• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala Pengembangan Pengelolaan Sampah Di Tanah Grogot

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Kendala Pengembangan Pengelolaan Sampah Di Tanah Grogot

Pada dasarnya pengelolaan persampahan di Tanah Grogot sudah dapat dikategorikan baik sebagai kota kecil yang minim penduduk. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser tahun 2003 menyatakan bahwa terdapat beberapa kendala baik berupa teknis maupun non teknis yang harus

segera diperbaiki jika tidak menginginkan terjadinya permasalahan sampah yang lebih besar lagi seperti terjadi di beberapa kota besar di Indonesia

Kendala pertama yang terdapat pada pengelolaan persampahan ini yakni mengenai sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimaksud disini berupa Tempat Pembuangan Sementara (TPS), dimana data terdapat pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebagai instansi yang berwenang dalam pengelolaan sampah yakni hanya sebanyak 20 buah baik yang terbuat dari beton maupun dari kayu (ulin), masih belum mencukupi untuk melayani jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat. Selain dari jumlah TPS, besar volume TPS perlu juga diperhatikan agar sampah-sampah buangan masyarakat tidak tercecer hingga luar TPS. Untuk penempatan TPS harus benar-benar memperhatikan kondisi pemukiman masyarakat, dimana masyarakat yang berpemukiman padat sudah seharusnya mendapat jumlah TPS yang lebih banyak. Hal ini terlihat dari beberapa sarana dan prasarana yang belum memadai seperti pada gambar 9 berikut.

Pada dasarnya selain TPS, sarana dan prasarana lainnya sebenarnya sudah mencukupi untuk melakukan pengelolaan, tetapi penggunaan sarana dan prasarana tersebut belum optimal sehingga banyak sarana yang tidak dipergunakan, sebagai contoh bobcat, alat ini dipergunakan untuk menyapu jalan dari jenis debu dan pasir, akan tetapi penggunaan alat ini masih sangat jarang bahkan hampir-hampir tidak digunakan. Hal ini menyebabkan alat tersebut menjadi rusak akibat termakan usia atau memakan biaya yang cukup besar sebagai biaya pemeliharaannya

Kendala kedua, sistem dan manajemen pengelolaan sampah. Sistem dan manajemen pengelolaan sampah yang digunakan di Tanah Grogot masih mengadopsi paradigma lama, bahwa sampah yang berada di TPS diangkut dan diletakkan di TPA. Sistem pengelolaan sampah yang seperti ini hanya mengacu kepada luasnya lahan TPA sebagai pemberhentian akhir dari sebuah sampah. Sudah semestinya paradigma ini ditinggalkan dan mulai merumuskan cara bagaimana menggunakan sistem pengelolaan sampah yang baru yang dapat menghasilkan sesuatu dari sebuah sampah. Sebagi contoh, menggunakan pola komposting, selain lebih teratur dalam membuang dan meletakkan sampah (karena TPS terbagi dua bagian yakni sampah organik dan sampah non organik), pihak pengelola sampah juga dapat memperoleh hasil dari pola komposting tersebut, baik berupa pupuk kompos langsung maupun berupa uang dari penjualan pupuk kompos tersebut. Serta pola yang seperti ini lebih optimalkan penggunaan TPA sehingga TPA tidak cepat terpenuhi sampah.

Proses merubah sampah menjadi komposting pada dasarnya tidak terlalu sulit. Agar sampah bisa dijadikan sebagai bahan baku kompos, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang masih terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan, pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah dilaksanakan sejak tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah organik dipisah dari sampah non organik. Caranya, dengan menempatkan masing-masing jenis ke dalam kantong plastik yang berbeda warna. Misalnya kantong plastik bening untuk sampah organik, kantong plastik putih untuk sampah kertas / karton, dan kantong warna hitam untuk sampah lainnya.

Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik pengumpulan RT (titik pertama). Selanjutnya, petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke titik pengumpulan RW (titik kedua). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan (titik ketiga), untuk kemudian diangkut ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik plastik daur ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang. Demikian pula dengan sampah berupa kaca.

Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu, dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih akan menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu sehari selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.

Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu, sisanya memerlukan waktu lebih lama. Sisanya sebanyak 15-20 persen sampah organik

yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun (Rochaeni, et al. 2003).

Lahan yang diperlukan sekitar 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya, produksi sampah mencari 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15 ha. Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan pengangkut tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekitar 1 ton/hari. Jika tiap kg kompos berharga sebesar Rp. 25 / kg, maka akan mendapatkan penghasilan Rp. 25.000. Biaya pembuatan kompos sekitar Rp. 75 – Rp. 100 / kg termasuk biaya pembelian mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp. 6.000 – Rp. 33.000 / ton sampah. Jika harga jualnya sekira Rp. 200 /kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat ini harga kompos di pabrik sekitar Rp. 350 – Rp. 1.500 / kg.

Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan sangat menguntungkan. Pemerintah kabupaten pun bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Jika dalam sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton sampah organik yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton kompos. Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan harga Rp 200.00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp. 6,3 miliar.

Kendala yang ketiga berupa budaya masyarakat. Permasalahan sampah tidak hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah

persampahan tidak hanya tanggung jawab instansi saja, tetapi juga melibatkan stakeholder, pemda, masyarakat dan instansi lain.

Saat ini, masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan paradigma lama yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang tanpa dikelola dengan baik. Bahkan sampah yang dibuang tanpa dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.

Masyarakat kita belum sadar, bahwa masalah sampah dikemudian hari akan menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah daerah jika tidak segera dikelola dengan baik mulai sekarang. Kita bisa melihat bagaimana repotnya pemerintah daerah seperti terjadi di Kota Bandung dan Kota Bekasi. Ternyata masalah sampah juga menjadi salah satu pemicu konflik sosial.

Kaitannya dengan masalah persampahan, budaya masyarakat Kota Tanah Grogot turut andil menjadi kendala penyelenggaraan persampahan yang dihadapi DKP Paser. Masyarakat belum disiplin dalam membuang sampah. Mereka malas membuang sampah pada tempat yang telah tersedia.

Akibatnya, masih sering melihat tumpukan sampah berada di luar Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Kondisi demikian sangat mengganggu pemandangan disamping bau tak sedap dari tumpukan sampah.

Selain malas membuang sampah pada tempatnya, warga juga tidak disiplin dalam membuang sampah sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser. Jadwal waktu pembuangan sampah yang ditetapkan DKP yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita. Penentuan jadwal pengangkutan sampah ini dilakukan setelah pertimbangan berbagai keluhan masyarakat yang merasa terganggu dengan kendaraan angkutan sampah milik

DKP yang mulai beroperasi bersamaan dengan jam atau waktu masyarakat berangkat ke tempat kerjanya. Pertimbangan lain adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pada jam kerja.

Berbagai upaya yang telah dilakukan DKP untuk menyadarkan masyarakat tentang sikap diantaranya melalui sosialisasi tentang kebersihan dengan mengundang para ketua RT/RW, himbauan keliling, himbauan melalui media massa dan himbauan melalui spanduk-spanduk. Untuk memotivasi para ketua RT/RW agar meneruskan sosialisasi kebersihan, pemerintah daerah memberi insentif sebesar Rp. 960.000/tahun. Untuk tahun 2008 nilai insentif diusulkan menjadi Rp. 1.200.000/tahun.

Hasil pemantauan di lokasi didapatkan bahwa jenis sampah yang dihasil dan dibuang masyarakat Tanah Grogot adalah sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik ini daihasilkan dari aktivitas rumah tangga dan pasar pagatan. Apriadji (1989), menyatakan sampah organik merupakan sisa-sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan sampah berasal berasal dari mahluk hidup.

Sedangkan sampah anorganik juag dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan pasar pagatan. Tasrial (1998), menyatakan sampah anorganik ini dihasilkan pada tingkat rumah, misal berupa botol, botol plastik, tas plastik dan kertas.

Jenis sampah yang mendominasi yang dihasilkan dan dibuang masyarakat Pagatan adalah sampah organik. Hal ini mungkin terjadi karena tingkat kesejahteraan sosial masyarakat Pagatan yang masih rendah. Budirahardjo (2002), menyatakan semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat maka kandungan bahan organiknya semakin menurun, sedangkan kandungan plastik, kertas semakin meningkat.

Pada umumnya sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah organik, yaitu mencakup 60-70 % dari total volume sampah (www.goole.com, 2004).

Pengelolaan sampah di Tanah Grogot perlu adanya sosialisasi sampah, berdasarkan survey kuesioner dengan masyarakat, mereka masih kurang mengetahui tentang pengelolaan sampah yang baik, seperti waktu pembuangan sampah. Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah setempat dan peran serta masyarakat untuk mengelola sampah sehingga sampah tidak mengotori dan menimbulkan dampak degatif bagi lingkungan sekitar, dan penambahan sarana dan prasarana yang menunjang.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser bahwa dinas tersebut memiliki jumlah sumberdaya manusia (SDM) sebanyak 105 orang yang terdiri dari 58 sebagai tenaga kantoran sedangkan 57 orang sebagai sopir, buruh dan petugas kebersihan (penyapu jalan dan sebagainya). Dari data yang ada disebutkan bahwa dari 57 orang yang ada sebagai petugas kebersihan, telah ada sekitar 7 orang atau sebanyak 12,28 % saja yang telah mengikuti pelatihan pengelolaan persampahan sedangkan sisanya sebanyak 50 orang atau sebesar 87,72 % belum pernah mengikuti pelatihan pengelolaan sampah. Hal ini sangat berkaitan sekali dengan kondisi petugas kebersihan yang ditemui di lapangan bahwa melalui kuesioner yang diisi oleh beberapa petugas kebersihan di lapangan diketahui bahwa masih banyak terdapat petugas yang belum memahami secara benar mengenai pengelolaan sampah yang tepat serta menghasilkan sesuatu tanpa sampah tersebut hanya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa jadwal waktu pembuangan telah ditetapkan yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita, maka proses pengambilan dan pengangkutan sampah dari TPS dilakukan pada pukul 24.00 wita sampai dengan 05.30 wita. Hal ini tentunya dengan pertimbangan untuk menghindari terganggunya masyarakat dari bau sampah tersebut serta untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pada jam kerja.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dari segi pengetahuan mengenai pengelolaan persampahan, petugas kebersihan masih belum memahami secara benar pengelolaan persampahan yang baik seperti apa, sehingga banyak ditemukan dilokasi bahwa petugas yang ada hanya bekerja berdasarkan pengetahuan seadanya. Hal inilah yang menyebabkan para petugas kebersihan terkadang tidak menemukan cara-cara yang baik dan menguntungkan dalam pengelolaan persampahan.

Dokumen terkait