United Airlines 93 di jatuhkan di Pennsylvania yang diduga hendak menabrak gedung putih atau gedung kongres (Capital Hall).

Terorisme

Peristiwa ini membuat George W Bush murka dan mengumandangkan deklarasi “perang melawan teroris”. Sejak saat itu pemahaman terhadap terorisme telah berubah. Dalam situs terrorismfiles.org, di tuliskan bahwa istilah terorisme telah muncul pada abad ke -18 yang mana untuk menunjukkan aksi-aksi anarkis di Eropa Barat, Rusia dan AS. Para pelaku aksi kekerasan itu pada saat itu percaya bahwa untuk melakukan sebuah perubahan

3 Mengenai hak semua anggota PBB untuk melakukan tindakan bela diri apabila terjadi “armed attack” atau serangan bersenjata

(3)

politik dalam suatu negara adalah dengan membunuh orang-orang yang sedang berkuasa. Selama kurun waktu 1865-1905, sejumlah raja,perdana meneri, presiden dan pejabat menteri lainnya telah terbunuh baik melalui penembakan maupun serangan bom.

Disamping itu, ada pula yang mengaitkan istilah teroisme dengan kekerasan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin rakyat dapat menaati pemerintah tersebut. Pengertian terorisme dalam hal ini sangat menguntungkan bagi para pelaku terorisme negara yang memegang kekuasaan, mereka dapat mengontrol pikiran dan perasaan. Namun pengertian sebenarnya dari terorisme menjadi terlupakan dan konsep ini lalu ditujukan terutama untuk pembalasan oleh individu atau kelompok terhadap pihak yang lebih kuat. Noam Chomsky mencatat : “ walaupun istilah ini pernah diterapkan kepada para kaisar yang menindas rakyat mereka sendiri dan dunia, sekarang pemakainnya dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.” (Chomsky dalam Husaini 2003:129). Chomsky sendiri berpendapat bahwa kata”terorisme” telah mengalami pergantian makna yang mana pada mulanya berarti tindakan kekerasan-disertai sadisme- yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan. Namun dalam kamus Adikuasa, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok-kelompok kecil.5

Menurut rangkuman dari pandangan Hasnan,Plano dan Olton, Griffiths dan O’Callaghan, serta Oots memunculkan sebuah defenisi bahwa terorisme adalah aksi kekerasan dalam bentuk pengacuaan keamanan yang dilancarkan oleh individu,kelompok, maupun negara demi mencapai tujuan-tujuan bernuansa politik.6 Kembali lagi menurut pandangan Chomsky pengertian Terorisme bersifat subjektif tergantung siapa yang memaknai arti dari terorisme tersebut. Bagi palestina Israel adalah teroris berbeda pendepatnya jika dilihat dari pendapat Amerika yang mengatakan bahwa Israel bukanlah teroris karena pada dasarnya konsep terorisme didasarkan pada kepentingan ideologi dan kepentingan.

Dalam kaitan itulah Amerika menunjukkan arogansinya mendefenisikan teroris sesuai ssesuka hatinya. Seperti dalam pidatonya Bush mengatakan bahwa “ Very nation in very region now has a decision to make: either you are with us, or you are with the terorist” ( 20 september 2001). Hal ini menunjukkan arogansi Amerika dimana dia memaksa negara-negara untuk bergabung bersama Amerika melawan teroris atau negara tersebut masuk dalam kategori teroris. Amerika juga berhak menunjuk siapa saja yang di anggap sebagai teroris dan di sepakati masyarakat internasional karena merasa sebagai negara adidaya.

5 Noam Chomsky & Jalaludin Rakhmat, Menguak Tabir Terorisme Internasional, 1991. Hlm 14

(4)

Setelah peristiwa 11 september isu mengenai terorisme terlihat tampak dengan nyata dan jelas, dunia sudah tidak lagi ditakuti oleh isu-isu fasisme ataupun komunis namun isu internasional yang di perdengungkan sekarang adalah isu terorisme. Charles Krauthamer mengatakan Jika ancaman terhadap dunia pada 1930-an dan 1940-an adalah fasisme, pertengahan abad ke-20 adalah komunisme ,maka kini, di awal abad ke-21 berganti radikalisme Islam dan Arab ( krautahmmer 2004:20). Selain itu Menteri Luar Negeri Jerman juga mengatakan hal yang serupa pada pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi Manusia PBB, “the 11th September and its consequences have reoriented world politics and this is not without implications for human rights policy.”7

Kebijakan AS Memerangi Teroris

Presiden George W. Bush dalam merespon peristiwa WTC 11 september mengambil keputusan kebijakan luar negri Amerika Serikat untuk memerangi dan menghentikan aksi teroris yang dapat membahayakan keselamatan Amerika Serikat sebagai negra adidaya. Menururt Bush dalang dari semua peristiwa ini terpusat pada Osama bin Laden dan organisasinya, Osama yang di bantu oleh pemerintahan Afganistan dan Irak. Bush menuduh Osama adalah aktor utama dalam peritiwa naas trersebut.

Awal munculnya tudingan Bush ini didasarkan pada informasi dan penemuan-penemuan yang dikembangkan oleh pemerintahan AS. Kurang dari 24 jam setelah WTC meledak, Osama sudah dinyatakan sebagai buronan oleh Federal Bureau Investigation (FBI). Di sisi lain, Central Intelligence Allegency (CIA) juga menyatakan bahwa satu-satunya tertuduh adalah Osama karena memiliki cukup dana,organisasi,serta kenekatan dalam melakukan serangan di beberapa institusi Amerika, termasuk peledakan Kedutaan Besar AS di Afrika Timur pada 1998 (Husaini 2001: 10-11).

Dengan penemuan yang di klaim oleh Amerika Serikat bahwa kejadian runtuhnya gedung WTC pada 11 september 2001 merupakan penyerangan oleh terorisme dalam hal ini yakni Osama Bin laden yang dibantu oleh rezim Taliban di Afghanistan dan juga Irak. Maka Amerika mengumumkan perang terhadap kelompok tersebut (Al-Qaeda, Rezim Taliban dan Sadam Husein). Pengumuman akan strategi perang terhadap terorisme ini mengemukakan konsep “preemptive use of force” yang di klaim oleh Amerika Serikat sebagai hak atas

self-defence. Dengan konsep ini Amerika melakukan invasi ke Irak dan Afganistan untuk

(5)

memerangi teroris yang memiliki dampak negatif yang sangat banyak. Hal ini yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang yakni konsep pre emptive strike.

Pre emptive strike dalam Antisipatory Self-Defense

Jika terjadi sebuah ancaman yang besar dan sebuah negara bisa berpotensi menjadi korban dari ancaman tersebut tidak hanya bisa berdiam diri saja menunggu ancaman tersebut namun harus melakukan tindakan bela diri atau self defense. Sehingga self-defense dapat diterima dalam hukum kebiasaaan. Kasus klasik yang menjadi dasar dan sering dikaitkan dengan doktrin ini adalah insiden Caroline. Pada tahun 1983, kapal Inggris melakukan penyerangan terhadap kapal The Caroline yang menampung persenjataan oleh para pemberontak kanada untuk menyerang pemerintah kanada ketika berada di dermaga Amerika Serikat.8 Komunikasi yang terjalin anatara menteri luar negeri Amerika Webster dan pemerintah Inggris saat itu menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Inggris adalah sebagai bentuk dari “The Nescessity of self-defense and preservation”.

Insiden ini menghasilkan Webster Formula bahwa anticipatory self-defense dalam hubungan internasional hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan memenuhi kriteria berikut :

1. Instant (berlangsung sangat cepat)

2. Overwhelming (keadaan terpaksa yang luarbiasa)

3. There no alternative (tidak ada pilihan lain)

4. No moment for deliberation (tidak ada waktu untuk bermusyawarah)

Peristiwa Caroline secara tidak langsung tertanam prinsip-prinsip yang kuat sebagai

Jus ad belum dan Jus in bello9. Menurut Grotius yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar

Kusumaatmadja memberikan arti dari kedua prinsip tersebut.

a. Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.

b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, Jus in bello terbagi menjadi dua, yaitu:

 Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk

permbatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haag.

8 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar.,op.cit. Hlm. 256

(6)

 Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban

perang, baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Jenewa.10

Kedua hukum tersebut sering dipakai dalam beberapa kasus sengketa internasional dan telah dimasukkan sebagai hukum kebiasaan internasional sebagai self-defense.

Self defense kemudian di atur dalam pasal 51 piagam PBB yang mengatur mengenai hak semua anggota PBB untuk melakukan tindakan bela diri apabila terjadi “armed attack” atau serangan bersenjata. Terjadi perbedaan yang besar terkait pemahaman dalam luasnya cakupan self-defense, terutama terkait dengan persoalan interpretasi atas pasal 51, kelompok yang memilih interpretasi luas beranggapan bahwa, pertama, referensi atas ‘inherent right’ dalam pasal 51menyediakan sebuah hukum kebiasaan atas hak untuk self-defense. Kedua, hak dalam hukum memberikan pengertian yang lebih luas dan tidak hanya atas serangan bersenjata.

Sedangkan kelompok kedua yang mengadvokasikan pengertian yang sempit berpemahaman bahwa interpretasi yang dilakukan oleh kelompok pertama bertentangan dengan maksud yang dituju oleh pasal 51. Sehingga, pada saat yang bersamaan pasal tersebut menjadi tidak relevan bilamana memberikan justifikasi atas self-defense tanpa batasan. Sebab bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional.11

Agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam self-defense, pengadilan membuat batasan bersifat prosedural. Pertama, harus terdapatnya bukti akan adanya sebuah serangan bersenjata oleh negara A terhadap negara B. Kedua, negara B harus memiliki pemahaman bahwa ia telah menjadi subjek dari serangan negara A. Ketiga, setelah itu negara B harus meminta pertolongan terhadap negara lain. Keempat, negara lain tersebut tidak mendasarkan alasan tindakannya pada pemahamannya sendiri.12 Jika kita lihat pada kasus invasi Amerika ke Irak maka perbuatan Amerika tidak sesuai dengan batasan yang telah diberikan oleh International Court of Justice (ICJ) sebagai badan peradilan internasional. Pada poin pertama

Amerika tidak memiliki bukti apapun bahwa Irak akan melakukan serangan terhadap Amerika ataupun negara lainnya, AS hanya berlandaskan pada informasi bahwa Irak memiliki senjata pembunuh massal yang tidak terbukti. Kedua, Amerika salah persepsi

10 T. May Rudy., op.cit. Hlm. 80

11 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar., op.cit. Hlm.256

(7)

karena pada dasarnya Irak tidak ingin melakukan serangan pada negara manapun. Ketiga dan

keempat, Amerika hanya mengambil tindakan sendiri tanpa perundingan terlebih dahulu.

Penggunaan kekerasan dalam self-defense adalah muncul doktrin pre emptive. Konsep pre emptive strike adalah tindakan “menyerang duluan” yang dilakukan oleh suatu negara atau organisasi internasional kepada negara yang lain atas kesalahan yang dilakukan negara tersebut seperti stabilitas politik dan kesalahan-kesalahan lainnya yang terdapat dalam perjanjian internasional ( misalkan pelanggaran HAM ). Pre-emptive strike sebagai

anticipatory self- defence umumnya dipahami sebagai penggunaan kekerasan yang dilakukan sebagai respon terhadap sebuah ancaman yang nyata.13 O’connell menjelaskan bahwa sebuah tindakan pre- emptive yang dilakukan dalam rangka self-defence merujuk pada sebuah keadaan dimana salah satu pihak menggunakan kekerasan untuk menghentikan segala bentuk kemungkinan dari penyerangan yang diyakini akan terjadi oleh pihak atau negara lain, walaupun belum ada serangan yang teraktualisasikan.

Hukum Humaniter

Hukum humaniter seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan hukum perang. Aturan dasar tentang Hukum Humaniter Internasional yang modern dikembangkan sejak seratus tahun yang lalu, mulai dari Konvensi Jenewa 1864 yang mengeluarkan pernyataan “for the amelioration of the conditions of the wounded in armies in the field” (perbaikan terhadap kondisi para tentara di medan perang) yang dicetuskan oleh Henry Dunant (pendiri Internatinal Committee of the Red Cross tahun 1863, yang dianggap sebagai pengawas Hukum Humaniter Internasional), konferensi – konferensi Den Hag 1800 dan 1907, Protokol jenewa 1925 tentang pelarangan gas beracun dan senjata biologis, dan konvensi ICRC 1929 yang digunakan sebagai ukuran dasar dari Hukum Humaniter Internasional, dan empat Konvensi Jenewa 1949 serta dua Protokol Tambahan terhadap Konvensi – Konvensi Jenewa 1977.14

Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam dua situasi atau menyediakan dua sistem perlindungan yang telah di tandatangani oleh sejumlah negara berupaprotoko; resmi yang disebut sebagai Protocols Additional to the Geneva Convenients of 12 Agustus 1949 yang merupakan tambahan dari Konvensi Jenewa tahun 1949 yaitu15 :

13 Abdul G. Hamid, The Legality of Anticipatory Self-Defense in the 21st Century World Order: A Re-Appraisal, 4g41. Netherlands International Law Review (2007).

14 Claire de Than dan Edwin Shorts, International Criminal Law and Human Rights, LONDON Sweet and Maxwell, 2003, hal. 117

(8)

1. Protokol I yang mengatur perlindungan terhadap korban dari pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Pihak – pihak yang termasuk di dalam situasi ini adalah:

a. personil militer yang terluka atau sakit di medan pertempuran darat, dan anggota dinas medis angkatan bersenjata;

b. personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam dalam pertempuran laut, dan anggota dinas medis angkatan laut;

c. tawanan perang

d. penduduk sipil, misalnya : warga negara asing di wilayah negara yang terlibat konflik termasuk pengungsi, orang sipil di wilayah kependudukan, tahanan sipil dan internir, dan personil medis dan rohaniwan atau satuan pertahanan sipil (perlindungan massa).

2. Protokol II berhubungan dengan perlindungan korban pertikaian bersenjata yang bersifat non- internasional.

Hukum humaniter sering pula terjadi pengkodifikasian yang juga menimbulkan terminologi baru bahwa ada hak dan kewajiban dari beberapa pihak untuk melakukan internvensi dijadikan setara dengan pembenaran dilakukannya intervensi persenjataan demi alasan-alasan kemanusiaan.

Humanitarian Intervention

Humanitarian Intervention adalah penggunaan kekerasan oleh sebuah negara ataupun kelompok negara melintasi batas negara lain yang bertujuan untuk melindungi bahkan mengakhiri penyebaran pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental selain warga negara tempat agresi tersebut, tanpa adanya ijin dari otoritas dari wilayah negara yang dimasuki.16

Persoalan intervensi adalah sebuah kontroversi yang sering diperdebatkan dalam hukum internasional. Shaw menyatakan bahwa, intervensi kemanusiaan termasuk salah satu persoalan rumit dalam hukum internasional terutama ketika dikaitkan dengan pasal 2 (4).17 Meskipun dalam piagam PBB melarang adanya intervensi terhadap negara lain namun dalam hukum internasional dapat dilakukan intervensi dengan beberapa syarat. Sebuah intervensi yang dapat dibenarkan atas dasar humanitarian harus memiliki minimal empat aspek18 :

16 J. Z. Holzgrefe, The Humanitarian Intervention Debate, yang diambil dari buku Humanitarian Intervention Ethical Legal and Political Dillemas, diedit oleh J.Z. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Cambridge University Press, 2003, hal. 18.

17 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge Univeraity Press, 1997. Hlm. 802

(9)

1. Di dalam sebuah kedaulatan itu sudah harus ada sebuah ancaman yang membahayakan hak asasi manusia, bahkan yang memiliki potensi hilangnya nyawa manusia dalam skala yang sangat besar.

2. Intervensi tersebut harus dibatasi dalam hal melindungi hak asasi manusia saja. 3. Tindakan yang diambil haruslah bukan merupakan permintaan dari pemerintahan

dimana kedaulatan dimasuki.

4. Tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Invasi Amerika ke Irak

Invasi yang dilakukan Amerika terhadapa Irak mendapatkan banyak perlawanan dari masyarakat Internasional. Ada yang beranggapan bahwa pemikiran Amerika untuk menginvasi Irak sudah terencana sebelum pemerintahan Bush, seperti yang diakatakan oleh Safril Mubah dalam bukunya Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme. Di dalam bukunya ia mengatakan bahwa invasi yang dilakukan oleh Amerika ke Irak telah terstruktur jauh sebelum terpilihnya bush, ide mengenai invasi ini dibangun ulah pemikir-pemikir Neokonservatif, namun baru dapat terealisasikan ketika pemerintahan Bush dan bertepatan dengan peristiwa WTC 9/11 yang dijadikan sebagai alasan untuk melakukan invasi.

Lewat National Security Strategy pada september 2002, bush mengklaim bahwa hak untuk menyerang negara lain timbul dari hak untuk melindungi diri dari bahaya yang dapat melukai masyarakatnya. Meskipun belum di temukan imminent attack dari negara tersebut dan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari negara lain. Hal ini yang di klaim Amerika sebagai Preemptive use of force. Apa yang dikatakan oleh bush ini telah melanggar batasan-batasan dalam penggunaan self defense.

Berbagai pernyataan bernada dukungan dari dalam pemerintahan Bush, semakin membulatkan tekadnya untuk menginvasi Irak. AS kemudian memberikan ultimatum kepada Saddam Husein yang diduga kuat ole AS sebagai salah satu penyumbang terbesar dan terlibat dalam kegiatan teroris. Jika sampai tanggal 17 maret 2003, Saddam belum menghancurkan senjata pemusnah masalnya, maka Irak akan di serang tanpa persetujuan DK PBB.

(10)

kemenangannya. Sadam berhasil di gulingkan namun baru dapat ditangka ada akhir 2003.19 Bagi Bush, AS bertindak secara preemptive dan telah diatur dalam piagam PBB meskipun tanpa persetujuan dari PBB. Dewan Keamanan telah memberikan kewenangan terhadap tindakan - tindakan preemptive lewat resolusi - resolusinya seperti Resolusi 678 tahun 1990, dan Resolusi 687 tahun 1991, yang memutuskan bahwa Irak harus menghentikan penggunaan senjata – senjatanya untuk aksi – aksi peperangan, dan pemerintahannya harus melaksanakan kegiatan pembersihan terhadap aksi - aksi terorisme yang berkembang di wilayah tersebut.20 Penafsiran terhadap resolusi ini menuai perdebatan, menurut Prancis, Rusia dan cina menjelaskan secaara eksplisit bahwa dalam mengadopsi resolusi ini tidak diperkenankan adanya use of force apabila Irak terbukti telah melanggar resolusi ini. Namun AS bersikukuh dengan pendapatnay untuk tetap use of force sebagaibentuk dari preemptive. Invasi yang telah dialakukan AS terhadap Irak telah memakan ratusan bahkan ribuan koban. Prilaku Amerika telah melanggar hukum humaniter dimana AS tidak hahnya membunuh para terorisakan tetapi warga sipil, dan juga mereka yang dituduh sebagai teroris namuntidak terbukti.

Doktrin ini telah mempengaruhi bahkan mengubah makna dari kedaulatan yang membuat masyarakat memberikan pandangan bahwa harus ada intervensi lebih jauh dari pada hanya sekedar use of force. Ada tiga pandangan yang dapat dikemukakan berdasarkan analisa dari Alex J. Bellamy :

1. Optimists View, yang menganggap bahwa intervensi dalam hal humanitarian emergencies dapat diambil hanya apabila keadaan sebuah negara sedang dipertaruhkan dalam keadaan bahaya. Dalam pandangan ini jika kita hubungkan dengan intervensi AS terhadap Irak tidak terbukti karena tidak memiliki dampak yang nyata karena fokus dari AS adalah pemusnahan senjata massal yang pada akhirnya tidak dapat dibuktikan tudingan AS tersebut

2. Pandangan adanya penggantian makna dari humanitarian intervention dengan lebih berorientasi pada obsesi tujuan akhir yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran -pelanggaran. Tujuan awal yang dikehendaki oleh prinsip humanitarian intervention yang dilakukan Amerika Serikat dalam proses rekonstruksi Irak karena adanya perang terhadap terorisme namun pada akhirnya dipakai sebagai alat untuk merealisasikan tujuan akhir mereka dengan berorientasi pada penambahan - penambahan pasukan baik dari negeri sendiri maupun dengan koalisi dengan negara lain. Hal ini

19 A. Safril. Mubah., op.cit. Hlm.196

(11)

mengakibatkan banyaknya pelanggaran baik terhadap prinsip - prinsip humanitarian intervention itu sendiri maupun dalam perlakuan terhadap rakyat sipil di Irak, seperti yang dinyatakan oleh co-chair International Commission on Intervention and State Sovereignty Gareth Evans bahwa justifikasi terhadap humanitarian intervention secara inkonsisten di Irak sangat melemahkan prinsip responsibility to protect sebagai prinsip yang dipakai dalam penanganan akibat - akibat perang.21

3. Pandangan ketiga adalah adanya kriteria dari International Commission on intervention and State Sovereignty tentang humanitarian intervention harus dilihat sebagai batasan - batasan yang dapat mencegah negara - negara dalam melakukan pelanggaran - pelanggaran dalam melaksanakannya. Kriteria – kriteria ini harus terbentuk dari berbagai konsensus antar negara. Amerika beranggapan bahwa Intervensi yang dilakukannya telah disetujui oleh negara-negara lainnya yang mana telah memberikan mandat kepada resolusi Dewan Keamanan PBB, yang merupakan badan tertinggi pengambilan keputusan untuk persoalan keamanan dunia dan resolusinya harus diterima oleh semua negara. Resolusi inilah yang dianggap AS bahwa tindakannya telah disetujui oleh negara-negara lainnya. Namun pada kenyataannya tidak semua negara menyetujui reolusi ini. Sehingga menimbulkan keraguan akan kredibilitas tindakan dari Amerika Serikat terhadap Irak karena tindakannya bukanlah merupakan sebuah konsensus secara langsung antar negara, namun berdasarkan mandat yang hanya tersirat dari sebuah resolusi Dewan Keamanan yang belum tentu diterima seluruh negara.

Kesimpulan

Doktrin Preemptive strike yang digunakan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk dari

Self-defense dan humanitarian interventioan diragukan kredibilitasnya. Amerika megeluarkan doktrin preemptive ini sebagai bentuk perlawanan terhadap serangan teroris pada 11 september 2001 yang menabrakan beberapa bangunan di Amerika. Dengan doktrin ini dan juga beralaskan humanitarian internvention, Amerika melakukan invasi ke Irak dengan alasan bahwa Sadam Husein ikut berkerja sama dengan para teroris untuk menghancurkan Amerika dan juga karena Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang dapat menghancurkan dunia. Membawa isu-isu HAM dan teroris Amerika melakukan penyerangan

(12)

di bebrapa negara di Timur Tengah. Invasi yang dilakukan Amerika berhasil menumbangkan Sadam Husein dari kursi pemerintahannya dan juga mendapatkan hukuman gantung.

Serangan Amerika ke Irak mengakibatkan ribuan orang meninggal dan ribuan lainnya megalami luka fisik maupun psikologi. Korbannya juga mencakup warga sipil yang tidak tau menau akan serangan teroris. Amerika pada dasarnya telah melanggar Hukum Humaniter karena di dalam hukum tersebut warga sipil, combotant tidak boleh dibunuh, disiksa dan sebagainya. Akan tetapi keserakahan Amerika menutup mata hati mereka dengan membunuh siapapun orang yang berada didepan mata yang dicurigai sebagai teroris, tidak hanya itu pelanggaran yang dilakukan Amerika juga terjadi ketika ia melakukan penahanan terhadap beberapa orang yang diduga teroris di penjara Guantanamo, tahanan ini tidak diperlakukan dengan semestinya. Sementara dalam hukum humaniter tahanan perang tidak boleh disiksa dan tetap di berikan haknya.

Doktrin preemptive dan humanitarian intervention yang dilakukan Amerika tidak ditempatkan pada tempat yang semestinya, Amerika hanya bertindak semaunya saja. Hal ini menunjukkan ambisi Bush melindungi masyarakatnya dari musuh yang belum jelas. Terbukti ketika invasi yang dilakukan ternyata tidak ditemukan senjata pemusnah massal yang dituding Amerika. Semua yang dilakukan hanya untuk menutupi tujuan Amerika sebenarnya. Tindakan yang semula karena kejadian 11 september diperluas dengan kpentingan-kepentingan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan preemptive yang mana dampaknya tidak hanya pada materil namun juga pada pereekonomian dunia.

(13)

Para sarjana,ilmuwan, negara dan organisasi internsional seharusnya lebih jeli dalam menafsirkan suatu hukum Intrernasional, tidak boleh hanya menggunakan prinsip-prinsip dalam hukum internasional untuk memuaskan kepentingan sendiri tanpa memperhitungkan damapak yang akan terjadi selain itu sanksi yang diberikan kepada suatu negara seharunya tegas tak memandang apapun. Meskipun pada kenyataannya kontrol dalam dunia intrnasional hanya dikuasai oleh negara power namun setidaknya ada kontribusi dari negara-negara lain untuk meminimalisir dampak yang terjadi kemudian.

Melihat sekarang isu teroris yang semakin berkembang maka sudah sepatutnya dibuatkan suatu aturan tentang teroris yang rational. Apalagi isu mengenai ISIS yang sekarang menjadi isu hangat terlihat sekali peran Amerika dan beberapa negara lainnya berambisi untuk menghancurkan teroris. Hal ini sudah menjamur sejak peristiwa 11/9 sehingga isu teroris sangat rentan dengan intervensi suatu negara terhadap kedaulatan negara lain , penulisa hanya berharap peristiwa ISIS tidak berakhir tragis dengan kejadian yang terjadi Irak dan beberapa negar-negara lainnya. Perbuatan Amerika perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional untuk menghentikan tindaka-tindakan Amerika yang tidak “berprekemanusiaan” yang berdampak pada semua aspek dengan analisa-analisa dari para pelajar untuk menetapkan standar yang leih komprehensive mengenai preemptive of force dan

(14)

Daftar Pustaka

Chomsky, Noam dan Hamid Basyaib, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Bandung: MIZAN, 1986;

Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1984;

Mubah, Safril, Menguak Ulah NEOKONS Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007;

Rudy,T. May, Hukum Internasional 1, Bandung : PT Refika Aditama, 2001;

Rudy,T. May, Hukum Internasional 2, Bandung : PT Refika Aditama, 2002;

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT Refika Aditama, 2006 ;

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dan tugas pokok pemetaan skala besar, sehingga dukungan pemerintah sangat memadai.. Harapan masyarakat yang besar terhadap

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tugas

4.27 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………..……….. 4.28

Maka secara hukum surat dakwaan dan surat tuntutan tersebut adalah cacat menurut hukum karena tidak mengacu pada Pasal 143 ayat (2) sub a KUHAP. Pemohon juga keberatan

perlakuan terbaik untuk analisis proksimat untuk viskositas dan kadar gula sukrosa dengan penambahan konsentrasi 300 ml untuk kadar protein konsentrasi 100 ml,

Dari hasil evaluasi penilaian yang dilakukan terhadap website Bina Darma mendapatkan skor 85 yang berarti website Bina Darma dinyatakan acceptable termasuk dalam grade

Menindaklanjuti Berita Acara Evaluasi Harga (Penawaran Biaya) Nomor : 009/PPBJ-PRC/RAPAK LAMBUR /APBD/BM-SDA/V/2012, Tanggal 22 Mei 2012 kegiatan Perencanaan Teknis Perkerasan Jalan

dilakukan adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun, terdiri dari: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan yang terakhir