• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI KEKUASAAN JAWARA PESISIR

Pengantar

Pasca reformasi seiring dengan diberlakukannya politik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, politik lokal menampakkan ragam dinamika. Salah satu di antaranya adalah munculnya orang kuat di tingkat lokal dalam mengakses kekuasaan. Orang kuat lokal (local strongmen, bossism) tumbuh dengan memanfaatkan kran demokratisasi dan keterbukaan politik. Begitu pula dengan kemunculan elit jawara di pesisir Teluk Naga, Tangerang Banten. Bila di masa penjajahan dan awal kemerdekaan jawara mengisi peran Negara yang belum hadir dalam masyarakat, sedangkan pada masa Orde Baru jawara mengisi peran civil society yang lemah – jawara sebagai produk struktur Negara otoriterianis, maka di era desentralisasi jawara hadir sebagai elit formal yang massif dari tingkat desa hingga propinsi. Meminjam bahasa Pareto, jawara di era desentralisasi mengalami transformasi dari non governing elite menjadi governing elite – dari the rulled class menjadi the rulling class (Mosca). Kenyataan empiris ini menunjukkan era baru kedudukan sosial jawara di masa otonomi-desentralisasi.

Berangkat dari realitas tersebut, tesis penting yang menjadi arah pertanyaan kemudian ialah bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya kepemimpinan formal dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang? Ada dua poin penting sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, pertama, sumber kekuasaan jawara dijastifikasi melalui pewarisan secara turun temurun dalam frame legitimasi karisma-tradisional. Kedua, strategi politik jawara memungkinkan hadirnya kepemimpinan formal. Ketiga, peta konsolidasi memungkinkan kuatnya konsolidasi pemerintahan dan dinamika pemerintahan jawara pedesaan.

Terkait tiga poin penting tersebut, maka bab 6 ini akan menjelaskan (1) sumber kekuasaan dan ideologi jawara; (2) strategi politik jawara: pragmatisme dalam balutan golok, putaran tasbih, dan kepentingan corporate; dan (3) konsolidasi kekuasaan jawara.

Sumber Kekuasaan dan Ideologi Politik Jawara

Kekuasaan jawara sebagai kepala desa di pesisir Teluk Naga, Tangerang merupakan pewarisan secara turun temurun. Hal ini terjadi lantaran jawara memiliki tipe legitimasi karisma dan tradisional. Elit dengan tipe legitimasi tradisionalnya memiliki hak untuk berkuasa didasarkan atas dasar keturunan yang dimilikinya. Jabatan tersebut didasarkan pada prinsip primogenitur patrilineal. Implikasinya bahwa kedudukan pemimpin atau kepala desa di atas bersifat pewarisan, ascribed status. Dia legitimate untuk memerintah karena keyakinan- keyakinan lama yang ada dan masih berlaku di masyarakat yang bersangkutan

mengharuskan begitu. Anggota masyarakat lainnya yang diperintah menerima keadaan seperti ini sebagai kewajaran yang memang dibenarkan secara moral.

Box 6.1 Sketsa Terpilihnya Rsd42

Kekuasaan yang turun-temurun itu melahirkan politik klan yang berbasis pada jejaring politik keluarga. Politik keluarga akan lebih mudah untuk dikonsolidasikan untuk kepentingan politik jangka panjang melalui solidaritas kekeluargaan. Maka, para elit politik dari pedesaan-pusat dewasa ini secara massif mengusung anggota keluarga menjadi pemimpin di berbagai lini kekuasaan.

Tabel 6.1 Potret Politik Kekerabatan/Keluarga

No. Keluarga Birokrat Hubungan

Kekerabatan

Posisi Parpol

1. Presiden RI Anak Anggota DPR RI Demokrat

2. Gubernur Banten Suami

Anak Ipar Anggota DPR RI Anggota DPD RI Walikota Tangerang Selatan, Kota/Kab. Serang Golkar

3. Bupati Tangerang Anak Anggota DPR RI

(Sekarang baru

menjadi Bupati

menggantikan Ayahnya)

Golkar

4. Camat Teluk Naga Kerabat Bupati

Tangerang

- -

5. Kepala Desa Tanjung

Burung

Kerabat Sekdes, kaur, kadus

Mandor Rw dan Rt

-

6. Kepala Desa Tanjung Pasir Kerabat Sekdes, kaur, kadus -

42

Kasus Gnwn dan Spr, juga tak jauh berbeda dengan Rsd. Gnwn naik menjadi kepala desa dikarenakan pewarisan kekuasaan dari bapaknya, Lurah Madi. Dalam kasus Gnwn, bahkan ada unsur pemaksaan dari orang tua, karena Gnwn blm menikah, ia terpaksa harus menikah. Sementara itu, Spr mewarisi kekuasaan dari kakeknya yang mantan kepala desa.

Tahun 2010 jabatan kepala desa pegang oleh Rusdiyono (putra Buang Muhadi/local strongmen). Terpilihnya Rusdiono tak lepas dari pengaruh bawaan atau kharisma-tradional orangtuanya yang merupakan tokoh kuat lokal (local strongmen), mantan kepala desa. Suksesi Rusdiono merupakan potret rutinisasi kekuasaan yang terjadi di pedesaan.

Menurut Rusdiyono, pada awalnya “menjadi kepala desa bagaikan mimpi”, karena lulusan SMA yang baru berusia 25 tahun ini hanya bekerja di pabrik tas dan koper, bukan seorang politisi desa, intelektual partai, ataupun tokoh lokal. Kharisma-tradisonal orangtua yang membawa ia muncul dipentas perpolitikan desa. Figuritas orangtuanya menjadikan masyarakat berharap banyak agar ia mampu meminpin desa Tanjung Burung agar lebih baik dan sejahtera. Sebab, selama menjadi kepala desa Buang Muhadi mampu menjadi seorang pemimpin yang baik di mata masyarakat, ia menjadi pemimpin yang disegani oleh masyarakat karena pengaruh kejawaraannya. Kapital sosial dari masyarakat ini yang kemudian membuat Rusdiyono memberanikan diri untuk mengikuti pemilihan kepala desa.

Mandor Rw dan Rt

7. Kepala desa Muara Kerabat Sekdes, kaur, kadus

Mandor Rw dan Rt

-

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.

Selain faktor keturunan, jawara memiliki sejumlah modal yang kuat yang kemudian dikelola bagi kepentingan dirinya maupun bagi kelompoknya. Modal- modal kekuasaan itu antara lain modal sosial, modal material, dan modal simbolik. Modal-modal itu ter-cover dari sumber-sumber kekuasaannya, sehingga merupakan bagian yang terintegratif tidak terpisah satu sama lainnya. Modal sosial yang dimiliki jawara terlihat dari adanya saling percaya (trust) dengan komunitasnya dalam aktifitas kesehariannya. Saling kepercayaan ini semakin mengukuhkan organisasi dan jaringan sosial kejawaraan. Kekuasaan jawara sebagai elit formal secara substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan pesisir. Sementara itu, modal simbolik menjadi penanda eksistensi kekuasaan jawara yang tidak terpisahkan dari konteks magic dan atribut kejawaraan yang dimilikinya.

Untuk melanggenggkan kekuasaannya dilakukan cara-cara: seperti pertama, melakukan kriminalitas dalam apresiasi kekuasannya, contoh: yang dilakukan oleh Kepala desa muara, Spr yang menjual lahan tambak milik tentara. Kepala desa Tanjung Burung yang melegalisasi judi sabung ayam, dan kepala desa Tanjung Pasir yang menjual lahan tanah garapan dan jalan kepada perusahaan Tanjung Pasir Resort. Kedua, penggunaan coersive violence atau kekerasan fisik dalam memerintah, seperti mengancam dan sejenisnya. Ketiga, menciptakan ketergantungan masyarakat dan elit lainnya seperti pengusaha, politisi, dan broker politik dalam relasi patron-client.

Gambar 6.1 Pola Hubungan Patronase Jawara Pesisir

Keterangan: P : Politisi KK: Kroni Kapitalis PB: Politisi-peBisnis

B : Birokrasi BP: Broker Politik

Politisi (P) Birokrasi (B) B B B B B B B B P PB P P PB P P P PB B B BP BP KK KK KK Kroni Kapitalis (KK)

Selain dengan ketiga cara di atas, dalam usaha melanggengkan kekuasaannya terkadang elit jawara juga berusaha menampilkan sikap-sikap populis, seperti: (a). berusaha menjadi populis – mendekatkan diri kepada masyarakat; (b). hadir takziyah dan tahlilan di masyarakat, dan (c) menghadiri acara hajatan masyarakat. Dalam konteks ini, ideologi para elit pemerintah desa di Pesisir Teluk Naga Tangerang Banten dapat dikategorikan, “neopatrimonialisme”. Neopatrimonialisme adalah personalisasi kekuasaan oleh penguasa tertinggi, dalam hal ini penguasa desa yang menciptakan jalinan pertukaran sumber daya material dengan loyalitas yang memungkinkan penguasa (diktator) pribadi mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka panjang (Brown, 2004; Drake, 2002). Penguasa pribadi selalu menganggap sumber daya negara adalah milik pribadi. Di sisi lain pemimpin rezim neopatrimonial tidak pernah menjanjikan demokrasi dan partisipasi pada rakyatnya, sebaliknya dia malah memberengus elemen-elemen demokrasi yang tumbuh, mengenggam erat lembaga lembaga bentukan masyarakat, mematikan kekuatan oposisi, menyingkirkan pejabat yang tidak loyal, membelenggu kebebasan politik publik, tidak toleran perbedaan, menciptakan konflik antar kelompok dengan cara politik adu domba dan sebagainya. Kokohnya penguasa pribadi dalam rezim neopatrimonial merupakan penghambat utama bagi jalan menuju demokrasi.

Strategi Politik Jawara: Pragmatisme dalam Balutan Golok, Putaran Tasbih, dan Kepentingan Corporate

Strategi politik merupakan instrumen penting bagi setiap aktor politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, tak terkecuali bagi kaum jawara pesisir. Ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang untuk menjadi elit formal di pedesaan. Pertama, menumbuhkan mitos power politics melalui simbol pragmatisme golok. Kedua, membangun kedekatan dengan Kiyai. Ketiga, berafiliasi dengan pemodal (corporate).

Pragmatisme dalam Balutan Golok

Golok merupakan simbol entitas kejawaraan yang melegitimasi dan merepresentasikan jatidiri jawara. Selain itu, dalam praksis politik, golok merupakan simbol mitos power politics, di mana warna kekerasan mengejawantah dalam simbol golok. Konsekuensi ini, memunculkan praksis politik jawara yang cenderung menuntut kepatuhan, memaksakan kehendak, dan tak segan-segan untuk melakukan kekerasan, demi meneguhkan kepemimpinan dan kekuasaannya. Pada sisi ini, golok menjadi simbol strategi politik pragmatis kaum jawara. Dalam praksis politik pragmatis ini, logika politik yang lebih menonjol ialah pencapaian tujuan, bukan proses. Dalam bahasa yang lebih lugas, elit jawara cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.

Tabel 6.2 Praktik Sosial Pragmatisme Jawara

Komponen Elite Rsd Elite Gnwn Elite Spr

Sumber Legitimasi Kharisma orangtua (mantan incumbent) Kharisma orangtua (mantan incumbent) Kharisma kakek (mantan incumbent)

Tujuan Politik Pragmatis

(berafiliasi dengan

pemodal dan

jawara lokal)

Pragmatis (berafiliasi dengan pemodal dan jawara lokal)

Pragmatis

(berafiliasi dengan pemodal dan jawara lokal)

Kontra Politik Masyarakat

pendatang/etnik

Militer (laten) Militer (Manifest)

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Terkait pola politik uang, strategi ini erat kaitannya dengan penyelenggaraan Pilkades untuk memenangkan kandidat jawara sebagai elit formal di pedesaan. Hal ini dapat didekati secara objektif melalui pembacaan atas komponen-komponennya antara lain komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya. Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor). Pelaku langsung politik uang dalam Pilkades terdiri dari Tim Sukses Calon Kades dan Bandar judi. Sedangkan pelaku tidak langsung terdiri dari Calon Kepala Desa dan Bandar/Pemain judi.

Pelaku langsung politik uang terjun langsung ke lapangan dengan membagi-bagikan sejumlah uang kepada beberapa kelompok sasaran. Tim Sukses ini dibentuk oleh Calon Kepala Desa. Kepentingan orang-orang yang tergabung dalam Tim Sukses ini beragam, antara lain kepentingan sangat materialistis, seperti harapan imbalan sejumlah uang yang tidak selalu dalam nominal besar. Bahkan seorang informan penelitian ini menyatakan bahwa dia mendapatkan uang

hanya sebesar 100.000 sebagai “imbalan” untuk aktivitas menyukseskan

pemenangan calon Kades tertentu. Di samping itu, juga ada motivasi pragmatis dalam jangka panjang, antara lain; agar yang bersangkutan beserta keluarganya dimudahkan dalam urusan-urusan formal di desa seperti pengurusan KTP atau sertifikat tanah. Selain itu, mereka juga merapat ke lingkaran dalam calon penguasa politik desa agar mendapatkan keuntungan-keuntungan (benefits) dalam jangka panjang, seperti keterlibatan dalam proyek-proyek desa.

Calon Kades merupakan pelaku tidak langsung yang sangat mempengaruhi maraknya politik uang dalam Pilkades. Calon Kades menyediakan sejumlah uang yang kemudian dicairkan kepada anggota Tim Sukses untuk dibagi-bagikan kepada warga. Sumber dana yang dimiliki oleh Calon Kades

berasal dari Calon Kades itu sendiri dan orang kaya yang “meminjamkan”

sejumlah uang untuk membeli suara warga dengan “imbalan” komitmen dari Calon Kades untuk melindungi kepentingan-kepentingan bisnis dan keamanan (business and human security) orang kaya tersebut. Kenyataan money politics atau serangan fajar ini nampak jelas dari kemenangan tiga elit keturunan jawara yang memimpin desa pesisiran Teluk Naga. Berikut penuturan warga 3 dari desa.

“Pak Rusdiono menang dalam pilkades ya karena ngelakuin serangan fajar

“Gunawan itu melakukan kecurangan dalam Pilkades, bapaknya bermain di belakang, makanya dia menang. Dia, melakukan serangan fajar dan memainkan suara dengan panitia (Wawancara dengan Irvan Yusna, 20 Juli 2011).43

“Di desa Muara, kemenangan lurah (baca: kepala desa) yang saat ini menjabat, salah satu faktornya karena dapat dukungan dari Pak Nasan, selain juga faktor serangan fajar (Wawancara bapak Bule, 5 Maret 2010).

Satu lagi aktor yang menempatkan uang menjadi faktor sebagai dorongan yang sangat menentukan pilihan pemilih dalam Kepala Desa adalah Bandar atau pemain judi. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon Kades yang dipilihnya dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costs- benefits yang menguntungkannya. Pada aspek strategi, politik uang dalam Pilkades di tiga desa penelitian berlangsung dalam beberapa strategi. Pertama, dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.

Strategi permainan uang seperti ini memunculkan dua kemungkinan penggunaan kartu; kartu dibiarkan tidak digunakan atau kartu suara dicobloskan

oleh panitia atau “orangnya” calon Kades yang membeli suara. Dua kemungkinan

ini mengindikasikan rendahnya netralitas dari Panitia Pemilihan Kepala Desa. Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk mencairkan dana yang bahasa mereka uang tersebut sebagai uang saku, dengan besaran antara 10.000 sampai 50.000. Bisa juga berupa Pemberian Hadiah, makan gratis pada saat pilkades, dan pemberian rokok. Para anggota tim sukses bisa mendapatkan lebih dari itu. Strategi ini digunakan kepada dua sasaran; 1) pemilih netral yang belum menentukan pilihan, dan 2) pemilih potensial.

Ketiga, serangan fajar. Strategi pembagian uang sebelum atau pada saat fajar menyingsing pas hari pencoblosan dilakukan oleh anggota Tim Sukses dengan sasaran warga yang kemungkinan besar pendukung calon Kades lawan. Dengan nominal yang lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan oleh calon Kades lawan, diharapkan pendukung calon Kades lawan berubah pikiran dan mengalihkan dukungan kepada calon Kades yang bersangkutan, atau paling tidak menggunakan hak pilihnya sehingga potensi suara calon Kades lawan berkurang. Keempat, pembagian uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa. Strategi ini bertujuan untuk pemenangan satu calon tertentu, yang menjadi pilihan penggelontor uang dalam sebuah aktivitas perjudian. Permainan uang seperti ini ikut mempengaruhi preferensi politik warga dalam arena Pilkades.

Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar, sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi. Fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah dan para elit politik di desa, yaitu nilai non

43

Dalam pelaksanaan Pilkades di Desa Tanjung Pasir terdapat enam calon yang bertarung. Mereka adalah Surman yang meraih 1.623 suara, Masdi dengan 502 suara, Ahmad Sugiro dengan 202 suara, Sukari 280 suara, dan Masti meraih 719 suara. Sementara peraih suara terbanyak adalah Gunawan dengan 1.733 suara. Gunawan adalah anak mantan kades yang sebelumnya menjabat.

demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi substantif (substantive democrarcy).

Politik uang yang berlangsung ekstensif menunjukkan bahwa voluntarisme atau kesukarelawanan politik yang ideal a ala Weberian yang mengidealkan politik sebagai profesi sejati atau sebagai panggilan jiwa (politics as calling) belakangan sama sekali tidak tampak dalam pemilihan Kepala Desa di Pesisir Teluk Naga Tangerang. Praktek politik uang di dalam Pilkades tidak saja mengamini fenomena menipisnya voluntarisme politik sebagai fenomena jamak dalam konteks politik yang lebih luas, akan tetapi juga merupakan fenomena degradasi kualitas demokrasi di tingkat desa. Dalam konteks masyarakat pedesaan pesisir Teluk Naga, logika simbolisme pragmatis jawara kian mengukuhkan warna politik uang tersebut. Dari sinilah kemudian transformasi elitis jawara pedesaan berurat berakar, dibalik pragmatisme politik yang dimainkan.

Dibalik Strategi Putaran Tasbih

Selain memanfaatkan mitos power politics “pragmatisme golok – logika

kekerasan dan politik uang”, strategi politik jawara pesisir Teluk Naga untuk menjadi elit ialah dengan melakukan pendekatan kepada ulama atau Kiayi. Strategi politik ini, erat kaitannya dengan dua hal, pertama kultur Banten yang memosisikan Ulama/Kiyai sebagai sosok yang berperan signifikan dalam pergumulan sosial politik masyarakat. Kedua, geneologi jawara itu sendiri yang

merupakan “khodim kiyai” (Tihami, 1992). Singkatnya, Kiyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Keduanya, dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya.

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa, apa yang digagas oleh Clifford Geertz (1960) tentang peran kiyai sebagai pialang politik (political broker) tetap menguat, walaupun masa berganti. Secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital, termasuk dalam ranah politik. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi (Horikoshi, 1987). Oleh karena itu, kedekatan jawara kepada Ulama/Kiyai untuk dapat memperoleh kepercayaan politik masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Artinya menggandeng Kiai dalam memperebutkan kekuasaan struktural menjadi strategi politik bagi jawara pesisiran Teluk Naga untuk menduduki kekuasaan struktural sebagai elit Kepala Desa.

Berafiliasi dengan Pemodal (Corporate)

Strategi ketiga yang dilakukan oleh jawara pesisiran untuk menjadi elit formal dalam pemerintahan ialah membangun afiliasi dengan pemodal/elit ekonomi. Para jawara pesisiran Teluk Naga berafiliasi dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa) yang berasal dari Kota Tangerang dan Jakarta.

Dalam hubungan dengan pemodal jawara berperan sebagai pemegang kuasa dan kontrol atas investasi aset. Strategi ini menempatkan bahwa perilaku politik jawara tidak lepas dari kepentingan ekonomi pragmatis. Hal ini dapat dilihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jalan untuk mengejar kepentingan materi. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenamya adalah kepentingan ekonomi.

Untuk kepentingan ekonomi tersebut, elit jawara berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal, sebab sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional. Pengejaran nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisional itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu mengontrol lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik. Dalam konteks di tiga desa penelitian penguasaan dan kontrol jawara atas aset akhirnya mendapat legitimasi struktural dan menempatkan posisi sosial mereka sebagai elit formal desa.

Elite jawara pesisiran pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Selain itu, jawara juga berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti dengan Kiyai, birokrat pemerintah daerah, Ormas, dan NGO. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga- lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.

Mengkonsolidasikan Pemerintahan

MembangunTradisiKepatuhan pada figur sental

Kepemimpinan atau kekuasaan a la jawara bersifat paternalistik dengan seorang figur sentral (tokoh) yang dikelilingi para anak buah dan orang lain yang mengakui kekuasaannya. Kepatuhan pada figur sentral adalah hal yang mutlak demi menjaga soliditas sistem kekuasaan dalam peta konsolidasi kejawaraan. Bahkan, bila perlu, hal itu ditegakkan dengan cara-cara kekerasan. Begitulah konsepsi kepemimpinan atau kekuasaan jawara. Berikut ini gambaran mengenai kepatuhan anak buah terhadap Jawara elit (kepala desa):

Tabel 6.3

Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Burung

Kategori Subyek

Frekuensi Persentase (%)

Sedang 14 36.84

Rendah 7 18.42

Jumlah staf desa 38 100

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Tabel 6.4

Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Pasir

Kategori Subyek

Frekuensi Persentase (%)

Tinggi 33 49.25

Sedang 29 43.29

Rendah 5 7.46

Jumlah staf desa 67 100

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Tabel 6.5

Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Muara

Kategori Subyek

Frekuensi Persentase (%)

Tinggi 21 47.73

Sedang 19 43.18

Rendah 4 9.09

Jumlah staf desa 44 100

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Dari tabel 6.3, 6.4, dan 6.5, di atas, kepatuhan anak buah terhadap elit jawara (kepala desa) sebagian besar pada tingkat yang tinggi dan sedang. Hal ini mencerminkan bahwa anak buah – yang menjadi staf desa, masih memiliki kecenderungan untuk percaya pada pimpinannya, dapat menerima sikap dan tingkahlakunya, serta melaksanakan perintah atau permintaannya. Dengan demikian, anak buah elit jawara tersebut memiliki kecenderungan untuk mengubah sikap dan tingkahlakunya untuk mengikuti perintah atau permintaan pimpinan sebagai bentuk rasa hormat dan kepatuhan kepada figur sentral itu.

Membangun Citra

Pencitraan ketokohan jawara pedesaan dikemas dan diusung secara cantik di tengah masyarakat pedesaan pesisir Tangerang. Ketika ia dicalonkan sebagai kandidat elit formal desa, citranya ditawarkan dalam kemasan yang cantik, sehingga terlihat menarik di mata masyarakat pemilih. Para intermediaris (broker) mengangkat kemasan berupa track record/latar belakang jawara calon kades yang dilebih-lebihkan, gambaran awal visi-misi calon mengenai rencana kesiapannya untuk menjadi kades dan sederetan program kebijakan yang dipoles untuk berorientasi kepada masyarakat banyak. Selain itu, proses pembangunan pencitraan elit jawara dilakukan melalui saluran-saluran kegiatan sosial