• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Besarnya BPHTB Terutang Terhadap Penerima Waris dan Hibah Wasiat Sebelum Dan Setelah Berlakunya UU PDRD.

BESARNYA BPHTB TERUTANG TERHADAP PENERIMA WARIS DAN HIBAH WASIAT

C. Kepastian Besarnya BPHTB Terutang Terhadap Penerima Waris dan Hibah Wasiat Sebelum Dan Setelah Berlakunya UU PDRD.

Sebelum berlakunya UU PDRD, didalam UU BPHTB Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tertulis tentang besarnya BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat serta dengan pengurangannya. Didalam pasal 3 UU BPHTB, yang berbunyi :

“Ayat 2 : objek pajak yang diperoleh karena waris hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Didalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU BPHTB ditetapkannya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat, yang berbunyi :

1. Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah, wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

2. Ketentuan NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (selanjutnya akan disebut dengan PP) Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, pasal 2 yang berbunyi : “bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang atas

perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang seharusnya terutang”.

Contoh perhitungannya :

Pada tahun 2005, A menerima hibah wasiat dari orang tuanya, sebidang tanah seluas 350 M, dengan harga pasar sebesar Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)nya sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). NPOPTKPnya adalah sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). BPHTB terutang yang harus dibayar adalah :

BPHTB = 5% x (NJOP-NPOPTKP)

= 5% x (500.000.000 - 300.000.000) = 5% x 200.000.000 = Rp. 10.000.000 = 50% x 10.000.000 = Rp. 5.000.000

BPHTB terutang yang seharusnya dibayar adalah sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, seperti yang disebut didalam Pasal 3 PP Nomor 111 Tahun 2000.

Pengajuan pengurangan BPHTB ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ PMK.03/ 2004 jo. PMK No. 104/ PMK. 03/ 2005 jo. PMK No. 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang menyebutkan permohonan pengurangan BPHTB diajukan

secara tertulis dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang BPHTB.

Namun, setelah diterbitkannya UU PDRD, maka ketentuan di dalam UU BPHTB tidak berlaku lagi, dan secara otomatis Peratutan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang lama tidak berlaku lagi. Di dalam UU PDRD perihal NPOPTKP yang dalam Pasal 87 ayat (5) dan ayat (6) dinyatakan bahwa: Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selanjutnya perihal NPOPTKP berdasarkan Pasal 87 ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berbeda dengan PP Nomor 111 Tahun 2000 terdahulu yang tersebut diatas yang memberikan keringanan dengan cukup membayar 50% (lima puluh persen) saja dari BPHTB yang terutang karena hibah dan hibah wasiat, di dalam UU PDRD Pasal 88 ayat (1) ditentukan : Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan Paling tinggi sebesar 5 % (lima persen). Diperjelas lagi dalam Pasal 88 ayat (2) ditentukan tarif Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dalam hal pemberian pengurangan dalam UU PDRD diatur di dalam Pasal 107 ayat (2) dan (3), yang berbunyi :

a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahanya.

b. Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar.

c. Mengurangkan atau membatalkan STPD.

d. Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tat acara yang ditentukan, dan

e. Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.”

Ayat (3) : Ketetuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.” Sebagai bahan perbandingan, dapat dilihat Peraturan Daerah (selanjutnya akan disebut PERDA) dari beberapa daerah. Sebagai contoh daerah Kota Jakarta dan Kota Medan. Di dalam Perda Kota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tidak dicantumkan tentang pengurangan BPHTB. Mereka menerbitkan suatu Perda tersendiri tentang pengurangan BPHTB, yaitu Perda Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah, yang menyebutkan :

“Pasal 42 : 1. Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur dapat memberikan pengurangan pajak setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak.

2. permohonan pengurangan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , disampaikan secara tertulis dengan sekurang-kurangnya memuat :

a. nama dan alamat Wajib Pajak;

b. jenis pajak dan besar pengurangan pajak yang dimohon;

c. alasan yang mendasari diajukannya permohonan pengurangan pajak.

Pasal 43 : 1. Gubernur karena jabatannya dapat memberikan keringanan pajak setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari dasar pengenaan pajak atau pokok pajak.

2. Pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan atau keadaan tertentu.

Pasal 45 : Persyaratan dan tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, diatur dengan Peraturan Gubernur.”

Selanjutnya, diterbitkanlah Peraturan Gubernur (selanjutnya akan di sebut PERGUB) Nomor 103 Tahun 2011 Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Pemberian Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan BPHTB, atas dasar pertimbangan :

a. Bahwa pelaksanaan pengurangan, keringanan dan pembebasan BPHTB yang sebelumnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PKM.03/2006 tanggal 13 Desember 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB yang berpedoman Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

b. Bahwa ketentuan mengenai pengurangan, keringanan dan pembebasan saat ini telah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2010 tentang BPHTB. c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pemberian Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan BPHTB.

Di dalam Pergub Nomor 103 Tahun 2011 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan : “ Ayat 1 : atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat

memberikan pengurangan BPHTB setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak.

Ayat 2 : pengurangan BPHTB 50% (lima puluh persen) untuk Wajib pajak yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah.”

Pasal tersebut di atas mengatakan setiap Wajib Pajak yang menerima hibah wasiat harus mengajukan permohonan kepada Gubernur agar diberi pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen).

Namun, seiring berjalannya waktu dan pergantian Gubernur, diterbitkannya Pergub baru yaitu Pergub Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan BPHTB. Di dalam Pasal 5 Pergub Nomor 112 Tahun 2011, disebutkan :

“Ayat 1 : pengenaan BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang.

Ayat 2 : penetapan saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kanwil BPN atau kantor pertanahan.

Ayat 3 : penetapan saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.”

Dapat dilihat dari Pasal di atas, Wajib Pajak mendapatkan potongan langsung dan di dalam Pergub-nya tertulis nilai pengenaan sebesar 50% (lima puluh persen) atas objek pajak yang diterimanya melalui waris dan hibah wasiat tanpa harus mengajukan permohonan apapun lagi.

Lain halnya dengan ketentuan Perda Kota Medan. Perda Nomor 1 Tahun 2011 Kota Medan tentang BPHTB, Pasal 21 tentang Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan atau Pengurangan Sanksi Administratif mengikuti UU PDRD

Pasal 107 tentang Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan atau Pengurangan Sanksi Administratif. Diperjelas lagi dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (yang selanjutnya akan disebut PERWAL) Nomor 24 Tahun 2011 Kota Medan tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, atas dasar pertimbangan :

a. Bahwa Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 tentang BPHTB telah ditetapkan dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 1 tanggal 4 Februari 2011.

b. Bahwa untuk efektifitas pelaksanaan pemungutan BPHTB, perlu adanya pedoman berupa sistem dan prosedur pemungutan BPHTB.

c. Bahwa untuk maksud tersebut pada huruf b, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang Sistem dan Prosedur Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Di dalam Perwal Nomor 24 Tahun 2011 Kota Medan Pasal 12, disebutkan : “Ayat (1) : pengurangan BPHTB khusus hibah mati dan waris diajukan oleh wajib

pajak dan disampaikan kepada Kepala SKPKD melalui fungsi pelayanan untuk diteliti.

Ayat (2) : pengurangan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ayat (3) : tata cara pengurangan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.”

“prosedur pengurangan BPHTB merupakan proses yang dilakukan fungsi pelayan dalam menetapkan persetujuan/penolakan atas pengajuan pengurangan BPHTB terutang dari wajib pajak, fungsi pelayanan kemudian menelaah dan memeriksa pengajuan pengurangan berdasarkan dokumen pendukung pengajuan dan data terkait objek. Pemberian pengurangan sendiri dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah yang berisi tentang kriteria dan kategori pengurangan untuk daerah yang bersangkutan. Prosedur ini melibatkan fungsi pengolahan data dan informasi sebagai pihak yang memiliki dan mengelola database objek pajak di wilayah administratifnya dan di sahkan oleh Kepala Daerah ataupun Pejabat yang diberikan wewenang untuk itu.”

Diberlakukannya pengurangan BPHTB dengan mengajukan Surat Keterangan (SK) Permohonan Pengurangan BPHTB di Kota Medan agar untuk menghindari penipuan pajak, seperti Wajib Pajak yang tidak ingin membayar pajak BPHTB. Kepala Dinas yang mempunyai kebijakan untuk menerima atau menolak SK Permohonan Pengurangan BPHTB yang telah diajukan oleh Wajib Pajak. Apabila SK Permohonan Pengurangan BPHTB tersebut telah diterima oleh Kepala Dinas, maka Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Kota Medan akan mengeluarkan Nomor Pelayanan Pendaftaran Pengurangan BPHTB.121Adapun tata cara untuk mengajukan SK Permohonan Pengurangan BPHTB harus melampirkan : Fotocopy sertifikat, KTP pemberi dan penerima hibah wasiat, Kartu Keluarga pemberi dan penerima hibah

121

Hasil wawancara dengan Staff Bidang Bagi Hasil Pajak Dispenda Kota Medan, Bapak Muhammad Akhyar Hasibuan, pada tanggal 1 Maret 2016

wasiat dan Akta lahir penerima hibah wasiat. Kalau pemberi hibah wasiat masih hidup harus melampirkan akta nikah.122

Hal tersebut di atas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena di setiap daerah berbeda-beda sistem dan prosedur pengurangan BPHTB-nya. Di Perwal Kota Medan tidak tertulis berapa jumlah pengurangan yang diberikan dan setiap wajib pajak yang mengajukan SK Permohonan Pengurangan BPHTB bisa saja ditolak permohonannya apabila data yang diberikan tidak lengkap atau tidak jelas keasliannya. Berbeda dengan Kota Jakarta yang di dalam Pergub-nya tertulis jumlah pengurangan yang diberikan dan tanpa harus mengajukan apapun, setiap wajib pajak yang menerima hibah wasiat langsung diberi pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen). Hal tersebut juga bertolak belakang dengan makna kepastian hukum yang menyebutkan harus adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir dan tidak menimbulkan kontradiktif.

122

Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT, Bapak Winston, SH, MKn, pada tanggal 18 Februari 2016

A. Kesimpulan

1. Besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat berbeda dengan bukan waris dan hibah wasiat. Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan dalam perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus jutah rupiah). Ketentuan mengenai besarnya NPOPTKP tersebut berdasarkan Pasal 87 angka (6) harus ditetapkan dengan peraturan daerah masing-masing Kabupaten/Kota yang memungut BPHTB. Akan tetapi setiap daerah dapat berbeda-beda dalam menetapkan NPOPTKP. Tergantung dari ketentuan atau kebijakan yang ada pada masing-masing Perda tentang BPHTB di masing-masing daerah tersebut.

2. Penetapan besarnya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat paling rendah sebesar RP. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan untuk bukan waris dan hibah wasiat paling rendah sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) telah memenuhi prinsip keadilan vertikal dan horizontal, karena berdasarkan landasan sosiologis, kemampuan membayar pajak (ability to pay the tax) penerima waris

dan hibah wasiat pada umumnya lebih rendah dari bukan penerima waris dan hibah wasiat.

3. Asas kepastian hukum ketentuan tentang pengurangan dan besarnya pengurangan BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat tidak terpenuhi, karena tidak dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Perda tentang BPHTB pada masing-masing Kabupaten/Kota, dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

B. Saran

1. Hendaknya Pasal 87 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di revisi sehingga besarnya NPOPTKP diubah dari ditetapkan dengan Perda menjadi ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah, agar untuk mengubah besarnya NPOPTKP sesuai dengan kondisi daerah masing-masing menjadi lebih sederhana.

2. Agar lebih terpenuhinya asas keadilan vertikal dan horizontal dalam memungut pajak, hendaknya Perda tentang BPHTB pada masing-masing Kabupaten/Kota menetapkan perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. 3. Untuk memenuhi prinsip kepastian hukum tentang pengurangan BPHTB bagi

penerima waris dan hibah wasiat, Perda tentang BPHTB di masing-masing daerah Kabupaten/Kota hendaknya mencantumkan ketentuan tentang pengurangan dan besarnya pengurangan BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat.

Dokumen terkait