• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

A. Deskripi Peran Guru dan Kenakalan Remaja

3. Kenakalan Remaja

a. Pengertian Kenakalan Remaja

Menurut Dr. Fuad Hasan, kenakalan diartikan sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan (Sudarsono, 2012: 11).

Remaja berasal dari kata latin AdolecereI (kata bendanya

Adolescentia) yang berarti remaja, yaitu “tumbuh atau tumbuh

dewasa” dan bukan kanak-kanak lagi. Remaja menurut Zakiah

Daradjat adalah tahap peralihan dari masa kanak-kanak, tidak lagi anak, tetapi belum dipandang dewasa. Remaja adalah umur yang

45

menjembatani antara umur anak-anak dan umur dewasa (Syafaat, 2008: 87).

Istilah baku tentang kenakalan remaja dalam konsep psikologi adalah juvenile delinquency. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak, sedangkan delinquency

berarti kejahatan. Dengan demikian, pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut subjek/pelaku, maka

juvenile delinquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat (Sudarsono, 2012: 10). Delinquency mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun (Syafaat, 2008: 74-75).

Dengan demikian, kenakalan remaja adalah perbuatan/ kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama. Paham kenakalan remaja dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus) (Sudarsono, 2012: 11-12). Selain itu kenakalan remaja merupakan perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda (Syafaat, 2008: 74). Pada intinya juvenile delinquency merupakan perbuatan pelanggaran

46

norma-norma, baik norma hukum maupun norma sosial (Simandjuntak, 1983: 50).

Kenakalan remaja adalah perubahan perilaku yang melanggar hukum norma agama, norma masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum sehingga mengusik diri sendiri dan orang lain. Kenakalan remaja merupakan suatu contoh perilaku yang ditunjukkan oleh remaja dan perbuatan tersebut melanggar aturan, yang dianggap berlebihan dan berlawanan dengan norma masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan remaja sekecil apapun perlu mendapatkan perhatian, teguran, dan bimbingan. Jika tidak demikian, remaja akan lepas kendali dan menyebabkan terpancing melakukan kejahatan. Adapun wujud dari kenaklan remaja bermacam-macam, diantaranya adalah sering membolos, sering lari dari rumah, perkelahian antar kelompok, kebut-kebutan di jalan, sering berbohong, sering mencuri, dan sebagainya.

b. Sebab Terjadinya Juvenile Delinquency

Pengaruh sosial dan kultural memainkan peran yang besar dalam penbentukan atau pengondisian tingkah laku kriminal anak-anak remaja. Mayoritas pelaku juvenile delinquency berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun, dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang-gang delinquen jadi menurun.

47

Sigmund Freud dalam Sudarsono, sebab utama dari perkembangan tidak sehat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kriminalitas anak dan remaja adalah konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai, bebas memperlihatkan kepribadian dan lain-lain. Sedangkan menurut W.A. Bonger, penyebab diviasi/ penyimpangan pada perkembangan anak dan remaja adalah kemiskinan di rumah, ketidaksamaan sosial dan keadaan-keadaan ekonomi lain yang merugikan dan bertentangan.

Menurut Aat Syafaat sebab terjadinya juvenile delinquency

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1) Lemahnya pemahaman nilai-nilai agama. 2) Lemahnya ikatan keluarga.

3) Anak delinquency kangen keluarga.

4) Kondisi keluarga tidak nyaman, lingkungan sekolah tidak kondusif dan kondisi masyarakat yang buruk.

5) Kurangnya kontrol kita semua sebagai orang tua “orang tua”

dalam arti luas. Di keluarga sebagai orang tua adalah ayah dan ibu, di sekolah adalah guru dan di masyarakat yaitu tokoh masyarakat, jaksa, hakim, ustad/kyai, polisi dan lain-lain. 6) Kurangnya pemanfaatan waktu luang.

7) Kurangnya fasilitas-failitas untuk remaja (sarana olahraga, sarana keagamaan, rekreasi, sanggar seni, dan lain-lain).

48

Untuk itu diperlukan solusi yang paling efektif untuk mengatasi sebab terjadinya juvenile delinquency, yaitu dengan penyediaan fasilitas-fasilitas untuk remaja (sarana olahraga, sarana keagamaan, sarana rekreasi, sanggar seni, alat-alat musik, dan lain-lain). Selain itu, juga harus tercipta keluarga yang tenang, damai, penuh kasih sayang, dan perhatian kepada anak-anaknya. Hindari perselisihan atau percekcokan antara suami istri, karena hal tersebut dapat mengakibatkan si anak merasa tidak nyaman di rumah.

c. Wujud Perilaku Juvenile Deliquency

Wujud perilaku delinquen menurut Adler yang ditulis Kartini Kartono adalah sebagai berikut:

1) Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan membahayakan diri sendiri atau orang lain.

2) Perkelahian antar kelompok, antar sekolah (tawuran, sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa).

3) Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas yang dapat mengganggu lingkungan.

4) Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika.

Perilaku menyimpang oleh remaja (kenakalan remaja) seringkali merupakan gambaran dari kepribadian anti sosial atau gangguan tingkah laku remaja yang menurut Dadang Hawari, ditandai dengan kriteria dari gejala-gejala berikut ini:

49 1) Sering membolos.

2) Dikeluarkan atau diskors dari sekolah karena berkelakuan buruk.

3) Seringkali lari dari rumah (minggat). 4) Sering berbohong.

5) Sering mencuri.

6) Seringkali merusak barang orang lain.

7) Prestasi di sekolah yang jauh di bawah taraf kemampuan kecerdasan (IQ) sehingga berakibat tidak naik kelas.

8) Sering kali memulai perkelahian. d. Pemecahan Masalah Juvenile Delinquency

Penanggulangan juvenile delinquency ini demikian kompleks karena masalahnya saling berkaita antara satu dengan yang lainya. Hal ini dapat dipahami mengingat interaksi dalam masyarakat merupakan suatu sistem. Dari sekian luas penanggulangan yang bisa dilakukan, dapat dikelompokkan usaha-usaha penanggulanganya, sebagai berikut:

1) Tindakan Preventif

Tindakan preventif ini merupakan pencegahan terhadap kenalan remaja. Pada dasarnya tindakan preventif ini merupakan suatu pencegahan sebelum seseorang melakukan perbuatan menyimpang. Menurut Kartini Kartono tindakan preventif yang bisa dilakukan antara lain berupa:

50

a) Meningkatkan kesejahteraan keluarga. b) Perbaikan lingkungan.

c) Mendirikan klinik bimbingan psikologis untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.

d) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja. e) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreatifitas

para remaja deliquen dan yang non-delinquen. Misalnya latihan hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi, dan lain-lain.

Tindakan preventif ini bersifat mencegah sehingga sebelum perbuatan juvenile delinquency tersebut semakin parah, maka diperlukan tindakan preventif untuk meminimalisasi perilaku

juvenile delinquency atau sedia payung sebelum hujan. 2) Tindakan Refresif

Tindakan refresif ini berupa pemberian sanksi atau hukuman ketika seseorang melakukan pelanggaran. Tindakan refresif pada dasarnya merupakan pencegahan setelah terjadi pelanggaran. Menurut Dadang Hawari tindakan refrensif yang dapat dilakukan antara lain:

a) Aparat keamanan/penegak hukum perlu ditingkatkan kewibawaanya.

51

b) Sarana dan prasarana (termasuk personil) kamtibnas perlu ditingkatkan.

c) Penyidikan atau penyusutan dan pemeriksaan terhadap remaja yang berbuat nakal.

d) Dalam menghadapi perkelahian masal hendaknya petugas tetap berkepala dingin, cukup pengendalian diri, tidak bertindak agresif dan emosional.

Tindakan refrensif ini bersifat menekan, mengekang, dan menahan sehingga diharapkan dengan tindakan ini para pelaku

juvenile delinquency berfikir dua kali untuk melakukan perbuatan-perbuatan asosial.

3) Tindakan Kuratif

Setelah usaha yang lain dilaksanakan, maka dilaksanakan tindakan pembinaan khusus unuk memecahakan dan menanggulangi problem juvenile delinquency. Pembinaan khusus, menurut Sahilin A. Nasir, diartikan sebagai kelanjutan usaha atau daya upaya untuk memperbaiki kembali sikap dan tingkah laku remaja yang melakukan kenakalan. Prinsip pembinaan khusus ini adalah:

a) Sedapat mungkin dilakukan di tempat orang tua/walinya. b) Kalau dilakukan oleh orang lain, maka hendaknya orang

52

c) Kalau di sekolah atau asrama, hendaknya diusahakan agar tempat itu berfungsi sebagai rumahnya sendiri.

d) Dimanapun remaja itu di tempatkan, hubungan kasih sayang dengan orang tua atau familinya tidak boleh diputuskan.

e) Remaja itu harus dipisahkan dari sumber pengaruh buruk. Allah berfirman:

َنَطَب اَم َو اَهْنِم َرَهَظ اَم َشِحا َوَفْلا اوُبَرْقَت لا َو

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang Nampak diantaranya maupun yang tersembunyi”. (QS. Al-An’am /6:151)

Tindakan kuratif (penanggulangan) ini dengan prinsip untuk menolong para remaja agar terhindar dari pengaruh buruk lingkungan, dan nantinya dapat kembali lagi berperan dalam masyarakat.

4) Tindakan Hukuman

Tindakan hukuman bisa dijalankan, yaitu berupa: a) Sanksi hukum

Sanksi hukum ini diberikan bukan untuk menakut-nakuti anak, apalagi untuk menyiksa anak. Sanksi hukum di sini ialah sanksi yang sifatnya memberi efek jera sehingga anak nantinya tidak berani lagi melakukan pelanggaran. b) Hukuman untuk menegakkan disiplin berupa tindakan fisik

53

Hukuman berupa fisik, misalnya push up ataupun penggundulan ataupun sebangsanya. Dapat diberikan guna menegakkan disiplin anak, selama hal itu tidak sampai menimbulkan cidera atau cacat fisik.

c) Hukuman untuk menegakkan disiplin berupa sanksi administratif

Hukuman administratif dapat diberikan untuk menegakkan disiplin, misalnya berupa surat peringatan, skorsing, denda, dikeluarkan dari sekolah, pemberian atau pembebanan tugas-tugas sekolah atau pelajaran, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan atau peraturan sekolah.

Bagi anak/remaja yang sudah mendapat terapi hukuman tetapi tidak pernah jera, maka langkah selanjutnya mengirim anak ke pesantren yang ketat dalam menerapkan disiplin dan yang jaraknya jauh dari rumah. Langkah ini dimaksudkan supaya anak mandiri dan juga mendapatkan bekal agama yang memadai. Sehingga, ketika keluar dari pesantren dan berbaur dengan lingkungannya ia sudah memiliki fondasi agama, serta nantinya bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan tuntunan agama yang didapatkannya. 5) Tindakan Rehabilitasi

Pemantauan (monitoring) terhadap mereka yang berperilaku menyimpang hendaknya dijalankan secara kontinu

54

atau konsisten. Bagi mereka diperlukan pengawasan yang terus-menerus agar tidak ada kesempatan atau peluang untuk kambuh. Pemantauan ini hendaknya dilakukan oleh semua orang tua, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat.

Tindakan rehabilitasi secara keagamaan, yaitu dengan memasukkan anak-anak delinquency ke pesantren, seperti pesantren ketergantungan masalah narkoba di Suryalaya, Tasikmalaya, dan pesantren-pesantren lainnya.

6) Pembinaan Mental Keagamaan

Pembinaan mental keagamaan merupakan pembinaan mental yang bersifat Islami. Pembinaan yang Islami merupakan upaya untuk menyempurnakan watak dan batin seseorang dengan melalui pendekatan-pendekatan yang ada di dalam

Al-Qur’an dan Hadis. Agar ia memiliki mental yang sehat, dapat

beradaptasi dengan lingkungan, serta dapat mengendalikan sikap, watak, dan kepribadiannya. Dengan adanya pembinaan mental keagamaan, anak/ remaja dapat terhindar dari masalah kenakalan remaja (Syafaat, 2008: 139-156).

Dokumen terkait