• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Landasan Teori

5. Kemiskinan

a. Pengertian Kemiskinan

Menurut (BPS, n.d.), kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dalam hal ini BPS mendefinisikan kebutuhan dasar minimal untuk makanan dan bukan makanan ialah sebagai Garis Kemiskinan (GK). Berdasarkan pengertian ini, maka kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan.pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang dapat menjamin terpenuhinya standar kualitas hidup.

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk.mempertahankan dan

13

mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Laporan Bidang Kesejahteraan Rakyat yang dikeluarkan oleh Kementrian Bidang Kesejahteraan (Kesra) tahun 2004 menerangkan pula bahwa kondisi yang disebut miskin ini juga berlaku pada mereka yang bekerja akan tetapi pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan.pokok/dasar.

b. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious Circle of Poverty)

Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious Circle of Poverty) ini pertama kali dikemukakan oleh (Nurkse, 1953). Lingkaran Setan Kemiskinan ialah serangkaian kekuatan yang saling memengaruhi, sehingga menimbulkan suatu keadaan dimana suatu negara khususnya negara berkembang sulit untuk mencapai pembangunan yang lebih tinggi.

Sharp seperti dikutip (Kuncoro, 2006) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan.dari sisi ekonomi. Pertama secara makro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Pendiduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam.jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produksinya rendah, yang pada gilirannya upah menjadi rendah. Rendahnya kualitas

14

sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan..Ketiga kemiskinan muncul akibat perbedaan akses ke modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini berdasarkan pada teori Lingkaran Setan Kemiskinan (vicious circle of poverty) yang dikemukakan oleh (Nurkse, 1953), bahwa “a poor country is poor because it is poor”.(negara miskin itu miskin karena memang miskin). Skema lingkaran miskin ini dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut ini :

Gambar 2. 1 Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty)

Dari gambar tersebut, dapat dilihat beberapa kesamaan antara penyebab dan akibat dari lingkaran kemiskinan tersebut, yaitu akibat kekurangan modal sehingga menimbulkan hal yang membuat.produktivitas rendah. Dimana pada pertengahan dari dua hal tersebut (ketidaksempurnaan pasar, keterbelakangan, dan ketertinggalan) Kekurangan modal

Ketidaksempurnaan pasar, keterbelakangan,

ketertinggalan

Produktivitas rendah

Pendapatan rendah Investasi rendah

Tabungan rendah

15

juga dapat digantikan oleh pernikahan dini pada penelitian ini. Karena banyak fenomena pernikahan dini di Indonesia disebabkan karena orang tua yang menganggap anaknya sebagai beban ekonomi, sehingga orang tua harus melepaskan anaknya..Dalam hal ini orang tua melepas anaknya dengan dinikahkan dengan harapan, anak tersebut dapat hidup mandiri dan tidak menjadi beban bagi mereka. Padahal pernikahan tersebut banyak menimbulkan dampak negatif, diantaranya sulitnya melanjutkan pendidikan, lebih rentan akan perceraian, dan ketimpangan gender.

Karena pernikahan dini dapat diartikan sebagai periode aktivitas seksual yang lebih lama, wanita yang hampir tidak memiliki akses kepada kontrasepsi selalu cenderung memiliki jumlah anak yang lebih banyak, dimana memiliki konsekuensi mendalam pada bidang sosial dan ekonomi bagi.masyarakat secara keseluruhan (UNICEF, 2001). Pelaku pernikahan dini harus terfokus kepada pemenuhan kebutuhan keluarga barunya, sehingga akan sulit dalam melanjutkan pendidikan kepada tahap yang lebih tinggi. Ketidakmatangan kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan juga lebih cenderung berujung pada perceraian, dikarenakan masalah-masalah ekonomi, sosial, dan mental yang mereka belum miliki.

Pada sisi perempuan yang.menikah diusia remaja juga cenderung lebih mengalami tekanan dan paksaan untuk selalu menuruti sang suaminya dalam memenuhi kewajiban rumah tangganya, sehingga akan jauh lebih sulit lagi untuk menjadi produktif dan melanjutkan pendidikannya. Hal ini semakin memperkuat Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty) dan perangkap kemiskinan.

16

Teori ini juga sejalan dengan hasil penelitian (Djamilah, 2014) yang menunjukkan bahwa pernikahan dini berdampak pada peningkatan beban ekonomi keluarga dan menimbulkan adanya siklus kemiskinan, dikarenakan anak remaja yang menikah seringkali.belum mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah. Sehingga hal ini dapat menyebabkan anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarganya khususnya keluarga dari sisi laki-laki..Akibatnya, orang tua memiliki beban ganda untuk menghidupi keluarga dan ditambah anggota keluarga baru mereka. Hal ini lah yang akan terjadi turun temurun, sehingga terbentuklah siklus kemiskinan. Menurut data penelitian IFLS-5 yang digunakan pada penelitian ini, penduduk yang dikategorikan miskin dengan penghasilan Rp250.000 – Rp312.328 hanya sebesar 1%, sedangkan 99%

berpenghasilan kurang dari Rp250.000.

Menurut penelitan (Dahl, 2010), pernikahan dini dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah, dimana wanita yang menikah sebelum usia sembilan belas tahun 50% lebih mungkin untuk putus sekolah dan empat kali lebih kecil kemungkinannya untuk lulus dari perguruan tinggi. Dimana rendahnya pendidikan ini hanya menciptakan peluang pekerjaan berupah rendah atau dapat dikatakan memiliki produktivitas yang lebih rendah. Menurut data IFLS-5 yang digunakan dalam penelitian ini, sebagian besar penduduk yang dikategorikan miskin 47% hanya mencapai pendidikan Sekolah Dasar (SD/sederajat), 19%

17

hanya mencapai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat), dan 17% hanya mencapai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/sederajat).

Selain itu pada penelitian yang sama juga menunjukan hasil, bahwa wanita yang menikah saat remaja memiliki kemungkinan dua pertiga lebih besar untuk bercerai dalam lima belas tahun, dibandingkan dengan wanita yang menunda pernikahan. Dimana perceraian tersebut juga menjadi salah satu penyebab bertahannya lingkaran setan kemiskinan yang didukung oleh hasil penelitian (Murray, 2012), bahwa perceraian berdampak negatif pada produktivitas pekerja, yang mengakibatkan emosi menjadi tidak stabil. Hal tersebut membuat mereka melakukan banyak kesalahan dalam pekerjaan dan membuat mereka bekerja lebih lambat.

Jika mereka merasa tertekan, maka kreativitas mereka juga akan menurun.

Selain itu, jika pihak laki-laki sudah tidak bertanggung jawab atas nafkah pihak perempuan dan anak mereka (jika sudah memiliki anak) maka beban pihak perempuan kembali bertambah karena harus mengurus keluarganya sendiri dan menanggung kebutuhan sehari-harinya sendiri dan anaknya (menjadi single parent).

Sejalan dengan penelitan (Dahl, 2010), penelitian (Bramlett &

Mosher, 2002) menunjukan seseorang yang menikah dibawah usia delapan belas tahun memiliki kemungkinan 48% bercerai dalam kurun waktu sepuluh tahun. Hal ini dikarenakan mereka yang menikah dini cenderung melakukannya untuk alasan yang salah. Seperti, mereka yang menderita masalah emosional cenderung menikah dini. Mereka menikah untuk menghindari keluarga yang tidak bahagia, atau mereka memandang

18

pernikahan dengan naif dan romantis dengan fokus pada kebersamaan secara fisik. Mereka memiliki kemungkinan yang lebih kecil memahami arti dari pernikahan dengan implikasinya pada persoalan sosial, emosional, dan komitmen materi secara jangka panjang daripada pasangan yang lebih dewasa. Mereka cenderung belum matang dan belum terbekali dengan baik dalam mencegah dan menyelesaikan masalah. Singkatnya, pasangan dengan ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, kehamilan pranikah yang lebih tinggi, dan ketidakdewasaan emosional berkontribusi pada risiko perceraian yang lebih tinggi bagi pasangan yang menikah dini.

Dimana pada akhirnya hal ini akan membatasi mereka pada jalur ekonomi yang semakin sulit.

Pendidikan membantu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan setiap warga negara (Hazlitt, 1996). Hal ini memudahkan penerapan keterampilan setiap orang. Seperti ketika seseorang setidaknya bisa membaca dan paham rambu-rambu dasar, itu sangat memudahkan penerapan hukum. Seseorang anak yang terpelajar jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi beban orang dewasa di masa depan.

Pendidikan secara universal juga meningkatkan kesetaraan kesempatan, dimana pendidikan.anak-anak miskin bisa disebut sebagai investasi nasional yang sebenarnya.

Dalam hal ini pasangan yang menikah dini masih dalam tahap pengembangan diri dan masih memiliki kemungkinan dalam perubahan-perubahan kepada arah yang tak terduga (Stewart & Brentano, 2006).

Mereka cenderung tidak berminat dalam menyelesaikan pendidikannya,

19

namun mereka lebih cenderung mengharapkan memiliki.bayi. Saat mereka memiliki tanggung jawab orang tua pada usia ini, kemungkinan mereka untuk melanjutkan pendidikan akan semakin kecil dan cenderung memiliki keinginan untuk memiliki lebih banyak anak. Akibatnya, hal ini membatasi peluang pekerjaan pasangan tersebut, yang mengarah kepada pendapatan yang rendah, status pekerjaan yang lebih rendah, dan kemungkinan menjadi miskin akan menjadi lebih tinggi.

Pada sisi gender, perempuan yang.telah menikah di usia dini cenderung lebih sulit untuk mengeksplorasi kehidupannya dan cenderung tidak memungkinkan mengemban pendidikan lebih lanjut (Damayanti, 2020). Hal ini dikarenakan perempuan tersebut harus memikul tanggung jawabnya atas pernikahan yang telah dijalani, dimana mereka wajib patuh kepada suaminya, menguruh rumah tangga mereka, dan membesarkan anak mereka sejak dini. Tanggung jawab ini cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran mereka, sehingga dalam hal ini akan sangat sulit bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Berbeda.pada sisi laki-laki yang menikah sejak dini, dimana mereka berkewajiban untuk mencari nafkah, sehingga mereka tetap harus melakukan kegiatan-kegiatan produktif ataupun hal-hal yang dapat mengembangkan diri.

Pernikahan dini mencederai hak seorang gadis pada masa depannya dan melestarikan ‘feminisasi kemiskinan’ (Otoo-Oyortey &

Pobi, 2010). Hal ini dilakukan dengan penolakan kesempatan perkembangan di bidang-bidang seperti pendidikan, keterampilan

20

professional, dan pertumbuhan pribadi pada anak perempuan. Pengantin muda diberikan tekanan untuk menjadi seorang wanita dan seorang ibu di saat ia tidak siap untuk peran ini, kurangnya keterampilan dalam hal pengambilan keputusan dan negosiasi, dan kemampuan-kemampuan lain yang dapat membantu dalam pengembangan dirinya, pun menjamin perkembangan dan kesejahteraan keturunannya.

Pada negara-negara dengan jumlah.pernikahan dini yang tinggi, laki-laki cenderung lebih mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari pada perempuan (UNICEF, 2005). Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam rumah tangga, dimana pihak laki-laki menjadi merasa lebih dominan dan berkuasa. Dimana hal ini akan semakin memperkecil kemungkinan untuk wanita dalam mengembangkan diri terkait pendidikan dan potensi yang dimilikinya. Maka, dapat dikatakan perempuan yang menikah dini cenderung lebih rentan terhadap kemiskinan.

Berbeda dari beberapa penelitian diatas, penelitian (Marshan et al., 2013) yang juga dilakukan di Indonesia dengan menggunakan regresi logistik menemukan bahwa ada hubungan negatif antara pernikahan dini dan pendapatan per kapita. Penelitian ini dibatasi kepada pernikahan dini anak perempuan atau menantu perempuan yang masih tinggal bersama orang tua mereka. Yang dimana penelitian ini tidak menyertakan peran dari suami. Selain itu, penelitian (Rahayu & Wahyuni, 2020) yang juga dilakukan di Indonesia menyatakan bahwa hasil regresi logistik menunjukan pernikahan dini tidak mempengaruhi kemungkinan seorang

21

perempuan mengalami kemiskinan moneter. Penelitian ini hanya terfokus kepada responden perempuan. Pernikahan dini dalam hal ini hanya membawa dampak jangka pendek berupa rendahnya tingkat pendidikan, namun dalam jangka panjang hal ini diimbangi dengan umur kerja yang lebih lama. Pada akhirnya, tahun kerja yang lebih lama akan memberikan tingkat upah yang lebih tinggi.

c. Indikator Kemiskinan

Berdasarkan sudut pandang ekonomi, kemiskinan adalah bentuk ketidakmampuan dari pendapatan seseorang maupun sekelompok orang untuk mencukupi kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar. Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk meningkatkan.taraf kesejahteraan seseorang baik secara finansial maupun jenis kekayaan lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suryawati, 2004). Dari pengertian ini, dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki dua aspek, yaitu aspek pendapatan dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek pendapatan yang dapat dijadikan sebagai indikator.kemiskinan adalah.pendapatan per kapita, sedangkan untuk aspek konsumsi yang dapat digunakan sebagai indikator kemiskinan adalah garis kemiskinan.

1) Pendapatan Per Kapita,.menyatakan besarnya rata-rata pendapatan masyarakat di suatu daerah selama kurun waktu satu tahun..Besarnya pendapatan per kapita (income per capita) dihitung dari besarnya output dibagi oleh jumlah penduduk di suatu daerah untuk kurun

22

waktu satu tahun (Todaro, 1997). Indikator pendapatan per kapita menerangkan terbentuknya pemerataan pendapatan yang.merupakan salah satu indikasi terbentuknya kondisi yang disebut.miskin.

Pendapatan per kapita dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Todaro, 1997) :

𝑌 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 = 𝑌𝑡 𝑃𝑜𝑝 𝑡 di mana:

Y Per Kapita = Pendapatan per kapita Yt = Pendapatan pada tahun t Pop t = Jumlah penduduk pada tahun t.

Variabel pendapatan dapat dinyatakan sebagai Produk Domestik Bruto (PDB), Pendapatan Nasional, atau Produk Domestik Regional Bruto, sedangkan jumlah penduduk menyatakan banyaknya penduduk pada periode t di suatu daerah.yang diukur pendapatan per kapitanya.

2) Garis Kemiskinan, merupakan salah satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah.ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai.batas konsumsi minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada.referensi pendapatan sedikit lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya, indikator garis kemiskinan

23

mengukur kemampuan pendapatan dalam memenuhi.kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi.konsumsi untuk sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan (Suryawati, 2004).

24 B. Penelitian Terdahulu

Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu

NO. JUDUL PENELITI HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN anak-anak korban cerai lebih rendah dibanding anak-anak dari keluarga

Orang tua yang mengatur pernikahan anak menyebutkan alasan ekonomi

25

26

27

28

Perkawinan usia dini atau di bawah umur

membawa dampak negatif terhadap keluarga,

karena menjadi beban keluarga dan mudah terjadi perceraian penduduk miskin periode 2004 – 2012

29

30 Bali. Secara parsial variabel Tingkat Pendidikan dan Pertumbuhan

13. Dampak Djamilah pernikahan dini berdampak pada Meneliti hubungan Metode, Objek, dan

31 Perkawinan

Anak di Indonesia

(2014) bertambahnya beban ekonomi keluarga, meningkatkan kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, meningkatnya masalah kesehatan reproduksi juga angka kematian ibu dan anak, serta menyebabkan dampak psikologis

15. The Influence of Rahayu & Pernikahan dini tidak berdampak Meneliti hubungan Objek penelitian

32

kehamilan pada usia remaja tidak signifikan berpengaruh terhadap

33 17. Prevalence of

Child Marriage and Its

Determinants among Young Woman in Indonesia

Marshan, Rakhmadi,

& Rizky (2013)

Ada hubungan negatif antara pernikahan dini dengan pendapatan per kapita

Meneliti hubungan pernikahan dini dengan kemiskinan

Objek penelitian (hanya meneliti perempuan)

34 C. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah gambaran mengenai hubungan antar variabel dalam suatu penelitian yang.diuraikan (Muhamad, 2009). Dalam menggunakan kerangka pemikiran harus sesuai dengan variabel penelitian yang akan diteliti.

Dengan menggunakan kerangka pemikiran dapat membuat sebuah penelitian lebih terstruktur dan terarah..Dalam penelitian ini secara sistematik kerangka pemikirannya.adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran

Dari kerangka berfikir diatas.dapat dilihat bahwa variabel dependen atau variabel terikat adalah Kemiskinan, lalu variabel independen atau variabel bebas adalah Pernikahan Dini, Putus Sekolah, Perceraian, dan Gender.

D. Hipotesis

Kerangka penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel.independen yaitu Pernikahan Dini, Putus Sekolah, Perceraian, dan Gender. Variabel dependen yaitu Kemiskinan. Secara singkat, penelitian ini membawa kita berhipotesis bahwa:

Variabel Independen 1. Pernikahan Dini 2. Putus Sekolah 3. Perceraian 4. Gender

Variabel Dependen Kemiskinan

35

1. H0 = Pernikahan Dini secara parsial tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

H1 = Pernikahan Dini secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

2. H0 = Putus Sekolah secara parsial tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

H1 = Putus Sekolah secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

3. H0 = Perceraian secara parsial tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

H1 = Perceraian secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

4. H0 = Gender secara parsial tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

H1 = Gender secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

5. H0 = Pernikahan Dini, Putus Sekolah, Perceraian, dan Gender secara simultan tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

H1 = Pernikahan Dini, Putus Sekolah, Perceraian, dan Gender secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang Kemiskinan di Indonesia tahun 2014.

36 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang.didapatkan dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI). IFLS menyediakan informasi secara ekstensif mengenai bidang sosio-ekonomi, kesehatan dan.sebagainya baik di level rumah tangga maupun individu. Selain itu, IFLS juga.menyediakan informasi mengenai fasilitas publik pada level komunitas. IFLS merupakan survei yang paling komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia (Strauss et al., 2016). Survei ini diadakan atas kerja sama antara organisasi.penelitian Amerika Serikat RAND, Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Lembaga penelitian Survey METER. Survei ini diselenggarakan di 13 provinsi Indonesia berupa data longitudinal yang mencakup provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Lampung. Subjek penelitian ini difokuskan pada individu dalam rumah tangga yang berusia 15 tahun atau lebih yang merupakan individu dalam penelitian Indonesia Family Life Survey (IFLS).

Jumlah sampel 15.900 rumah tangga dan 50.000 individu yang diwawancarai pada IFLS-5 tahun 2014.

IFLS merupakan satu-satunya survei di Indonesia yang berisi data dari berbagai aspek untuk satu..individu yang sama dalam beberapa gelombang waktu,

37

sehingga memungkinkan pengguna data untuk menganalisis dinamika individu tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan data IFLS yang digunakan pada penelitian ini adalah IFLS-5 (2014-2015).

B. Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi lembaga survei yaitu Indonesia Family Life Survey-5 (IFLS-5) tahun 2014 dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data IFLS-5 melakukan survei dengan jumlah rumah tangga sampel..berjumlah 15.900 dengan jumlah individu sebesar 50.000. Survei IFLS dimulai pada tahun 1993 sebagai baseline, dilanjutkan tahun 1997, 2000, 2007 dan yang terbaru di tahun 2014 yang..mencakup dua puluh empat provinsi di Indonesia.

Kelebihan IFLS-5 dibanding survei sebelumnya yaitu IFLS-5 telah menggunakan sistem Computer-Assisted Personal Interview (CAPI) dan tidak lagi menggunakan..kuesioner kertas..Program CAPI telah dpersiapkan dan diuji coba selama kurang lebih delapan belas bulan. Selain itu, pengambilan data pada IFLS-5 juga telah menggunakan alat perekam suara sehingga kualitas data dapat terkontrol dengan baik (Strauss et al., 2004).

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini ialah.dengan teknik dokumentasi atau penelitian yang menggunakan data yang bersumber dari Indonesia Life Family Life Survey-5 (ILFS-5) berupa data longitudinal tahun 2014.

38

Gambar 3. 1 Langkah-langkah Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Variabel yang Dibutuhkan

Dalam penelitian ini terdapat dalam IFLS-5 pada buku HH (household) tahun 2014. Pemilihan buku HH didasarkan karena komponen variabel yang sesuai topik-topik.terkait penelitian..terdapat dalam buku ini yang selajutnya digunakan untuk membentuk variabel dependen maupun variabel independen.

Topik kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. 1 Topik Kuisioner IFLS dalam Penelitian

Topik Kuisioner Buku IFLS

Pendapatan Anggota RT Buku K

Riwayat Perkawinan Buku K

Pendidikan Buku 3A

Gender Buku 3A

Sumber : Kuisioner IFLS-5

Berdasarkan tabel 3.1 tentang topik kuisioner IFLS, variabel dependen yang digunakan yaitu kemiskinan, yang menggunakan data pendapatan anggota RT bersumber dari buku K. Sedangkan variabel independen yang digunakan yaitu pernikahan dini, cerai, gender, dan putus sekolah masing-masing menggunakan data riwayat perkawinan dari buku K, data jenis kelamin dari buku 3A, dan data pendidikan dari buku 3A.

Data IFLS-5

39 2. Pembentukan Variabel

Selanjutnya dilakukan seleksi variabel dari seksi-seksi pada pertanyaan kuisioner untuk.membentuk variabel independen dan variabel dependen.

Adapun seksi kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. 2 Seksi Kuisioner dalam Penelitian

Variabel Seksi Kolom Pertanyaan

Kemiskinan Seksi TK TK25A1 & TK25B1

Pernikahan Dini Seksi COV & KW DOB_YR &

KW10YR

Putus Sekolah Seksi KW KW 20 & KW21

Cerai Seksi COV MARSTAT

Gender Seksi COV SEX

Sumber : Kuisioner IFLS-5

Tabel 3.2 menunjukan seksi kuisioner IFLS-5 yang terkait dengan variabel penelitian. Variabel dependen pada.penelitian ini berbentuk dummy yang dibentuk dari total pendapatan bulanan pada kolom pertanyaaan TK25A1 dan TK25B1, yang berada “di bawah” atau berada “di atas” garis kemiskinan nasional pada tahun 2014. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada tahun 2014 ialah sebesar Rp312.328.

Tabel 3.2 menunjukan seksi kuisioner IFLS-5 yang terkait dengan variabel penelitian. Variabel dependen pada.penelitian ini berbentuk dummy yang dibentuk dari total pendapatan bulanan pada kolom pertanyaaan TK25A1 dan TK25B1, yang berada “di bawah” atau berada “di atas” garis kemiskinan nasional pada tahun 2014. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada tahun 2014 ialah sebesar Rp312.328.

Dokumen terkait