• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

IV.5 Kendala-Kendala Dalam Pembiayaan Pembangunan Jalan Tol

Gambaran umum pembangunan infrastruktur di Indonesia pasca krisis bisa dikatakan jalan di tempat, dalam arto tidak ada kemajuan yang dicapai secara signifikan. Anggaran yang disediakan untuk pembangunan infrastruktur baru sangat minim, demikian pula anggaran untuk pemeliharaan ada, keterbatasan dana yang dialokasikan untuk infrastruktur merupakan kendala utama. Sebagai ilustrasi, apabila sebelum krisis pemerintah masih dapat mengalokasikan dana APBN/APBD untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sebesar + 5%

dari total Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah tersebut menyusut hingga tinggal + 2% dari total PDB setelah krisis terjadi.

Pemerintah di prediksi hanya mampu menyediakan dana sebesar US$ 40,8 miliar. Sedangkan sisanya, yakni sebesar US$ 31,4 miliar diharapkan akan dapat dipenuhi dari pihak swasta. Sementara itu, untuk membangun infrastruktur yang diprioritaskan untuk tahun 2006-2010, diperlukan dana sekitar Rp. 200 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah diperkirakan hanya mampu mengalokasikan anggaran sebesar 20 % atau sekitar Rp. 40 triliun. Namun demikian, pihak swasta juga sulit untuk diharapkan kesediannya untuk membangun infrastruktur, karena beberapa hal antara lain: (1) besarnya dana yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dalam ukuran pihak swasta sebagai entitas bisnis, (2) rendahnya return yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur pada umumnya, serta (3) ketidakjelasan dan sering berubahnya regulasi yang berkaitan dengan perubahan infrastruktur.

Secara umum kondisi infrastruktur jalan di Indonesia adalah sebagai berikut pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lambat dibandingkan dengan di negara-negara tetangga lainnya. Pembangunan jalan tol di Indonesia telah dimulai sejak 26 tahun lalu, namun total panjang jalan tol yang telah dibangun hingga saat ini hanya 570 kilometer (km). Padahal di Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol 20 tahun lalu, total panjang jalan tol yang berhasil dibangun sudah mencapaia sudah mencapai 1,230 km. Di China, panjang jalan tol mencapai lebih dari 100.000 km dan jalan arteri sekityar 1,7 juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1,384 km/1 juta penduduk. Rendahnya tingkat

pembangunan jalan tol di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan antara lain oleh:

a. Belum adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya kompetisi antar operator.

b. Belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta dan

c. Selama ini belum ada prosedur pemilihan investor yang kompetitif, pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasar pembagian pendapatan.

Permasalahan infrastruktur Indonesia tercermin dari: a. Kualitas pelayanan yang rendah

b. Kuantitas/cakupan pelayanan yang terbatas c. Kelanjutan pelayanan kurang terjamin

d. Kebijakan tarif yang tidak adil dan tidak terbuka

e. Kerangka peraturan per-UU-an yang kadang kurang konsisten

f. Pembebasan tanah yang sering tidak menentu dan bahkan mengalami kegagalan

g. Pembiayaan infrastruktur yang terbatas.

Proyek jalan tol merupakan proyek jangka panjang dan memerlukan dana investasi yang besar dengan jangka waktu pengembalian yang panjang, sehingga risiko yang mungkin timbul selama masa konsensi sangat besar. Risiko-risiko yang di bidang jalan tol di Indonesia adalah risiko pada tahap pra konstruksi, tahap konstruksi dan tahap pasca konstruksi. Risiko pada tahap pra konstruksi yaitu risiko perijinan dan pembebasan lahan. Risiko pada tahap konstruksi yaitu

risiko tingkat bunga masa konstruksi. Sedangkan risiko pada tahap pasca konstruski yaitu risiko penyesuaian tarif yang terkait dengan fluktuasi tingkat bunga, inflasi nilai tukar rupiah dan devaluasi, risiko pasar berkenaan dengan proyeksi volume lalu lintas yang akurat. Sebenarnya risiko pasar bisa diselesaikan dngan penyesuaian tarif, tetapi ketidakpastian penyesuaian tarif di Indonesia masih sangat besar.

Pembangunan jalan tol pada kurun waktu 2005-2010 seperti yang telah diprogramkan oleh pemerintah terdapat 19 ruas jalan tol yang sudah ditanda tangani PPJT namun terbengkalai dalam tahap konstruksinya. Terbengkalainya pembangunan ruas jalan tol yang sudah ditanda tangani PPJT tersebut dikarenakan beberapa hal, antara lain pembebasan lahan, pembiayaan bank, serta aspek risiko karena begitu panjangnya jangka waktu proyek yang dialami investor.

IV.5.1 Kendala Pembebasan Lahan

Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sering mengalami kendala proses pembebasan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah betul-betul menjadi kendala besar dalam pembangunan jalan tol. Proses pengadaan tanah sebaaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 dilaksanakan oleh pemerintah berdasarkan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pengadaan tanah tersebut dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau badan usaha. Pada kenyataannya, proses pembebasan lahan ini tidak sederhana, bahkan bisa sampai ke proses pengadilan, terutama apabila sudah melibatkan banyak

cukup lama. Akibatnya, penyelesaian proyek tertunda, yang secara otomatis akan menimbulkan beban bunga yang sangat merugikan bagi investor. Melonjaknya harga tanah yang luar biasa sangat mengkhawatirkan investor karena proyeknya dapat menjadi tidak layak.

IV.5.2 Kendala Pembiayaan Bank

Khusus terkait dengan pembiayaan bank, banyak perbankan nasional baik bank pemerintah maupun bank swasta yang masih mengalami trauma dengan pembiayaan pembangunan jalan tol. Salah satu hal yang masih mengganggu adalah aspek pembebasan lahan, karena lembaga keuangan ini belum diperkenankan untuk melakukan biaya pembebasan lahan. Padahal resiko terbesar dari pemilik konsesi adalah pada saat membebaskan lahan. Oleh karena itu diperlukan peranan pemerintah melalui lembaga yang disebut dengan Badan Layanan Umum (BLU) untuk turut menanggung upaya pembebasab lahan atau dengan mekanisme langsung secara tunai.

Penggunaan dana BLU pun dirasakan menciptakan beban tersendiri karena adanya pembayaran bunga, provisi, dan diperlukannya jaminan. Jadi belum benar-benar suatu government commited effort karena masih mengandung aspek komersialisasi dana BLU tersebut. Di negara-negara lain pun, pembangunan jalan tol, selalu diawali dengan campur tangan pemerintah yang begitu dalam, mengingat resiko yang begitu tinggi dengan panjangnya jangka waktu investasi, serta besarnya nilai investasi.

Khusus di negara berkembang seperti Indonesia, pembebasan tanah memiliki keunikan dan kesulitan yang besar. Di banyak negara yang sudah cukup

maju dan berpengalaman, pembiayaan perbankan telah memiliki berbagai macam terobosan untuk menyiasati pendekatan-pendekatan klasik, misalnya dengan adanya fasilitas pembiayaan yang dikenal dengan nama mezzanine financing, yaitu bank turut serta dalam pembiayaan modal khusus untuk pembiayaan infrastruktur seperti halnya jalan tol.

IV.5.3 Kendala Aspek Resiko

Sehebat apapun perhitungan ekonomi untuk proyek dengan jangka waktu 30 tahun, aspek resiko tidak dapat diprediksi dari sekarang. Memang harus ada terobosan khusus untuk mengembangkan proyek jalan tol. Terdapat delapan ruas tol yang konsesinya dimiliki swasta dan sebagian besar telah memiliki pembiayaan baik dari perbankan nasional maupun perbankan asing. Tidak seluruh konsesi tersebut diperoleh pada pemerintahan saat ini. Beberapa diperoleh di era sebelum krisis moneter 1998 dan saat ini kesempatan untuk kembali menjalankan konsesi tersebut terbuka lebar dengan gencarnya upaya pemerintah untuk memacu penyelesaian ruas tol Trans Jawa.

Bisnis tol merupakan bisnis yang beresiko dan banyak pihak yang traumatis baik perbankan maupun investor sendiri. Boleh dikatakan dari delapan pemegang konsesi tersebut adalah yang masih baru masuk dalam bidang jalan tol tetapi muka lama selaku pengusaha Indonesia, seperti pengusaha Edwin Suryajaya, Sandiaga Uno, Kelompok Kompas Gramedia, maupun keluarga Bakrie. Menarik pula untuk disimak adalah peran bank pemerintah yang begitu aktif untuk pembiayaan jalan tol. Tentunya hal ini harus diapresiasi khusus.

Adanya persetujuan kredit perbankan untuk membiayai proyek infrastruktur itu merupakan sesuatu yang positif bagi percepatan implementasi kebijakan infrastruktur. Yang jadi masalah, sampai saat ini kredit yang telah disetujui ternyata belum satupun yang dapat dicairkan oleh para investor jalan tol yang dimaksud. Itu karena adanya kendala teknis yang belum teratasi. Apabila diteliti lebih lanjut, kendaa teknis tersebut tidak terlepas dari latar belakang pembiayaan proyek jalan tol yang memang mengandung potensi bermasalah :

• Pertama, dalam proses pembebasan lahan. Faktor kenaikan harga tanah karena praktek percaloan, serta penolakan sebagian masyarakat telah menghambat proses pembebasan lahan tersebut.

• Kedua, investor (debitor) rata-rata kesulitan memenuhi kewajiban sharing dana sendiri yang sebesar minimal 35% dari total project cost.

Ketiga, feasibility study (FS) proyek jalan tol sebagian menunjukkan adanya cash deficiency sampai sekitar tujuh tahun pertama dari jangka waktu proyek. Artinya, apabila kredit diberikan selama 10 tahun, maka bank sedang menghadapi resiko ketidakmampuan debitor membayar kewajiban berjalan.

Selain permasalahan diatas, pembiayaan proyek jalan tol juga menyimpan potensi resiko buat bank. Antara lain karena miss match pendanaan, yaitu dana jangka pendek dipergunakan untuk membiayai kredit jangka panjang ( sekitar 10 tahun). Sementara itu, hasil FS sebagian proyek menunjukkan adanya cash deficiency dan proyek yang lain menunjukkan sebaliknya. Perbedaan kondisi cash flow ini akan menjadi pertimbangan sendiri bagi bank. Bukan tidak mungkin FS proyek jalan tol yang tidak mengambarkan adanya cash deficiency, di

tahun-tahun awal proyek telah disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang terlalu optimistis. Sehingga, jika bank tidak melakukan penyesuaian asumsi dikhawatirkan kreditnya menjadi bermasalah.

Mengamati kendala diatas, wajar bila akhirnya perbankan memberikan persyaratan kredit yang cukup ketat. Implikasinya, walaupun kredit disetujui, investor (debitor) akan tetap kesulitan mencairkan kredit itu. Dengan demikian, tidak ada artinya kredit disetujui perbankan, kalau proyek tetap gagal direalisasikan.

Dokumen terkait