• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Terhadap Kekuatan Pembuktian Kontrak

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 118-0)

BAB IV ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM KONTRAK

B. Kepastian Hukum Terhadap Kekuatan Pembuktian Kontrak

dan Dibawah tangan

122Salim H.S.,S.H.,M.S.Op.Cit hlm 10

Pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis mempunyai kaitan dengan masalah pembuktian.Pembuktian pada umumnya adalah:apabila seseorang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna menguatkan haknya sendiri,demikian juga membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa,diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.123

Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu124

1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas

“acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat, dimana tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, sehingga oleh karenanya mempunyai kekuatan pembuktian lahir, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan baru berlaku sah, jika yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu, artinya jika tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah akta itu berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (pasal 1875 KUH Perdata).

2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.125Sedangkan Akta di bawah tangan

123Widjaya S.H.,M.A. Op.Cit hlm 7

124Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang,Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi (Jakarta: Cetakan ke-1,Penerbit Rineka Cipta),hml.109.

125Ibid hlm 111

baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui/ tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan, maka kekuatan pembuktian formal dari aktadi bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik.

3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Akta pejabat sebagai akta otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya. Akta para pihak menurut undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya. Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya, serupa dengan partij akten sebagai akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya serta para penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUH Perdata (pasal 288 Rbg).126

Dalam pembuktian suatu perkara perdata,Pasal 1866 KUH Perdata atau Pasal 164 Reglemen Indonesia yang diperbaharui telah mengatur jenis alat bukti dalam hukum acara perdata yaitu Dikenal adanya alat alat bukti berupa Alat bukti tertulis;

bukti dengan saksi saksi; persangkaan persangkaan; pengakuan; dan sumpah.

Kaitan dengan pembuktian tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun dengan tulisan dibawah tangan yang penjelasan tentang tulisan bentuk otentik dan dibawah tangan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Surat bukan akta,dan Salinan.Surat bukan akta tidak sekuat akta karena surat ini bukan ditujukan sebagai alat bukti. Oleh karena itu surat bukan akata dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah

126 Pasal 1875 KUH Perdata: “Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik

pembuktian artinya adalah bahwa surat tersebut dapat diajukan ke pengadilan sebagai petunjuk yang dapat menambah keyakinan hakim yang memeriksa perkara,Sedangkan Salinan kekuatan pembuktian alat bukti tertulis dalam bentuk saliann terletak pada dokumen aslinya artinya adalah bahwa penggunaan salinan di pengadilan harus pula dengan menunjukkan naskah aslinya.Sementara itu jika salinan tersebut memperoleh tanda legalisasi (seperti pada ijazah),maka di pengadilan pihak yang memberikan (menandatangani) legalisasi harus memberikan pengakuan atas pernyataan legalisasi yang dimaksud di muka hakim.

Terkait dengan Kontrak yang dibuat menggunakan bahasa Asing atau bahasa Inggris tidak ada diatur jelas dalam kitab undang undang hukum perdata terkait dengan pembuktiannya.Akan tetapi dengan mengacu pada pasal 1888 KUH Perdata mengatakan :

“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”.

Dari pasal 1888 KUH Perdata jelas bahwa selama akta yang dibuat dibawah tangan atau akta otentik dan itu adalah akta aslinya maka akta itu sudah mempunyai kekuatan pembuktian.Dalam hal ini jika akta itu adalah akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris maka Minuta akta lah yang memiliki kekuatan pembuktian sedangkan untuk akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya terletak pada akta yang ditandatangani ditambah dengan Penggunaan materai seperti yang dinyatakan

dalam Undang undang no 13 tahun 1985 tentang Bea Materai menyatakan bahwa bea materai adalah pajak atas dokumen,termasuk didalamnya surat perjanjian dan surat surat lainya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan,kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

Dalam hal terkait dengan Kontrak yang bersifat otentik yang dibuat dengan menggunakan bahasa Asing maka Pembuktian didasarkan pada bentuk perjanjian tersebut, jika perjanjian tersebut dibuat dengan akta yang bersifat otentik maka perjanjian tersebut mengacu pada pembuktian yang otentik juga, Terkait dengan akta otentik bahasa inggris yang dibuat di hadapan Notaris maka Mengacu pada Pasal 43 Undang Undang Jabatan Notaris. Jadi Undang Undang Jabatan Notaris memperbolehkan dalam pembuatan perjanjian menggunakan bahasa meskipun wajib diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Dan karena Akta yang dibuat dalam Bahasa Inggris tersebut adalah akta otentik maka perjanjian tersebut tetap dapat menjadi bukti yang sah dipengadilan.

Terkait dengan kontrak yang dibuat dengan menggunakan bahasa Asing yang dibuat dibawah tangan terhadap pembuktiannya di pengadilan juga hampir serupa yang berbeda adalah sewaktu pembuktian akta tertulis tersebut yang mengajukan permasalahan ke pengadilan harus dapat membuktikan di pengadilan terhadap akta yang dibuat,dan akta itu harus asli berdasarkan apa yang mereka tandatangani,dan jika salah satu pihak menyangkal maka pihak lain yang merasa dirugikan harus bisa membuktikan apa yang disangkal.Jadi terkait drngan penggunaan bahasa dalam perjanjian tidak menjadi persoalan,terkait apakah perjanjian yang dibuat dengan

menggunakan bahasa asing tersebut adalah melanggar undang undang maka hakim sendirilah yang akan memutuskan apakah perjanjian tersebut dibuat dengan sebab yang tidak halal dan tidak sesuai dengan syarat pembuatan perjanjian sebagaimana dalam pasal 1320 KUH Perdata.

Akan tetapi Pasca keluarnya Undang Undang no 24 tahun 2009 khususnya pasal 31 ini memungkinkan Perjanjian dengan menggunakan bahasa asing menjadi tidak berlaku sebagai alat bukti di pengadilan dikarenakan pasal 31 memiliki makna yang kata yang dapat menyebabkan multitafsir saat Kontrak atau perjanjian masuk ke ranah hukum.Salah satu pihak dapat memakai pasal ini sebagai dasar hukum untuk membatalkan Perjanjian yang menggunakan bahasa Inggris di pengadilan dan kembali lagi pada putusan hakim itu sendiri untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dalam pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 disebutkan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.127 Tetapi dalam praktiknya tentu keadilan tidak begitu mudah tercipta bahkan terkesan tidak adil dan menimbulkan kontra dalam menjatuhkan putusan sebagai contoh putusan Batal demi hukum hakim mengacu pada pasal 31 undang undang no 24 tahun 2009 yang membatalkan batal demi hukum perjanjian yang menggunakan bahasa Inggris seperti yang disebutkan diatas.

127 Undang undang RI ,Nomor 48 Tahun 2009 ,Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1, Jakarta 2009

Kejadian yang sama juga dialami oleh Sumatra Partners yang digugat oleh PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) dengan gugatan yang sama karena Perjanjian yang dibuat menggunakan bahasa Inggris akan tetapi Hakim Pengadilan Negeri Jakarta barat menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa kontrak berbahasa asing karena didalam kontrak itu ada dibuat klausul yang menunjuk bahwah dua belah pihak sepakat menggunakan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bila ada sengketa dikemudian hari.Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa pasal 31 undang undang bahasa ini dapat menjadi celah hukum bagi para pihak untuk “mencoba coba” memakai pasal 31 ini untuk membatalkan perjanjian yang menggunakan bahasa asing meskipun sebenarnya esensi sebuah perjanjian tidak dapat dilihat langsung mengacu pada undang undang bahasa akan tetapi harus dilihat dari maksud dan tujuan isi dari pada perjanjian tersebut seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Untuk Perjanjian yang dibuat dengan akta otentik,terhadap pembuktiannya dalam hal ini ada payung hukum yang memayungi perjanjian tersebut yaitu mengacu kepada Undang Undang Jabatan Notaris.Jadi meskipun perjanjian tersebut dibuat dengan menggunakan bahasa Asing sebagai perjanjian pokoknya,akan tetapi tetap bisa menjadi bukti yang otentik di pengadilan,karena undang undang jabatan Notaris yang menentukan demikan,sedangkan jika dihadapkan pada pasal 31 undang undang bahasa tidak dapat membatalkan perjanjian tersebut karena dalam Undang-Undang no 24 Tahun 2009 terdapat ketentuan peralihan dalam pasal 72 yang mengatakan :

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang Undang ini.

Dengan arti bahwa meskipun Kontrak yang menggunakan Bahasa Asing mengacu pada Undang-Undang Bahasa akan tetapi dapat menjadi pertimbangan oleh hakim dengan adanya ketentuan peralihan ini terhadap akta yang bersifat Otentik yang dibuat di hadapan Notaris.Berbeda dengan Kontrak yang dibuat dibawah tangan.terhadap Kontrak yang dibuat dibawah tangan tidak terdapat payung hukum yang memayungi Kontrak yang dibuat dibawah tangan hanya berpedoman pada asas hukum kontrak dan kebiasaan dalam masyarakat dalam membuat Kontrak,hal ini menyebabkan Kontrak dibawah tangan pasca keluarnya undang undang bahasa memiliki celah hukum yang memungkinkan perjanjian yang menggunakan Bahasa Inggris tersebut terhadap pembuktiannya di Pengadilan dapat di tolak oleh hakim dan menjadi tidak memiliki kekuatan pembuktian tertulis.Tetapi kembali lagi kepada hakim yang memutuskan sengketa penggunaan bahasa asing dalam perjanjian tersebut.

Akan tetapi meski tidak ada payung hukum akan tetapi jika kontrak atau perjanjian tersebut dibuat dengan memakai klausul pilihan forum maka perjanjian yang dibuat dengan bahasa asing memiliki payung hukum yakni Undang undang Abritrase. Mengenai bahasa yang digunakan,para pihak dapat melakukan pilihannya.

Apabila para pihak tidak menentukan bahasa apa yang akan digunakan ,majelis arbitraselah yang akan menentukan dengan memperhatikan keinginan para pihak atau

mendasarkan pada bahasa yang digunakan dalam dokumen dokmen bisnis dan korespondensi para pihak yang bersengketa. Dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999, Pasal 28 menyebutkan bahwa: “Bahasa yang digunakan dalam semua proses Arbitrase adalah Bahasa Indonesia,kecuali atas persetujuan arbiter atau Majelis Arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan”.128

Oleh karena itu,jika para pihak bermaksud menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa bagi arbitrase (applicable language), maka mereka perlu memasukkan dua hal dalam klausul arbitrase yaitu pertama, menyebut bahasa Inggris sebagai pilihan bahasa dalam semua proses arbitrase; dan kedua para pihak hanta dapat mengangkat arbiter yang bersedia menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Inggri sebagai bahasa dalam arbitrase.Klausul tersebut akan “memaksa” arbiter atau majelis arbitrase untuk memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahannya kedalam bahasa Inggris.(bandingkan klausul arbitrase tersebut dengan Pasal 35 Undang-Undang No 30 tahun 1999,yang menyatakan: “Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai terjemahan ke dalam bahasa yang akan ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase)129.

Dari keseluruhan uraian tentang hukum dan bahasa diatas dapat disimpulkan bahwa hukum dan bahasa dari tempat penyelenggaraan arbitrase tidak serta merta dipakai untuk menyelesaikan sengketa.Misalnya,tempat arbitrase dipilih adalah jakarta,hal ini tidak selalu berarti bahwa hukum dan bahasa Indonesia yang harus

128Gatot P.Soemartono ,Arbitrase dan mediasi di Indonesia,Jakarta Gramedia Pustaka Utama hal 56

129Ibid

digunakan dalam proses pemeriksaan sengketa. Hukum dan bahasa apa yang berlaku tergantung pada pilihan hukum dan pilihan bahasa yang ditentukan para pihak sendiri dalam perjanjian arbitrase mereka. Dengan demikian dapat terjadi proses penyelesaian sengketa.130

130Ibid

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian perpustakaan maka dari apa yang menjadi masalah atau pembahasan tesis ini,dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasal 31 Undang Undang Bahasa ayat 1 dan 2 menjadi ketentuan yang saling mengikat tentang kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dan bahasa Asing sudah sesuai dengan asas hukum kontrak dan tidak melanggar asas hukum kontrak untuk diterapkan terhadap Kontrak yang menggunakan Bahasa Asing.Dikaji dari Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menginginkan materi muatan undang undang mencerminkan asas kepastian hukum ,UUD 1945 dan asas hukum kontrak,dan hal ini sudah tercermin dalam pasal 31 ayat 1 dan 2,akan tetapi dalam pelaksanaan penerapan pasal 31 ayat 1 dan 2 tidak dapat terlaksana dengan baik karena menimbulkan mutitafsir terhadap kata “wajib” dalam pasal 31 ayat 1 yang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia dan mengabaikan ayat 2 yang isinya dapat “ditulis juga” dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

2 Kontrak Internasional yang menjadi kontrak pokoknya kemudian diterjamahkan kedalam bahasa Indonesia kurang memenuhi ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Bahasa. Dalam praktiknya kontrak dibuat dengan akta Otentik dan akta Dibawah tangan.Dalam pelaksanaanya kontrak yang menggunakan Akta Otentik

berlandaskan pada Undang-Undang Jabatan Notaris memperbolehkan penggunaan Bahasa Asing sebagai perjanjian pokok yang kemudian harus juga tetap ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia,terlebih lagi di dalam Undang-Undang Bahasa terdapat ketentuan peralihan dalam pasal 73 yang menunjuk Undang-Undang yang berkaitan dengan Bahasa masih berlaku,dalam hal ini perjanjian pokok yang dibuat dengan menggunakan bahasa Asing berpedoman pada Undang Undang Jabatan Notaris.Sedangkan Kontrak yang dibuat Dibawah tangan mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Perjanjian pokoknya sesuai dengan Pasal 31 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Asing.

3. Terhadap Asas Kepastian hukum menyangkut keabsahan dan pembuktian suatu kontak yang dibuat baik kontrak dalam bentuk Kontrak Otentik ataupun Kontrak Dibawah tangan yang dibuat dengan menggunakan bahasa Asing setelah di Undangkannya Undang-Undang Bahasa khususnya pasal 31 yang mengatur mengenai perjanjian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapan hukumnya.Akan tetapi sebenarnya terhadap Kontrak yang dibuat dalam Bahasa Asing tetaplah menjadi dokumen pembuktian sah di Pengadilan.Pada pasal 31 ayat 1 terdapat multitafsir terdapat kata “wajib” yang seakan mengharuskan perjanjian tersebut dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia.Oleh karena itu dalam hal pembuktian dan keabsahan di pengadilan dapat menjadi lemah saat perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris.

B. Saran

Berdasarkan hal hal tersebut,maka peneliti mengemukakan saran saran dengan harapan dapat menjadi bahan pemikiran dan kajian pihak pihak yang terkait,yaitu:

1. Terhadap kasus perkara kontrak yang batal demi hukum yang menggunakan Bahasa Inggris pada perjanjian pokoknya dan dilanjutkan dengan ada terjemahan kedalam bahasa Indonesia dinilai kurang sesuai menerapkan asas Hukum Kontrak dan untuk mendapatkan dan mencari kepastian hukum dan keadilan tersebut para pihak perlu membawa perkara sampai ke tingkat Mahkamah Agung sebab jika tidak dilakukan upaya hukum maka hal ini akan merugikan salah satu pihak,sebab sebenarnya nilai dari sebuah perjanjian itu terletak pada tujuan dan isi dari pada perjanjian itu sendiri apakah isi dan tujuan tersebut melanggar syarat sahnya perjanjian atau tidak,sedangkan perjanjian yang dibuat dengan menggunakan Bahasa Inggris tidak merugikan salah satu pihak seperti yang dijelaskan sebelumnya terlebih lagi perjanjian ada diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,jadi pelaksanaan perjanjian batal demi hukum yang karena semata mata menggunakan Bahasa Asing dinilai tidak tepat untuk menciptakan rasa keadilan dan Kepastian Hukum.

2. Dalam hal pembuatan Kontrak di Era Globalisasi ini terlebih lagi dengan Lahirnya Undang-Undang Bahasa pasal 31 yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia,Para pihak yang yang biasanya membuat Kontrak dalam bahasa Asing dibuat dibawah tangan seperti pada kasus yang batal demi hukum,maka sudah seharusnya untuk meminimalisasi hal yang tidak diinginkan

seperti kasus yang terjadi maka disarankan untuk membuat kontrak yang melibatkan pihak asing ke Pejabat yang berwenang yang diangkat oleh negara Republik indonesia yaitu Notaris karena didalam pasal 43 Undang-Undang Jabatan Notaris juga diatur mengenai penggunaan bahasa yang lebih jelas maksudnya dan tujuannya sehingga dapat menghindari permasalahan hukum yang sama dikemudian hari.

3. Terhadap Perjanjian tertulis dalam bahasa Asing yang dijadikan alat bukti di pengadilan seharusnya Pengadilan menyediakan jasa ahli penerjemah Internasional maupun Lokal yang dibawah sumpah dan dalam pembuatan Akta ahli penterjemah harus diikut sertakan hadir dan menandatangani Akta yang dibuat dalam bahasa Asing tersebut.Dan Pasal 31 Undang Undang Bahasa hendaknya direvisi khususnya kata “wajib” pada ayat 1 karena hal ini dapat menimbulkan multitafsir dalam penafsiran terhadap perjanjian yang menggunakan bahasa Asing.Ini menyebabkan pasal 31 ini menjadi celah hukum bagi salah satu pihak untuk mencoba mengajukan gugataan untuk menuntut batal demi hukum karena melanggar Pasal 31 Undang Undang Bahasa tersebut,dan bagi para pihak yang merasa dirugikan atas Pasal tersebut hendaknya mengajukan ke tingkat banding ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan rasa keadilan.Dan dalam menyusun kontrak perlu diperhatikan Pilihan Hukum atau Pilihan Forum yang digunakan agar keadilan dan kepastian hukum tercipta maka seharusnya Pilihan Forum melalui Arbitrase yang dipilih jika sewaktu dikemudian hari terjadi sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2005.

Ali, Zainuddin ,Metode Penelitian hukum.Jakarta : Sinar Grafika,2009.

Ali,Achmad,Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),termasuk interperetasi Undang undang (Legisprudence).Jakarta: Kencana 2012

Badrulzaman,Mariam Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT.Citra Adytia Bakti, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya.Bandung: Alumni 2010.

Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung:Citra Aditya,2010.

Bakti Ardhiwisastra,Yudha, Penafsiran dan Konstruksi Hukum.

Bandung:Alumni,2000.

Bruggink,.J.J.H,Refleksi Tentang hukum (alih bahasa : B Arief Shidarta).

Bandung:Citra Aditya Bakti,1999.

Badrulzaman, Mariam Darus,”Perikatan pada Umumnya”,dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Perikatan,Bandung: Citra Aditya Bakti,2001.

Dagun, Save M, Pengantar FilsafatEkonomi, Jakarta:Rineka Cipta,1992.

Erawati ,Elly dan Herlina Budiono,”Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian”_______________

Fajar ND,Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.Jakarta:Pustaka Pelajar______

Friedman,Lawrence M..American Law An Introduction Pengantar Hukum Amerika Penerjemah Whisnu Basuki.Jakarta: Tata Nusa.2001

Fuady Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Keempat.Bandung Citra Aditya Bhakti. 1997

Gunawan, Johannes,“Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak”.Bandung:

Aditama,2008.

Gautama, Sudargo, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung:Penerbit Binacipta, cet. Ke-5, 1987

Huijbers ,Theo,Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta:Kanisius,1982.

Indrati S, Maria Farida,Ilmu Peundang-Undangan I, Yogyakarta :Kanisius,2007.

Ishaq, Dasar dasar Ilmu Hukum,_________Sinar Grafika,2007

Kusumaatmadja,Mochtar, dan Etty R.Agoes.Pengantar Hukum Internasional, Bandung :Cetakan pertama,P.T.Alumni,2003.

Komariah, Hukum Perdata,Malang:Universitas Muhammadiyah,2002.

Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta:Universitas Indonesia, 2003.

Kusumohamidjojo,Budiono.Dasar-Dasar Merancang Kontrak.Jakarta: Penerbit PT Grasindo 1998

Mauna,Boer,Hukum Internasional: Pengertian,Peranan dan fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung :Cetakan Ketiga,Alumni,2001.

Mertokusumo,Sudikno,Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta;PT Raja

Mertokusumo,Sudikno,Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta;PT Raja

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 118-0)

Dokumen terkait