• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kenakalan Remaja

2.3.1 Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile delinquency. Kata

juvenile dan delinquent berasal dari bahasa latin juvenilis yang artinya anak-anak,

anak muda, ciri karakter pada anak muda bersifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berarti terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi kejahatan sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau dan lain-lain. Dapat diartikan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang ( Kartono, 2008: 6).

Dalam pengertian yang lebih luas tentang kenakalan remaja ialah perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anaka remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama.

Paham kenakalan dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong

samping itu dapat dikatakan kenakalan remaja, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya, misalnya remaja Muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, remaja Kristen enggan melakukan sembahyang/ kebaktian ( Sudarsono, 1995: 11-12).

2.3.2 Wujud Kenakalan Remaja

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kenakalan remaja yang dimaksud adalah perilaku yang menyimpang atau melanggar hukum. Singgih D. Gunarsa (2003: 19) membagi kenakalan remaja itu menjadi dua kelompok besar, yaitu:

1. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum, yaitu;

a. Membohong, memutar-balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan.

b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa pengetahuan pihak sekolah.

c. Kabur, meninggalkan rumah tanpa ijin orangtua ataupun menentang keinginan orang tua.

d. Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.

e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga mudah terangsang untuk mempergunakannya. Misalnya,pisau, pistol, dan lainnya.

f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal.

mudah timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (a- moral dan a-sosial).

h. Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan, tidak senonoh seolah-olah menggambarkan kurang perhatian dan pendidikan dari orang dewasa.

i. Secara berkelompok makan di rumah makan tanpa membayar atau naik bis tanpa membeli karcis.

j. Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun tujuan lainnya.

k. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak diri sendiri maupun orang lain.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bilamana dilakukan orang dewasa yaitu:

a. Perjudian dan segala macam bentuk perjudian yang mempergunakan uang.

b. Pencurian dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan: pencopetan, perampasan, penjambretan.

c. Penggelapan barang. d. Penipuan dan pemalsuan.

e. Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno dan film porno, serta pemerkosaan.

g. Tindakan-tindakan anti sosial,perbuatan yang merugikan milik orang lain.

h. Percobaan pembunuhan.

i. Menyebabkan kematian orang, turut tersangkut dalam pembunuhan. j. Pembunuhan.

k. Pengguguran kandungan (Gunarsa, 2003: 20-22).

Jensen mengemukakan pembagian kenakalan remaja menjadi empat jenis (Jensen, dalam Sarwono,2000: 200), antara lain:

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.

4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.

Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial mempunyai sebab-musabab yang majemuk, dan menggolongkannya menjadi 4 teori, yaitu:

1. Teori Biologis

Tingkah-laku sosiopatik atau delinkuen pada anak remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung:

(a) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah-laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial.

(b) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku delinkuen.

(c) Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah-laku delinkuen. Misalnya cacat jasmaniah bawaan

brachyda ctylisme (berjari- jari pendek) dan diabetes insipidius (sejenis

penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

2. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen remaja dari aspek psikologis dan dan isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru,

Argument sentral dari teori ini ialah sebagai berikut: delinkuen merupakan

“bentuk penyesuaian” atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin

dalam menanggapi stimuli eksternal/ sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari keluarga

berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak

beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, delinkuensi merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak remaja itu sendiri.

3. Teori Sosiogenesis

Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen pada remaja adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktural sosial, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosiologis itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial tiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.

Healy dan Broner banyak mendalami sebab-sebab sosiogenis kemunculan delikuensi remaja. Mereka menyatakan, frekuensi delinkuen remaja itu lebih tinggi dari frekuensi kejahatan orang dewasa di kota-kota besar. Karakteristik sosio-kultural yang stereotypis itu selalu saja ada berkaitan dengan kualitas kejahatan tingkat tinggi yang ada pada umumnya dilakukan secara bersama-sama.

Sebab-sebab kenakalan remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan pada lingkungan familial dan tetangga saja, tetapi terutama sekali disebabkan konteks

buruk dan jahat, ditambah dengan kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak – bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-musababnya terjadi kenakalan remaja itu ialah: pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah delinkuen.

Teori Sutherland menyatakan bahwa remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial, ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi masalah hidupnya. Karena itu, semakin lama anak bergaul dan dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut. Dan semakin besar kemungkinan remaja menjadi benar- benar kriminal.

4. Teori Subkultur Delinkuensi

“Kultur” atau “kebudayaan” dalam hal ini menyangkut satu kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah-laku responsive sendiri yang khas pada anggota-anggota kelompok. Sedang istilah “sub” mengindikasikan bahwa bentuk “budaya” tadi bisa muncul ditengah suatu sistem yang lebih inklusif sifatnya.

Subkultur delinkuen remaja ini mengkait sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja berandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status sosial “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil

Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut.

Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain adalah: (1) Punya populasi yang padat

(2) Status sosial-ekonomis penghuninya rendah (3) Kondisi fisik perkampungan yang buruk

(4) Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi

Karena itu sumber utama kemunculan kenakalakan remaja ialah subkultur- subkultur delinkuen dalam konteks yang lebih luas dari kehidupan masyarakat slum (Kartono, 2008: 25-32).

Dokumen terkait