• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KENDALA PELAKSANAAN ALIH FUNGSI ASET

B. Kendala Kendala Dalam Pelaksanaan Program Bangun

Inti Griya Prima Sakti

Kerap ditemui berbagai permasalahan dalam pelaksanaan kontrak.101 Permasalahan atau kendala yang timbul, tidak saja berlatar belakang ekonomi, tapi juga sosial, budaya, politik, dan sebagainya.

101

Nazarkhan Yasin,Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 244.

Kendala adalah halangan, rintangan, aktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran.102

Dalam penyusunan tesis ini, Peneliti akan mengklasifikasikan kendala pelaksanaan Program Bangun Guna Serah (Build Operate Trasfer/ BOT) antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT. Inti Griya Prima Sakti ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:

1. Kendala Yuridis Pelaksanaan Program Bangun Guna Serah (Build Operate Trasfer/ BOT) antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT. Inti Griya Prima Sakti

A. Belum adanya keseragaman (unifikasi) dan kesatuan (kodifikasi) peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT).

Pengaturan mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) diatur dalam berbagai ketentuan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II sebelumnya. Terdapat pengaturan yang berbeda terhadap pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) atas aset Pemerintah Pusat dengan aset Pemerintah Daerah. Terhadap pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)atas aset Pemerintah Pusat maka ketentuan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang

102

Milik Negara, sementara terhadap pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) atas aset Pemerintah Daerah maka ketentuan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Walau demikian, pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)baik atas aset Pemerintah Pusat maupun atas aset Pemerintah Daerah harus tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah sepanjang tidak ada aturan-aturan yang bertentangan di dalamnya.

Disamping itu, masih terdapat aturan-aturan teknis lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung masih terkait dengan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal Nomor SE-02/PM/2002 tanggal 27 Desember 2002 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik, dan sebagainya.

Tidak adanya unifikasi dan kodifikasi peraturan ini semakin diperburuk lagi dengan prinsip kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata.

Di satu sisi, asas ini memberikan keleluasaan bagi para pihak yaitu dalam hal ini Pemerintah selaku pemilik aset dan swasta selaku pengelola (mitra

bisnis) dalam menyusun perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) sesuai kondisi dan situasi yang terjadi pada saat penyusunan perjanjian namun di sisi lain, asas ini juga membuka ruang yang sangat luas dalam penyusunan isi perjanjian sehingga tidak ditemui adanya standard baku perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement).

Hal ini menjadi kendala tersendiri yang dialami oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam penyusunan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT Inti Griya Prima Sakti Nomor 644.1/2296/Bapp/2008 dan No. 037/IGPS-SMG/TTG/III/08 terkait pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) atas Department StoreRamayana Tebing Tinggi.

2. Belum tersosialisasinya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT). Asas fiksi hukum menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui adanya suatu undang-undang yang telah diundangkan.103 Dengan kata lain, fiksi hukum menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Fiksi hukum adalah asas yang berlaku secara universal walaupun telah banyak mendapat kritikan dan penentangan.

Dalam praktiknya, banyak peraturan-peraturan yang belum dipahami oleh masyarakat pada umumnya tetapi tetap berlaku dan mempunyai daya ikat

103

karena peraturan tersebut telah diundangkan dan berdasarkan asas fiksi hukum tersebut maka seluruh masyarakat dianggap telah mengetahuinya. Hal ini juga terjadi dalam penyusunan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kota

Tebing Tinggi dengan PT Inti Griya Prima Sakti Nomor

644.1/2296/Bapp/2008 dan No. 037/IGPS-SMG/TTG/III/08 terkait pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) atas Department Store Ramayana Tebing Tinggi. Aturan-aturan yang berlaku ketika penyusunan perjanjian tersebut seringkali tidak diketahui oleh para pihak, baik Pemerintah Kota Tebing Tinggi maupun PT Inti Griya Prima Sakti. Ketidaktahuan ini tentu saja menjadi kendala yang sangat serius karena dapat mengakibatkan efek-efek hukum di kemudian hari.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, ketidaktahuan dan ketidakmengertian akan peraturan-peraturan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) terjadi karena tidak adanya sosialisasi oleh Pemerintah Pusat terhadap peraturan-peraturan yang diterbitkan, terutama Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan inisiatif sendiri pada akhirnya mencari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dan mempelajarinya hingga pada akhirnya Perjanjian Kerjasama antara

Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT Inti Griya Prima Sakti Nomor 644.1/2296/Bapp/2008 dan No. 037/IGPS-SMG/TTG/III/08 terkait pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) atas Department Store Ramayana Tebing Tinggi dapat disusun seperti yang ada saat ini.

Asas fiksi hukum harusnya tidak meniadakan atau menghapus kewajiban Pemerintah Pusat untuk melaksanakan sosialisasi peraturan perundang- undangan.

3. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)kurang rinci.

Penyusunan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT Inti Griya Prima Sakti Nomor 644.1/2296/Bapp/2008 dan No. 037/IGPS-SMG/TTG/III/08 terkait pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) atas Department Store Ramayana Tebing Tinggi pada dasarnya didasarkan pada 2 (dua) aturan teknis utama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Terdapat beberapa hal yang dirasa masih kurang diatur dalam kedua peraturan tersebut, misalnya:

a. Tidak terdapat kriteria dan parameter yang jelas mengenai waktu dan alasan diadakannya Bangun Guna Serah(Build Operate Transfer/ BOT).

b. Tidak terdapat aturan rinci dan pasti mengenai kriteria tanah yang dapat dijadikan objek dalam Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT).

c. Tidak terdapat aturan mengenai besaran minimal nilai kontribusi yang harus dibayarkan oleh mitra Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)kepada pemerintah daerah, baik secara persentase maupun secara besaran rupiah.

d. Terkait kedudukan perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT), tidak terdapat aturan yang jelas yang mengatur apakah Pemerintah Pusat sebagai induk koordinator dari seluruh pemerintahan daerah dapat membatalkan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)yang telah dibuat oleh suatu Pemerintah Daerah.

4. Kalimat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) kurang jelas dan multi tafsir.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur mengenai asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu sebagai berikut;

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Ketentuan ini secara nyata telah mensyaratkan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang disusun dan diterbitkan harus mencegah adanya multitafsir demi menghindari permasalahan dalam pelaksanaannya. Namun dalam kenyataanya asas ini seringkali tidak diterapkan secara benar dan konsisten, termasuk dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Beberapa ketentuan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 yang dirasa kurang jelas sehingga menimbulkan multitafsir adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyebutkan: “Pemanfaatan barang milik

negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.”

Pasal 8 menyatakan pengguna barang milik daerah adalah kepala satuan kerja perangkat daerah.

Pasal 5 ayat (3) menyatakan sekretaris daerah adalah pengelola barang milik daerah.

Dengan demikian, jika ketentuan Pasal 19 tersebut dipadukan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 5 ayat (3) maka akan tercipta suatu bunyi rumusan pasal sebagai berikut:

“Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah dengan persetujuan Sekretaris Daerah.”

Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang menyatakan: “Sekretaris Daerah selaku pengelola barang milik daerah berwenang dan bertanggung jawab mengatur pelaksanaan pemanfaatan, penghapusan, dan pemindahtanganan barang milik daerah yang telah disetujui oleh gubernur/bupati/walikota atau DPRD.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, pada dasarnya terdapat pertentangan antar peraturan perundang-undangan sehingga menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan Bangun Guna Serah(Build Operate Transfer/ BOT) a quo.

b. Pasal 41 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah menyatakan: “Penetapan mitra Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/lelang dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.” Ketentuan ini diatur dan dijelaskan lebih lanjut dalam Lampiran VII Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah yang menyatakan:

Penetapan mitra kerjasama Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/lelang dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 5 peserta/ peminat, apabila diumumkan 2 kali berturut-turut peminatnya kurang dari 5, dapat dilakukan proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik tekhnis maupun harga.

Ketentuan penetapan mitra kerjasama ini sangat multitafsir karena tidak mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi di lapangan, misalnya: bagaimana jika peserta tender tahap pertama hanya 4 (empat) dan peserta tender tahap kedua menjadi 3 (tiga)? Apakah dapat dilakukan penunjukan langsung? Jika iya, apa dasar dan kriteria penunjukan pemenangnya?

c. Pasal 43 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah menyatakan: “Hak guna bangunan di atas hak pengelolaan milik pemerintah daerah, dapat dijadikan jaminan dan/atau diagunkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Rumusan pasal ini kurang jelas karena tidak ada pengaturan lebih lanjut sebagai antisipasi bagaimana jika ketentuan ini dilanggar dan tidak ditaati oleh pihak mitra Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer) yaitu dalam hal ini PT Inti Griya Prima Sakti.

5. Ketidaksempurnaan peraturan dimaksud membawa akibat perjanjian kerja samaa quomasih kurang lengkap dan terperinci.

Misalnya tidak adanya diatur bagi hasil dan yang diatur hanyalah kontribusi/ royalti sebesar USD 6.000 (enam ribu dollar Amerika).

Bahwa dalam perjanjian ini tidak diatur pembayaran dilakukan sejak kapan dan dengan cara apa, dalam perjanjian juga tidak diatur tanggal dan bulan berapa di setiap tahunnya royalti harus diberikan kepada Pemerintah KotaTebing Tinggi. Dalam perjanjian kerjasama tersebut juga tidak menyebutkan bagaimana jika PT Inti Griya Prima Sakti selaku mitra Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)jika mengalami kerugian, apakah royalti tetap wajib diberikan kepada Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

Dalam klausul perjanjian kerjasama juga mencantumkan adanya prioritas rekruitmen tenaga kerja lokal dalam pembangunan gedung dan operasional

pusat perbelanjaan Kota Tebing Tinggi, namun tidak ada diatur persentase antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja dariluar daerah, dan tidak adanya diatur sanksi yang dikenakan kepada pihak swasta apabila tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam pembangunan gedung dan operasional Pusat perbelanjaan Kota Tebing Tinggi dimaksud.

2. Kendala Praktis Pelaksanaan Program Bangun Guna Serah (Build Operate Trasfer/BOT) antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT. Inti Griya Prima Sakti

Kendala dalam pengosongan lahan objek kerjasama a quo oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

Lahan yang menjadi objek kerjasama Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam perjanjian a quo adalah tanah eks terminal bus Tebing Tinggi seluas ±8.535m2di Jalan Jenderal Sudirman Kota Tebing Tinggi, sejak lahan ini tidak lagi digunakan sebagai terminal bus, masyarakat sekitar memanfaatkan lahan ini sebagai lahan ruang terbuka yang banyak digunakan sebagai tempat berdagang dan tempat rekreasi bagi masyarakat sekitar. Dalam perjanjian kerjasama telah diatur bahwa kewajiban pihak Pemerintah Kota Tebing Tinggi untuk menyediakan lahan dalam keadan kosong penghuni dan bebas tuntutan dari pihak lain. Pemerintah Kota Tebing Tinggi juga wajib membongkar seluruh bangunan yang ada diatas tanaheksterminal bus Tebing Tinggi di Jl. Jenderal Sudirman.

Mengingat kondisi alam di Indonesia secara umum dan kondisi alam Sumatera Utara pada khususnyayang rawan bencana alam terutama gempa bumi dan untuk menjaga kondisi bangunan agar tetap terjaga mengingat perjanjian ini dilakukan dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menjadi salah satu kendala sulitnya menarik minat investor untuk menanamkan modal. Terhadap hal ini, Pemerintah Kota Tebing Tinggi telah berhasil mengatasinya yang terbukti dengan telah dilakukannya investasi oleh PT Inti Griya Prima Sakti sesuai perjanjian kerjasamaa quo.

Dalam Pelaksanaan Kerjasama Program Bangun Guna Serah (Build Operate Trasfer/BOT)antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan PT. Inti Griya Prima Sakti atas Department Store Ramayana Kota TebingTinggi tidak ada kendala yang berarti. Beberapa kendala tersebut diatas dapat diatasi dengan baik dengan kerjasama antara pejabat pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan penduduk setempat dan juga dengan PT. Inti Griya Prima Sakti.104

104

Hasil wawancara dengan Staf Bagian Administrsai Barang Daerah Pemerintah Kota Tebing Tinggi (Tebing Tinggi, 23 April 2013).

Dokumen terkait