• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan komunitas miskin (studi kasus di desa mambalan kecamatan gunungsari kabupaten lombok barat propinsi ntb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberdayaan komunitas miskin (studi kasus di desa mambalan kecamatan gunungsari kabupaten lombok barat propinsi ntb)"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten

Lombok Barat Propinsi NTB)

CHANDRA APRINOVA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

@ Hak Cipta milik Chandra Aprinova, Tahun 2006

Hak Cipta dilindungi.

(3)

CHANDRA APRINOVA. Pemberdayaan Komunitas Miskin (studi kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY sebagai Ketua, dan MU’MAN NURYANA sebagai Anggota.

Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai oleh penguasaan lahan yang tidak seimbang, pekerjaan yang tidak tetap, upah yang rendah, rasio beban tanggungan yang besar, keterbatasan pengetahuan dan informasi, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas dan pelayanan publik. Dengan kondisi ya ng dimiliki ini mengakibatkan mereka terasing dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik (pemerintahan). Dalam kehidupan sosial mereka jarang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Dalam kehidupan politik (pemerintahan) mereka jarang dilibatkan dalam pe ngambilan keputusan politik dan pembangunan, sehingga mereka memiliki akses yang lemah terhadap sumber-sumber ekonomi dan pembangunan. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya pemberdayaan agar mereka mampu berpartisipasi dalam pembangunan, lebih jauh lagi menjadi komunitas yang mandiri.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan strategi studi kasus. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, pengamatan berperanserta, dan kajian dokumen. Perancangan program menggunakan metode PRA dengan menggunakan teknik diskusi kelompok, dengan tahapan kajian: penyajian seluruh informasi, pengorganisasian masalah, pembahasan alternatif-alternatif kegiatan, pemilihan kegiatan dan pengisian bagan rencana kegiatan. Metode pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh akses pembangunan yang kurang, keterampilan yang kurang, pengangguran, dan tidak ada aset (modal usaha). Berdasarkan hasil pleno dengan komunitas miskin dengan mengundang tokoh masyarakat, ketua RT, kepala dusun dan kepala desa, maka dibentuklah lembaga swadaya lokal dengan nama: Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Mambalan. Melalui lembaga ini dirancang bersama berbagai program kegiatan seperti: Program Pertemuan Rutin Warga, Program Penggalangan Dana Komunitas, Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga, serta Program Pembentukan Jaringan Kerja. Program-program kegiatan ini diharapkan bisa menjawab masalah-masalah dalam komunitas.

Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah: untuk bisa mandiri, komunitas harus berpartisipasi. Untuk bisa berpartisipasi komunitas harus diberdayakan melalui proses pemberdayaan. Untuk bisa diberdayakan, modal sosial dalam komunitas harus diperkuat terlebih dahulu. Modal sosial yang dimaksud disini adalah jaringan, norma -norma, kepercayan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama komunitas bagi keuntungan bersama, yang dalam hal ini adalah LPPM.

(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga Kajian ini berhasil diselesaikan. Kajian ini berjudul: “Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan

Gunungsari Ka bupaten Lombok Barat Propinsi NTB)”. Penulisan Kajian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada program studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yang pelaksanaannya dimulai sejak bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2005.

Proses penyusunan Kajian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Fredian Tonny, MS. selaku Ketua Pembimbing dan Mu’man Nuryana,

MSc., Ph.D selaku Anggota Pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan Kajian ini.

2. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB, yang telah memberikan materi perkuliahannya.

3. Drs. Chusnan Yusuf selaku Kepala Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasajana kerjasama IPB dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

4. Ir. Nanang Samodra K.A, MSi. selaku Sekda Propinsi NTB, yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah pascasarjana IPB.

5. Lalu Thuhur selaku Kepala Desa Mambalan beserta jajarannya dan Zohri selaku Kepala Dusun Lilir Barat, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan kajian ini.

6. Tokoh masyarakat dan seluruh warga komunitas Dusun Lilir Barat, yang telah terlibat dalam pengumpulan informasi dan penyusunan program kajian pengembangan masyarakat ini.

7. Isteri tercinta, yang selalu setia dan sabar menunggu penulis menyelesaikan pendidikannya.

8. Teman-teman seperjuangan pada MPM kelas Bandung angkatan II umumnya dan khususnya teman-teman Dago Pojok atas dukungan dan kerjasama selama ini, semoga sukses selalu.

Sebagai sebuah proses, Kajian ini tidak luput dari berbagai macam kekurangan, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaannya.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat.

(5)

Penulis dilahirkan di Masbagik Kabupaten Lombok Timur Propinsi NTB pada tanggal 16 April 1973 sebagai anak pertama dari pasangan H. Deran, BSW (alm.) dan Ichsanah.

Penulis memulai jenjang pendidikan dasarnya pada Sekolah Dasar Negeri No. 6 Masbagik dan lulus tahun 1986. Pendidikan menengah pertama ditempuh pada SMP Negeri 1 Masbagik dan lulus tahun 1989, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Masbagik dan lulus pada tahun 1992. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, dan lulus tahun 1997.

Sejak tahun 1997 penulis bekerja pada Departemen Sosial, selanjutnya pada tahun 1998 ditempatkan pada Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Sosial Propinsi NTB, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 bertugas sebagai Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) pada Kantor Departemen (Kandep) Sosial Kabupaten Lombok Barat, dan sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang ditempatkan kembali pada Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Propinsi NTB sebagai staf pada Seksi Penyuluhan Sosial.

Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Istitut Pertanian Bogor (IPB) dari Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, kerjasama IPB dengan STKS Bandung.

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2006

(7)

Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) Nama : Chandra Aprinova

NIM : A154040155

Disetujui Dosen Pembimbing

Ir. Fredian Tonny, MS. Ketua

Mu’man Nuryana, MSc., Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

DAFTAR TABEL ……….……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian ………. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pembangunan Sosial ………. 6

2.2. Kemiskinan ………. 9

2.3. Pemberdayaan dan Komunitas ………. 12

2.4. Partisipasi ……… 15

2.5. Kemandirian ….………..….………… 17

2.6. Modal Sosial ………. 19

2.7. Kelembagaan dan Organisasi Sosial ………..………. 19

2.8. Kerangka Pemikiran ………. 21

III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ..……….. 27

3.2. Metode Kajian ……...………. 27

3.2.1. Sasaran dan Sampling ……...…...………. 28

3.2.2. Metode Pengumpulan Data ……… 28

3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ..……….. 30

3.3. Metode Perancangan Program .……… 30

IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS DESA MAMBALAN 4.1. Gambaran Umum Desa Mambalan ………. 38

4.2. Masalah Sosial di Komunitas ………. 39

4.3. Kependudukan ………. 40

4.4. Sistem Ekonomi ………. 43

4.5. Struktur Komunitas ………. 46

(9)

V. EVALUASI PENGEMBANGAN KOMUNITAS

5.1. Program Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintah Daerah (P2MPD) ………. 56

5.1.1. Deskripsi Program ……….. 56

5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ………..…… 60

5.1.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan…… 62

5.1.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ……….. 63

5.2. Program Kesejahteraan Sosial Melalui KUBE (Prokesos KUBE) ………. 63

5.2.1. Deskripsi Program ……….. 63

5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ………..…… 65

5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan…… 66

5.2.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ……….. 66

5.3. Konflik Sosial dalam Masyarakat ……..………. 67

5.4. Ikhtisar ………. 70

VI. ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 6.1. Karakteristik Kemiskinan Komunitas ………. 77

6.2. Potensi dan Kelembagaan Lokal untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan ………. 80

6.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Partisipasi dan Kemandirian Komunitas ………. 81

6.4. Ikhtisar ………. 85

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 7.1. Latar Belakang Rancangan Program …..………. 89

7.2. Tujuan dan Sasaran ………. 91

7.3. Program Aksi ………. 91

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan ………. 100

8.2. Rekomendasi ………. 103

DAFTAR PUSTAKA ………. 105

(10)

Halaman

1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat Tahun 2004/2005 …………. 27

2 Rincian Responden, Informan, dan Cara Pengumpulan Data …………. 29

3 Rekapitulasi Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ……….. 43

4 Tingkatan Sistem Pelapisan Sosial Masyarakat Desa Mambalan ……… 47

5 Ikhtisar Peta Sosial Desa Mambalan ………. 53

6 Hasil Evaluasi Program Pengembangan Komunitas ……….. 73

7 Pembahasan Alternatif Kegiatan ………. 90

(11)

(Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten

Lombok Barat Propinsi NTB)

CHANDRA APRINOVA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

@ Hak Cipta milik Chandra Aprinova, Tahun 2006

Hak Cipta dilindungi.

(13)

CHANDRA APRINOVA. Pemberdayaan Komunitas Miskin (studi kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY sebagai Ketua, dan MU’MAN NURYANA sebagai Anggota.

Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai oleh penguasaan lahan yang tidak seimbang, pekerjaan yang tidak tetap, upah yang rendah, rasio beban tanggungan yang besar, keterbatasan pengetahuan dan informasi, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas dan pelayanan publik. Dengan kondisi ya ng dimiliki ini mengakibatkan mereka terasing dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik (pemerintahan). Dalam kehidupan sosial mereka jarang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Dalam kehidupan politik (pemerintahan) mereka jarang dilibatkan dalam pe ngambilan keputusan politik dan pembangunan, sehingga mereka memiliki akses yang lemah terhadap sumber-sumber ekonomi dan pembangunan. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya pemberdayaan agar mereka mampu berpartisipasi dalam pembangunan, lebih jauh lagi menjadi komunitas yang mandiri.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan strategi studi kasus. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, pengamatan berperanserta, dan kajian dokumen. Perancangan program menggunakan metode PRA dengan menggunakan teknik diskusi kelompok, dengan tahapan kajian: penyajian seluruh informasi, pengorganisasian masalah, pembahasan alternatif-alternatif kegiatan, pemilihan kegiatan dan pengisian bagan rencana kegiatan. Metode pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh akses pembangunan yang kurang, keterampilan yang kurang, pengangguran, dan tidak ada aset (modal usaha). Berdasarkan hasil pleno dengan komunitas miskin dengan mengundang tokoh masyarakat, ketua RT, kepala dusun dan kepala desa, maka dibentuklah lembaga swadaya lokal dengan nama: Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Mambalan. Melalui lembaga ini dirancang bersama berbagai program kegiatan seperti: Program Pertemuan Rutin Warga, Program Penggalangan Dana Komunitas, Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga, serta Program Pembentukan Jaringan Kerja. Program-program kegiatan ini diharapkan bisa menjawab masalah-masalah dalam komunitas.

Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah: untuk bisa mandiri, komunitas harus berpartisipasi. Untuk bisa berpartisipasi komunitas harus diberdayakan melalui proses pemberdayaan. Untuk bisa diberdayakan, modal sosial dalam komunitas harus diperkuat terlebih dahulu. Modal sosial yang dimaksud disini adalah jaringan, norma -norma, kepercayan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama komunitas bagi keuntungan bersama, yang dalam hal ini adalah LPPM.

(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga Kajian ini berhasil diselesaikan. Kajian ini berjudul: “Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan

Gunungsari Ka bupaten Lombok Barat Propinsi NTB)”. Penulisan Kajian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada program studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yang pelaksanaannya dimulai sejak bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2005.

Proses penyusunan Kajian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Fredian Tonny, MS. selaku Ketua Pembimbing dan Mu’man Nuryana,

MSc., Ph.D selaku Anggota Pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan Kajian ini.

2. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB, yang telah memberikan materi perkuliahannya.

3. Drs. Chusnan Yusuf selaku Kepala Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasajana kerjasama IPB dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

4. Ir. Nanang Samodra K.A, MSi. selaku Sekda Propinsi NTB, yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah pascasarjana IPB.

5. Lalu Thuhur selaku Kepala Desa Mambalan beserta jajarannya dan Zohri selaku Kepala Dusun Lilir Barat, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan kajian ini.

6. Tokoh masyarakat dan seluruh warga komunitas Dusun Lilir Barat, yang telah terlibat dalam pengumpulan informasi dan penyusunan program kajian pengembangan masyarakat ini.

7. Isteri tercinta, yang selalu setia dan sabar menunggu penulis menyelesaikan pendidikannya.

8. Teman-teman seperjuangan pada MPM kelas Bandung angkatan II umumnya dan khususnya teman-teman Dago Pojok atas dukungan dan kerjasama selama ini, semoga sukses selalu.

Sebagai sebuah proses, Kajian ini tidak luput dari berbagai macam kekurangan, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaannya.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat.

(15)

Penulis dilahirkan di Masbagik Kabupaten Lombok Timur Propinsi NTB pada tanggal 16 April 1973 sebagai anak pertama dari pasangan H. Deran, BSW (alm.) dan Ichsanah.

Penulis memulai jenjang pendidikan dasarnya pada Sekolah Dasar Negeri No. 6 Masbagik dan lulus tahun 1986. Pendidikan menengah pertama ditempuh pada SMP Negeri 1 Masbagik dan lulus tahun 1989, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Masbagik dan lulus pada tahun 1992. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, dan lulus tahun 1997.

Sejak tahun 1997 penulis bekerja pada Departemen Sosial, selanjutnya pada tahun 1998 ditempatkan pada Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Sosial Propinsi NTB, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 bertugas sebagai Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) pada Kantor Departemen (Kandep) Sosial Kabupaten Lombok Barat, dan sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang ditempatkan kembali pada Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Propinsi NTB sebagai staf pada Seksi Penyuluhan Sosial.

Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Istitut Pertanian Bogor (IPB) dari Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, kerjasama IPB dengan STKS Bandung.

(16)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2006

(17)

Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) Nama : Chandra Aprinova

NIM : A154040155

Disetujui Dosen Pembimbing

Ir. Fredian Tonny, MS. Ketua

Mu’man Nuryana, MSc., Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(18)

DAFTAR TABEL ……….……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian ………. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pembangunan Sosial ………. 6

2.2. Kemiskinan ………. 9

2.3. Pemberdayaan dan Komunitas ………. 12

2.4. Partisipasi ……… 15

2.5. Kemandirian ….………..….………… 17

2.6. Modal Sosial ………. 19

2.7. Kelembagaan dan Organisasi Sosial ………..………. 19

2.8. Kerangka Pemikiran ………. 21

III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ..……….. 27

3.2. Metode Kajian ……...………. 27

3.2.1. Sasaran dan Sampling ……...…...………. 28

3.2.2. Metode Pengumpulan Data ……… 28

3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ..……….. 30

3.3. Metode Perancangan Program .……… 30

IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS DESA MAMBALAN 4.1. Gambaran Umum Desa Mambalan ………. 38

4.2. Masalah Sosial di Komunitas ………. 39

4.3. Kependudukan ………. 40

4.4. Sistem Ekonomi ………. 43

4.5. Struktur Komunitas ………. 46

(19)

V. EVALUASI PENGEMBANGAN KOMUNITAS

5.1. Program Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintah Daerah (P2MPD) ………. 56

5.1.1. Deskripsi Program ……….. 56

5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ………..…… 60

5.1.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan…… 62

5.1.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ……….. 63

5.2. Program Kesejahteraan Sosial Melalui KUBE (Prokesos KUBE) ………. 63

5.2.1. Deskripsi Program ……….. 63

5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ………..…… 65

5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan…… 66

5.2.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ……….. 66

5.3. Konflik Sosial dalam Masyarakat ……..………. 67

5.4. Ikhtisar ………. 70

VI. ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 6.1. Karakteristik Kemiskinan Komunitas ………. 77

6.2. Potensi dan Kelembagaan Lokal untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan ………. 80

6.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Partisipasi dan Kemandirian Komunitas ………. 81

6.4. Ikhtisar ………. 85

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 7.1. Latar Belakang Rancangan Program …..………. 89

7.2. Tujuan dan Sasaran ………. 91

7.3. Program Aksi ………. 91

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan ………. 100

8.2. Rekomendasi ………. 103

DAFTAR PUSTAKA ………. 105

(20)

Halaman

1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat Tahun 2004/2005 …………. 27

2 Rincian Responden, Informan, dan Cara Pengumpulan Data …………. 29

3 Rekapitulasi Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ……….. 43

4 Tingkatan Sistem Pelapisan Sosial Masyarakat Desa Mambalan ……… 47

5 Ikhtisar Peta Sosial Desa Mambalan ………. 53

6 Hasil Evaluasi Program Pengembangan Komunitas ……….. 73

7 Pembahasan Alternatif Kegiatan ………. 90

(21)

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di

Desa Mambalan ………... 25

2 Piramida Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ……… 42

3 Analisis Bawang Bombay Kasus Konflik di Desa Mambalan ……….. 68

4 Analisis Pilar Kasus Konflik di Desa Mambalan ……..……… 70

5 Bagan Hubungan Sebab-Akibat Masalah ……….. 79

6 Alur Analisis Pemberdayaan Komunitas Miskin Desa Mambalan ……. 87

7 Skema Pemberdayaan Komunitas Miskin yang Mandiri dan Berkelanjutan ……….. 94

8 Jejaring Kelembagaan LPPM ...……….. 96

(22)
(23)

1.1. Latar Belakang

Sentralisme pembangunan nasional selama tiga dekade terakhir ini telah memarjinalkan arti “masyarakat lokal”, yaitu satuan masyarakat lintas-batas administratif desa/kecamatan/kabupaten, yang diikat oleh berbagai ragam hubungan kerjasama sosial-ekonomi sebagai basis perkembangan mandiri. Gaya perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan yang bersifat sentralistik (top down), telah memandulkan inisiatif masyarakat lokal sekaligus menjauhkannya dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak masyarakat tersebut.

Gejala seperti ini juga dialami dalam proses pembangunan di tingkat lokal. Berbagai program pembangunan yang tidak berakar pada potensi sumberdaya lokal justru telah melumpuhkan inisiatif lokal dalam mengatasi masalahnya. Akibatnya, kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalahnya menjadi berkurang. Demikian juga halnya yang terjadi dengan penanganan masalah kemiskinan di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB.

Desa Mambalan memiliki penduduk sebanyak 5.697 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.683 orang (47,10%) dan jumlah perempuan sebanyak 3.014 orang (52,90%), serta jumlah keluarga sebanyak 1.521 KK. Dari jumlah KK tersebut yang termasuk dalam kategori miskin adalah sebanyak 754 KK atau 49,57% yang tersebar di 12 dusun (Profil Desa Mambalan Tahun 2004). Angka ini merupakan angka yang sangat memprihatinkan di tengah upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan yang membutuhkan segera pola penanganan yang tepat. Tidak mengherankan jika desa ini merupakan salah satu desa IDT.

(24)

gizi, busung lapar), anak putus sekolah, jompo terlantar, perumahan tidak layak huni, gelandangan, pengemis, bahkan sampai prostitusi.

Adanya pelapisan masyarakat antara tokoh elit desa (aparat desa dan tokoh-tokoh yang aktif di kantor desa) dengan warga komunitas biasa juga ikut mempengaruhi kemiskinan di Desa Mambalan. Golongan elit desa tentu saja lebih mudah memperoleh akses pelayanan publik dan program bantuan lainnya yang turun ke desa. Selain itu dalam kegiatan pembangunan di desa, penduduk yang miskin jarang sekali terlibat dalam rapat untuk menentukan kegiatan pembangunan desa, padahal tujuan dari setiap program pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang miskin. Hal ini disebabkan karena mereka lebih memprioritaskan waktunya untuk bekerja mencari uang, dan oleh para elit desa sendiri pendapat mereka dianggap tidak penting, mereka pasti akan menerima hasil keputusan para elit desa tersebut.

Dalam pelaksanaan program pemerintah melalui proyek, warga masyarakat miskin hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan saja , sedangkan pada tahap perancanaannya tidak. Akibatnya meskipun banyak program pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan yang diluncurkan, namun jumlah penyandang masalah kemiskinan belum berkurang secara signifikan. Hal ini dapat dipahami karena progr am/proyek yang diluncurkan belum menyentuh akar permasalahan penerima pelayanan/program sehingga tidak memunculkan partisipasi. Selain itu juga terdapat masalah struktural lainnya yaitu warga yang semestinya menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan banyak yang tidak menerima program bantuan, malahan yang menerima adalah warga yang tidak terlalu miskin namun dekat dengan tokoh elit desa, atau orang tersebut merasa ‘memiliki pengetahuan’ sehingga berani melakukan protes atau demo.

(25)

program pembangunan yang dilaksanakan tidak memberikan proses pembelajaran kepada masyarakat dalam mengambil keputusan mengenai permasalahan mereka dan cara-cara yang dapat mereka lakukan untuk mengatasinya.

Dengan adanya UU tentang Otonomi Daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004), implementasi otonomi daerah melalui proses desentralisasi dari “pusat” ke “daerah” mengandung implikasi ganda yaitu: Pertama, desentralisasi peranan dalam pengembangan masyarakat di daearah, yaitu dari “pemerintah daerah” kepada “masyarakat lokal”; Kedua, pada saat bersamaan kelembagaan non-pemerintah (LSM dan koperasi) dan dunia usaha (swasta) secara khusus akan semakin dituntut untuk berperan dalam menggerakkan masyarakat lokal dalam proses pembangunan.

Masalahnya sekarang, setelah termarjinalisasi akibat represi kekuasaan pusat selama tiga dekade, ternyata tidak mudah bagi masyarakat lokal untuk dapat mengartikulasikan otonominya sebagai basis gerakan perkembangan mandiri. Selain itu sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, kemampuan pemerintah untuk memberikan program bantuan kepada masyarakat menjadi berkurang padahal jumlah penyandang masalah kemiskinan justru bertambah.

Disamping itu juga masih adanya anggapan oknum birokrat yang mengatakan bahwa masyarakat belum siap untuk diajak merencanakan program untuk mengatasi masalahnya, terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk itu sementara mereka dikejar oleh pertanggungjawaban yang harus sudah selesai pada akhir tahun. Namun bagaimana komunitas lokal dapat berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka tidak dipersiapkan, dilatih dan diberi kesempatan?

(26)

1.2. Rumusan Masalah

Dalam menyusun strategi untuk memberdayakan komunitas miskin, terlebih dahulu harus diketahui karakteristik masyarakat miskin di lokasi kajian dan faktor-faktor penyebabnya. Selain itu perlu juga diketahui potensi dan sumber yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaan yang ada untuk mengatasi masalah kemiskinan. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui pemetaan sosial. Dalam hal ini timbul permasalahan “bagaimana karakterisitik dan faktor -faktor penyebab kemiskinan di Desa Mambalan?” dan “bagaimana potensi dan sumber serta kelembagaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kemiskinan?”. Dari hasil pemetaan ini dapat diperoleh gambaran komprehensif tentang komunitas Desa Mambalan.

Untuk melengkapi peta sosial Desa mambalan dalam rangka menyusun strategi untuk pemberdayaan masyarakat miskin dalam pembangunan, maka perlu juga dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pembangunan di lokasi kajian. Untuk itu telah dilakukan evaluasi terhadap Program P2MPD (Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Prokesos KUBE yang dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi NTB, dimana kedua program tersebut bertujuan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Melalui evaluasi program ini dapat diketahui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam program pembangunan, dan faktor-faktor penting yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam program pembangunan. Faktor-faktor penting tersebut dapat dijadikan masukan dan acuan bagi program pemberdayaan yang akan disusun. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah “bagaimana faktor-faktor penting yang ada mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas miskin dalam program pembangunan di Desa Mambalan?”.

(27)

dalam pembangunan. Untuk itu akan dilakukan Kajian Pengembangan Masyarakat yang bertujuan untuk merancang program bersama-sama dengan masyarakat berdasarkan permasalahan dan potensi yang ada.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian

Tujuan umum kajian ini adala h untuk merancang program pemberdayaan komunitas miskin di Desa Mambalan, dengan tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisa karakteristik dan penyebab kemiskinan di Desa Mambalan. 2. Menganalisa potensi dan sumber serta kelembagaan yang ada untuk mengatasi

masalah kemiskinan.

3. Menganalisa faktor-faktor penting yang mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas miskin dalam program pembangunan di Desa Mambalan.

4. Memfasilitasi proses perancangan program pemberdayaan komunitas miskin. Sedangkan kegunaan dari kajian ini adalah:

1. Bagi Dinas Sosial setempat, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menyusun pola penanganan fakir miskin, terutama untuk membangun partisipasi dan kemandirian fakir miskin dalam program pembangunan.

2. Bagi Dinas Instansi Terkait, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menentukan strategi pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan untuk mengurangi masalah kemiskinan di Desa Mambalan.

(28)

2.1. Pembangunan dan Pembangunan Sosial

Jika kita melihat pengertian dan konsep dasar pembangunan, tampaknya tidak ada konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang serumit dan sesamar kata tersebut. Istilah ‘pembangunan dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Penggunaan kata pembangunan seringkali tergantung pada konteks siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan siapa. Terdapat banyak kata yang memiliki makna sama dengan kata ‘pembangunan’, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, industrialisasi, teransformasi, dan modernisasi. Dari kata tersebut istilah ‘pembangunan’ lebih sering digunakan untuk menggambarkan dan memberi makna perubahan kearah positif dan lebih maju dibandingkan keadaan sebelumnya.

Menurut Conyers dan Hill (1989) serta Jameson dan Wilber (1979), dalam konteks bahasa Inggris kata pembangunan selaras dengan kata development yang berasal dari kata kerja to develop, yang artinya menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan atau mengubah secara bertahap (to change gradually). Dengan demikian pembangunan dapatlah diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan berkesinambungan (Suharto, 1997).

(29)

Menurut Todaro (1997), kemajuan ekonomi merupakan kompenen penting dalam pembangunan. Namun demikian, pembangunan bukanlah semata -mata penomena ekonomi. Pembangunan harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan kemakmuran manusia secara material dan finansial. Pembangunan harus dipandang sebagai proses multi-dimensional yang melibatkan reorganisasi dan reorintasi sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Disamping upaya -upaya peningkatan pendapatan secara ekonomi, pembangunan juga memerlukan perubahan struktur -struktur sosial, kelembagaan, sikap-sikap masyarakat, termasuk kebiasaan dan keyakinan. Selain itu, pembangunan juga tidak dapat dipisahkan dari proses global. Pembangunan tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi pada konteks nasional, ia dipengaruhi pula oleh perubahan sistem sosial dan ekonomi dalam konteks internasional.

Kesadaran untuk merumuskan kembali konsepsi pembangunan terutama muncul dari keprihatinan atas realitas dan tantangan bahwa meskipun di satu pihak pembangunan ekonomi telah mencapai titik yang menggembirakan, namun di lain pihak persoalan-persoalan baru seperti ketimpangan kesejahteraan, keresahan sosial, kerusakan lingkungan, dan rendahnya partisipasi sosial muncul ke permukaan.

Satu perspektif pembangunan yang kini tengah populer untuk menjawab tantangan pembangunan di atas adalah konsepsi “Pembangunan Sosial”. Paham pembangunan baru ini berupaya mencari titik keseimbangan optimal (optimum trade-off) antara kepentingan ekonomi dan sosial, menuju pembangunan yang humanistik, partisipatif dan memperhatikan wawasan pemberdayaan manusia (masyarakat).

(30)

pembangunan sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan, anti kemiskinan dan anti kesenjangan (Suharto, 2005).

Prinsip pokok pembangunan sosial menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan, dan ekonomi adalah cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global, yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup kita sendiri. Dalam arti normatif, prinsip pembangunan sosial juga menganjurkan untuk menyatukan keterkaitan aspek dan kebijakan ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan pribadi dalam rangka mendukung martabat manusia itu sendiri. Anjuran untuk mempertinggi martabat manusia dilakukan pada berbagai tingkat, nasional maupun internasional, dengan cara toleransi serta menghormati pluralisme atau keanekaragaman budaya, sosial dan politik.

Lebih lanjut pembangunan sosial mempunyai prinsip untuk memperkukuh hak terhadap pembangunan dan hak asasi lainnya, serta memajukan hak dan tanggung jawab untuk kemajuan sosial dan keamanan untuk semua. Dari dasar dan prinsip nilai tersebut, maka setiap orang berhak untuk medapat kehidupan yang layak, dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dasar sampai pada kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas pribadinya.

Mengacu pada Conyers (1982), ada tiga karakteristik utama pembangunan sosial, yaitu pemberian pelayanan sosial, pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, yaitu:

(31)

2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, kemandirian keluarga dan masyarakat (self-reliance), harga diri (self-esteem), kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living), dan sebagainya. 3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. Dalam kaitan ini, pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan (empowerment).

Dengan demikian, pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material, namun juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya.

Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif manusia harus berada dalam kondisi-kondisi yang bisa menciptakan rasa adil, rasa bahagia, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menjalankan pemba ngunan dan memecahkan masalah yang dialaminya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh ilmu ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil dari membangun manusia pembangunan ini.

2.2. Kemiskinan

Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya, dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial-ekonomi yang ada tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (Maskun, 1997).

(32)

modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit); (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial); (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; (e) pengetahuan dan keterampilan; dan (f) informasi yang berguna untuk kema juan hidup (Suharto dkk., 2004).

Ditinjau dari indikatornya konsep kemiskinan dapat dibagi tiga, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif.

Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau ‘garis kemiskinan’ (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut umumnya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan, dikategorikan miskin secara absolut (Suharto, 2005). Dalam penelitian atau kajian, orang yang masuk dalam kategori kemiskinan absolut ini dapat ditetapkan sendiri oleh peneliti atau pengkaji berdasarkan patokan garis kemiskinan yang dipakai.

(33)

maka seseorang yang penghasilannya Rp. 10.000 perhari masuk dalam kategori miskin sekali.

Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok, yang dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat. Misalnya jika batas kemiskinan Rp. 100.000 perkapita perbulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolut tidak miskin. Namun jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin (Suharto, 2005). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan siapa yang miskin dan siapa yang tidak adalah masyarakat sendiri. Masyarakat biasanya tahu siapa saja warganya yang penghasilannya dibawah rata -rata secara umum.

Ketiga, kemiskinan subyektif adalah kemiskinan yang dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri mengenai kondisi sosial-ekonominya. Konsep kemiskinan ini tidak mengenal batas garis kemiskinan, dan tidak memperhitungkan penghasilan rata-rata penduduk. Orang yang menurut ukuran kita berada dibawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya miskin, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dengan orang yang menurut perasaan kita tergolong hidup da lam kondisi tidak layak, bisa jadi tidak merasa dirinya demikian, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, konsep kemiskinan subyektif ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya (Usman, 2003). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan apakah ia miskin atau tidak adalah orang yang bersangkutan itu sendiri. Ia lebih tahu karena merasakan sendiri kondisi sosial-ekonomi yang dialaminya.

(34)

adalah beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri kemiskinan kultural. Mereka sudah merasa berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Masyarakat yang berada pada tipologi seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Meskipun pendapatan mereka dibawah garis kemiskinan, namun mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Kemiskinan struktural dapat pula disebabkan karena kondisi geografis yang terisolir. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang dalam kondisi struktural demikian tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para buruh tani yang tidak memiliki lahan atau memiliki hanya sedikit lahan, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk juga para keluarga miskin yang menjadi sasaran program pembangunan namun tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaannya, semuanya ini masuk kedalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.

Definisi kemiskinan sangat beraneka ragam, tergantung latar belakang orang yang mengemukakannya dan konteks wilayah atau negara dimana definisi kemiskinan tersebut dikeluarkan. Namun satu hal yang pasti bahwa kemiskinan selalu berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh faktor kultural atau struktural. Jika ingin mengatasi masalah kemiskinan maka kita harus memfokuskan kegiatan kita pada faktor penyebabnya tersebut.

2.3. Pemberdayaan dan Komunitas

(35)

yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa -jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris: ‘empowerment’, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai ‘pemberkuasaan’, dalam arti pemberian atau peningkatan ‘kekuasaan’ (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage) (Ife, 1995). Lebih jauh lagi Prijono dan Pranarka (1996), mengemukakan bahwa pemberdayaan mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Kedua, upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Jadi dalam pemberdayaan komunitas, selain memberikan kemampuan kepada komunitas untuk mengatasi masalahnya dengan menggunakan potensi yang ada, kita juga perlu menciptakan situasi yang mendukung diwujudkannya kemampuan tersebut. Oleh karena itu konsep pemberdayaan dalam pembangunan erat kaitannya dengan konsep partisipasi, swadaya, jaringan kerja, kemadirian dan keberlanjutan.

(36)

Sedangkan yang dimaksud dengan pemberdayaan komunitas adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memperkuat kemampuan komunitas sesuai dengan sumber-sumber daya komunitas, dengan tujuan memandirikan komunitas agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, kemauan, kerohanian, relasi sosial, kebudayaan dan keadilan (Bastaman, 2000). Komunitas yang dimaksud disini adalah komunitas yang didasarkan pada kesatuan geografis, seperti Desa atau juga Dusun, dengan asumsi bahwa komunitas tersebut mampu mengatasi permasalahan dan memenuhi kebutuhannya melalui upaya berkelompok, berusaha belajar dan mengembangkan diri.

Menurut pandangan sosiologis, yang dimaksud dengan komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman perhatian bersama, atau oleh tingkat interaksi yang tinggi, dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (Ife, 1995). Sehubungan dengan itu, Tonny (2004) lebih jauh lagi mengatakan bahwa komunitas bukan hanya merupakan sekumpulan orang, tapi juga merupakan sekumpulan lembaga-lembaga yang mengatur pemenuhan kebutuhan anggotanya yang membedakannya dengan kelompok sosial yang lain.

(37)

Menurut Rappaport, (1984), Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. Selanjutnya Parson, et al, ( 1994) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya (Suharto, 2004).

Jadi dalam hal ini selain meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengambil keputusan mengenai nasib mereka, pemberdayaan juga mendidik masyarakat untuk bisa kritis terhadap ketidakadilan struktural yang ada. Dengan demikian tercipta kondisi yang memungkinkan bagi semua warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan, khususnya warga miskin yang sering diabaikan keberadaannya. Makna pemberdayaan dalam pengertian ini adalah pemberian kekuatan dan kekuasaan/kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat, termasuk warga miskin untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan program pembangunan yang akan dilaksanakan melalui organisasi-organisasi sosial, organisasi-organisasi politik, ataupun organisasi-organisasi swadaya lokal lainnya.

2.4. Partisipasi

Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu : (1) adanya kemampuan, (2) adanya kesempatan, (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan. Bahkan dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah jaminan bagi suatu program yang berkelanjutan. Namun untuk dapat berpartisipasi seseorang tentu harus berdaya dulu, yang dapat diperoleh melalui proses pemberdayaan.

(38)

struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten, dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Hikmat, 2003). Dalam hal ini masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh sikap mental masyarakat yang fatalis, namun juga karena kondisi struktur kekuasaan yang tidak mendukung masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan.

Partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki modal sosial berupa jaringan kerja, norma atau aturan-aturan yang jelas, dan kepercayaan. Jaringan merupakan lintasan bagi proses berlangsungnya pertukaran, sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, dan norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran tersebut berjalan adil atau tidak.

Dalam konteks organisasi, yang dipertukarkan adalah hak dan kewajiban. Modal sosial merupakan wahana yang memungkinkan terjadinya pertukaran tersebut. Pertukaran akan semakin sering bila pertukaran tersebut mengakibatkan pemenuhan hak seimbang dengan pelaksanaan kewajiban yang akan mempengaruhi frekwensi pertukaran sosial. Hal ini senada dengan pendapat George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) yang menyatakan bahwa “bagi semua tindakan yang dilakukan orang, semakin sering suatu tindakan tertentu

memperoleh imbalan, semakin cenderung orang tersebut melakukan tindakan

tersebut”.

Proposisi ini dapat diartikan bahwa semakin sering seseorang memperoleh imbalan, manfaat atau kepuasan karena mengikuti kegiatan desa, kelompok atau suatu organisasi, maka seseorang tersebut cenderung melakukan tindakan tersebut. Agar seseorang aktif salam suatu kegiatan maka harus dijamin bahwa keaktifannya tersebut akan memperoleh imbalan atau manfaat. Dengan demikian agar partisipasi masyarakat tinggi dalam kegiatan organisasi atau kelompok, maka harus dapat dipastikan bahwa tindakan partisipasi tersebut akan memberikan manfaat bagi masyarakat tersebut.

(39)

kelompok sosial lainnya”. Oleh karena itu agar partisipasi anggota meningkat maka modal sosialnya perlu ditingkatkan (Saragi, 2004).

Selanjutnya Ndraha (1990) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dipilah sebagi berikut: (1) partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial; (2) dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional; (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya apakah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, tidak lepas dari hubungan dengan pihak lain dan penguasaan intervensi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa partisipasi dalam perencanaan menjadi dasar bagi munculnya partisipasi dalam pelaksanaan.

Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa partisipasi adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Sjaifudian, 2002).

2.5. Kemandirian

Kemandirian merupakan suatu kondisi yang ingin dituju dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat sudah mampu melaksanakan program pembangunan sendiri dengan sumberdaya yang tersedia, mulai dari proses pengambilan keputusan, melaksanakan, mengevaluasi, sampai pada tahap pemanfaatan tanpa dominasi dari pihak luar.

(40)

perorangan, kelompok maupun lembaga, hanyalah memberikan dorongan dan kemudahan agar masyarakat mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber-sumber dari dalam dan luar masyarakat secara efektif dan efisien. Kemandirian ini diwujudkan dalam swadaya dan gotong royong, kreativitas, sikap inovatif, dan produktif masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan (Supriatna,1997).

Pentingnya kemandirian terutama dirasakan pada saat negara dalam keadaan krisis. Pengalaman di Indonesia, pada saat krisis terasa bahwa masyarakat sangat tergantung pada pemerintah atau terpuruk. Hal ini disebabkan karena masyarakat selama ini tergantung pada pemerintah, terbiasa disediakan program bantuan dari pemerintah. Sementara itu pemerintah sendiri kemampuannya menjadi sangat terbatas untuk menopang kebutuhan masyarakat karena krisis yang terjadi.

Sejumlah kasus menunjukkan bahwa penekanan perencanaan dan alokasi dana yang sentralistik telah menumbuhkan mentalitas dependensi, memperlemah prakarsa, serta mengurangi kreativitas dan daya inovasi. Sejumlah pembicaraan dengan para birokrat lokal membawa pada kesimpulan bahwa mereka cenderung lebih memilih alokasi dana yang sentralistik, daripada harus menggali sumber-sumber sendiri dalam konteks otonomi dan desentralisasi. Sikap inertia yang demikian akan membawa kerentanan sosial dan membahayakan keberlanjutan pembangunan (Tjokrowinoto, 2004).

Berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan lebih berorientasi pada “target group” pembangunan dan tidak memperhatikan keberlanjutan program, proses pendidikan masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pelembagaan pembangunan. Dengan perkataan lain, program pembangunan kurang berorientasi pada pemberdayaan, pelembagaan pembangunan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dalam menciptakan kualitas sumber daya yang memiliki kemandirian, malah menciptakan ketergantungan (Supriatna, 1997).

(41)

2.6. Modal Sosial

Modal sosial mengandung aspek stuktur sosial yang memfasilitasi tindakan tertentu dari seorang aktor yaitu manusia atau korporasi. Sebagaimana jenis modal lainnya, modal sosial juga produktif, memungkinkan tercapainya sesuatu dan bila modal sosial tidak ada maka hal itu tidak mungkin tercapai. Bentuk yang biasa dari modal sosial yaitu nilai-nilai yang memfasilitasi tindakan tertentu dalam hubungan antar manusia untuk mencapai kepentingan bersama. Tidak seperti modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antar aktor. Modal sosial merupakan sumberdaya bagi seseorang.

Konsep modal sosial merupakan konsep yang lebih baru dibandingkan dengan konsep modal ekonomi, modal manusia dan modal fisik. Padahal modal sosial tersebut sesungguhnya sering dilakoni seseorang dalam kehidupannya tanpa disadari bahwa hal-hal tersebut merupakan modal sosial. Mengacu pada preposisi sukses George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) mengenai tindakan rasional, maka partisipasi anggota akan meningkat bila modal sosial berupa jaringan kerja, aturan-aturan yang jelas (norma) dan kepercayaan ditingkatkan.

Interaksi yang didasari saling percaya, nilai-nilai luhur dan hubungan yang baik diyakini banyak orang sebagai faktor yang menentukan keberhasilan seseorang. Hal tersebut sudah dilakoni dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian didefinisikan oleh para pakar sosiologi bahwa faktor tersebut sebagai modal sosial.

Jadi dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa modal sosial adalah jaringan, norma-norma atau aturan, dan kepercayaan dalam proses interaksi antar manusia (aktor) yang dapat mempermudah terjadinya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama.

2.7. Kelembagaan dan Organisasi Sosial

(42)

unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koenjaraningrat (1964) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi

kompleks-komplek s kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai dan pola hubungan yang mengatur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Kelembagaan sosial yang dimaksud disini bukan istilah “lembaga” (yang berasal dari kata institute) seperti yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah “lembaga” biasanya merujuk kepada suatu “badan”, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki tujuan tertentu.

Wujud kongkrit kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (association) atau organisasi (organisation). Dengan demikian organisasi sosial merupakan sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh, universitas merupakan suatu kelembagaan sosial, sedangkan IPB, UI, UGM, ITB dan lain-lain merupakan suatu asosiasi. Dari contoh tersebut, tepatlah batasan kelembagaan yang diungkapkan oleh Bertrand (1974) yang menyatakan bahwa kelembagaan sosial adalah “tata abstaraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem sosial lainnya”. Namun dalam pengertian ini Bertrand tidak menangkap bahwa kelembagaan sosial bukan saja mengatur hubungan antar orang, tapi juga mengatur hubungan antar lembaga (Tonny, 2004). Contohnya KUD – PUSKUD – INKUD. Kelembagaan yang mengatur hubungan ketiga lembaga tersebut adalah “birokrasi” atau sering juga disebut “hubungan kelembagaan”.

(43)

diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; (3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; dan (4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Oleh karena itu apabila kita mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka kita ha rus pula memperhatikan kelembagaan sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa organisasi sosial merupakan wujud konkrit dari kelembagaan sosial, dan kelembagaan sosial merupakan bentuk dari modal sosial.

2.8. Kerangka Pemikiran

Untuk kondisi nasional, khususnya pada masa Orde Baru, penanganan masalah sosial (kemiskinan dengan berbagai manifestasinya) cenderung didasarkan pada kebijakan dan program yang sentralistik. Sehingga masalah sosial seringkali tidak lagi dianggap sebagai masalah masyarakat. Dengan kondisi demikian yang berlangsung selama tiga dekade lebih, dewasa ini masyarakat menjadi kurang menyadari masalah sosial yang ada di lingkungannya dan kurang mampu memanfaatkan potensi dan sumber sosial yang ada untuk menangani masalah sosial yang ada tersebut.

Dengan demikian, kondisi masyarakat berada dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara bebas menyampaikan aspirasi dan merealisasikan potensi mereka dalam penanganan masalah sosial, sehingga masyarakat berada dalam kondisi yang skeptis dan tidak berdaya (Hikmat, 2003).

(44)

Di lokasi kajian terdapat sekitar 49,57% penduduknya mengalami masalah kemiskinan. Mereka miskin karena mereka memang sudah tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan untuk meningkatkan penghasilan. Keterampilan mereka di luar pertanian, pertukangan dan berjualan tidak ada, padahal lahan pertanian sebagian besar dimiliki oleh bangsawan kaya dan orang kaya dari luar desa. Artinya mereka memiliki lapangan kerja yang sangat terbatas, padahal mereka harus tetap memperoleh penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka yang rata-rata berjumlah empat orang. Akibatnya banyak diantara mereka yang bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan atau buruh serabutan dengan penghasilan yang rendah dan tidak menentu.

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mambalan. Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai dengan beberapa keterbatasan antara lain keterbatasan pemilikan lahan pertanian dan ternak, keterbatasan akses pelayanan dan fasilitas publik, keterbatasan akses lapangan kerja, serta keterbatasan penghasilan. Menurut pendapat masyarakat, seseorang dikatakan miskin jika mereka tidak mempunyai penghasilan tetap dan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok sehari-hari, sedangkan lahan atau ternak yang dimiliki tidak ada.

(45)

permasalahan yang mereka alami. Dengan luasnya wilayah Desa Mambalan yang juga berbatasan dengan hutan dan pegunungan menyebabkan sebagian wilayahnya terisolir karena fasilitas transportasi berupa jalan maupun angkutan umum tidak memadai. Dengan demikian kegiatan ekonomi warganya menjadi tidak bisa berkembang cepat karena pema saran hasil pertanian dan perkebunan tidak lancar.

Secara kultural, kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya keterampilan di luar pertanian dan peralatan kerja untuk menunjang pekerjaannya, serta kurangnya penguasaan bahasa baik bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris. Kondisi yang demikian ini tentu saja akan mengurangi nilai kompetitif mereka dalam mencari kerja di kota ataupun menjadi TKI di luar negeri. Selain kondisi ini keluarga miskin di Desa Mambalan juga cepat puas dengan apa yang ada, masih tergantung pada pemerintah, dan mereka merasa lebih rendah (inferior) sehingga bila bertemu dengan orang dari luar lingkungannya mereka malu mengungkapkan keinginannya. Dalam perayaan hari-hari besar agama atau upacara adat mereka melaksanakannya secara besar-besaran dengan biaya besar yang diperoleh dari investasi yang sudah diniatkan untuk acara tersebut, atau menjual ternak yang dimiliki. Selain itu, besarnya jumlah anggota keluarga miskin ini juga memperberat perbaikan ekonomi keluarga, karena banyak yang harus diberi makan dan disekolahkan.

(46)

Dalam kehidupan sosial masyarakat, pola-pola relasi antar orang, relasi antara orang dengan lembaga pemerintah desa, dan pola relasi antara lembaga pemerintah desa dengan lembaga yang lain juga turut terpengaruh oleh adanya stratifikasi masyarakat dan keadaan kekurangan kaum miskin ini (dimensi struktural dan kultural). Akibatnya pola-pola relasi yang ada dalam masyarakat sedikit-demi sedikit bergeser menjadi pola-pola relasi yang dibentuk oleh faktor ekonomi, timpang, dan menguntungkan yang kaya. Dalam kondisi seperti ini orang yang kaya dihormat, sedangkan yang miskin kurang diperhatikan kerena keberadaanya tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Dengan adanya semua kondisi tidak mendukung yang membelenggu warga miskin tersebut menjadikan mereka menjadi tidak berdaya, dan yang lebih parah lagi mereka sudah mulai kehilangan harapannya untuk meningkatkan kondisi kehidupannya (fatalis). Kondisi ketidakberdayaan mereka ini terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan kemasyarakatan maupun dalam kegiatan pemerintahan (desa). Mereka jarang hadir dalam kegiatan rapat desa ataupun pertemuan di tingkat komunitas. Dengan demikian mereka tidak memiliki pengetahuan dan informasi tentang sumber-sumber ekonomi dan pembangunan, sehingga akses mereka lemah terhadap sumber-sumber tersebut.

Pada akhirnya tingkat kemandirian mereka juga sangat rentan. Hal ini bisa terlihat dari sumber daya seperti lahan, program pembangunan untuk masyarakat dan kredit perbankan yang tidak bisa mereka manfaatkan, hilangnya inovasi, rendahnya kreativitas dan produktivitas, serta pada akhirnya sulit untuk mewujudkan keswadayaanya sebagai anggota komunitas yang terdiri dari manusia -manusia yang sebenarnya memiliki daya, harkat dan martabat, serta hak yang sama dengan warga komunitas yang lain.

(47)

Gambar 1: Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di Desa Mambalan. dan peralatan kerja.

Fatalis, boros, tergantung dan inferior. Jumlah anggota keluarga

(48)

Berdasarkan semua kondisi ini maka dilakukan kajian keadaan komunitas dan penyusunan program bersama-sama dengan komunitas yang kemudian menghasilkan suatu lembaga swadaya lokal sebagai wadah partisipasi bagi setiap warga komunitas. Dengan adanya wadah lembaga tersebut diharapkan dapat diperkuat kelembagaan lokal yang dimiliki masyarakat melalui pertemuan rutin mingguan warga untuk membahas permasalahan yang ada dan cara-cara yang bisa ditempuh untuk mengatasinya.

Diharapkan dengan adanya pelembagaan kegiatan pertemuan ini, komunitas dapat melakukan proses pemahaman diri (konsientisasi) mengenai keberadaan mereka, permasalahan mereka, hak-hak mereka, potensi dan sumber yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang ada, dan kemudian merencanakan suatu program bersama, melaksanakan, mengevaluasi dan memelihara hasil-hasilnya.

Setelah mereka memahami posisi, hak-hak, permasalahan dan sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan komunitas juga bisa mengadakan pendekatan kepada pemerintah desa untuk membuat kebijakan yang mendukung partisipasi dan kemandirian komunitas dalam meningkatkan kondisi kehidupannnya sendiri. Dalam hal ini pemerintah desa juga perlu diyakinkan bahwa lembaga swadaya lokal ini dibentuk bukan untuk menyaingi atau menentang keberadaan pemerintah desa, melainkan untuk membantu meringankan tugas pemerintah desa dalam pembangunan. Dengan demikian secara tidak langsung akan membawa nama baik kepala desa yang telah berhasil da lam membina warganya untuk melaksanakan pembangunan secara swadaya.

Selain itu pengurus lembaga swadaya lokal ini juga perlu mendekati dinas instansi terkait untuk membuat kebijakan yang lebih fleksibel, yang mendukung perencanaan dari bawah dalam pelaksanaan proyek pembangunan fisik maupun proyek pengadaan bantuan kepada komunitas.

(49)

3.1. Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian Lapangan dilaksanakan di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB, yang dimulai sejak Praktek Lapangan I (dilaksanakan pada tanggal 9 Nopember sampai dengan 1 Desember 2004), kemudian dilanjutkan dengan Praktek Lapangan II (dilaksanakan pada tanggal 21 Pebruari sampai dengan 5 Maret 2005), dan untuk Kerja Lapangan dalam rangka Kajian Pengembangan Masyarakat ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2005.

Tabel 1

Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat Tahun 2004/2005.

2004 2005

No. Jadwal Kegiatan

11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1. Pemetaan Sosial

2. Evaluasi Program 3. Penyusunan

Proposal Kajian 3. Pelaksanaan

Kajian 4. Penulisan

Laporan 5. Seminar dan

Ujian

3.2. Metode Kajian

(50)

teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: wawancara mendalam, pengamatan berperanserta, dan kajian dokumen. Penyusunan programnya menggunakan metode PRA dengan menggunakan teknik diskusi kelompok.

3.2.1. Sasaran dan Sampling

Sasaran dalam kajian ini adalah warga miskin di Desa Mambalan, dengan menggunakan teknik sampling purposive sampling, yaitu menentukan sample dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal (Arikunto, 2002). Teknik sampling ini digunakan untuk menarik sample dengan sengaja (non random), karena alasan-alasan diketahuinya sifat-sifat sampel itu. Purposive sampling ini merupakan teknik penarikan sampel yang berdasarkan penilaian atau tujuan-tujuan dari penilaian yang dilakukan oleh pengkaji. Tujuan itu akan bersifat khusus.

Dalam hal ini responden yang dipilih adalah warga miskin di Desa Mambalan yang memenuhi kriteria, termasuk perempuan dan anak-anak. Sedangkan informannya terdiri dari tokoh masyarakat yang peduli dengan masalah kemiskinan, kepala dusun dan aparat desa khususnya kepala desa, sekretaris desa dan Kaur Pembangunan. Termasuk juga yang menjadi informan adalah petugas dari dinas instansi terkait yang telah melaksanakan program pembangunan/proyek di lokasi kajian dan pendamping program yang diangkat dari warga setempat.

3.2.2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode:

(51)

Tabel 2

Rincian Responden, Informan dan Cara Pengumpulan Data

No. Tujuan Kajian Variabel Data dan

2. Pengamatan Berperanserta, dilaksanakan di lokasi Kerja Lapangan terhadap kondisi fisik keluarga miskin, kebiasaan sehari-hari mereka, serta hubungannya dengan lembaga-lembaga pelayanan dan fasilitas publik.

3. Kajian Dokumen, dilakukan terhadap arsip-arsip yang berhubungan program pembangunan yang diperoleh dari berbagai Stakeholders, seperti:

(52)

b. Pendamping Program yang berada di desa, berupa data perkembangan program.

c. Petugas Dinas Intansi Penanggung Jawab Program, berupa buku pedoman pelaksanaan program.

4. Diskusi Kelompok, dilakukan untuk memperoleh pendapat dan saran peserta dalam proses perancangan program.

3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan te rus menerus. Data kualitatif bersumber dari wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta. Data tersebut kemudian dianalisis dengan melalui tahapan :

1. Reduksi data, yaitu melakukan pemilihan, penggolongan dan penyederhanaan data “kasar” yang muncul dalam catatan-catatan tertulis di lapangan. Data-data tersebut tentu saja dipusatkan pada masalah kemiskinan dan pemberdayaan.

2. Penyajian data, yaitu upaya untuk menampilkan sekumpulan data dan informasi dalam bentuk yang sederhana dan mudah dipahami melalui tebel, gambar dan alur masalah.

3. Penarikan kesimpulan, yaitu tahap menjawab permasalahan dan tujuan kajian namun dengan tetap melakukan triangulasi untuk meyakinkan validitas kesimpulan yang dibuat. Dengan demikian dapat dibuat rekomendasi program untuk pemecahan masalah.

3.3. Metode Perancangan Program

(53)

tersebut dijadikan bahan untuk menyusun Rencana Kegiatan yang sederhana, jelas dan wajar. Artinya, bentuk rancangan itu benar-benar dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan dukungan dari lembaga mitra yang mempunyai hubungan kerja dengan Desa Mambalan.

Adapun tujuan dari penyusunan rencana kegiatan ini adalah: (1) Memfasilitasi masyarakat untuk menyusun kegiatan mereka sendiri berdasarkan masalah, kebutuhan dan potensi yang dimiliki; (2) Mendapatkan perencanaan dari komunitas lokal sendiri (keluarga miskin) yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah ataupun LSM sebagai bahan perencanaan program lembaga itu sendiri di Desa Mambalan.

Dalam kegiatan perancangan program ada beberapa tahapan kegiatan yang dilalui yaitu:

A. Persiapan

Perancangan program merupakan kegiatan yang cukup besar, dengan melibatkan cukup banyak peserta dan memerlukan waktu yang memadai. Oleh karena itu persiapan yang sebaik -baiknya perlu dilakukan. Tahap persiapan ini ter diri dari:

1. Persiapan Bahan-Bahan Perencanaan

Seluruh informasi hasil kajian dengan teknik-teknik PRA dikumpulkan oleh Tim PRA dan dikaji bersama. Untuk mempermudah proses perencanaan, dibuat tulisan masing-masing pada selembar kertas besar, mengenai:

• Berba gai data yang terkumpul dari seluruh penerapan teknik.

• Berbagai potensi yang terkumpul dari seluruh penerapan teknik. Berdasarkan pengalaman, masyarakat senang bila diminta mempersiapkan bahan yang akan disampaikannya sendiri pada pertemuan di desa.

2. Penyepakatan Waktu

(54)

mereka. Kita tidak bisa sehari penuh melakukan pertemuan dengan masyarakat. Waktu yang diperlukan kemudian dibagi dalam 3 hari, yang meliputi:

• Hari pertama untuk persentasi seluruh hasil temuan dan pengoganisasian masalah

• Hari kedua untuk kajian alternatif pemecahan masalah dan pilihan kegiatan

• Hari ketiga untuk penyusunan rencana kegiatan. 3. Persiapan Teknis

Persiapan teknis yang dilakukan antara lain adalah:

• Menyepakati jadwal pertemuan dengan masyarakat

• Mengundang berbagai kelompok masyarakat untuk hadir dalam pertemuan (bisa dengan lisan atau dengan undangan tertulis)

• Mempersiapkan tempat pertemuan (yang agak luas)

• Mempersiapkan konsumsi (kopi/teh, makanan kecil)

• Mempersiapkan alat-alat dan bahan seperti: kartu-kartu, kertas besar, lem, selotip dan alat tulis.

B. Pelaksanaan Pleno Desa

1. Pembukaan, Penyampaian Maksud dan Tujuan

Setelah peserta pertemuan desa berkumpul, ‘pimpinan rombongan’ Tim PRA menyampaikan kembali maksud dan tujuan dari pertemuan ini. Selain itu dari pemuka masyarakat, seperti kepala desa dan wakil tokoh masyarakat menyampaikan sambutan singkat kepada masyarakat mengenai adanya kegiatan penerapan PRA ini.

2. Penyajian Seluruh Hasil Informasi

Gambar

Gambar 1:  Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di Desa Mambalan.
Tabel 1
Tabel 2
Gambar 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga pada kesempatan kali ini penulis

Beberapa keunggulan dari pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yaitu: (a) Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas; (b) Mengedepankan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi 0,20%, 0,40% dan 0,60% kultur khamir Saccharomyces sp.komplekssebagai sumber probiotik dalam ransum dapat

beli tanah yang dilakukan dihadapan PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang antara

Analisis menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dari 50 jumlah sampel hanya terdapat 6 sampel nelayan yang efisien dalam menggunakan kapasitas tangkap yang dapat diukur

2.4 Cek    lis    uji    praktik    dibuat sesuai      klasifikasi   dan kualifikasi .. 2.5   Formulir asesmen dipersiapkan 2.6 Rancangan 

Trenda dan Isu Pendidikan Matematik Pengajaran Matematik dan Sains dalam Bahasa Inggeris Matematik di Sekolah Bestari TMK dalam Pendidikan Matematik Kurikulum Standard

Perencanaan kebutuhan guru dilakukan berdasarkan laporan dari satuan pendidikan tentang jumlah guru sesuai dengan jenis guru, jumlah peserta didik, jumlah rombongan