• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kemiskinan

Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya, dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial-ekonomi yang ada tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (Maskun, 1997).

Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a)

modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit); (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial); (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; (e) pengetahuan dan keterampilan; dan (f) informasi yang berguna untuk kema juan hidup (Suharto dkk., 2004).

Ditinjau dari indikatornya konsep kemiskinan dapat dibagi tiga, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif.

Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau ‘garis kemiskinan’ (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut umumnya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan, dikategorikan miskin secara absolut (Suharto, 2005). Dalam penelitian atau kajian, orang yang masuk dalam kategori kemiskinan absolut ini dapat ditetapkan sendiri oleh peneliti atau pengkaji berdasarkan patokan garis kemiskinan yang dipakai.

Kriteria yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk hidup yang diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita perhari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama (Sutrisno, dalam Rudito dkk., 2003). Sementara itu Nuryana (2004) mengungkapkan bahwa garis kemiskinan secara internasional diukur dari pendapatan sebanyak 1 dolar perkapita perhari masuk dalam kategori miskin sekali, dan pendapatan 2 dolar per hari masuk dalam kategori miskin. Jika dikonversi dengan mata uang rupiah,

maka seseorang yang penghasilannya Rp. 10.000 perhari masuk dalam kategori miskin sekali.

Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok, yang dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat. Misalnya jika batas kemiskinan Rp. 100.000 perkapita perbulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolut tidak miskin. Namun jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin (Suharto, 2005). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan siapa yang miskin dan siapa yang tidak adalah masyarakat sendiri. Masyarakat biasanya tahu siapa saja warganya yang penghasilannya dibawah rata -rata secara umum.

Ketiga, kemiskinan subyektif adalah kemiskinan yang dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri mengenai kondisi sosial- ekonominya. Konsep kemiskinan ini tidak mengenal batas garis kemiskinan, dan tidak memperhitungkan penghasilan rata-rata penduduk. Orang yang menurut ukuran kita berada dibawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya miskin, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dengan orang yang menurut perasaan kita tergolong hidup da lam kondisi tidak layak, bisa jadi tidak merasa dirinya demikian, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, konsep kemiskinan subyektif ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya (Usman, 2003). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan apakah ia miskin atau tidak adalah orang yang bersangkutan itu sendiri. Ia lebih tahu karena merasakan sendiri kondisi sosial-ekonomi yang dialaminya.

Ditinjau dari sumber penyebabnya kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha

adalah beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri kemiskinan kultural. Mereka sudah merasa berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Masyarakat yang berada pada tipologi seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Meskipun pendapatan mereka dibawah garis kemiskinan, namun mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Kemiskinan struktural dapat pula disebabkan karena kondisi geografis yang terisolir. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang dalam kondisi struktural demikian tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber- sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para buruh tani yang tidak memiliki lahan atau memiliki hanya sedikit lahan, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk juga para keluarga miskin yang menjadi sasaran program pembangunan namun tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaannya, semuanya ini masuk kedalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.

Definisi kemiskinan sangat beraneka ragam, tergantung latar belakang orang yang mengemukakannya dan konteks wilayah atau negara dimana definisi kemiskinan tersebut dikeluarkan. Namun satu hal yang pasti bahwa kemiskinan selalu berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh faktor kultural atau struktural. Jika ingin mengatasi masalah kemiskinan maka kita harus memfokuskan kegiatan kita pada faktor penyebabnya tersebut.

Dokumen terkait