• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

C. Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan

Protokol Tambahan Kovensi Jenewa yang mengatur mengenai sengketa bersenjata internasional adalah Protokol Tambahan I tahun 1977 yang judul aslinya adalah Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protecting of Victims of International Armed Conflict.

Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa tahun 1949.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, yaitu ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Common Article. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat internasional.

Pasal 2 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa konvensi ini berlaku dalam hal :

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

2). Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui. Dalam hal ini invasi Amerika Serikat ke Irak masuk dalam kategori ini. Karena senjata ini banyak dikualifikasikan oleh berbagai pihak bukan sebagai perang walaupun ada sebuah kenyataan sebuah konflik bersenjata sedang terjadi.

3). Pendudukan sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Dalam invasi Amerika Serikat ke Irak walaupun perlawanan Irak tidak seimbang, namun tetap terjadi perlawanan. Faktanya, pertikaian bersenjata yang terjadi di Irak tersebut sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad. Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” (invasion), dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” (massacre), lantaran dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang AS yang berteknologi tinggi itu

Di samping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol Tambahan I tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.103

103

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Dimasukkannya situasi-situasi baru tersebut (colonial domination, alien occupation dan racist regimes) yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflicts ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan suatu perkembangan baru yang cukup revolusioner terhadap Konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bahwa menurut Konvensi Jenewa yang dimaksud konflik bersenjata internasional adalah konflik yang terjadi antar negara. Tetapi dengan adanya perkembangan baru di dalam Protokol I, maka pengertian konflik bersenjata yang bersifat internasional menjadi lebih luas lagi, yakni tidak hanya meliputi konflik antar negara tetapi juga mencakup apa yang disebut dengan CAR Conflik tersebut. Adapun yang dimaksud dengan CAR Conflict dalam Protokol I tersebut adalah konflik- konflik yang berkaitan dengna upaya untuk menentukan nasib sendiri (Right to Self- Determination).104

Di samping itu, dalam Protokol Tambahan I ini terdapat juga beberapa ketentuan pokok yang menentukan, antara lain :105

104

Ibid.

105

Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam Hukum HAM dan Hukum Humaniter

Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 12.

a. Melarang : serangan yang membabi buta dan reprisal (pembalasan) terhadap : (1). penduduk sipil dan orang-orang sipil;

(2). obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; (3). benda-benda budaya dan tempat religius;

(4).bangunan dan instalasi berbahaya; (5). lingkungan alam.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

b. Memperluas : perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.

c. Menentukan : kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (missing persons).

d. Menegaskan : ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan militer (relief supplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil.

e. Memberikan : perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan sipil.

f. Mengkhususkan : adanya tindakantindakan yang harus dilakukan oleh negara- negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter. Pelanggaran- pelanggaran terhadap ketentuan sub (a) tersebut di atas, dianggap sebagai pelanggaran berat hukum humaniter dan dikategorikan sebagai kejahatan perang (wars crimes).

Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dikenal istilah grave breachers. Dalam Konvensi Geneva (IV) tahun 1949, grave breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional dalam hubungannya dengan istilah ”orang-orang yang dilindungi” (the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau domestik (Psl 4 Jo. Psl 147 Konvensi Geneva IV). Sementara yang dimaksud sebagai ”the protected persons” adalah ”… mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan, berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya”.Penggunaan terminologi ”the protected

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

person” di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Jenewa. Maksudnya meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan II Konvensi Geneva dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai ”the protected persons”.106

Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut. Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukkan para korban sipil dalam konflik internal sebagai ”the protected persons”. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal for Former Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia termasuk ”orang orang yang dilindungi” dari kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting dalam pengklasifikasian ”orang-orang yang dilindungi” bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap korban korban tersebut. 107

”Kelemahan” Konvensi Jenewa., tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus meningkat. Konflik internal Yugoslavia serta Genoside di Rwanda barangkali dapat disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketentuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya, dengan jelas menegaskan mengenai otoritas jurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Jenewa., serta protokol tambahannya (Protokol Tambahan II). Ini

106

Andrey Sudjatmoko, Op.cit, hal. 15. 107

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

merupakan kali pertama di mana pelanggaran atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan selama konflik internal, dikriminalisasikan dalam sebuah instrumen hukum internasional. Hal yang sama juga terjadi pada peradilan bekas Yugoslavia, di mana dalam persidangan kasus Tadic, pengadilan secara jelas menegaskan bahwa kasus tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Seakan tak puas dengan pola-pola precedent dalam bentuk keputusan peradilan, kriminalisasi kejahatan perang dalam sebuah konflik internal akhirnya dikukuhkan dunia internasional dalam sebuah statuta yang kita kenal sebagai Statuta Roma (Pasal 8 (2) (c ) ). Untuk itu Statuta Roma boleh disebut sebagai upaya penyempurnaan Konvensi Jenewa.108

Dari semula, pembantaian rakyat Irak ini tidak mempunyai legitimasi sama sekali bagi pihak agresor dan penjajah. Sejak setahun yang lalu, saat presiden George

D. Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil