DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH
DI KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASER
MUHAMMAD AKBAR
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU
DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH
DI KECAMATAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER
MUHAMMAD AKBAR
Tesis ini diserahkan kepada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER SAINS
(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan)
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya jualah Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
”Desain Pengelolaan Sampah Di Kota Tanah Grogot Kabupaten Paser” tepat pada
waktu yang direncanakan.
Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arief Soendjoto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing
2. Bapak Ir. Ahmad Jauhari, M.P. selaku Anggota Komisi Pembimbing Pertama
3. Bapak Ir. H. Mijani Rahman, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing kedua.
3. Seluruh Staf Dosen dan karyawan Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Unlam dan semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan
dan dukungan selama dilaksanakannya penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak terdapat kekurangan
dan kesalahan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak
untuk menyempurnakan proposal tesis ini.
Akhirnya Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua.
Banjarbaru, Februari 2009
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar ... 11
2. Komposisi Umum Sampah Kota ... 12
3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ... 12
4. Ratio perbandingan C dan N terhadap beberapa Bahan ... 22
5. Data Hasil Survey Penduduk Per Jalan di Tanah Grogot... 37
6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah ... 38
7. Sarana dan Prasarana Sampah Di Kabupaten Paser ... 40
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS ... 3
2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 8
2. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah ... 16
3. Proses Stabilisasi Komposting ... 18
4. Kerangka Kerja Penelitian ... 34
6. Peta Jaringan Jalan, Klas Rumah dan Rumah Sampel ... 36
7. Kondisi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tanah Grogot ... 42
8. Peta Zonasi Pengelolaan dan Sebaran TPS ... 43
9. Peta Sebaran Tempat Pembuangan Sementara (TPS)... 44
10. Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ... 55
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah sampah sudah bukan lagi sekadar masalah kebersihan dan
lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan
konflik. Lebih parahnya lagi, hampir semua kota di Indonesia, baik kota besar atau
kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah yang baik, hanya menggunakan
sistem pengelelolaan yang kuno, kumpul-angkut-buang. Sebuah pengaturan klasik
yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah
ditentukan (open dumping). Praktik itu memiliki kelemahan dan berakibat fatal terhadap lingkungan atau manusia di sekitar lokasi pembuangan, seperti yang terjadi
di Leuwigajah, Jawa Barat. Belum lagi praktik itu membutuhkan lahan yang luas,
padahal penyediaan lahan menjadi kendala utama dalam penanganan sampah, seperti
yang terjadi di TPST Bojong, Bogor.
Sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi maka terlihat bahwa konflik
permasalahan sampah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Beberapa kejadian
yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang terdapat di Pulau Jawa seperti
yang terjadi beberapa waktu yang lalu, sebenarnya juga akan terjadi di luar Pulau
Jawa apabila kita tidak mencermati lebih jauh lagi. Pada mulanya orang hanya
beranggapan bahwa dengan adanya lahan yang tersedia sehingga menyebabkan
sampah yang ada hanya diberi perlakuan dengan membuang (menumpuk) saja.
Akan tetapi orang tidak beranggapan bahwa lahan yang ada semakin hari akan
semakin sempit sehingga permasalahan yang nantinya akan timbul adalah akan
yang ada bukan terletak pada luas atau tidaknya lahan yang tersedia, tetapi pada
sistem manajemen pengelolaan apa yang digunakan dalam pengelolaan sampah
tersebut. Apabila menggunakan manajemen pengelolaan yang baik tentu saja semua
itu tidak tergantung pada lahan yang tersedia, karena ada beberapa alternatif
pengelolaan sampah tanpa harus membuang dan menumpuk sampah tersebut. Selain
itu kita juga bisa menggunakan prinsip 4 R dalam mengantisipasi hal tersebut yang
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni Reuse, Reduce, Recycle, Replace.
Tanah Grogot merupakan ibukota dari Kabupaten Paser dan merupakan salah
satu dari beberapa kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser. Kaitannya dengan
pengelolaan sampah, kabupaten Paser saat ini dapat dikatakan masih kurang dan
belum optimal. Hal ini dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk kabupaten yang
semakin tahun semakin meningkat sehingga dapat dipastikan bahwa sampah yang
hasilkan juga semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan terhadap jumlah
sampah maka seharusnya sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan
pengelolaan juga harus seimbang serta seharusnya ada manajemen pengelolaan
sampah yang sesuai dengan kondisi kota atau daerah dan adanya design tempat
pembuangan akhir (TPA) yang berbasis kesehatan penduduk. Sedangkan yang
terlihat pada keadaan di kabupaten Paser saat ini, untuk semua sarana dan prasarana
yang mendukungnya masih kurang. Contoh nyata yang terlihat bahwa secara visual
masih banyak sampah yang berserakan di sekitar TPS, selain itu juga masih
banyaknya masyarakat yang membuang sampah diluar jam yang telah ditentukan
prasarana seperti TPS di tempat-tempat yang diperkirakan menghasilkan sampah
yang lebih banyak seperti pasar.
Gambar 1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS
Permasalahan sampah tidak akan selesai dengan hanya diwacanakan, namun
sangat perlu tindakan nyata di lapangan. Penanganan permasalahan sampah pun tidak
dapat hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Kerjasama yang baik antara
pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat luas menjadi persyaratannya. Hal ini
bukan saja harus di kabupaten Paser saja melainkan hampir diseluruh kota harus
menerapkannya.
Sehubungan dengan hal tersebut sehingga perlu dicermati untuk
menyelesaikan semua kondisi yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di
kabupaten Paser baik itu dari manajemen penggelolaan pengambilan sampah maupun
design dan keadaan dari tempat pembuangan akhirnya (TPA) yang ada.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pada dasarnya hampir semua kota besar yang berada di Indonesia mengalami
Banjarmasin dan Kota Bandung. Kedua kota tersebut merupakan salah satu dari kota
besar yang berada di Indonesia, akan tetapi kondisi pengelolaan persampahannya pun
belum dapat dikatakan baik. Hal ini dapat terlihat dari masih berserakannya sampah
yang kedua kota tersebut.
Tanah Grogot sebagai ibukota dari Kabupaten Paser tentunya merupakan
sebuah kecamatan yang lebih berkembang jika dibandingkan kecamatan-kecamatan
lainnya. Dipilihnya Kecamatan Tanah Grogot sebagai lokasi penelitian mengingat
bahwa selain sebagai ibukota, Tanah Grogot juga dijadikan sebagai sentral
perdagangan atau kegiatan perekonomian lainnya sehingga menyebabkan limbah
atau sampah yang dihasilkan juga lebih banyak jika dibandingkan dengan
daerah-daerah lainnya di Kabupaten Paser.
Permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser semakin
hari semakin kompleks baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, estetika maupun
kesehatan. Hal ini dapat dinilai apabila melakukan pengamatan langsung di
lapangan, masih terlihat sampah yang berserakan atau masih tercium bau busuk yang
menyengat dari sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan
sampah yang telah dijalankan masih belum sempurna atau sistem pengelolaannya
masih belum optimal.
Indikator permasalahan persampahan di Tanah Grogot pada dasarnya dapat di
tinjau dari sarana dan prasarana yang ada dalam pengelolaan sampah, seperti bak
sampah (TPS) yang terbuat dari apa dan berapa besar volumenya (apa sudah sesuai
dengan volume sampah yang dihasilkan), sarana yang digunakan dalam
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka dapat dilihat bahwa
permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot sebagai berikut :
1. Berapa banyak volume yang dihasilkan di Tanah Grogot
2. Apakah volume sampah yang dihasilkan sudah sesuai dengan sarana dan
prasarana yang ada
3. Sistem keorganisasian yang ada (petugas yang mendukung)
4. Peta kepadatan sampah dan sebaran TPS
5. Kondisi tempat pembuangan akhir
6. Alternatif pengolahan sampah yang dilakukan.
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya semua bentuk penelitian yang ada pastilah memiliki suatu
tujuan yang ingin dicapai, sedangkan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Menganalisis volume sampah yang dihasilkan di Tanah Grogot
2. Menentukan kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah
3. Menganalisis kebutuhan petugas dalam pengelolaan sampah dan sistem
organisasi yang digunakan
4. Menentukan peta kepadatan sampah dan posisi TPS.
D. Maksud dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan memiliki maksud untuk menganalisis sistem
manajemen pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Tanah Grogot Kabupaten
Paser serta mengetahui kekurangan dan permasalahan yang ada di dalam sistem
Untuk kegunaan dari penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan
ilmu-ilmu baru dalam pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan
pengelolaan sampah serta diharapkan dapat memberikan atau menyelesaikan
permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser.
Selain itu juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
penyelesaian-penyelesaian permasalahan sampah yang terjadi berupa alternatif-alternatif lain
dalam pengelolaan sampah.
E. Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah
tentang pengelolaan sampah, dimana permasalahan ini sudah merupakan polemik
yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Kondisi persampahan yang ada di Tanah Grogot untuk saat ini masih jauh
dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan oleh
banyak faktor, baik itu dari faktor sistem pengelolaan yang digunakan maupun faktor
masyarakat sebagai penghasil sampah yang tersebar. Permasalahan-permasalahan
tersebut terlihat dari kondisi sampah baik di TPS maupun di TPA yang tidak dikelola
dengan baik.
Pada dasarnya pengelolaan sampah tersebut merupakan suatu peluang usaha,
hanya saja bagaimana cara kita (masyarakat) memanfaatkan lebih baik lagi sampah
tersebut, baik dari segi pengelolaan maupun segi pengolahannya. Selain itu kita
perlu mengubaha pola pikir atau paradigma masyarakat yang masih memaknai
bahwa sampah uitu adalah merupakan sebuh sampah yang harus diposisikan sebagai
sampah. Pola pikir yang demikianlah yang sebenarnya menghilangkan suatu peluang
sampah adalah sebuah peluang usaha yang dapat meningkatkan perekonomian, tentu
saja sampah tersebut tidak begitu saja dibuang, melainkan diolah dan dimanfatakan
sedemikian rupa untuk menghasilkan suatu usaha yang baik.
Pengelolaan sampah yang tidak baik tentunya dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan, menimbulkan bau busuk yang tidak sedap, menimbulkan
penyebaran penyakit, dan menyebabkan menurunnya nilai estetika atau nilai
keindahan terhadap suatu areal. Oleh sebab itulah perlunya suatu sistem pengelolaan
sampah yang lebih baik dan menguntungkan, untuk disemua daerah khususnya
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Sumberdaya
Manusia Jaringan Jalan Sistem Organisasi
Jumlah dan Sebaran Sampah
TPS / TPA Pengangkut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sampah
Sampah yang dalam bahasa Inggrisnya waste, pada dasarnya mencakup banyak pengertian. Sampah adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi,
baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sisa
proses industri yang semuanya merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia
(Apriadji, 1989).
Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang
tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari
kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983),
sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil
bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi
ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan
pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa
bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini
memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena
memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah
padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai
karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori
sampah yang berasal dari pemukiman; 2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal
dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan
kantor; 3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi; dan 4)
sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan diatas misalnya sampah dari
pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983).
Sampah atau waste digolongkan kedalam 4 kelompok, antara lain :
1. Human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia,
seperti tinja (faeces) dan air kencing (urine).
2. Sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga,
contohnya air bekas cucian.
3. Refuse, merupakan bahan pada sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan runah tangga. Refuse inilah yang dalam pengertian sehari-harinya kerapkali kita sebut sampah.
4. Industrian waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa-sisa proses industri
(Apriadji, 1989).
Sampah atau refuse berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan kedalam kelompok :
1. Sampah lapuk (gerbage) atau sampah organik, sampah ini merupakan sisa-sisa
makanan dari rumah tangga atau merupakan sampah yang berasal dari makhluk
hidup .
2. Sampah tak lapuk (rabbish) atau sampah anorganik, sampah ini tidak dapat
B. Sampah Perkotaan
Komposisi jenis zat kandungan pada sampah perkotan pada umumnya terus
berubah dari waktu ke waktu. Semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat
maka kandungan bahan organiknya semakin menurun, sedangkan kandungan plastik,
kertas makin meningkat (Budirahardjo, 2002).
Hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan komposisi sampah
yang dihasilkan di beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar
No Komponen London Sumber : Widyatmoko dan Sintorini (2002)
Tabel 1 menunjukkan semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat suatu
negara maka kandungan sampah semakin sedikit bahan organiknya, seperti negara
London, Singapura dan USA yang merupakan negara sejahtera semakin sedikit bahan
oraniknya yang terkandung dalam sampah dibandingkan dengan Jakarta dan Bandung.
Juga sampah kertas ke tiga negara tersebut di atas lebih banyak daripada Jakarta dan
Bandung.
Apabila kita meninjau lebih jauh lagi bahwa sebenarnya Indonesia sudah siap
untuk mengelola sampah secara maksimal. Akan tetapi hambatan terbesar yang ada di
Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai betapa
Tabel 2. Komposisi Umum Sampah Kota
No Komponen Komposisi / Persentase
1 Serat kasar 41-61 %
2 Lemak 3-9 %
3 Abu (mineral) 4-20 %
4 Air 30-60 %
5 Ammonia 0,5-1,4 mg/g sampah
6 Senyawa nitrogen organik 4,8-14 mg/g sampah
7 Total nitrogen 7-17 mg/g sampah
8 Protein 3,1-9,3 %
9 pH 5-8
Sumber : J.S.Jeris dan R.Regan (1975) dalam Hadiwiyoto (1983)
Pada sampah padatan, beberapa sifatnya telah diketahui. Sifat-sifat tersebut
sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah, dan sangat sulit
buntuk dibuat secara umum dan menyeluruh. Kekhasan sampah dari berbagai
tempat/daerah serta jenisnya berlain-lainan sehingga memungkinkan sifat-sifat yang
berbeda, seperti terlihat Tabel 2 di atas.
Serat kasar merupakan komposisi terbesar sampah saat ini sehingga tanpa kita
sadari sendiri bahwa komposisi sampah terbesar sampah di Indonesia merupakan
terbentuk dari komponen organik sehingga nantinya dapat lebih memudahkan dalam
melakukan pengelolaannya.
Berikut merupakan cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang ada
tersebar di seluruh Indonesia :
Tabel 3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia
No Propinsi Penduduk
Sumber : Data dan Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Ditjen TPTP, Dep Kimpraswil, 2001
Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa Indonesia hanya memiliki 32,1%
proporsi cakupan persampahan atau sebesar 35.130.186 jiwa manusia saja. Sehingga
pola pelayanan persampahan di Indonesia dinilai masih sangat kurang.
C. Masalah yang Ditimbulkan Sampah
Bahar (1986) mengatakan sampah adalah buangan berupa bahan padat
merupakan polutan umum yang menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan,
membawa berbagai jenis penyakit, menurunnya nilai sumberdaya, menimbulkan polusi,
menyumbat saluran air dan berbagai akibat negatif lainnya.
1. Nilai estetika
Sampah yang menumpuk dan dibiarkan pada tempat terbuka (open dump), menyebabkan rendahnya nilai estetika disekitar tempat tersebut. Hal ini disebabkan
oleh penampakan fisik yang tidak enak dilihat.
2. Polusi udara dan air
Pembakaran sampah secara terbuka dan tidak dikendalikan disamping
menghasilkan residu dan penghancuran sampah juga menimbulkan emisi pada atmosfir
dengan peningkatan komponen-komponen polutan di udara, seperti CO2, CO, NO,
gas-gas sulfur, amoniak dan partikel-partikel kecil di udara. Air yang ada pada sampah
umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes
3. Sumber penyakit
Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan lingkungan kehidupan yang
baik bagi perkembangan tikus, nyamuk, lalat, insekta dan mikroba yang dapat
menimbulkan dan menyebarkan berbagai jenis penyakit.
4. Penyumbatan saluran air
Kebiasan buruk bagi sebagian orang adalah membuang sampah ke sungai, got
atau saluran air. Selain menimbulkan polusi air juga menyebabkan pendangkalan dan
penyumbatan saluran air sehingga bila hujan datang saluran air itu akan mampat dan
menimbulkan banjir.
D. Pengelolaan Sampah
Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan
memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan.
Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah
yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak
menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi
adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak
menimbulkan kebakaran.
Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan melalui 3 tahapan kegiatan,
yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir/pengolahan.
Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari
Gambar 3. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah
Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai
ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan
ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah,
gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS). Tahapan pengangkutan
dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju
ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan,
sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis
sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.
Sidik et. al. (1985),mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir, yakni : open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary landfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup, sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.
Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat
mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang
1. Pengomposan (Composting)
Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria
(1996). Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara
aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan
kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah
sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba.
Proses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai.
Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup
yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses
mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan
lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air
bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan
didalamnya.
Pengomposan merupakan teknik pengolahan sampah organik yang
biodegradable, sampah tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme atau cacing
(vermicomposting) sehingga terjadi proses pembusukan, kompos yang dihasilkan sangat
baik untuk memperbaiki struktur tanah, karena kandungan unsur hara dan
kemampuannya menahan air (Damanhuri, 1999).
Pengomposan dengan menggunakan sistem agitasi dapat mempercepat proses
pengomposan awal daripada sistem statis dan dalam proses metro waste diperlukan
waktu kurang lebih 7 hari, cara pengomposannya yaitu dengan memberikan agitasi
periodik dengan diputar (Haug, 1962). Proses pengomposan secara agitasi dapat
banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan cepat,
menghasilkan temperatur tinggi, serta kompos yang dihasilkan lebih higienis (CPIS,
1992).
Proses stabilisasi pada komposting secara aerobik dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 4. Proses Stabilisasi Komposting
Mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan dibedakan atas dua
kelompok, yaitu kelompok Mesophilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur
23°-45° C, seperti : jamur, Actinomycetes, cacing tanah, cacing kremi, keong kecil,
semut, kumbang tanah) dan Thermopilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur
45°-65° C, seperti: cacing pita, Protozoa, Rotifera, kutu jamur).
Mikroorganisme kelompok Mesophilic dan Thermophilic melakukan proses
pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan kemudian diuraikan.
Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzym yang dilarutkan ke dalam selaput air
(water film) yang melapisi bahan organik, enzym tersebut berfungsi menguraikan bahan
organik menjadi unsur-unsur yang mereka serap. Karena terjadi dipermukaan bahan,
Selanjutnya permukaan yang semakin luas ini akan mempercepat proses
perkembangbiakan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar populasi
mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Harold, 1965).
Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik
berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan
berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut :
a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan
kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22°C;
b. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;
c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali
menjadi basa;
d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan
actinomycetes termofilik sampai batas temperatur + 86°C.
e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di
dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga
mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya
terbentuklah kompos yang siap digunakan.
a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang stabil
b. Membunuh mikroba pathogen, telur insect & organisme lain
c. Menyediakan nutrient yang cukup untuk menunjang kesuburan tanah / tanaman.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalah sebagai berikut:
1. Ukuran Bahan yang Dikomposkan
Mikroorganisme adalah makhluk yang melakukan pencernaan di luar tubuhnya
(extra metabolisme). Extra metabolisme ini memerlukan suatu media untuk terjadinya
proses penguraian bahan, yang dalam hal ini adalah suatu selaput air yang terdapat di
permukaan bahan organik itu sendiri. Semakin kecil partikel, semakin banyak
jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh organisme.
Maka ukuran bahan yang layak untuk dikomposkan adalah ± 2 inchi (5 cm), sedangkan
bahan yang (berasal dari kebun bunga atau truk kebun harus dipotong ± 1/2 inchi
(kira-kira 1cm).
2. Temperatur dan tinggi tumpukan
Metabolisme mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam
bentuk panas. Panas yang ditimbulkan sebagian akan tersimpan di dalam tumpukan dan
sebagian lagi terlepas pada proses penguapan atau aerasi. Panas yang terperangkap di
dalam tumpukan akan meningkatkan temperatur tumpukan.
Dalam proses pengomposan aerobik terdapat dua fase yaitu fase Mesophilic
(23-45)° C dan fase Thermopilic (45-65)° C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos
adalah 55 °C – 65 °C. Pada temperatur tersebut, perkembangbiakan mikroorganisme
adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang
Temperatur yang tinggi (minimal 55° C) perlu dipertahankan
sekurangkurangnya selama 15 hari berturut-turut, dan tumpukan dibalik ± 5 kali dalam
masa tersebut dan Thcobanaglous sehingga :
a) Membunuh bibit penyakit (patogen).
b) Menetralisir bibit hama (seperti lalat).
c) Mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten.
Temperatur yang tinggi dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur
serangga pada sampah, dan serangga serta bakteri patogen akan mati. Temperatur udara
luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam tumpukan kompos. Jadi yang penting
adalah ketinggian tumpukan. Agar proses berjalan dengan cepat, maka tinggi tumpukan
sebaiknya antara 1,25-2 m.
3. Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan
Kadar oksigen yang ideal adalah 10 %-18 % (kisaran yang dapat diterima adalah
5 %-20%). Jika tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat,
ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan,
sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kekurangan oksigen
mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh
mikroorganisme anaerobik. Tetapi dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos
akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali.
Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan
organik yang akan dikomposkan dan untuk menjaga agar pada proses pengomposan
4. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan
nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan
organik yaitu apakah sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta
untuk menunjukkan umur dan kematangan kompos.
Rasio C/N optimum untuk komposting adalah 30-35. Organisme menggunakan
30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen. rasio C/N setelah menjadi kompos
adalah 10-20. Kadar nitrogen yang tinggi terdapat pada sayuran dengan rasio C/N 24:1,
dan kadar karbon yang tinggi dijumpai pada kertas, jerami, batang tebu, dan sampah
kota.
Tabel 4. Ratio Perbandingan C dan N terhadap beberapa jenis bahan
No Jenis Bahan Ratio C/N
Sumber : Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), 1992.
5. Kadar Air dan Udara pada Tumpukan Kompos
Kadar air atau kelembaban yang ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar
jumlah populasi mikroorganisme terbesar, karena semakin besar populasinya maka
makin cepat proses pembusukannya.
6. Derajat Keasaman (pH)
Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu turun karena
sejumlah mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam
organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan memakan asam
organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali, mendekati netral. pH yang
ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima
adalah pH 5 (minimum) dan pH 12 (maksimum).
2. Incenerator (Pembakar Sampah)
Pembakaran sampah dengan menggunakan incenerator adalah salah satu cara
pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Didalam incenerator, sampah dibakar
secara terkendali dan berubah menjadi gas (asap) dan abu. Dalam proses pembuangan
sampah, cara ini bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih
memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat pencemar yang
terbawa, sehingga cara ini masih merupakan intermediate treatment (Sidik et al., 1985). Salah satu kelebihan incenerator menurut Salvato (1982) adalah dapat mencegah
pencemaran udara dengan syarat incenerator harus beroperasi secara berkesinambungan
selama enam atau tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi temperatur yang dikontrol
dengan baik dan adanya alat pengendali polusi udara hingga mencapai tingkat efisiensi,
Kelebihan incenerator sebagai alat pengolah sampah juga dikemukakan oleh
Sidik et al. (1985), yaitu meskipun incenerator masih belum sempurna sebagai sarana pembuangan sampah, akan tetapi terdapat beberapa keuntungan sebagai berikut :
a. Terjadi pengurangan volume sampah yang cukup besar, sekitar 75% hingga 80%
dari sampah awal yang datang tanpa proses pemisahan.
b. Sisa pembakaran yang berupa abu cukup kering dan bebas dari pembusukan
c. Pada instalasi yang cukup besar kapasitasnya (lebih besar dari 300 ton/hari) dapat
dilengkapi dengan peralatan pembangkit listrik
Menurut Sidik et al. (1985), sistem incenerator pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu :
a. Sistem pembakaran berkesinambungan. Sistem ini menggunakan gerakan
mekanisasi dan otomatisasi dalam kesinambungan pengumpanan sampah ke dalam
ruang bakar (tungku) dan pembuangan sisa pembakaran. Sistem ini umumnya
dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran untuk membersihkan abu
dan gas. Sistem ini dapat digunakan untuk instalasi dengan kapasitas besar (lebih
besar dari 100 ton/hari) dan beroperasi selama 24 jam atau 16 jam per hari.
b. Sistem pembakaran terputus. Sistem ini umumnya sederhana dan mudah
dioperasikan. Digunakan untuk kapasitas kecil (kurang dari 100 ton/hari). Biasanya
beroperasi kurang dari 8 jam per hari. Cara kerjanya terputus-putus dalam arti bila
sampah yang sudah dibakar menjadi abu, maka untuk pembakaran berikutnya abu
tersebut harus dikeluarkan lebih dahulu. Setelah bersih, baru dapat dilakukan
Proses yang terdapat di incenerator pada dasarnya terdiri atas enam tahap, yaitu :
1) proses pembakaran; 2) proses pengolahan abu; 3) proses pendinginan gas; 4) proses
pengolahan gas; 5) proses pengolahan air kotor; dan 6) proses pemanfaatanpanas (Sidik,
et al., 1985). Proses tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan incenerator dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan terhadap lingkungan.
3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah = TPA (landfill)
Tempat pembuangan akhir sampah adalah tempat dimana sampah dikelola untuk
dimusnahkan baik dengan cara penimbunan dengan tanah secara berkala (sanitary landfill), pembakaran tertutup (insenerasi), pemadatan dan lain-lain (Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).
Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah
menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan
lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya
kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan
pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan
b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah
c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.
Lokasi untuk penempatan tempat pembuangan akhir (TPA) harus memenuhi
1. Jarak terhadap pemukiman minimal 2 km karena bau yang tidak enak,
2. Jarak terhadap sumber air baku untuk minum minimal 200 m,
3. Tidak terletak pada daerah banjir,
4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi,
5. Jarak dengan tepi jalan besar sedikitnya 200 m.
(Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).
Ada beberapa metode landfilling yang diterapkan di lahan urug antara lain open dumping, controlled landfill dan sanitary landfill. Metode open dumping harus dihindari penggunaannya. Untuk melindungi lingkungan terhadap dampak negatif yang
lebih besar maka seharusnya metode sanitary landfill yang digunakan di tempat pembuangan akhir (TPA) atau minimal landfill (Bappeko Banjarmasin, 2001).
Pengawasan terhadap proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir
(TPA) harus dilakukan sepanjang waktu. Hal ini mengingat bahwa pengolahan sampah
di tempat pembuangan akhir (TPA) memerlukan koordinasi pekerjaan, pemisahan
buangan berbahaya/beracun, melarang pemulung sampah membongkar sampah yang
telah dipadatkan dan meyakinkan bahwa pembuangan sampah dilakukan secara baik.
Pengaturan penempatan sampah di tempat pembuangan akhir harus teratur dan pada
tempat tertentu. Hal ini mengingat bahwa penempatan sampah yang tidak teratur dan
tidak tepat akan mengakibatkan lebih banyak sampah bertebaran, pandangan jelek,
membutuhkan waktu, tenaga dan tanah penutup yang lebih banyak (Ditjend PPM dan
PLP Depkes, 1989).
perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan hingga mencapai
ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah dan dipadatkan
kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang
kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya hingga terbentuk
lapisan-lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air
lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-sampah organik yang ditimbun.
Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai. Dasar dari
pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan
menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga
lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan,
peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas
penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan
penutup tersebut sebagai berikut :
a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit
b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan
c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul
d. Mencegah kebakaran
e. Menjaga agar pemandangan tetap indah
g. Mengurangi volume lindi.
Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA
dengan teknik sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan di areal TPA tersebut. Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu :
a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air
hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen
hasil penguraian sampah;
b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas
CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan
menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan
salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan
NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
Secara sederhana pelaksanaan pengolahan sampah yang umum diterapkan di
perkotaan sebagai berikut :
Gambar 5. Tata Laksana Pengelolaan Sampah di Perkotaan Kota yang Tertib, Bersih
E. Keadaan Kabupaten Paser
Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak
paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5"
-1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 -
500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan
Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser
Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru,
Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.
Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km2, terdiri dari 10
Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman
Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa,
atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km2. Kecamatan dengan wilayah terluas di
Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km2,
termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah
Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya
terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.
Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan
Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan
negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan
Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa
yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran
terletak 12 Km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota
Tanah Grogot berjarak lebih kurang 145 Km dari Kota Balikpapan, atau 260 Km dari
Ibukota Propinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda).
Pada tahun 2003, berdasarkan hasil registrasi, Kabupaten paser mengalami
peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 2,4 %, menjadi 172.608 jiwa,
terdiri dari 90.889 jiwa penduduk laki-laki dan 81.719 jiwa penduduk
perempuan.Kepadatan penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2003 adalah 15 jiwa per
Km2. Penyebaran penduduk tersebut masih belum merata, karena penyebarannya masih
terkonsentrasi pada kecamatan yang keadaan ekonominya lebih maju. Kecamatan yang
mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Tanah Grogot
dengan kepadatan penduduk rata-rata 130 jiwa per Km2, sedangkan kepadatan
penduduk terendah terdapat di kecamatan Muara Komam dan Tanjung Aru, dengan
tingkat kepadatan penduduk rata-rata enam jiwa per Km2.
Dengan skala wilayah yang mencapai Rp 2.796.901,00 juta, kontribusi 2,86%
terhadap pembentukan ekonomi wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2005. Laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama 2003-2005 melebihi rata-rata pertumbuhan
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur. posisi ke 6 setelah Kota Bontang,
Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Samarinda.
Tingkat kemakmuran penduduk Kabupaten Paser lebih rendah dibandingkan dengan
rata-rata tingkat kemakmuran Penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Tingkat
kemakmuran penduduk Rp 16.116.838, sedangkan PDRB per Kapita Provinsi
2006, kontribusi terbesar pada sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi
65,51 % dan pertanian 19,58 %.
Dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan oleh pertambangan
batubara, laju sebesar 7,70%, apabila tanpa pertambangan batubara laju 5,43%. Secara
sektoral, laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor bangunan: 16,55% per tahun,
paling rendah adalah sektor industri pengolahan: 2,96% per tahun. Sektor pertanian
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Lama waktu penelitian pengelolaan sampah ini kurang lebih 3 bulan, mulai dari
persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan (penulisan laporan).
Tempat penelitian pengelolaan sampah ini di Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten
Paser.
B. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian pengelolaan sampah ini sebagai
berikut :
1. GPS (Global Position System)
2. Peta Tanah Grogot / Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia)
3. Software GIS
4. Komputer
5. Kuesioner (daftar pertanyaan)
6. Alat tulis.
C. Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode ini
dipilih mengingat penelitian untuk membuat deskriptif pengelolaan sampah, gambaran
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sistem pengelolaan sampah di Tanah
Akan tetapi sebelum melakukan metode survey tersebut, terlebih dahulu
melakukan pengamatan terhadap kondisi persampahan dan kondisi penduduk.saat ini.
Setelah itu melakukan digitalisasi peta jalan (RBI) Kota Tanah Grogot, pemetaan rumah
dan jalan serta pendataan kondisi fisik rumah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan
peta jaringan jalan, peta sebaran pemukiman dan kondisi fisik rumah.
Setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan peta sebaran pemukiman serta
kondisi fisik rumah, maka kegiatan survey akan dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan stratifikasi rumah yang berdasarkan atas beberapa klas (lihat berdasarkan
kuesioner). Untuk membedakan klas-klas rumah yang sama maka dapat dilakukan
dengan menggantinya dengan kode wilayah. Pada setiap klas rumah tersebut diambil
sebanyak 5 % untuk digunakan sebagai sampel (responden) terhadap jumlah populasi di
dalam klas tersebut. Setelah itu kemudian melakukan wawancara (kuesioner) pada
responden terpilih. Mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI)
SK-SNI-T-12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan
sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 – 2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 –
0,00275 m3/orang/hari.
Data hasil kuesioner yang diperoleh digunakan untuk mengetahui berapa besar
volume sampah yang dihasilkan per anggota keluarga. Selain itu data hasil kuesioner
juga dapat menunjukkan sarana prasarana dan tenaga petugas yang dibutuhkan untuk
terlayaninya kondisi persampahan tersebut.
Kemudian setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan klas rumah, maka
inilah nantinya digunakan untuk menentukan peta sebaran TPS dan peta zona
pengelolaan (peta arah truk pengangkut).
Dengan menggunakan dasar peta klas kepadatan sampah, peta sebaran TPS dan
peta zona pengelolaan (peta arah truk pengangkut) dapat menentukan kebutuhan tenaga
petugas, keorganisasian pengelola dan kondisi TPA.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1. Persiapan kemudian digitalisasi jaringan jalan pada peta RBI (Rupa Bumi
Indonesia) Kota Tanah Grogot,
2. Melakukan survey pemetaan jaringan jalan, posisi rumah dan fisik rumah
(kuesioner)
3. Melakukan wawancara (kuesioner) terhadap responden yang terpilih dan petugas
kebersihan yang ada.
4. Sedangkan jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder
a. Data primer adalah data yang didapat langsung berupa data jaringan jalan,
kondisi fisik rumah dan data dari masyarakat yang diambil secara acak, yaitu
meliputi data tentang jumlah kepala keluarga dalam 1 rumah, berapa jumlah
anggota keluarga dalam 1 kepala keluarga dan jumlah sampah yang dihasilkan
perkantongan plastik (terlampir daftar pertanyaan/kuesioner).
b. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di instansi
terkait dan pustaka.
E. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah :
1. Pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut ; editing, coding data, tabulasi data,
2. Analisis data yang digunakan adalah analisis overlay, query dan tabular.
3. Pendeskripsian data yang diperoleh melalui wawancara (kuesioner) baik melalui
Sistem Pengelolaan
Peta RBI Pemetaan Jaringan Jalan Peta Jaringan Jalan & Posisi Pemukiman
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran dan Volume Sampah
Berdasarkan hasil survey di lokasi mengenai jaringan jalan dan posisi rumah
maka diperoleh peta jaringan jalan dan kelas rumah, seperti yang terlihat pada gambar
6. Peta tersebut menggambarkan jalan yang dapat dilalui mobil truk angkutan sampah.
Dimana saat ini pada jalan tersebut terdapat beberapa TPS serta kondisi jalan yang
relatif baik, walaupun dibeberapa ruas jalan masih mengalami perbaikan.
Untuk sebaran dan volume kepadatan sampah, ini dilihat dari jumlah dari
kepadatan penduduk, seperti pada daerah jalan Padat Karya tentunya memiliki volume
sampah yang lebih banyak dibandingkan daerah lain mengingat daerah ini lebih padat
penduduk dibandingkan dengan daerah lain.
Jumlah responden yang diambil sesuai dengan prosedur pengambilan responden
yakni 5% dari jumlah penduduk per kelas rumah. Sehingga dengan jumlah penduduk
yang berada pada pusat kota Tanah Grogot maka diperoleh jumlah responden sebanyak
Tabel 5. Data hasil Survey Samplibng Penduduk Per jalan di Tanah Grogot
No Nama Jalan
Lanjutan tabel 6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah
Berdasarkan dari data pada tabel-tabel tersebut maka diperoleh data mengenai
volume sampah yang dihasilkan serta diperoleh kepadatan sampah di beberapa wilayah.
Pada tabel tersebut disebutkan bahwa kondisi perumahan di Tanah Grogot banyak
terdapat pada kelas A, sedangkan untuk perumahan dengan kelas B dan kelas rumah C,
masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga dari klasifikasi rumah di Tanah
Grogot.
Jumlah respon yang diambil sebanyak 5% untuk setiap kelas rumah pada
jalan-jalan yang berada di lokasi studi. Pada tabel tersebut, volume sampah yang diperoleh
didasarkan atas jumlah anggota keluarga, dimaka menggunakan acuan pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) SK-SNI-T-12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan
Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 –
2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 – 0,00275 m3/orang/hari sehingga diperoleh
volume sampah yang dihasilkan setiap rumah. Sebagai contoh terlihat pada tabel 6 hasil
survey rumah dan sampel sampah, pada sejumlah responden, misal Bapak Syaukani
memiliki kelas rumah B dengan jumlah anggota keluarga yang cukup banyak yakni 11
B. Organisasi Pengelola Sampah
Salah satu pendukung utama dalam pengelolaaan sampah adalah sarana dan
prasarana yang memadai, dari pantauan di lapangan didapatkan tempat pembuangan
sementara (TPS) sudah banyak yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
sampah berserakan, menimbulkan bau yang tidak sedap, menjadi sumber penyakit dan
menyumbat saluran air. Tasrial (1998), menyatakan pengelolaan sampah yang tidak
memadai dapat mempengaruhi kesehatan dan lingkungan serta memberikan dampak
negatif pada keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan data sarana dan prasarana didapat
dari dinas yang terkait sebagai berikut:
Tabel 7. Sarana dan prasarana sampah di Kabupaten Paser yang sekarang
No Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi
1 Bak sampah beton/ulin (TPS) 20 Cukup Baik
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser (2007).
Jika kita memperhatikan tabel di atas, yang berisikan mengenai sarana dan
prasarana pengelolaan sampah pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten
Paser, maka tentunya sarana dan prasarana tersebut sangat kurang memadai untuk
digunakan dalam pengelolaan persampahan. Sebagai contoh jumlah bak sampah (TPS)
Kebersihan dan Pertamanan pada tahun 2007 terhitung berjumlah 20 unit dengan
kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat dikatakan cukup banyak jika tersebar pada pusat
kota Kabupaten Paser saja yakni Tanah Grogot, akan tetapi jumlah yang demikian
tersebar pada seluruh wilayah di Kabupaten Paser, sehingga jumlah bak sampah (TPS)
tersebut masih belum mencukupi jumlah sampah yang bisa terlayani.
Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser bahwa
jumlah penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2006 mencapai 43.616 jiwa dengan
luasan daerah sekitar 335,58 hektar, sedangkan jumlah masyarakat yang terlayani hanya
mencapai 27.040 jiwa dengan luas daerah yang terlayani sekitar 123 hektar. Selain itu,
data Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengenai total timbunan sampah yanag ada
setiap hari mencapai 77,7 m3/hari dengan kemampuan pengangkutan sampah dari TPS
yang tersedia menuju TPA hanya sekitar 69,7 m3/hari dengan jumlah sampah yang
tersisa atau tidak terangkut ke TPA mencapai 8 m3/hari, sehingga jika ditotalkan dalam
satu bulan (30 hari) maka jumlah sampah yang berserakan dan tidak terangkut ke TPA
mencapai 240 m3. hal ini mengartikan bahwa sarana dan prasarana serta petugas yang
ada dalam pengelolaan persampah tersebut belum mencukupi untuk kebutuhan daerah.
Jika kita mengacu kepada SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan
Sampah di Permukiman, dimana disebutkan bahwa kemampuan pelayanan kendaraan
truk sampah (dump truk) dengan kapasitas kendaraan 7-10m 3
adalah sebanyak 10.000
jiwa. Dengan jumlah penduduk Kabupaten Paser sebanyak 43.616 juwa, maka
seharusnya kendaraan yang dibutuhkan minimum 5 unit kendaraan ditambah minimal 1
Berdasarkan survey kondisi tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang
tidak dapat menampung sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot, sehingga
berserakan dimana-mana, seperti yang terlihat pada gambar 7.
Gambar 7. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tanah Grogot
Untuk itu, perlu penambahan sarana dan prasarana yang menunjang pengelolaan
sampah tersebut. Berdasarkan data tersebut di atas dan memperhatikan volume sampah
yang dihasilkan, maka penambahan sarana dan prasarana diusulkan sebagai berikut.
Tabel 8. Sarana dan prasarana persampahan yang diusulkan
No Sarana dan Prasarana Jumlah (buah)
1 Bak sampah beton/ulin 32
2 Gerobak sampah 6
3 Dump truck 3
Sarana dan prasarana dari tabel di atas dimaksudkan dapat menampung sampah
dan mengangkut sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot setiap harinya.
Dalam hal penempatannya, baik itu bak sampah beton maupun ulin harus
disesuaikan dengan kondisi pemukiman. Artinya bak sampah (TPS) harus berdasarkan
yang dihasilkan pada suatu daerah serta memperhatikan jarak yang tidak terlalu jauh
(mudah dijangkau) dari pemukiman dan jarak yang memudahkan untuk proses
Gambar 9. Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser KEPALA DINAS
Kabag. Tata Usaha Klp. Japung
Kasubag. Umum Kasubag. Kepegawaian Kasubag. Keuangan
Berdasarkan gambar 8, mengenai zonasi pengelolaan dan sebaran sampah maka dapat
diperoleh bahwa zonasi pengelolaan sampah di Tanah Grogot dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) wilayah yakni zona I, zona II dan zona III. Pembagian zonasi ini dipengaruhi
oleh kondisi pemukiman dan posisi sebaran TPS, dimana zonasi ini nantinya dapat
dipergunakan untuk mengatur arah truk pengambil dan mengangkut sampah dari TPS
menuju TPS.
Rencana penempatan tempat pembuangan sementara (TPS) baik beton maupun
ulin dan pembagian zona pengelolaan mengangkut sampah tiap truk dibagi menjadi 3
zona pengelolaan. Zona pengelolaan dibagi berdasarkan kepadatan pemukiman dan
kepadatan sampah. Berdasarkan zona pengelolaan sampah inilah nantinya dapat
ditentukan jumlah truk pengangkut sampah, kemudahan proses pengangkutan sampah
menuju TPA, penempatan TPS yang memperhatikan jarak jangkauan masyarakat.
Dalam hal ini jika suatu lokasi mempunyai kepadatan sampah dan rumah yang padat
maka penempatan TPS lebih banyak, demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan sarana dan prasarana yang diusulkan maka kebutuhan akan jumlah
pekerja akan semakin bertambah. Perkiraan penambahan jumlah pekerja antara lain
sebanyak 18 orang yang terdiri dari 6 orang petugas gerobak sampah, 3 orang sopir
dump truck dan 9 orang petugas pemuat sampah.
C. Kendala Pengembangan Pengelolaan Sampah Di Tanah Grogot
Pada dasarnya pengelolaan persampahan di Tanah Grogot sudah dapat
dikategorikan baik sebagai kota kecil yang minim penduduk. Berdasarkan data dari
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser tahun 2003 menyatakan
segera diperbaiki jika tidak menginginkan terjadinya permasalahan sampah yang lebih
besar lagi seperti terjadi di beberapa kota besar di Indonesia
Kendala pertama yang terdapat pada pengelolaan persampahan ini yakni mengenai sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimaksud disini berupa
Tempat Pembuangan Sementara (TPS), dimana data terdapat pada Dinas Kebersihan
dan Pertamanan sebagai instansi yang berwenang dalam pengelolaan sampah yakni
hanya sebanyak 20 buah baik yang terbuat dari beton maupun dari kayu (ulin), masih
belum mencukupi untuk melayani jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat. Selain
dari jumlah TPS, besar volume TPS perlu juga diperhatikan agar sampah-sampah
buangan masyarakat tidak tercecer hingga luar TPS. Untuk penempatan TPS harus
benar-benar memperhatikan kondisi pemukiman masyarakat, dimana masyarakat yang
berpemukiman padat sudah seharusnya mendapat jumlah TPS yang lebih banyak. Hal
ini terlihat dari beberapa sarana dan prasarana yang belum memadai seperti pada
gambar 9 berikut.
Pada dasarnya selain TPS, sarana dan prasarana lainnya sebenarnya sudah
mencukupi untuk melakukan pengelolaan, tetapi penggunaan sarana dan prasarana
tersebut belum optimal sehingga banyak sarana yang tidak dipergunakan, sebagai
contoh bobcat, alat ini dipergunakan untuk menyapu jalan dari jenis debu dan pasir, akan tetapi penggunaan alat ini masih sangat jarang bahkan hampir-hampir tidak
digunakan. Hal ini menyebabkan alat tersebut menjadi rusak akibat termakan usia atau
memakan biaya yang cukup besar sebagai biaya pemeliharaannya
Kendala kedua, sistem dan manajemen pengelolaan sampah. Sistem dan manajemen pengelolaan sampah yang digunakan di Tanah Grogot masih mengadopsi
paradigma lama, bahwa sampah yang berada di TPS diangkut dan diletakkan di TPA.
Sistem pengelolaan sampah yang seperti ini hanya mengacu kepada luasnya lahan TPA
sebagai pemberhentian akhir dari sebuah sampah. Sudah semestinya paradigma ini
ditinggalkan dan mulai merumuskan cara bagaimana menggunakan sistem pengelolaan
sampah yang baru yang dapat menghasilkan sesuatu dari sebuah sampah. Sebagi
contoh, menggunakan pola komposting, selain lebih teratur dalam membuang dan meletakkan sampah (karena TPS terbagi dua bagian yakni sampah organik dan sampah
non organik), pihak pengelola sampah juga dapat memperoleh hasil dari pola
komposting tersebut, baik berupa pupuk kompos langsung maupun berupa uang dari penjualan pupuk kompos tersebut. Serta pola yang seperti ini lebih optimalkan
penggunaan TPA sehingga TPA tidak cepat terpenuhi sampah.
Proses merubah sampah menjadi komposting pada dasarnya tidak terlalu sulit.
dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang masih
terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan,
pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah dilaksanakan sejak
tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah organik dipisah dari sampah
non organik. Caranya, dengan menempatkan masing-masing jenis ke dalam kantong
plastik yang berbeda warna. Misalnya kantong plastik bening untuk sampah organik,
kantong plastik putih untuk sampah kertas / karton, dan kantong warna hitam untuk
sampah lainnya.
Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik pengumpulan RT (titik pertama).
Selanjutnya, petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke titik
pengumpulan RW (titik kedua). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan (titik ketiga),
untuk kemudian diangkut ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik plastik daur
ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang. Demikian pula dengan
sampah berupa kaca.
Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu,
dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para
pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos
ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih akan
menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu sehari
selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.
Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu,
yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH
tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun (Rochaeni, et al. 2003).
Lahan yang diperlukan sekitar 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah
sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya,
produksi sampah mencari 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15 ha.
Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan pengangkut
tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekitar 1 ton/hari. Jika tiap kg
kompos berharga sebesar Rp. 25 / kg, maka akan mendapatkan penghasilan Rp. 25.000.
Biaya pembuatan kompos sekitar Rp. 75 – Rp. 100 / kg termasuk biaya pembelian
mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp. 6.000 – Rp. 33.000 / ton sampah. Jika harga
jualnya sekira Rp. 200 /kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat ini harga kompos di
pabrik sekitar Rp. 350 – Rp. 1.500 / kg.
Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan
sangat menguntungkan. Pemerintah kabupaten pun bisa mendapatkan penghasilan
tambahan. Jika dalam sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton
sampah organik yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah
organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton
kompos. Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan
harga Rp 200.00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp.
6,3 miliar.
persampahan tidak hanya tanggung jawab instansi saja, tetapi juga melibatkan
stakeholder, pemda, masyarakat dan instansi lain.
Saat ini, masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan paradigma
lama yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang tanpa dikelola dengan baik.
Bahkan sampah yang dibuang tanpa dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.
Masyarakat kita belum sadar, bahwa masalah sampah dikemudian hari akan
menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah daerah jika tidak segera dikelola
dengan baik mulai sekarang. Kita bisa melihat bagaimana repotnya pemerintah daerah
seperti terjadi di Kota Bandung dan Kota Bekasi. Ternyata masalah sampah juga
menjadi salah satu pemicu konflik sosial.
Kaitannya dengan masalah persampahan, budaya masyarakat Kota Tanah
Grogot turut andil menjadi kendala penyelenggaraan persampahan yang dihadapi DKP
Paser. Masyarakat belum disiplin dalam membuang sampah. Mereka malas membuang
sampah pada tempat yang telah tersedia.
Akibatnya, masih sering melihat tumpukan sampah berada di luar Tempat
Pembuangan Sampah (TPS). Kondisi demikian sangat mengganggu pemandangan
disamping bau tak sedap dari tumpukan sampah.
Selain malas membuang sampah pada tempatnya, warga juga tidak disiplin
dalam membuang sampah sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser. Jadwal waktu pembuangan
sampah yang ditetapkan DKP yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita.
Penentuan jadwal pengangkutan sampah ini dilakukan setelah pertimbangan berbagai