• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN BPJS KESEHATAN DALAM SISTEM JAMINAN

C. Kendala BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan

Sejak digulirkan pada awal Januari 2014, program BPJS Kesehatan menuai banyak pro dan kontra. Program yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kesehatan secara cuma-cuma kepada masyarakat Indonesia ini dinilai

2016).

belum memberikan hasil yang diharapkan.Masih banyak muncul keluhan di masyarakat terutama terkait pelayanan yang masih belum optimal.

Salah satu yangmenjadi kendala yang dihadapi pada pelaksanaan BPJS Kesehatan pada tahun 2014 adalah:

1. Jumlahfaslitas pelayanan kesehatan yang kurang mencukupi dan persebarannya kurang merata khususnya bagiDaerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dengan tingkat utilisasi yang rendah akibat kondisigeografis dan tidak memadainya fasilitas kesehatan pada daerah tersebut.

2. Jumlah tenaga kesehatan yangada masih kurang dari jumlah yang dibutuhkan. 3. Untuk pekerja sektor informal nantinya akan mengalamikesulitan dalam

penarikan iurannya setiap bulan karena pada sektor tersebut belum ada badan atau lembagayang menaungi sehingga akan memyulitkan dalam penarikan iuran di sektor tersebut.

4. Permasalahan masih didominasi ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan sebelumnya bernama PT Askes (Persero) dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat Keterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi, sehingga menimbulkan masalah di lapangan.

5. Kekurangan sumberdaya manusia (SDM) seperti tenaga medis, perekam medis dengan coding INA-CBG’s, perekam medik dan dokter harus paham benar mengenai apa itu International Statistical Classification of Diseases and

Related Health Problems 9 ( ICD 9) dan ICD 10. Para perekam medik harus terampil dalam membuat klarifikasi penyakit dan tindakan sesuai dengan ICD 9 dan ICD 10 sistem BPJS dengan cepat dan tepat.

6. Permasalahan akantimbul pada penerima PBI karena data banyak yang tidak sesuai antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga data penduduk tidak mampu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.67

Selama beroperasi, BPJS Kesehatan mengalami banyak masalah, terutama terkait warga miskin yang menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Salah satu masalah yang mencolok adalah buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh pasien BPJS Kesehatan. Misalnya, masalah yang dialami oleh suami Ibu Iing (Siti Jamilah), anggota serikat perjuangan rakyat Indonesia (SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.68 Suami Ibu Iing terlambat didiagnosa menderita penyakit jantung, sehingga akhirnya meninggal dunia.Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa lain yang tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat dalam melakukan diagnosa. Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut “teropong”, akhirnya diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30 persen. Tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu Iing.69

67

http://www.academia.edu/7324072/BPJS_TUGAS (diakses tanggal 1 Maret 2016).

69 Ibid.

Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III. Dalam Perpres Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, manfaat kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.70

Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan bahwa obat tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan, baru diakui bahwa obat tersebut sebenarnya bisa diklaim.Sistem tarifBPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Di situ, dilihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Tetapi, bisa juga kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan. Karena itu, ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang membutuhkan ruang rawat inap, organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS apakah ada kamar yang kosong atau tidak.

71

Beberapa polemik tersebut, misalnya BPJS tidak mengganti seluruh klaim kesehatan seperti Jamkesmas,Jamkesda, maupun Kartu Jakarta Sehat.

70

Perpres Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan .

71

Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Diberlakukannya JKN tersebut, berimbas pada dihapuskannya jaminan persalinan (Jampersal), turunnya mutu pelayanan baik dari segi pemeriksaan hingga pemberian obat maupun pelaksanaan rawat inap. Pelayanan Puskesmas dan klinik yang ditunjuk sebagai penyedia JKN juga belum memadai. Program JKN ini mengharuskan masyarakat untuk membayar premi atau iuran kepada BPJS.

Berdasarkan Pasal 1 angka 13 PP Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (PP Jaminan Kesehatan), yang dimaksud dengan iuranjaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Penegasan untuk membayar sejumlahiuran jaminan kesehatan telah diatur secarajelas di dalam Pasal 17 ayat (1) UU SJSN, yang berbunyi “setiap peserta wajib membayar iuranyang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu”. Selanjutnya Pasal 17 ayat (2) UU SJSN menyatakan bahwa setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.72

Pasal 17 ayat (3) UU SJSN menyatakan bahwa besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Lebih lanjut keharusan membayar iuran juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 11 ayat (4) PP Jaminan Kesehatan, yang menyatakan bahwa setiap orang bukan pekerja wajib

72

Fietraarya Pelayanan-Kesehatan-Badan-Penyelenggar

mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta jaminan kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.

Keharusan membayar iuran merupakan bagian dari penerapan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas dalam jaminan kesehatan. Pasal 19 ayat (1) UU SJSN menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Lebih lanjut yang dimaksud prinsip asuransi sosial menurut Pasal 1 angka (3) UU SJSN, adalah mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Sementara prinsip ekuitas dimaknai bahwa setiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.Hal inilah yang menjadi polemik di masyarakat, karena dianggap membebani masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar premi secara rutin. Bahkan apabila terlambat membayar premi tersebut, peserta tidak akan diberikan layanan sebagaimana mestinya dan dapat dikenai denda administratif sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) PP Jaminan Kesehatan. Polemik ini semakin menguat ketika dihadapkan dengan amanat UUD 1945 bahwa jaminan sosial seperti jaminan kesehatan merupakan suatu tanggung jawab negara tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.73

73

Setiap orang memilikirisiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang kronis atau tergolong berat. Untuk memberikan keringanan biaya, pemerintah mengeluarkan program JKN. Program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif, diatur dalam SJSN, kemudian diimplementasikan ke dalam UU BPJS. Kedua aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta kemandirian masyarakat.

Pada bidang kesehatan akan dikelola dan dilaksanakan BPJS Kesehatan, yang merupakan transformasi PT Askes (Persero) dan bidang jaminan hari tua, dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi PT Jamsostek (Persero). Dalam kwartal pertama pelaksanaan JKN yang dioperatoriBPJS Kesehatan, memang sudah berjalan relatif baik. Namun upaya reformasi program jaminan sosial untuk memberikan perlindungan sosial bagiseluruh rakyat Indonesia, masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan di lapangan. Sebagaisuatu sistem yang besar dan baru berlangsung dalam tempo yang masih relative singkat, implementasi BPJS terutama BPJS Kesehatan masih jauh darisempurna.

Monitoring dan evaluasi yang telah lakukan oleh berbagai pihak, khususnya DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yang telah diberikan mandat oleh konstitusi untuk melakukan monitoring dan evaluasi, banyak permasalahan di lapangan. Permasalahan ini harus dipahamisebagai koreksi positif bagiBPJS. Sedangkan, DJSN dan Pemerintah terutama dari aspek regulasi dan teknis

operasional yang harus dibenahi dan disempurnakan. Karena kalau tidak, SJSN ini akan rapuh.

Penerapan pelayanan berjenjang, sistem kapitasi, dan standarisasi penggunaan obat mutlak dilakukan agar sistem asuransi kesehatan sosial berjalan baik. Sejak dioperasionalkan 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beragam permasalahan, banyak aspek yang belum matang dan menjadi persoalan. Kurangnya sosialisasi dan perubahan struktur di dalam BPJS dinilai menjadi penyebab munculnya permasalahan tersebut. Padahal, BPJS Kesehatan sangat dibutuhkan dan harus tetap dilaksanakan. Masalah itu justru muncul pada unsur pengaplikasiannya, seperti dirumah sakit tersier, khususnya pada aspek rujukan, biaya, dan kepersertaan BPJS. Banyak masyarakat yang belum tahu teknis mendapatkan pelayanan sesuai dengan aturan main BPJS Kesehatan.

Diberlakukannya BPJS Kesehatan, masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit umum pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan dari dokter, klinik/puskesmas, atau rumah sakit umum daerah Kebanyakan masyarakat belum tahu mengenaisistem rujukan. Inilah yang menjadi persoalan, ketika sudah datang ke rumah sakit tersier pasien akan dilayani jika sudah mendapatkan rujukan dari peyanan kesehatan primer. Sistem rujukan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK). Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab yang timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara

horizontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya. Sistem rujukan mengatur alur dari mana dan harus ke mana seseorang yang mempunyai masalah kesehatan tertentu untuk memeriksakan masalah kesehatannya. Sistem ini diharapkan semua memperoleh keuntungan.74

Pelayanan kesehatan (health provider), mendorong jenjang karier tenaga kesehatan, selain meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan, serta meringankan beban tugas. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan. Apabila peserta memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan sekunder. Pelayanan kesehatan di tingkat ini hanya bisa diberikan jika peserta mendapat rujukan darifasilitas primer. Rujukan ini hanya diberikan jika pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik dan fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau ketenagaan. Jika penyakit peserta masih belum dapat

Misalnya, pemerintah sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat yang akan diperoleh di antaranya, membantu penghematan dana dan memperjelas sistem pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan akan meringankan biaya pengobatan karena pelayanan yang diperoleh sangat mudah.

74

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK).

tertangani difasilitas kesehatan sekunder, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. Disini, peserta akan mendapatkan penanganan dari dokter spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialiastik.

Peserta JKN harus mengikutisistem rujukan yang ada. Sakit apa pun, kecuali dalam keadaan darurat, harus berobat ke fasilitas kesehatan primer, tidak boleh langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis. Jika ini dilanggar peserta harus bayar sendiri. Namun realitas di lapangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Perpindahan jaminan kesehatan ini banyak mengalami kendala. Sistem rujukan pasien dirasakan masih tidak efektif dan efisien, masih banyak masyarakat belum mendapat menjangkau pelayanan kesehatan, akibatnya terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit besar tertentu.

Pemahaman masyarakat tentang alur rujukan sangat rendah sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Pasien menganggap sistem rujukan birokrasinya cukup rumit, sehingga pasien langsung merujuk dirinya sendiri untuk mendapatkan kesehatan tingkat kedua atau ketiga. Keluhan lain terkait sistem rujukan BPJS yang dirasakan adalah ketidaksiapan tenaga kesehatan dan kurangnya fasilitas di layanan kesehatan primer, kasus yang seharusnya dapat ditangani di layanan primer/sekunder tetapi langsung dirujuk ke rumah sakit tersier. Lain halnya dengan keluhan PNS, di mana jika rujukan harus melalui puskesmas sementara mereka harus bekerja. Lamanya proses pengurusan tersebut menghabiskan jam kerja para PNS. Sistem rujukan seharusnya tidak membuat PNS kesulitan. Idealnya rujukan tidak hanya berasal dari Puskesmas,

namun juga layanan primer lain, misalnya klinik tempat pekerja tersebut. Kasus lain yang menuai protes program JKN adalah mutasi peserta Jamsostek ke BPJS, seorang manula gagal mendapat pelayanan perawatan kesehatannya karena salah satu rumah sakit swasta yang sebelumnya merupakan rujukan Jamsostek menolaknya.

Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi mengenaisistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadisia-sia karena rumah sakit terpaksa menolak pasien. Pelayanan rujukan juga menjadisesuatu yang rumit di daerah seperti Papua.

Banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak tersedia diBPJS. Tidak jarang juga penolakan oleh rumah sakit dilakukan karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat dirujuk ke rumah sakit lain yang setingkat. Namun ada banyak rumah sakit yang menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan BPJS.

Menjamin berjalannya sistem rujukan berjenjang BPJS maka perlu dilakukan langkah-langkah yaitu sosialisasi yang terus-menerus guna menamankan kesadaran masyarakat tentang sistem rujukan berjenjang,

masyarakat menilaisistem rujukan terkesan berbelit-belit ini dipicu oleh keengganan masyarakat untuk antre di layanan primer seperti Puskesmas.

Pembenahan sarana dan prasarana yang memadai disetiap tingkat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan. Kompetensi petugas kesehatan perlu disiapkan dan ditingkatkan sehingga mampu menangani kasus sesuai tingkat layanannya. Kebijakan sistem rujukan yang ditetapkan harus lebih komprehensif mencakup jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka seluas-luasnya kesempatan bagi klinik yang mau bergabung dengan BPJS sehingga tidak terjadi antrean di Puskesmas.

Peran perawat dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahamisecara jelas mengenaisistem rujukan karena perawat adalah petugas garda depan yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang membutuhkan dan perawat harus selalu meningkatkan kompetensi agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara professional yang dibutuhkan pasien. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem rujukan perlu dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah agar menjamin setiap masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai dengan haknya75

Menurut UUD 1945, Indonesia merupakan negara hukum dengan konsep Negara kesejahteraan, sistem jaminan sosial nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi dari amanat konstitusi yang menentukan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial

75

Pemahaman Sistem Rujukan BPJS Kesehatan https://www.google.co.id/html (diakses tanggal 4 Maret 2016).

bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat bangsa. Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia telah dimulai dengan pengesahan UU SJSN tanggal 19 Oktober 2004.

Dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan sejak disahkan, tepatnya 21 Februari 2005, UU SJSN tersebut mendapatkan uji materi yang putusannya dibacakan Mahkamah Konstitusi pada 31 Agustus 2005. UU SJSN tersebut merupakan landasan hukum bagi penyelenggara sistem jaminan sosial di Indonesia, tidak secara tegas mengatur eksistensi peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan program-program jaminan sosial sebelum UU SJSN dan sampai saat ini masih terus berlaku.

Menurut Undang-UndangNomor40 Tahun 2004 tentang SJSN menentukan adanya lima jenis program jaminan sosial yaitu :jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Namun, jaminan kesehatan yang mendapatkan prioritas untuk memenuhi hak konstitusi rakyat Indonesia untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terkait dengan belum dipenuhinya pendirian BPJS yang menurut UU SJSN harus dibentuk melalui UU tersendiri.

Masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tentang BPJS ini. Karena RUU tersebut akan mengatur badan yang dipercaya mengumpulkan, menghimpun, mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial milik seluruh peserta untuk pembayaran manfaat kepada peserta. Tugas,

hak dan kewajiban BPJS sudah ditentukan dalam UU SJSN. Menurut Pasal 5 UU SJSN Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor007/PUU-III/2005, BPJS harus dibentuk dengan UU tersendiri, artinya harus dengan persetujuan wakil rakyat.76

Dalam pelaksanaannya BPJS yang merupakan transformasi dari PT. Askes sebagai penyelenggara asuransi kesehatan dan PT. Jamsostek sebagai penyelenggara asuransi ketenagakerjaan banyak menemui kendala, terutama BPJS Kesehatan yang merupakan sistem baru dalam menjalankan program pemerintah Sampai saat ini belum ada BPJS yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU SJSN, untuk mengisi kekosongan hukum.Maka Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes diberikan hak untuk bertindak sebagai badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan syarat disesuaikan dengan UU SJSN paling lambat pada tanggal 19 Oktober 2009.

Fakta belum diterapkannya UU SJSN adalah saat ini jaminan sosial masih terbatas bagi kalangan tertentu, bukan seluruh rakyat Indonesia. Apabila SJSN diimplementasikan maka dampak positifnya adalah jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan tercapai sesuai dengan program-program pokok SJSN dimana seluruh pekerja memperoleh manfaat. Selain itu, SJSN tidak merancang bahwa semua jaminan didanai dari APBN. Namun tentunya suatu kebijakan pasti memiliki pro dan kontra dalam pengaplikasiannya. Sisi kontra dari SJSN adalah keberadaan empat BPJS yang telah ada dimana terdapat perbedaan kepentingan serta signifikasi besarannya yang berbeda secara aset dan struktur yang hingga saat ini menjadi masalah utama tidak dapat diterapkannya UU SJSN.

76

untuk menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat di negeri ini. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah regulasi yang belum komprehensif dalam mengantisipasi hal-hal yang bersifat teknis dan menghambat pelayanan kesehatan bagi para pemegang kartu. Selain itu juga terkendala kurangnya pemahaman masyarakat atas tugas dan fungsi BPJS serta kurangnya kesiapan sarana dan prasarana berkenaan dengan launching program tersebut.77

1. Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Sebetulnya ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam terselenggaranya Sistem Jaminan Sosial Nasional. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan jaminan/asuransi kesehatan nasional adalah:

2. Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh karena itu pelayanan medis yang mahal dan penting harus dijamin sedangkan pelayanan yang murah dapat dikurangi atau dikenakan penurunan biaya. 3. Jumlah iuran premi harus cukup memadai untuk membiayai pelayanan yang

dijamin.

4. Penyelenggaraan dilakukan dengan menerapkan konsep-konsepgood governance.

5. Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel.

6. Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi kewajibannya.

Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan sosial nasional ternyata masih didapatkan beberapa permasalahan antara lain:

1. Terdapat perbedaan dasar hukum dalam pelaksanaan UU SJSN oleh Badan Penyelenggara dengan dasar hukum masing-masing badan penyelenggara lainnya Persero Jamsostek, Persero Taspen, Persero Asabri dan Persero Askes. 2. Data masyarakat miskin versi BPS beda dengan versi Pemda.

3. Indonesia merasa tidak sanggup melaksanakan SJSN terutama kaitannya dengan aliran dana pembiayaan SJSN akan memberatkan APBN. Padahal, rancangan sumber dana SJSN sebagaimana dalam Pasal 6 UU SJSN berasal dari iuran peserta dan pemberi kerja, kecuali iuran jaminan sosial fakir miskin dan orang tidak mampu akan dibayarkan oleh pemerintah dimana tidak lebih dari Rp 15 triliun atau kurang dari 2% dari APBN.

4. Undang-undang SJSNPasal 5 dianggap bertentangan dengan UU Nomor23Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga muncul judicial review atas UU SJSN. Tingkat kesejahteraan masyarakat dalam satu daerah tentu berbeda dengan daerah lain sehingga ada tuntutan untuk melibatkan pemerintah daerah dalam pengaturan SJSN sehingga program ini dapat berjalan dengan efektif. Ketiga, SJSN dianggap kontra produktif investasi dan bertentangan dengan UU Monopoli. Anggapan tersebut dapat ditumbangkan karena sangat bertolakbelakang dengan kenyataan bahwa perusahaan mulai

Dokumen terkait