• Tidak ada hasil yang ditemukan

12733718 Desain Pengelolaan Sampah by M Akbar PSDAL Unlam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "12733718 Desain Pengelolaan Sampah by M Akbar PSDAL Unlam"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH

DI KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASER

MUHAMMAD AKBAR

PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

(2)

DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH

DI KECAMATAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER

MUHAMMAD AKBAR

Tesis ini diserahkan kepada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

MAGISTER SAINS

(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala

rahmat dan hidayah-Nya jualah Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul

”Desain Pengelolaan Sampah Di Kota Tanah Grogot Kabupaten Paser” tepat pada

waktu yang direncanakan.

Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arief Soendjoto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing

2. Bapak Ir. Ahmad Jauhari, M.P. selaku Anggota Komisi Pembimbing Pertama

3. Bapak Ir. H. Mijani Rahman, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing kedua.

3. Seluruh Staf Dosen dan karyawan Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan Unlam dan semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan

dan dukungan selama dilaksanakannya penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak terdapat kekurangan

dan kesalahan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak

untuk menyempurnakan proposal tesis ini.

Akhirnya Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna

bagi kita semua.

Banjarbaru, Februari 2009

(4)
(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar ... 11

2. Komposisi Umum Sampah Kota ... 12

3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ... 12

4. Ratio perbandingan C dan N terhadap beberapa Bahan ... 22

5. Data Hasil Survey Penduduk Per Jalan di Tanah Grogot... 37

6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah ... 38

7. Sarana dan Prasarana Sampah Di Kabupaten Paser ... 40

(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS ... 3

2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 8

2. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah ... 16

3. Proses Stabilisasi Komposting ... 18

4. Kerangka Kerja Penelitian ... 34

6. Peta Jaringan Jalan, Klas Rumah dan Rumah Sampel ... 36

7. Kondisi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tanah Grogot ... 42

8. Peta Zonasi Pengelolaan dan Sebaran TPS ... 43

9. Peta Sebaran Tempat Pembuangan Sementara (TPS)... 44

10. Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser ... 45

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ... 55

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah sampah sudah bukan lagi sekadar masalah kebersihan dan

lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan

konflik. Lebih parahnya lagi, hampir semua kota di Indonesia, baik kota besar atau

kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah yang baik, hanya menggunakan

sistem pengelelolaan yang kuno, kumpul-angkut-buang. Sebuah pengaturan klasik

yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah

ditentukan (open dumping). Praktik itu memiliki kelemahan dan berakibat fatal terhadap lingkungan atau manusia di sekitar lokasi pembuangan, seperti yang terjadi

di Leuwigajah, Jawa Barat. Belum lagi praktik itu membutuhkan lahan yang luas,

padahal penyediaan lahan menjadi kendala utama dalam penanganan sampah, seperti

yang terjadi di TPST Bojong, Bogor.

Sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi maka terlihat bahwa konflik

permasalahan sampah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Beberapa kejadian

yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang terdapat di Pulau Jawa seperti

yang terjadi beberapa waktu yang lalu, sebenarnya juga akan terjadi di luar Pulau

Jawa apabila kita tidak mencermati lebih jauh lagi. Pada mulanya orang hanya

beranggapan bahwa dengan adanya lahan yang tersedia sehingga menyebabkan

sampah yang ada hanya diberi perlakuan dengan membuang (menumpuk) saja.

Akan tetapi orang tidak beranggapan bahwa lahan yang ada semakin hari akan

semakin sempit sehingga permasalahan yang nantinya akan timbul adalah akan

(9)

yang ada bukan terletak pada luas atau tidaknya lahan yang tersedia, tetapi pada

sistem manajemen pengelolaan apa yang digunakan dalam pengelolaan sampah

tersebut. Apabila menggunakan manajemen pengelolaan yang baik tentu saja semua

itu tidak tergantung pada lahan yang tersedia, karena ada beberapa alternatif

pengelolaan sampah tanpa harus membuang dan menumpuk sampah tersebut. Selain

itu kita juga bisa menggunakan prinsip 4 R dalam mengantisipasi hal tersebut yang

dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni Reuse, Reduce, Recycle, Replace.

Tanah Grogot merupakan ibukota dari Kabupaten Paser dan merupakan salah

satu dari beberapa kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser. Kaitannya dengan

pengelolaan sampah, kabupaten Paser saat ini dapat dikatakan masih kurang dan

belum optimal. Hal ini dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk kabupaten yang

semakin tahun semakin meningkat sehingga dapat dipastikan bahwa sampah yang

hasilkan juga semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan terhadap jumlah

sampah maka seharusnya sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan

pengelolaan juga harus seimbang serta seharusnya ada manajemen pengelolaan

sampah yang sesuai dengan kondisi kota atau daerah dan adanya design tempat

pembuangan akhir (TPA) yang berbasis kesehatan penduduk. Sedangkan yang

terlihat pada keadaan di kabupaten Paser saat ini, untuk semua sarana dan prasarana

yang mendukungnya masih kurang. Contoh nyata yang terlihat bahwa secara visual

masih banyak sampah yang berserakan di sekitar TPS, selain itu juga masih

banyaknya masyarakat yang membuang sampah diluar jam yang telah ditentukan

(10)

prasarana seperti TPS di tempat-tempat yang diperkirakan menghasilkan sampah

yang lebih banyak seperti pasar.

Gambar 1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS

Permasalahan sampah tidak akan selesai dengan hanya diwacanakan, namun

sangat perlu tindakan nyata di lapangan. Penanganan permasalahan sampah pun tidak

dapat hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Kerjasama yang baik antara

pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat luas menjadi persyaratannya. Hal ini

bukan saja harus di kabupaten Paser saja melainkan hampir diseluruh kota harus

menerapkannya.

Sehubungan dengan hal tersebut sehingga perlu dicermati untuk

menyelesaikan semua kondisi yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di

kabupaten Paser baik itu dari manajemen penggelolaan pengambilan sampah maupun

design dan keadaan dari tempat pembuangan akhirnya (TPA) yang ada.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pada dasarnya hampir semua kota besar yang berada di Indonesia mengalami

(11)

Banjarmasin dan Kota Bandung. Kedua kota tersebut merupakan salah satu dari kota

besar yang berada di Indonesia, akan tetapi kondisi pengelolaan persampahannya pun

belum dapat dikatakan baik. Hal ini dapat terlihat dari masih berserakannya sampah

yang kedua kota tersebut.

Tanah Grogot sebagai ibukota dari Kabupaten Paser tentunya merupakan

sebuah kecamatan yang lebih berkembang jika dibandingkan kecamatan-kecamatan

lainnya. Dipilihnya Kecamatan Tanah Grogot sebagai lokasi penelitian mengingat

bahwa selain sebagai ibukota, Tanah Grogot juga dijadikan sebagai sentral

perdagangan atau kegiatan perekonomian lainnya sehingga menyebabkan limbah

atau sampah yang dihasilkan juga lebih banyak jika dibandingkan dengan

daerah-daerah lainnya di Kabupaten Paser.

Permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser semakin

hari semakin kompleks baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, estetika maupun

kesehatan. Hal ini dapat dinilai apabila melakukan pengamatan langsung di

lapangan, masih terlihat sampah yang berserakan atau masih tercium bau busuk yang

menyengat dari sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan

sampah yang telah dijalankan masih belum sempurna atau sistem pengelolaannya

masih belum optimal.

Indikator permasalahan persampahan di Tanah Grogot pada dasarnya dapat di

tinjau dari sarana dan prasarana yang ada dalam pengelolaan sampah, seperti bak

sampah (TPS) yang terbuat dari apa dan berapa besar volumenya (apa sudah sesuai

dengan volume sampah yang dihasilkan), sarana yang digunakan dalam

(12)

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka dapat dilihat bahwa

permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot sebagai berikut :

1. Berapa banyak volume yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Apakah volume sampah yang dihasilkan sudah sesuai dengan sarana dan

prasarana yang ada

3. Sistem keorganisasian yang ada (petugas yang mendukung)

4. Peta kepadatan sampah dan sebaran TPS

5. Kondisi tempat pembuangan akhir

6. Alternatif pengolahan sampah yang dilakukan.

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya semua bentuk penelitian yang ada pastilah memiliki suatu

tujuan yang ingin dicapai, sedangkan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis volume sampah yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Menentukan kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah

3. Menganalisis kebutuhan petugas dalam pengelolaan sampah dan sistem

organisasi yang digunakan

4. Menentukan peta kepadatan sampah dan posisi TPS.

D. Maksud dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan memiliki maksud untuk menganalisis sistem

manajemen pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Tanah Grogot Kabupaten

Paser serta mengetahui kekurangan dan permasalahan yang ada di dalam sistem

(13)

Untuk kegunaan dari penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan

ilmu-ilmu baru dalam pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan

pengelolaan sampah serta diharapkan dapat memberikan atau menyelesaikan

permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser.

Selain itu juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

penyelesaian-penyelesaian permasalahan sampah yang terjadi berupa alternatif-alternatif lain

dalam pengelolaan sampah.

E. Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah

tentang pengelolaan sampah, dimana permasalahan ini sudah merupakan polemik

yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.

Kondisi persampahan yang ada di Tanah Grogot untuk saat ini masih jauh

dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan oleh

banyak faktor, baik itu dari faktor sistem pengelolaan yang digunakan maupun faktor

masyarakat sebagai penghasil sampah yang tersebar. Permasalahan-permasalahan

tersebut terlihat dari kondisi sampah baik di TPS maupun di TPA yang tidak dikelola

dengan baik.

Pada dasarnya pengelolaan sampah tersebut merupakan suatu peluang usaha,

hanya saja bagaimana cara kita (masyarakat) memanfaatkan lebih baik lagi sampah

tersebut, baik dari segi pengelolaan maupun segi pengolahannya. Selain itu kita

perlu mengubaha pola pikir atau paradigma masyarakat yang masih memaknai

bahwa sampah uitu adalah merupakan sebuh sampah yang harus diposisikan sebagai

sampah. Pola pikir yang demikianlah yang sebenarnya menghilangkan suatu peluang

(14)

sampah adalah sebuah peluang usaha yang dapat meningkatkan perekonomian, tentu

saja sampah tersebut tidak begitu saja dibuang, melainkan diolah dan dimanfatakan

sedemikian rupa untuk menghasilkan suatu usaha yang baik.

Pengelolaan sampah yang tidak baik tentunya dapat menyebabkan

pencemaran lingkungan, menimbulkan bau busuk yang tidak sedap, menimbulkan

penyebaran penyakit, dan menyebabkan menurunnya nilai estetika atau nilai

keindahan terhadap suatu areal. Oleh sebab itulah perlunya suatu sistem pengelolaan

sampah yang lebih baik dan menguntungkan, untuk disemua daerah khususnya

(15)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Sumberdaya

Manusia Jaringan Jalan Sistem Organisasi

Jumlah dan Sebaran Sampah

TPS / TPA Pengangkut

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sampah

Sampah yang dalam bahasa Inggrisnya waste, pada dasarnya mencakup banyak pengertian. Sampah adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi,

baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sisa

proses industri yang semuanya merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia

(Apriadji, 1989).

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang

tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari

kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983),

sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil

bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi

ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan

pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa

bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini

memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena

memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah

padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai

karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori

(17)

sampah yang berasal dari pemukiman; 2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal

dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan

kantor; 3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi; dan 4)

sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan diatas misalnya sampah dari

pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983).

Sampah atau waste digolongkan kedalam 4 kelompok, antara lain :

1. Human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia,

seperti tinja (faeces) dan air kencing (urine).

2. Sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga,

contohnya air bekas cucian.

3. Refuse, merupakan bahan pada sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan runah tangga. Refuse inilah yang dalam pengertian sehari-harinya kerapkali kita sebut sampah.

4. Industrian waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa-sisa proses industri

(Apriadji, 1989).

Sampah atau refuse berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan kedalam kelompok :

1. Sampah lapuk (gerbage) atau sampah organik, sampah ini merupakan sisa-sisa

makanan dari rumah tangga atau merupakan sampah yang berasal dari makhluk

hidup .

2. Sampah tak lapuk (rabbish) atau sampah anorganik, sampah ini tidak dapat

(18)

B. Sampah Perkotaan

Komposisi jenis zat kandungan pada sampah perkotan pada umumnya terus

berubah dari waktu ke waktu. Semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat

maka kandungan bahan organiknya semakin menurun, sedangkan kandungan plastik,

kertas makin meningkat (Budirahardjo, 2002).

Hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan komposisi sampah

yang dihasilkan di beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar

No Komponen London Sumber : Widyatmoko dan Sintorini (2002)

Tabel 1 menunjukkan semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat suatu

negara maka kandungan sampah semakin sedikit bahan organiknya, seperti negara

London, Singapura dan USA yang merupakan negara sejahtera semakin sedikit bahan

oraniknya yang terkandung dalam sampah dibandingkan dengan Jakarta dan Bandung.

Juga sampah kertas ke tiga negara tersebut di atas lebih banyak daripada Jakarta dan

Bandung.

Apabila kita meninjau lebih jauh lagi bahwa sebenarnya Indonesia sudah siap

untuk mengelola sampah secara maksimal. Akan tetapi hambatan terbesar yang ada di

Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai betapa

(19)

Tabel 2. Komposisi Umum Sampah Kota

No Komponen Komposisi / Persentase

1 Serat kasar 41-61 %

2 Lemak 3-9 %

3 Abu (mineral) 4-20 %

4 Air 30-60 %

5 Ammonia 0,5-1,4 mg/g sampah

6 Senyawa nitrogen organik 4,8-14 mg/g sampah

7 Total nitrogen 7-17 mg/g sampah

8 Protein 3,1-9,3 %

9 pH 5-8

Sumber : J.S.Jeris dan R.Regan (1975) dalam Hadiwiyoto (1983)

Pada sampah padatan, beberapa sifatnya telah diketahui. Sifat-sifat tersebut

sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah, dan sangat sulit

buntuk dibuat secara umum dan menyeluruh. Kekhasan sampah dari berbagai

tempat/daerah serta jenisnya berlain-lainan sehingga memungkinkan sifat-sifat yang

berbeda, seperti terlihat Tabel 2 di atas.

Serat kasar merupakan komposisi terbesar sampah saat ini sehingga tanpa kita

sadari sendiri bahwa komposisi sampah terbesar sampah di Indonesia merupakan

terbentuk dari komponen organik sehingga nantinya dapat lebih memudahkan dalam

melakukan pengelolaannya.

Berikut merupakan cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang ada

tersebar di seluruh Indonesia :

Tabel 3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia

No Propinsi Penduduk

(20)

Sumber : Data dan Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Ditjen TPTP, Dep Kimpraswil, 2001

Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa Indonesia hanya memiliki 32,1%

proporsi cakupan persampahan atau sebesar 35.130.186 jiwa manusia saja. Sehingga

pola pelayanan persampahan di Indonesia dinilai masih sangat kurang.

C. Masalah yang Ditimbulkan Sampah

Bahar (1986) mengatakan sampah adalah buangan berupa bahan padat

merupakan polutan umum yang menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan,

membawa berbagai jenis penyakit, menurunnya nilai sumberdaya, menimbulkan polusi,

menyumbat saluran air dan berbagai akibat negatif lainnya.

1. Nilai estetika

Sampah yang menumpuk dan dibiarkan pada tempat terbuka (open dump), menyebabkan rendahnya nilai estetika disekitar tempat tersebut. Hal ini disebabkan

oleh penampakan fisik yang tidak enak dilihat.

2. Polusi udara dan air

Pembakaran sampah secara terbuka dan tidak dikendalikan disamping

menghasilkan residu dan penghancuran sampah juga menimbulkan emisi pada atmosfir

dengan peningkatan komponen-komponen polutan di udara, seperti CO2, CO, NO,

gas-gas sulfur, amoniak dan partikel-partikel kecil di udara. Air yang ada pada sampah

umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes

(21)

3. Sumber penyakit

Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan lingkungan kehidupan yang

baik bagi perkembangan tikus, nyamuk, lalat, insekta dan mikroba yang dapat

menimbulkan dan menyebarkan berbagai jenis penyakit.

4. Penyumbatan saluran air

Kebiasan buruk bagi sebagian orang adalah membuang sampah ke sungai, got

atau saluran air. Selain menimbulkan polusi air juga menyebabkan pendangkalan dan

penyumbatan saluran air sehingga bila hujan datang saluran air itu akan mampat dan

menimbulkan banjir.

D. Pengelolaan Sampah

Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan

memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan.

Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah

yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak

menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi

adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak

menimbulkan kebakaran.

Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan melalui 3 tahapan kegiatan,

yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir/pengolahan.

Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari

(22)

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah

Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai

ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan

ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah,

gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS). Tahapan pengangkutan

dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju

ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan,

sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis

sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.

Sidik et. al. (1985),mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir, yakni : open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary landfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup, sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.

Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat

mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang

(23)

1. Pengomposan (Composting)

Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria

(1996). Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara

aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan

kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah

sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba.

Proses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai.

Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup

yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses

mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan

lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air

bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan

didalamnya.

Pengomposan merupakan teknik pengolahan sampah organik yang

biodegradable, sampah tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme atau cacing

(vermicomposting) sehingga terjadi proses pembusukan, kompos yang dihasilkan sangat

baik untuk memperbaiki struktur tanah, karena kandungan unsur hara dan

kemampuannya menahan air (Damanhuri, 1999).

Pengomposan dengan menggunakan sistem agitasi dapat mempercepat proses

pengomposan awal daripada sistem statis dan dalam proses metro waste diperlukan

waktu kurang lebih 7 hari, cara pengomposannya yaitu dengan memberikan agitasi

periodik dengan diputar (Haug, 1962). Proses pengomposan secara agitasi dapat

(24)

banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan cepat,

menghasilkan temperatur tinggi, serta kompos yang dihasilkan lebih higienis (CPIS,

1992).

Proses stabilisasi pada komposting secara aerobik dapat digambarkan sebagai

berikut :

Gambar 4. Proses Stabilisasi Komposting

Mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan dibedakan atas dua

kelompok, yaitu kelompok Mesophilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur

23°-45° C, seperti : jamur, Actinomycetes, cacing tanah, cacing kremi, keong kecil,

semut, kumbang tanah) dan Thermopilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur

45°-65° C, seperti: cacing pita, Protozoa, Rotifera, kutu jamur).

Mikroorganisme kelompok Mesophilic dan Thermophilic melakukan proses

pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan kemudian diuraikan.

Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzym yang dilarutkan ke dalam selaput air

(water film) yang melapisi bahan organik, enzym tersebut berfungsi menguraikan bahan

organik menjadi unsur-unsur yang mereka serap. Karena terjadi dipermukaan bahan,

(25)

Selanjutnya permukaan yang semakin luas ini akan mempercepat proses

perkembangbiakan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar populasi

mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Harold, 1965).

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik

berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan

berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut :

a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan

kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22°C;

b. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;

c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali

menjadi basa;

d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan

actinomycetes termofilik sampai batas temperatur + 86°C.

e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di

dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga

mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya

terbentuklah kompos yang siap digunakan.

(26)

a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang stabil

b. Membunuh mikroba pathogen, telur insect & organisme lain

c. Menyediakan nutrient yang cukup untuk menunjang kesuburan tanah / tanaman.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalah sebagai berikut:

1. Ukuran Bahan yang Dikomposkan

Mikroorganisme adalah makhluk yang melakukan pencernaan di luar tubuhnya

(extra metabolisme). Extra metabolisme ini memerlukan suatu media untuk terjadinya

proses penguraian bahan, yang dalam hal ini adalah suatu selaput air yang terdapat di

permukaan bahan organik itu sendiri. Semakin kecil partikel, semakin banyak

jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh organisme.

Maka ukuran bahan yang layak untuk dikomposkan adalah ± 2 inchi (5 cm), sedangkan

bahan yang (berasal dari kebun bunga atau truk kebun harus dipotong ± 1/2 inchi

(kira-kira 1cm).

2. Temperatur dan tinggi tumpukan

Metabolisme mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam

bentuk panas. Panas yang ditimbulkan sebagian akan tersimpan di dalam tumpukan dan

sebagian lagi terlepas pada proses penguapan atau aerasi. Panas yang terperangkap di

dalam tumpukan akan meningkatkan temperatur tumpukan.

Dalam proses pengomposan aerobik terdapat dua fase yaitu fase Mesophilic

(23-45)° C dan fase Thermopilic (45-65)° C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos

adalah 55 °C – 65 °C. Pada temperatur tersebut, perkembangbiakan mikroorganisme

adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang

(27)

Temperatur yang tinggi (minimal 55° C) perlu dipertahankan

sekurangkurangnya selama 15 hari berturut-turut, dan tumpukan dibalik ± 5 kali dalam

masa tersebut dan Thcobanaglous sehingga :

a) Membunuh bibit penyakit (patogen).

b) Menetralisir bibit hama (seperti lalat).

c) Mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten.

Temperatur yang tinggi dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur

serangga pada sampah, dan serangga serta bakteri patogen akan mati. Temperatur udara

luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam tumpukan kompos. Jadi yang penting

adalah ketinggian tumpukan. Agar proses berjalan dengan cepat, maka tinggi tumpukan

sebaiknya antara 1,25-2 m.

3. Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan

Kadar oksigen yang ideal adalah 10 %-18 % (kisaran yang dapat diterima adalah

5 %-20%). Jika tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat,

ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan,

sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kekurangan oksigen

mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh

mikroorganisme anaerobik. Tetapi dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos

akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali.

Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan

organik yang akan dikomposkan dan untuk menjaga agar pada proses pengomposan

(28)

4. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)

Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan

nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan

organik yaitu apakah sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta

untuk menunjukkan umur dan kematangan kompos.

Rasio C/N optimum untuk komposting adalah 30-35. Organisme menggunakan

30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen. rasio C/N setelah menjadi kompos

adalah 10-20. Kadar nitrogen yang tinggi terdapat pada sayuran dengan rasio C/N 24:1,

dan kadar karbon yang tinggi dijumpai pada kertas, jerami, batang tebu, dan sampah

kota.

Tabel 4. Ratio Perbandingan C dan N terhadap beberapa jenis bahan

No Jenis Bahan Ratio C/N

Sumber : Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), 1992.

5. Kadar Air dan Udara pada Tumpukan Kompos

Kadar air atau kelembaban yang ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar

(29)

jumlah populasi mikroorganisme terbesar, karena semakin besar populasinya maka

makin cepat proses pembusukannya.

6. Derajat Keasaman (pH)

Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu turun karena

sejumlah mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam

organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan memakan asam

organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali, mendekati netral. pH yang

ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima

adalah pH 5 (minimum) dan pH 12 (maksimum).

2. Incenerator (Pembakar Sampah)

Pembakaran sampah dengan menggunakan incenerator adalah salah satu cara

pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Didalam incenerator, sampah dibakar

secara terkendali dan berubah menjadi gas (asap) dan abu. Dalam proses pembuangan

sampah, cara ini bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih

memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat pencemar yang

terbawa, sehingga cara ini masih merupakan intermediate treatment (Sidik et al., 1985). Salah satu kelebihan incenerator menurut Salvato (1982) adalah dapat mencegah

pencemaran udara dengan syarat incenerator harus beroperasi secara berkesinambungan

selama enam atau tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi temperatur yang dikontrol

dengan baik dan adanya alat pengendali polusi udara hingga mencapai tingkat efisiensi,

(30)

Kelebihan incenerator sebagai alat pengolah sampah juga dikemukakan oleh

Sidik et al. (1985), yaitu meskipun incenerator masih belum sempurna sebagai sarana pembuangan sampah, akan tetapi terdapat beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Terjadi pengurangan volume sampah yang cukup besar, sekitar 75% hingga 80%

dari sampah awal yang datang tanpa proses pemisahan.

b. Sisa pembakaran yang berupa abu cukup kering dan bebas dari pembusukan

c. Pada instalasi yang cukup besar kapasitasnya (lebih besar dari 300 ton/hari) dapat

dilengkapi dengan peralatan pembangkit listrik

Menurut Sidik et al. (1985), sistem incenerator pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu :

a. Sistem pembakaran berkesinambungan. Sistem ini menggunakan gerakan

mekanisasi dan otomatisasi dalam kesinambungan pengumpanan sampah ke dalam

ruang bakar (tungku) dan pembuangan sisa pembakaran. Sistem ini umumnya

dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran untuk membersihkan abu

dan gas. Sistem ini dapat digunakan untuk instalasi dengan kapasitas besar (lebih

besar dari 100 ton/hari) dan beroperasi selama 24 jam atau 16 jam per hari.

b. Sistem pembakaran terputus. Sistem ini umumnya sederhana dan mudah

dioperasikan. Digunakan untuk kapasitas kecil (kurang dari 100 ton/hari). Biasanya

beroperasi kurang dari 8 jam per hari. Cara kerjanya terputus-putus dalam arti bila

sampah yang sudah dibakar menjadi abu, maka untuk pembakaran berikutnya abu

tersebut harus dikeluarkan lebih dahulu. Setelah bersih, baru dapat dilakukan

(31)

Proses yang terdapat di incenerator pada dasarnya terdiri atas enam tahap, yaitu :

1) proses pembakaran; 2) proses pengolahan abu; 3) proses pendinginan gas; 4) proses

pengolahan gas; 5) proses pengolahan air kotor; dan 6) proses pemanfaatanpanas (Sidik,

et al., 1985). Proses tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan incenerator dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan terhadap lingkungan.

3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah = TPA (landfill)

Tempat pembuangan akhir sampah adalah tempat dimana sampah dikelola untuk

dimusnahkan baik dengan cara penimbunan dengan tanah secara berkala (sanitary landfill), pembakaran tertutup (insenerasi), pemadatan dan lain-lain (Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).

Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah

menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan

lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya

kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan

pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi

kriteria sebagai berikut :

a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan

b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah

c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.

Lokasi untuk penempatan tempat pembuangan akhir (TPA) harus memenuhi

(32)

1. Jarak terhadap pemukiman minimal 2 km karena bau yang tidak enak,

2. Jarak terhadap sumber air baku untuk minum minimal 200 m,

3. Tidak terletak pada daerah banjir,

4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi,

5. Jarak dengan tepi jalan besar sedikitnya 200 m.

(Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).

Ada beberapa metode landfilling yang diterapkan di lahan urug antara lain open dumping, controlled landfill dan sanitary landfill. Metode open dumping harus dihindari penggunaannya. Untuk melindungi lingkungan terhadap dampak negatif yang

lebih besar maka seharusnya metode sanitary landfill yang digunakan di tempat pembuangan akhir (TPA) atau minimal landfill (Bappeko Banjarmasin, 2001).

Pengawasan terhadap proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir

(TPA) harus dilakukan sepanjang waktu. Hal ini mengingat bahwa pengolahan sampah

di tempat pembuangan akhir (TPA) memerlukan koordinasi pekerjaan, pemisahan

buangan berbahaya/beracun, melarang pemulung sampah membongkar sampah yang

telah dipadatkan dan meyakinkan bahwa pembuangan sampah dilakukan secara baik.

Pengaturan penempatan sampah di tempat pembuangan akhir harus teratur dan pada

tempat tertentu. Hal ini mengingat bahwa penempatan sampah yang tidak teratur dan

tidak tepat akan mengakibatkan lebih banyak sampah bertebaran, pandangan jelek,

membutuhkan waktu, tenaga dan tanah penutup yang lebih banyak (Ditjend PPM dan

PLP Depkes, 1989).

(33)

perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan hingga mencapai

ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah dan dipadatkan

kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang

kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya hingga terbentuk

lapisan-lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air

lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-sampah organik yang ditimbun.

Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai. Dasar dari

pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan

menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga

lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan,

peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas

penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan

penutup tersebut sebagai berikut :

a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit

b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan

c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul

d. Mencegah kebakaran

e. Menjaga agar pemandangan tetap indah

(34)

g. Mengurangi volume lindi.

Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA

dengan teknik sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan di areal TPA tersebut. Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu :

a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air

hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen

hasil penguraian sampah;

b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas

CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan

menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan

salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan

NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Secara sederhana pelaksanaan pengolahan sampah yang umum diterapkan di

perkotaan sebagai berikut :

Gambar 5. Tata Laksana Pengelolaan Sampah di Perkotaan Kota yang Tertib, Bersih

(35)

E. Keadaan Kabupaten Paser

Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak

paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5"

-1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 -

500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan

Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser

Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru,

Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.

Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km2, terdiri dari 10

Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman

Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa,

atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km2. Kecamatan dengan wilayah terluas di

Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km2,

termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah

Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya

terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.

Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan

Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan

negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan

Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa

yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran

(36)

terletak 12 Km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota

Tanah Grogot berjarak lebih kurang 145 Km dari Kota Balikpapan, atau 260 Km dari

Ibukota Propinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda).

Pada tahun 2003, berdasarkan hasil registrasi, Kabupaten paser mengalami

peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 2,4 %, menjadi 172.608 jiwa,

terdiri dari 90.889 jiwa penduduk laki-laki dan 81.719 jiwa penduduk

perempuan.Kepadatan penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2003 adalah 15 jiwa per

Km2. Penyebaran penduduk tersebut masih belum merata, karena penyebarannya masih

terkonsentrasi pada kecamatan yang keadaan ekonominya lebih maju. Kecamatan yang

mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Tanah Grogot

dengan kepadatan penduduk rata-rata 130 jiwa per Km2, sedangkan kepadatan

penduduk terendah terdapat di kecamatan Muara Komam dan Tanjung Aru, dengan

tingkat kepadatan penduduk rata-rata enam jiwa per Km2.

Dengan skala wilayah yang mencapai Rp 2.796.901,00 juta, kontribusi 2,86%

terhadap pembentukan ekonomi wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2005. Laju

pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama 2003-2005 melebihi rata-rata pertumbuhan

kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur. posisi ke 6 setelah Kota Bontang,

Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Samarinda.

Tingkat kemakmuran penduduk Kabupaten Paser lebih rendah dibandingkan dengan

rata-rata tingkat kemakmuran Penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Tingkat

kemakmuran penduduk Rp 16.116.838, sedangkan PDRB per Kapita Provinsi

(37)

2006, kontribusi terbesar pada sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi

65,51 % dan pertanian 19,58 %.

Dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan oleh pertambangan

batubara, laju sebesar 7,70%, apabila tanpa pertambangan batubara laju 5,43%. Secara

sektoral, laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor bangunan: 16,55% per tahun,

paling rendah adalah sektor industri pengolahan: 2,96% per tahun. Sektor pertanian

(38)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Lama waktu penelitian pengelolaan sampah ini kurang lebih 3 bulan, mulai dari

persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan (penulisan laporan).

Tempat penelitian pengelolaan sampah ini di Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten

Paser.

B. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian pengelolaan sampah ini sebagai

berikut :

1. GPS (Global Position System)

2. Peta Tanah Grogot / Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia)

3. Software GIS

4. Komputer

5. Kuesioner (daftar pertanyaan)

6. Alat tulis.

C. Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode ini

dipilih mengingat penelitian untuk membuat deskriptif pengelolaan sampah, gambaran

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sistem pengelolaan sampah di Tanah

(39)

Akan tetapi sebelum melakukan metode survey tersebut, terlebih dahulu

melakukan pengamatan terhadap kondisi persampahan dan kondisi penduduk.saat ini.

Setelah itu melakukan digitalisasi peta jalan (RBI) Kota Tanah Grogot, pemetaan rumah

dan jalan serta pendataan kondisi fisik rumah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan

peta jaringan jalan, peta sebaran pemukiman dan kondisi fisik rumah.

Setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan peta sebaran pemukiman serta

kondisi fisik rumah, maka kegiatan survey akan dilakukan. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan stratifikasi rumah yang berdasarkan atas beberapa klas (lihat berdasarkan

kuesioner). Untuk membedakan klas-klas rumah yang sama maka dapat dilakukan

dengan menggantinya dengan kode wilayah. Pada setiap klas rumah tersebut diambil

sebanyak 5 % untuk digunakan sebagai sampel (responden) terhadap jumlah populasi di

dalam klas tersebut. Setelah itu kemudian melakukan wawancara (kuesioner) pada

responden terpilih. Mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI)

SK-SNI-T-12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan

sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 – 2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 –

0,00275 m3/orang/hari.

Data hasil kuesioner yang diperoleh digunakan untuk mengetahui berapa besar

volume sampah yang dihasilkan per anggota keluarga. Selain itu data hasil kuesioner

juga dapat menunjukkan sarana prasarana dan tenaga petugas yang dibutuhkan untuk

terlayaninya kondisi persampahan tersebut.

Kemudian setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan klas rumah, maka

(40)

inilah nantinya digunakan untuk menentukan peta sebaran TPS dan peta zona

pengelolaan (peta arah truk pengangkut).

Dengan menggunakan dasar peta klas kepadatan sampah, peta sebaran TPS dan

peta zona pengelolaan (peta arah truk pengangkut) dapat menentukan kebutuhan tenaga

petugas, keorganisasian pengelola dan kondisi TPA.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Persiapan kemudian digitalisasi jaringan jalan pada peta RBI (Rupa Bumi

Indonesia) Kota Tanah Grogot,

2. Melakukan survey pemetaan jaringan jalan, posisi rumah dan fisik rumah

(kuesioner)

3. Melakukan wawancara (kuesioner) terhadap responden yang terpilih dan petugas

kebersihan yang ada.

4. Sedangkan jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder

a. Data primer adalah data yang didapat langsung berupa data jaringan jalan,

kondisi fisik rumah dan data dari masyarakat yang diambil secara acak, yaitu

meliputi data tentang jumlah kepala keluarga dalam 1 rumah, berapa jumlah

anggota keluarga dalam 1 kepala keluarga dan jumlah sampah yang dihasilkan

perkantongan plastik (terlampir daftar pertanyaan/kuesioner).

b. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di instansi

terkait dan pustaka.

(41)

E. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah :

1. Pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut ; editing, coding data, tabulasi data,

2. Analisis data yang digunakan adalah analisis overlay, query dan tabular.

3. Pendeskripsian data yang diperoleh melalui wawancara (kuesioner) baik melalui

(42)

Sistem Pengelolaan

Peta RBI Pemetaan Jaringan Jalan Peta Jaringan Jalan & Posisi Pemukiman

(43)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran dan Volume Sampah

Berdasarkan hasil survey di lokasi mengenai jaringan jalan dan posisi rumah

maka diperoleh peta jaringan jalan dan kelas rumah, seperti yang terlihat pada gambar

6. Peta tersebut menggambarkan jalan yang dapat dilalui mobil truk angkutan sampah.

Dimana saat ini pada jalan tersebut terdapat beberapa TPS serta kondisi jalan yang

relatif baik, walaupun dibeberapa ruas jalan masih mengalami perbaikan.

Untuk sebaran dan volume kepadatan sampah, ini dilihat dari jumlah dari

kepadatan penduduk, seperti pada daerah jalan Padat Karya tentunya memiliki volume

sampah yang lebih banyak dibandingkan daerah lain mengingat daerah ini lebih padat

penduduk dibandingkan dengan daerah lain.

Jumlah responden yang diambil sesuai dengan prosedur pengambilan responden

yakni 5% dari jumlah penduduk per kelas rumah. Sehingga dengan jumlah penduduk

yang berada pada pusat kota Tanah Grogot maka diperoleh jumlah responden sebanyak

(44)
(45)

Tabel 5. Data hasil Survey Samplibng Penduduk Per jalan di Tanah Grogot

No Nama Jalan

(46)
(47)

Lanjutan tabel 6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah

Berdasarkan dari data pada tabel-tabel tersebut maka diperoleh data mengenai

volume sampah yang dihasilkan serta diperoleh kepadatan sampah di beberapa wilayah.

Pada tabel tersebut disebutkan bahwa kondisi perumahan di Tanah Grogot banyak

terdapat pada kelas A, sedangkan untuk perumahan dengan kelas B dan kelas rumah C,

masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga dari klasifikasi rumah di Tanah

Grogot.

Jumlah respon yang diambil sebanyak 5% untuk setiap kelas rumah pada

jalan-jalan yang berada di lokasi studi. Pada tabel tersebut, volume sampah yang diperoleh

didasarkan atas jumlah anggota keluarga, dimaka menggunakan acuan pada Standar

Nasional Indonesia (SNI) SK-SNI-T-12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan

Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 –

2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 – 0,00275 m3/orang/hari sehingga diperoleh

volume sampah yang dihasilkan setiap rumah. Sebagai contoh terlihat pada tabel 6 hasil

survey rumah dan sampel sampah, pada sejumlah responden, misal Bapak Syaukani

memiliki kelas rumah B dengan jumlah anggota keluarga yang cukup banyak yakni 11

(48)

B. Organisasi Pengelola Sampah

Salah satu pendukung utama dalam pengelolaaan sampah adalah sarana dan

prasarana yang memadai, dari pantauan di lapangan didapatkan tempat pembuangan

sementara (TPS) sudah banyak yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan

sampah berserakan, menimbulkan bau yang tidak sedap, menjadi sumber penyakit dan

menyumbat saluran air. Tasrial (1998), menyatakan pengelolaan sampah yang tidak

memadai dapat mempengaruhi kesehatan dan lingkungan serta memberikan dampak

negatif pada keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan data sarana dan prasarana didapat

dari dinas yang terkait sebagai berikut:

Tabel 7. Sarana dan prasarana sampah di Kabupaten Paser yang sekarang

No Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi

1 Bak sampah beton/ulin (TPS) 20 Cukup Baik

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser (2007).

Jika kita memperhatikan tabel di atas, yang berisikan mengenai sarana dan

prasarana pengelolaan sampah pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten

Paser, maka tentunya sarana dan prasarana tersebut sangat kurang memadai untuk

digunakan dalam pengelolaan persampahan. Sebagai contoh jumlah bak sampah (TPS)

(49)

Kebersihan dan Pertamanan pada tahun 2007 terhitung berjumlah 20 unit dengan

kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat dikatakan cukup banyak jika tersebar pada pusat

kota Kabupaten Paser saja yakni Tanah Grogot, akan tetapi jumlah yang demikian

tersebar pada seluruh wilayah di Kabupaten Paser, sehingga jumlah bak sampah (TPS)

tersebut masih belum mencukupi jumlah sampah yang bisa terlayani.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser bahwa

jumlah penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2006 mencapai 43.616 jiwa dengan

luasan daerah sekitar 335,58 hektar, sedangkan jumlah masyarakat yang terlayani hanya

mencapai 27.040 jiwa dengan luas daerah yang terlayani sekitar 123 hektar. Selain itu,

data Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengenai total timbunan sampah yanag ada

setiap hari mencapai 77,7 m3/hari dengan kemampuan pengangkutan sampah dari TPS

yang tersedia menuju TPA hanya sekitar 69,7 m3/hari dengan jumlah sampah yang

tersisa atau tidak terangkut ke TPA mencapai 8 m3/hari, sehingga jika ditotalkan dalam

satu bulan (30 hari) maka jumlah sampah yang berserakan dan tidak terangkut ke TPA

mencapai 240 m3. hal ini mengartikan bahwa sarana dan prasarana serta petugas yang

ada dalam pengelolaan persampah tersebut belum mencukupi untuk kebutuhan daerah.

Jika kita mengacu kepada SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan

Sampah di Permukiman, dimana disebutkan bahwa kemampuan pelayanan kendaraan

truk sampah (dump truk) dengan kapasitas kendaraan 7-10m 3

adalah sebanyak 10.000

jiwa. Dengan jumlah penduduk Kabupaten Paser sebanyak 43.616 juwa, maka

seharusnya kendaraan yang dibutuhkan minimum 5 unit kendaraan ditambah minimal 1

(50)

Berdasarkan survey kondisi tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang

tidak dapat menampung sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot, sehingga

berserakan dimana-mana, seperti yang terlihat pada gambar 7.

Gambar 7. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tanah Grogot

Untuk itu, perlu penambahan sarana dan prasarana yang menunjang pengelolaan

sampah tersebut. Berdasarkan data tersebut di atas dan memperhatikan volume sampah

yang dihasilkan, maka penambahan sarana dan prasarana diusulkan sebagai berikut.

Tabel 8. Sarana dan prasarana persampahan yang diusulkan

No Sarana dan Prasarana Jumlah (buah)

1 Bak sampah beton/ulin 32

2 Gerobak sampah 6

3 Dump truck 3

Sarana dan prasarana dari tabel di atas dimaksudkan dapat menampung sampah

dan mengangkut sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot setiap harinya.

Dalam hal penempatannya, baik itu bak sampah beton maupun ulin harus

disesuaikan dengan kondisi pemukiman. Artinya bak sampah (TPS) harus berdasarkan

(51)

yang dihasilkan pada suatu daerah serta memperhatikan jarak yang tidak terlalu jauh

(mudah dijangkau) dari pemukiman dan jarak yang memudahkan untuk proses

(52)
(53)
(54)

Gambar 9. Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser KEPALA DINAS

Kabag. Tata Usaha Klp. Japung

Kasubag. Umum Kasubag. Kepegawaian Kasubag. Keuangan

(55)

Berdasarkan gambar 8, mengenai zonasi pengelolaan dan sebaran sampah maka dapat

diperoleh bahwa zonasi pengelolaan sampah di Tanah Grogot dapat dibedakan menjadi

3 (tiga) wilayah yakni zona I, zona II dan zona III. Pembagian zonasi ini dipengaruhi

oleh kondisi pemukiman dan posisi sebaran TPS, dimana zonasi ini nantinya dapat

dipergunakan untuk mengatur arah truk pengambil dan mengangkut sampah dari TPS

menuju TPS.

Rencana penempatan tempat pembuangan sementara (TPS) baik beton maupun

ulin dan pembagian zona pengelolaan mengangkut sampah tiap truk dibagi menjadi 3

zona pengelolaan. Zona pengelolaan dibagi berdasarkan kepadatan pemukiman dan

kepadatan sampah. Berdasarkan zona pengelolaan sampah inilah nantinya dapat

ditentukan jumlah truk pengangkut sampah, kemudahan proses pengangkutan sampah

menuju TPA, penempatan TPS yang memperhatikan jarak jangkauan masyarakat.

Dalam hal ini jika suatu lokasi mempunyai kepadatan sampah dan rumah yang padat

maka penempatan TPS lebih banyak, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan sarana dan prasarana yang diusulkan maka kebutuhan akan jumlah

pekerja akan semakin bertambah. Perkiraan penambahan jumlah pekerja antara lain

sebanyak 18 orang yang terdiri dari 6 orang petugas gerobak sampah, 3 orang sopir

dump truck dan 9 orang petugas pemuat sampah.

C. Kendala Pengembangan Pengelolaan Sampah Di Tanah Grogot

Pada dasarnya pengelolaan persampahan di Tanah Grogot sudah dapat

dikategorikan baik sebagai kota kecil yang minim penduduk. Berdasarkan data dari

Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser tahun 2003 menyatakan

(56)

segera diperbaiki jika tidak menginginkan terjadinya permasalahan sampah yang lebih

besar lagi seperti terjadi di beberapa kota besar di Indonesia

Kendala pertama yang terdapat pada pengelolaan persampahan ini yakni mengenai sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimaksud disini berupa

Tempat Pembuangan Sementara (TPS), dimana data terdapat pada Dinas Kebersihan

dan Pertamanan sebagai instansi yang berwenang dalam pengelolaan sampah yakni

hanya sebanyak 20 buah baik yang terbuat dari beton maupun dari kayu (ulin), masih

belum mencukupi untuk melayani jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat. Selain

dari jumlah TPS, besar volume TPS perlu juga diperhatikan agar sampah-sampah

buangan masyarakat tidak tercecer hingga luar TPS. Untuk penempatan TPS harus

benar-benar memperhatikan kondisi pemukiman masyarakat, dimana masyarakat yang

berpemukiman padat sudah seharusnya mendapat jumlah TPS yang lebih banyak. Hal

ini terlihat dari beberapa sarana dan prasarana yang belum memadai seperti pada

gambar 9 berikut.

(57)

Pada dasarnya selain TPS, sarana dan prasarana lainnya sebenarnya sudah

mencukupi untuk melakukan pengelolaan, tetapi penggunaan sarana dan prasarana

tersebut belum optimal sehingga banyak sarana yang tidak dipergunakan, sebagai

contoh bobcat, alat ini dipergunakan untuk menyapu jalan dari jenis debu dan pasir, akan tetapi penggunaan alat ini masih sangat jarang bahkan hampir-hampir tidak

digunakan. Hal ini menyebabkan alat tersebut menjadi rusak akibat termakan usia atau

memakan biaya yang cukup besar sebagai biaya pemeliharaannya

Kendala kedua, sistem dan manajemen pengelolaan sampah. Sistem dan manajemen pengelolaan sampah yang digunakan di Tanah Grogot masih mengadopsi

paradigma lama, bahwa sampah yang berada di TPS diangkut dan diletakkan di TPA.

Sistem pengelolaan sampah yang seperti ini hanya mengacu kepada luasnya lahan TPA

sebagai pemberhentian akhir dari sebuah sampah. Sudah semestinya paradigma ini

ditinggalkan dan mulai merumuskan cara bagaimana menggunakan sistem pengelolaan

sampah yang baru yang dapat menghasilkan sesuatu dari sebuah sampah. Sebagi

contoh, menggunakan pola komposting, selain lebih teratur dalam membuang dan meletakkan sampah (karena TPS terbagi dua bagian yakni sampah organik dan sampah

non organik), pihak pengelola sampah juga dapat memperoleh hasil dari pola

komposting tersebut, baik berupa pupuk kompos langsung maupun berupa uang dari penjualan pupuk kompos tersebut. Serta pola yang seperti ini lebih optimalkan

penggunaan TPA sehingga TPA tidak cepat terpenuhi sampah.

Proses merubah sampah menjadi komposting pada dasarnya tidak terlalu sulit.

(58)

dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang masih

terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan,

pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah dilaksanakan sejak

tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah organik dipisah dari sampah

non organik. Caranya, dengan menempatkan masing-masing jenis ke dalam kantong

plastik yang berbeda warna. Misalnya kantong plastik bening untuk sampah organik,

kantong plastik putih untuk sampah kertas / karton, dan kantong warna hitam untuk

sampah lainnya.

Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik pengumpulan RT (titik pertama).

Selanjutnya, petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke titik

pengumpulan RW (titik kedua). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan (titik ketiga),

untuk kemudian diangkut ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik plastik daur

ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang. Demikian pula dengan

sampah berupa kaca.

Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu,

dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para

pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos

ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih akan

menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu sehari

selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.

Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu,

(59)

yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH

tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun (Rochaeni, et al. 2003).

Lahan yang diperlukan sekitar 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah

sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya,

produksi sampah mencari 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15 ha.

Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan pengangkut

tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekitar 1 ton/hari. Jika tiap kg

kompos berharga sebesar Rp. 25 / kg, maka akan mendapatkan penghasilan Rp. 25.000.

Biaya pembuatan kompos sekitar Rp. 75 – Rp. 100 / kg termasuk biaya pembelian

mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp. 6.000 – Rp. 33.000 / ton sampah. Jika harga

jualnya sekira Rp. 200 /kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat ini harga kompos di

pabrik sekitar Rp. 350 – Rp. 1.500 / kg.

Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan

sangat menguntungkan. Pemerintah kabupaten pun bisa mendapatkan penghasilan

tambahan. Jika dalam sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton

sampah organik yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah

organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton

kompos. Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan

harga Rp 200.00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp.

6,3 miliar.

(60)

persampahan tidak hanya tanggung jawab instansi saja, tetapi juga melibatkan

stakeholder, pemda, masyarakat dan instansi lain.

Saat ini, masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan paradigma

lama yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang tanpa dikelola dengan baik.

Bahkan sampah yang dibuang tanpa dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.

Masyarakat kita belum sadar, bahwa masalah sampah dikemudian hari akan

menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah daerah jika tidak segera dikelola

dengan baik mulai sekarang. Kita bisa melihat bagaimana repotnya pemerintah daerah

seperti terjadi di Kota Bandung dan Kota Bekasi. Ternyata masalah sampah juga

menjadi salah satu pemicu konflik sosial.

Kaitannya dengan masalah persampahan, budaya masyarakat Kota Tanah

Grogot turut andil menjadi kendala penyelenggaraan persampahan yang dihadapi DKP

Paser. Masyarakat belum disiplin dalam membuang sampah. Mereka malas membuang

sampah pada tempat yang telah tersedia.

Akibatnya, masih sering melihat tumpukan sampah berada di luar Tempat

Pembuangan Sampah (TPS). Kondisi demikian sangat mengganggu pemandangan

disamping bau tak sedap dari tumpukan sampah.

Selain malas membuang sampah pada tempatnya, warga juga tidak disiplin

dalam membuang sampah sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh Dinas

Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser. Jadwal waktu pembuangan

sampah yang ditetapkan DKP yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita.

Penentuan jadwal pengangkutan sampah ini dilakukan setelah pertimbangan berbagai

Gambar

Gambar 1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1.  Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar
Tabel 3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul Hubungan antara Pengetahuan Santri tentang PHBS dan Peran Ustadz dalam Mencegah Penyakit Skabies dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies

Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah arteri serebral dan arteri karotis interna yang ada di leher (Guyton & Hall, 2012). Adanya gangguan pada peredaran darah

Sejalan dengan hal tersebut, dalam rangka mewujudkan organisasi yang proporsional, efektif dan efisien serta diharapkan dapat menjalankan tugas dan fungsi sesuai

Ltd Exploration 45 South Jambi Block "B" PSC ConocoPhilips Production 46 Sukaraja TAC Easco PT Rehabilitation 47 Sumbagsel PSC Cooper Energy Exploration 48

Kelompok tikus yang diberi probiotik, prebiotik dan sinbiotik mengalami peningkatan jumlah BAL dalam feses setelah 5 dan 10 hari perlakuan.. Jumlah BAL tertinggi

Ketiga, Money Politic dalam Pemilihan Kepala Desa dan Intervensi Politik Kepentingan Supra Desa Kepada Desa. Cukup besarnya kewenangan yang diamanahkan UU No.6

Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan bagian kedua rekam medis yaitu MANAJEMEN berupa rekapitulasi harian, bulanan, triwulanan, semester dan tahunan dari informasi

LEDRIK SAHUBURUA, mengundang segenap Warga Jemaat Sektor I sampai degan Sektor IV untuk hadir dalam Ibadah Pengucapan Syukur yang akan dilaksanakan pada hari Kamis, 01