• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan Abortus Provocatus Criminalis. Provocatus Criminalis

Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan (3)

3.2.2 Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan Abortus Provocatus Criminalis. Provocatus Criminalis

Dalam menghadapi kasus abortus provocatus criminalis ini tidak semudah yang dibayangkan. Sesuai dengan teori mungkin bisa diungkap dengan tepat dan cepat, serta secara pasti, tetapi tidak demikian. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi.

Kendala yang pertama adalah dari masyarakat itu sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang pergaulan bebas tersebut yang akhirnya membuahkan sesuatu yang tidak diinginkan. Masyarakat yang mengganggap hla tersebut adalah sebagai aib yang harus ditutupi tak segan melakukan tindakan aborsi.

Dalam keadaan seperti ini mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta rupiah bagi para dokter peralatan pendukung untuk membuktikan kasus kejahatan Abortus Provocatus Criminalis asal bersedia melakukan tindakan

55 pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat tindakan ini adalah tindakan yang paling benar untuk menutupi sebuah malu.

Padahal dari tindakan tersebut tidak sedikit yang harus kehilangan nyawa tau setidaknya mereka mengalami keadaan dimana rahim mereka rusak dan tidak akan dapat lagi memiliki anak. Kesadaran masyarakat yang amat sangat diperlukan dalam menuntaskan masalah ini. Di samping itu, karena kasus ini bukan merupakan kasus delik aduan maka agak sulit untuk menuntaskan kasus ini hingga keakarnya, karena mereka yang tahu dengan masalah ini enggan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Kendala yang lain yang mungkin menjadi penyebab sulitnya mengungkap kasus Abortus Provocatus Criminalis adalah pihak kepolisian sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari barang bukti Abortus Provocatus Criminalis. Karena dari hasil-hasil dari perbuatan tersebut sering sudah hancur atau dibuang entah kemana.

Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan mengatakan bahwa: “Dalam kasus aborsi, janin ditolak sebagai makhluk hidup dan dianggap sebagai objek mati. Oleh karena diformulasikan seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sbagai suatu pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan moral seperti pada kasus pembunuhan lain.36

Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang aborsi dilarang undang-undang adalah bertentangan dengan moral masyarakat dan atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut,

36Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Keterangan), Akademika Presindo, Jakarta, 1985, hal. 88.

56 sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaannya bukan orang yang melakukan aborsi. Aborsi merupakan akibat dari tindakan orang biadab yang memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil.

Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang mati . oleh karena, dianggap sebagai objek yang mati maka penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan.

Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi siapa yang melakukan aborsi.

Ketentuan tentang Overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam Pasa 48 KUHP, yaitu : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.37 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa ancaman itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan sesuatu yang dikehendaki pemaksa.

37Ibid, hal.23.

57 Daya paksa (Overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap besifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana. Tetapi, ia tidak dipidana karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena, Overmacht sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP hanya memuat alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi.

Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada dibawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini, mencerminkan rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan tidak mampu dilawannya, misalnya mengancam keselamatannya.

Dihubungan dengan teori tersebut, dalam kasus Abortus Provocatus pada korban pemerkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan Abortus Provocatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.38 Hak janin untuk untuk tetap hidup atau hak perempuan untuk tetap menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan sosial.

38Suryono Eko Tama, dkk, Op.Cit, hal.194.

58 Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aborsi karena alasan darurat (pemaksa) dalam hal ini adalah adanya trauma psikologis yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung pada para penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuan yang jelas-jelas sebagai korban perkosaan.

Padahal ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan memperhatikan latar belakang perbuatan dilakukan. Hal inipun dalam proses pembuktianya juga tidak mudah, karena harus dibuktikan lebih dahuku perkosaannya.

Dengan demikian, alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum kenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban.

Apabila aborsi Karena perkosaan dijadikan pengecualian sebagaimana alasan medis, maka kriteria yang dijadikan pengecualian harus benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memperbolehkan praktek aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan oleh tenaga yang kompenten, dan memenuhi ketentuan agama dan perundang-undangan yang berlaku.

59 Perkosaan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. penderitaan tersebut akan terus berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. berbeda dengan kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya kegagalan karena dalam pemakaian alat kontrasepsi dalam Keluarga Berencana (KB) atau karena dalam hubungan seks pranikah. kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan berat diterima oleh perempuan dan keluarganya.

Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan yang tidak dikehendaki atau melakukan Abortus Provocatus, tentu dengan masing-masing resiko. Apabila memilih untuk meneruskan kehamilannya, ia harus siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara sosiologis hal tersebut merupakan pilihan yang sangat berat mengingat kondisi sosialkultural masyarakat Indonesia yang masih menganggap rendahbahkan menabuhkan seorang wanita yang hamil tanpa suami sah.

Sedangkan, jika alternatif kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa mengancam. Kalaupun Abortus Provocatus dapat dilakukan dengan selamat, ancaman sanksi pidana sudah menhadang, apabila terbukti Abortus Provocatus yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor Nomor 36 Tahun 2009tentang Kesehatan, perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kandunganmenjadi hak dari perempuan tersebut. Artinya pengguguran kandungan yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam

60 Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, salah satu pengecualian terhadap perempuan melakukan aborsi adalah kehamilan akibat dari perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis bagi korban perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami perempuan yang mengandung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, sebagai dasar hukum untuk melegalkan tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk dalam hal ini adalah tenaga kesehatan yang berkompeten dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pengguguran kandungan tersebut.

61 BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil kajian penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

4.1.1 Pengaturan hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU