• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan selalu menjadi masalah di setiap negara di dunia, tidak terkecuali.di Indonesia. Meskipun berbagai kajian dan penelitian telah dilakukan, namun definisi yang baku tentang.kemiskinan sulit ditemukan (Arsyad, 2010).

Hal ini disebabkan karena kompleksnya.topik kemiskinan. Hampir seluruh disiplin ilmu sosial memberi perhatian.pada topik kemiskinan. Akibatnya banyak ahli menulis tema kemiskinan dengan mengembangkan konsep sendiri sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Diantaranya.kemiskinan dibahas dalam perspektif ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, juga politik (Austin, 2006).

Berdasarkan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals) yang pertama adalah penanggulangan kemiskinan dan kelaparan masyarakat di dunia. Setiap.negara yang menandatangani deklarasi ini harus dapat mengurangi setengah.dari penduduknya yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS sehari dan penduduk yang mengalami kelaparan. Deklarasi ini ditandatangani bulan September tahun 2000.

Penyebab kemiskinan bermuara.pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) dari (Nurkse, 1953)..Teori lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian siklus yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta suatu keadaan dimana suatu masyarakat akan tetap miskin dan terus mengalami.banyak kesulitan dalam mencapai tingkat

2

kesejahteraan yang lebih tinggi. Teori ini menyebut bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah.

Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya upah yang diterima masyarakat tersebut, sehingga masyarakat hanya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minim. Sebab hal inilah mereka tidak dapat menabung ataupun berinvestasi, padahal kedua hal tersebut ialah sumber penguatan modal dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Indonesia Family Life Survey-5 (IFLS-5) pada penelitian ini dari 1.085 responden, 45% rumah tangga memiliki penghasilan yang rendah dimana penghasilan mereka berada dibawah garis kemiskinan Nasional tahun 2014 (Rp 312.328/bulan).

Beberapa hal yang dapat menekan produktivitas diantaranya ialah pernikahan yang dilangsungkan sejak dini, putusnya pendidikan, perceraian, dan gender. Menurut (UNICEF, 2001), Pernikahan dini adalah pernikahan pada usia anak-anak atau pada usia sebelum mencapai delapan belas tahun sering disebut sebagai salah satu patologi sosial yang menyebabkan kemiskinan atau memperparah kemiskinan. Pada beberapa kasus pernikahan yang dilakukan sejak dini disebabkan karena orang tua merasa bahwa anak mereka merupakan beban ekonomi yang harus segera dilepas (salah satunya dengan dinikahkan), sehingga anak mereka dapat bertanggung jawab akan hidup mereka sendiri. Padahal hal ini dapat menekan produktivitas, karena anak tersebut belum mampu dalam memenuhi beban yang dipikul. Dimana pihak laki-laki harus bertanggung jawab akan istri dan anaknya (jika sudah memiliki anak) dalam hal energi, waktu, dan penghasilan sejak dini. Di sisi lain, pihak perempuan pun juga bertambah beban yang dipikulnya, dimana mereka wajib patuh kepada suaminya, mengurus rumah

3

tangga, dan membesarkan anak mereka sejak dini. Kedua pihak dalam hal ini akan menjadi sulit meningkatkan potensi diri mereka dan sulit untuk berkembang.

Sehingga lingkaran kemiskinan ini terus berlangsung di suatu masyarakat.

Penelitian (Dahl, 2010) memberikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa pernikahan dini berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data panel dari empat puluh satu negara bagian di Amerika Serikat, dan menyimpulkan bahwa pernikahan dini meningkatkan kemungkinan menjadi miskin sebesar 31%. Hal ini disebabkan karena wanita yang menikah saat remaja memiliki kemungkinan dua pertiga lebih besar untuk bercerai dalam lima belas tahun, dibandingkan dengan wanita yang menunda pernikahan. Selain itu, wanita yang menikah pada usia remaja cenderung memiliki lebih banyak anak dan memiliki anak lebih dini. Pada penelitian tersebut juga pernikahan dini dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah, dimana wanita yang menikah sebelum usia sembilan belas tahun 50% lebih mungkin untuk putus sekolah dan empat kali lebih kecil kemungkinannya untuk lulus dari perguruan tinggi. Dimana rendahnya pendidikan ini hanya menciptakan peluang pekerjaan berupah rendah.

Di Indonesia, penelitian mengenai dampak pernikahan dini telah banyak dilakukan, misalnya oleh (Djamilah, 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini berdampak pada peningkatan beban ekonomi keluarga dan menimbulkan adanya siklus kemiskinan, dikarenakan anak remaja yang menikah seringkali belum mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah. Sehingga hal ini dapat menyebabkan anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarganya khususnya

4

keluarga dari sisi laki-laki. Akibatnya, orang tua memiliki beban ganda untuk menghidupi keluarga dan ditambah anggota keluarga baru mereka. Hal ini lah yang akan terjadi turun temurun, sehingga terbentuklah siklus kemiskinan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), praktek pernikahan dini masih umum terjadi di Indonesia. Dimana data ini menunjukan pada periode waktu 2001 sampai 2009 untuk daerah perkotaan Indonesia terdapat 29% wanita muda menikah di usia 15 – 19 tahun. Sedangkan di pedesaan terdapat 58% wanita muda yang menikah di usia 15 - 19 tahun. Fenomena pernikahan dini ini disebabkan karena tuntutan budaya yang masih berlaku di masyarakat, bahwa wanita yang telah berusia enam belas tahun dianggap sudah cukup dewasa untuk menikah. Apabila telah melewati usia tersebut, orang tua khawatir anaknya akan menjadi pembicaraan masyarakat sebagai gadis tua yang tidak memiliki pasangan dan menjadi beban ekonomi orang tuanya. Keberadaan tekanan sosial dan ekonomi tersebutlah yang memaksa mereka untuk segera menikah di usia remaja.

Selain itu, perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seksual diluar nikah juga menjadi penyebab pernikahan dini. Terungkapnya hubungan seksual diluar nikah pada remaja oleh warga ataupun kehamilan diluar nikah pada remaja juga sering berakhir kepada pernikahan dini pada pasangan remaja.

Menurut (Jordan, 2004), kehamilan pada masa remaja yang identik dengan pernikahan dini, perceraian, dan kriminalitas merupakan penyebab disfungsi sosial yang dialami oleh individu.yang menyebabkan dirinya secara ekonomi lemah dibanding masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini perceraian dapat menghilangkan fokus produktivitas karena harus berurusan dengan konflik rumah

5

tangganya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Murray, 2012), bahwa perceraian berdampak negatif pada produktivitas pekerja, yang mengakibatkan emosi menjadi tidak stabil. Hal tersebut membuat mereka melakukan banyak kesalahan dalam pekerjaan dan membuat mereka bekerja lebih lambat. Jika mereka merasa tertekan, maka kreativitas mereka juga akan menurun. Selain itu, jika pihak laki-laki sudah tidak bertanggung jawab atas nafkah pihak perempuan dan anak mereka (jika sudah memiliki anak) maka beban pihak perempuan kembali bertambah karena harus mengurus keluarganya sendiri dan menanggung kebutuhan sehari-harinya sendiri dan anaknya (menjadi single parent).

Pada sisi gender, perempuan yang telah menikah di usia dini cenderung lebih sulit untuk mengeksplorasi kehidupannya dan cenderung tidak memungkinkan mengemban pendidikan lebih lanjut (Damayanti, 2020). Hal ini dikarenakan perempuan tersebut harus memikul tanggung jawabnya atas pernikahan yang telah dijalani, dimana mereka wajib patuh kepada suaminya, menguruh rumah tangga mereka, dan membesarkan anak mereka sejak dini.

Tanggung jawab ini cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran mereka, sehingga dalam hal ini akan sangat sulit bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda pada sisi laki-laki yang menikah sejak dini, dimana mereka berkewajiban untuk mencari nafkah, sehingga mereka tetap harus melakukan kegiatan-kegiatan produktif ataupun hal-hal yang dapat mengembangkan diri. Maka, dapat dikatakan perempuan yang menikah dini cenderung lebih rentan terhadap kemiskinan. Maka dalam hal ini peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pernikahan Dini dan Kemiskinan Dengan

6

Variabel Putus Sekolah, Perceraian, dan Gender di Indonesia Tahun 2014 (Analisis Data IFLS-5)”.

Dokumen terkait