• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar

Membahas Banten dulu dan kini tak dapat dilepaskan dari 4 hal, yaitu keislaman yang plural, kejawaraan, potensi maritim, dan pertanian (Tb. Muhammad El-Hatta Kurdi, 2011)8. Empat hal di atas menjadi starting point bagi para peneliti dalam mengkaji khasanah Banten. Pertama, dari segi keislaman Banten dikenal plural. Pluralitas ini terbukti dari sejumlah historiografi lokal yang bercorak budaya kosmopolit dan multikultural (Halwany dan Chudari, 1993). Sementara itu, dari sisi etnis sejak tahun 1676 ribuan orang Cina sudah tinggal di Banten. Orang Arab, India, Jawa, Sunda, Melayu, Makassar, Bugis, dan Bali, juga turut menjadi penanda multi-etnisitas masyarakat Banten.9 Kedua, keberadaan entitas jawara. Jawara menjadi sub kultur yang tak terpisahkan dari masyarakat Banten (Hudaeri, 2002). Keberadaannya menjadi penanda sejarah dan setting sosial Banten hingga saat ini. Oleh karena itu, rasanya tak lengkap jika mengkaji Banten tanpa membahas aspek kejawaraannya. Ketiga, Banten kaya akan potensi maritim dan mengandalkan perdagangan laut dalam menopang perekonomiannya.10 Tome Pires (1512-1515) dalam catatannya pernah menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping

“Pongdam” (Pontang), “Cheguide” (Cigading), “Tamgaram” (Tangerang), “Calapa” (Sunda Kelapa) dan “Chemano” (Cimanuk). Keempat, dari sisi pertanian, Banten merupakan sentra produsen beras di Pulau Jawa.

Realitas sosiohistoris dan geopolitik tersebut sudah sepatutnya memosisikan Banten sebagai salah satu pemain penting dalam peta pembangunan

Nasional, terlebih bagi wilayah bagian utara “pesisir Tangerang” yang terhubung

langsung dengan Teluk Jakarta, Ibukota Negara. Namun demikian, kedekatan geografis yang hanya “sepelemparan tombak” dan lanskap fisik yang dekat itu tak berarti melekat (memiliki kesamaan, daya tarik dan pertautan yang kuat). Jakarta dan Banten sejatinya seperti dua kutub dengan perbedaan mencolok. Kuatnya oligarki kejawaraan dalam peta politik banten, penguasaan SDA, dan tertinggalnya pembangunan pesisir Tangerang menjadi parameter dan indikasi real lemahnya SDM Banten. Sementara, posisi Jakarta memandang Banten bagai lawan, bukan kawan. Sinisme politik berikut ini: “Tak boleh ada Kerajaan di depan

8

Wawancara tanggal 4 September 2011, pukul 13.30 – 15.30 WIB (Satu bulan sebelum narasumber wafat). Narasumber adalah sejarahwan Banten dan Mantan Ketua Pusat Kepurbakalaan Banten.

9

Perkembangan dari pluralitas etnis kemudian memunculkan beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan (Cina).

10

Dalam sejarahnya monopoli atas perdagangan lada di Lampung, pernah menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara, sehingga Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masanya. Lihat Heriyanti Ongkodharma Untoro. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten: Kajian Arkeologi-Ekonomi. Depok: FIB UI. Lihat juga Yoneo Ishii. 1998. The Junk Trade from Southeast Asia: Translations from the Tôsen Fusetsu-gaki 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies.

halaman Istana Negara…”11

menjadi bahasa generik untuk merangkum nuansa perbedaan karakter dua wilayah yang bertetangga ini. Banten dan Jakarta hari ini sejatinya saling tarik-menarik kepentingan. Posisi pesisir Tangerang yang menjadi titik koordinat di antara keduanya, tentunya menjadi yang utama dan sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam.

Berangkat dari konteks tersebut, pembahasan pada bab ini akan mengetengahkan: (1) dialektika setting sosial Pesisir Tangerang dalam lanskap sosiografis dan geopolitik kewilayahan; (2) karakteristik kultur dan pendidikan masyarakat Pesisir; (3) potensi SDA dan sosial-ekonomi Pesisir; dan (4) Pesisir Tangerang dalam transisi dan tarik-menarik kepentingan Jakarta – Banten.

Deskripsi Sosiografis dan Geopolitik Kewilayahan

Pesisir Tangerang memiliki sejarah panjang. Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Tangerang dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha dan Islam, seperti Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Banten (Ekajati, 2004). Secara sosiografis Pesisir Tangerang tidak bisa dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; peranan pesisir; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang. Sungai Cisadane membujur dari selatan di daerah pegunungan ke utara di daerah pesisir. Sungai ini berperan penting dalam kehidupan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini.12

Sementara itu, keragaman etnis dan sosial budaya pesisir Tangerang ditandai oleh berbagai bukti akulturasi dan asimilasi beberapa kebudayaan. Misalnya, perpaduan antara China dan budaya asli Tangerang melahirkan sub etnis Cina Benteng. Perpaduan Beladiri Kuntao dan Silat melahirkan jenis silat Beksi – silat khas Tangerang. Potensi ini mengakar dan menjadi salah satu ciri masyarakat pesisir Tangerang.

Secara administratif pesisir Tangerang membentang sepanjang wilayah Utara Banten-Teluk Jakarta. Dari aspek kewilayahan ia melingkupi 13 kecamatan sepanjang Kronjo (yang berbatasan dengan kecamatan Tanara, Banten) hingga, Teluk Naga dan Kosambi (yang berbatasan dengan Jakarta). Dua wilayah tersebut menjadi penanda penting yang mempertautkan Tangerang, Banten – Jakarta. Dan, Teluk Naga melalui tiga desa di wilayah pesisir menjadi fokus dalam setting

11 Endi Biaro, “Pilkada Banten, Harga Diri Tangerang” 25 April 2011 dalam

http://endibiaro.blogdetik.com/?p=290 Diakses 28 Desember 2011.

12

Hulu sungai Cisadane berasal dari lerang sebelah Utara G. Kendeng (+ 1764 m), G. Perbakti (+ 1699 m), dan G. Salak (+ 2211 m), mengalir ke utara melalui pegunungan di wilayah jawa barat, melewati kota bogor, kota tangerang, dan bermuara di laut jawa. Panjang sungai sekitar 140 km dengan luas DAS ± 1.411 km2. Menurut penuturan Wa Salam (120 tahun) seorang sesepuh tertua dan Mantan Juru Kunci Situs Muara Cisadane, di Muara Sungai Cisadane, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga. Pada masa lalu lebar Sungai Cisadane lebih besar dibandingkan kondisi saat ini. Ketika itu pedagang bambu sering melintas dan pemandangannya masih menarik. Aroma mistis pun tidak bisa lepas dari sungai Cisadane. Konon sering dikabari terdapat siluman buaya putih di sungai ini. Sampai pertengahan 80-an nuansa mistis masih kuat di kalangan masyarakat (Wawancara dengan Wa Salam (120), 10 Oktober 2011, pukul 14.00 – 16.00).

sosial pesisir Tangerang. Teluk Naga adalah kecamatan penting yang berada di Kabupaten Tangerang bagian utara.

Berdasarkan data susenas 2010, jumlah penduduk Teluk Naga mencapai 171.630 jiwa. Sebagian besar penduduknya beragama Islam (90%), Protestan (7%), Katolik (1,7%), Budha (2%), dan Hindu (0,3%). Sementara itu dari segi pendidikan sebagian besar masyarakat Teluk Naga hanya sampai sekolah dasar. Bahkan dalam laporan program keaksaaraan fungsional tahun 2009 masih tercatat sekitar 600-an penduduk yang buta aksara. Dengan kata lain, dari sisi pendidikan masyarakat Teluk Naga masih tergolong rendah.

Secara geografis letak Teluk Naga sangat strategis. Bila ditinjau dari wilayah laut (bagian utara), Teluk Naga berada pada jalur pembangunan maritim (pariwisata pantai Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara – tiga desa utama yang menjadi fokus kajian) yang menghubungkan dengan Kepulauan Seribu. Dari wilayah daratan bagian timur merupakan zona perhubungan antara kawasan industri Tangerang dengan Ibukota DKI Jakarta. Di bagian Barat merupakan sentra pertanian, perkebunan, dan home industry. Sedangkan bagian selatan berbatasan langsung dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kondisi geografis ini, menempatkan Teluk Naga sebagai daerah penting dan wilayah penyangga (hinterland) bagi ibukota DKI Jakarta.

Luas Teluk Naga sekitar 4.763,198 Ha. Luas ini belum termasuk luas wilayah lautnya yang jauh lebih besar dari luas daratan. Secara administratif Teluk Naga terbagi atas 13 desa. Ketiga belas desa tersebut antara lain desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara, Lemo, Tegalangus, Kampung Besar, Pangkalan, Kampung Melayu Barat, Kampung Melayu Timur, Babakan Asem, Kebon Cau, Teluk Naga, dan Bojong Renged. Sebagai besar masyarakat Teluk Naga merupakan etnis Betawi. Kemudian disusul etnis Sunda, Tionghoa (Cina Benteng), Jawa, dan sebagian kecil etnis Minang.

Mata pencaharian masyarakat Teluk Naga cukup beragam dari bertani, nelayan, wiraswasta, pegawai/pekerja, PNS, dan buruh. Namun, mayoritas dari masyarakat Teluk Naga dewasa ini bermata pencaharian sebagai pekerja. Lantaran Teluk Naga dalam kurun waktu dua dekade terakhir tengah mengalami dinamika menjadi sentra industri penting penyuplai tenaga kerja bagi pengembangan industri di wilayah Tangerang dan Ibukota DKI Jakarta. Pada konteks ini dinamika yang terjadi pada masyarakat Teluk Naga inheren dengan dinamika yang terjadi pada masyarakat Tangerang secara keseluruhan.

Posisi sentral dan dinamika tersebut tak lepas dari sejarah panjang Teluk Naga dulu dan kini. Sejak jaman Taruma Nagara, Kesultanan Banten, Kolonial Belanda, masa pergerakan nasional, dan masa kekinian. Teluk naga13 merupakan

13

Konon nama Teluk Naga berasal dari cerita Sunan Gunung Jati yang hendak berkunjung ke Banten melalui jalur Sungai Cisadane. Ketika itu, sunan Gunung Jati menggunakan perahu berkepala naga milik istrinya putri Ong Tin. Sunan Gunung Jati sempat beristirahat di muara sungai Cisadane yang kebetulan secara geografis lanskap wilayah tersebut menyerupai sebuah Teluk. Dari sinilah kemudian muncul istilah Teluk Naga. Versi kedua dalam kitab Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyang) diceritakan bahwa pada tahun 1407 telah terjadi gelombang migrasi pertama dari Cina menuju Tangerang yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung. Mereka melakukan pendaratan pertama di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga. Sementara gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa 1740. Mereka mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar Qing dengan

pintu gerbang masuk para saudagar dari kerajaan-kerajaan di nusantara, China, India, dan Arab yang masuk melalui pelabuhan Tamgaram.14 Jalur sungai Cisadane yang melintasi sepanjang wilayah Teluk Naga menjadi lalu lintas yang ramai dikunjungi para saundagar menuju pelabuhan tersebut.

Dari sini cerita-cerita menarik tentang Teluk Naga dalam mata rantai sejarahnya memberi warna pada karakteristik khas masyarakatnya. Dari setiap jaman tersebut memunculkan banyak tokoh besar tak terkecuali munculnya kaum jawara.

Gambar 4.1 Peta Teluk Naga

Sumber: Koleksi Pribadi

Kaum jawara pesisir mengisi pos dalam ruang publik masyarakat Tangerang. Pada era kerajaan dan kolonial mereka menjadi pejuang bersama rakyat. Di era orde lama dan orde baru bersama pemerintah mereka menjadi security informal dan di era desentralisasi mereka menjadi elite penguasa.

janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap kaisar. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda (Ekadjati, 2004). Karena mereka datang menggunakan perahu-perahu berkepala naga, wilayah ini kemudian dikenal dengan istilah Teluk Naga, tempat bersandarnya perahu naga.

14

Nama Tangerang di ambil dari istilah Tamgaram, sebuah nama pelabuhan di wilayah Kronjo (sekarang). Pelabuhan ini dahulu merupakan penghasil garam, rumput laut, dan hasil ikan yang melimpah. Namun sayangnya saat ini pelabuhan tersebut hanya tinggal nama. Bahkan tak banyak orang yang mengetahui nama Tamgaram tersebut. Versi kedua, menurut Ekajati (2004) dalam tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”. Sedangkan istilah “perang” menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane.

Transformasi sosial ini setidaknya ditopang oleh kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur politik yang mendukung, penguasaan atas SDA, dan posisi wilayah yang strategis sebagai penyangga Ibukota.

Karakteristik Kultur dan Pendidikan Masyarakat Pesisir

Keempat realita di atas menjadi parameter semakin menghegemoninya kekuasaan elit jawara. Dalam konteks pedesaan hegemoni tersebut tak lepas dari kondisi sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat pesisir yang masih rentan. Ketergantungan kehidupan masyarakat pesisir pada ketersedian sumberdaya laut dan budidaya ikan menjadi kualitas ekosistem sangat menentukan peningkatan kesejahteraan mereka. Di samping itu, problematika pengentasan kemiskinan semakin kompleks karena dimensi yang dihadapi tidak hanya sekedar ekologi dan ekonomi, tapi juga politik.

Fakta tersebut nampak terlihat pada masyarakat di tiga lokasi penelitian. Secara historis mereka merupakan nelayan dan pembudidaya tambak asli etnis betawi yang mengalami marginalisasi15, di samping para nelayan pendatang asal Demak, Jepara, dan Parean (Indramayu).16 Terpuruknya kondisi masyarakat pesisir, seperti ditengarai di atas tentunya tidak terlepas dari kondisi ekologis di mana mereka berada. Pada umumnya nelayan dan pembudidaya tambak berada dan menjadi penghuni desa pesisir. Pendidikan formal yang di terima masyarakat pesisir secara umum jauh lebih rendah dari pada non-pesisir lainnya. Persentase total jumlah penduduk di tiga desa penelitian tidak tamat SD masih sangat besar. Lihat data berikut ini.

Tabel 4.1 Kompisisi Penduduk Pesisir Teluk Naga

Sumber: Monografi Desa, 2011.

15

Menurut Shahab (2000), Masyarakat Nelayan Teluk Naga berdasarkan kawasan tempat tinggalnya dapat dikategorikan sebagai Betawi Pesisir. Selengkapnya, penggolongan orang Betawi berdasarkan tempat tinggalnya terdiri dari: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Pesisir. (1) Betawi Tengah, mendiami wilayah sekitar Gambir, Menteng, Senen, kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari. (2) Betawi Pinggir, mendiami wilayah sekitar Pasar Rebo, Pasar Minggu, Pulo Gadung, Jatinegara, Kebayoran, dan Mampang Prapatan. (3) Betawi Udik, mendiami kawasan sekitar Cengkareng, Tangerang, Batu Ceper, Cileduk, Ciputat, Sawangan, Cimanggis, Pondok Gede, Bekasi, Kebon Jeruk,Kebayoran Lama, Cilandak, Kramat Jati, dan Cakung (4). Betawi Pesisir, mendiami wilayah sekitar Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, Kalapa, dan Kepulauan Seribu.

16

Di Desa Tanjung Burung mayoritas nelayan pendatang berasal dari Demak dan Jepara. Hasil tangkapan mereka tidak hanya di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di kirim ke restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke Negara- negara tetangga, seperti ke Singapura, terutama hasil laut jenis udang. Sementara itu, di Desa Tanjung Pasir mayoritas nelayan pendatang berasal dari Parean (Indramayu).

Desa Jenis Kelamin KK

Laki Perempuan

Tanjung Burung 3,390 3,369 1,845

Tanjung Pasir 2,740 2,860 2,018

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Pesisir Teluk Naga17

No. Tingkat Pendidikan Desa Tanjung

Burung

Desa Tanjung Pasir

Desa Muara

1 Belum Sekolah 1017 1.976 215

2 Usia 7-45 thn tidak sekolah 1703 145 752

3 Tidak tamat SD/Sederajat/Buta Huruf 1.126 234 450 4 SD/Sederajat 680 3.789 520 5 SMP/Sederajat 680 1.653 65 6 SMA/Sederajat 521 954 40 7 Akademi/Sarjana 49 41 12

Sumber: Monografi Desa, 2011.

Sementara itu, bila dilihat dari sektor perekonomian, mayoritas masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang dewasa ini bermata pencaharian sebagai buruh/karyawan swasta. Realitas ini berbanding lurus dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Padahal idealitanya, pendidikan memiliki urgensi yang esensial sebagai jembatan kehidupan “life is education, education is life” (Rupport C. Lodge dalam Zuhairini, 2004:10). Secara umum pendidikan dapat meningkatkan pembangunan dan mobilitas sosial suatumasyarakat, kesejahteraan keluarga, dan status atau kelas sosial seseorang, sehingga mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Tabel 4.3 Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Teluk Naga

No. Mata Pencaharian Desa Tanjung Burung Desa Tanjung Pasir Desa Muara 1 Buruh Swasta 3.017 65 1.220 2 PNS 20 15 5 3 Pengrajin 16 5 20 4 Tukang Batu 0 62 6 5 Pedagang 320 1.213 63 6 Penjahit 16 0 5 7 Peternak 1 6 25 8 Petani 0 176 143 9 Nelayan 68 2.331 420 10 Montir 11 0 4 11 Dokter 1 0 0 12 Sopir 53 30 5 13 Pengemudi Becak 8 0 0 14 TNI/Polri 1 0 1 15 Pengusaha 6 0 2

Sumber: Monografi Desa, 2011.

17

Ada dua faktor yang menjadi penghambat pendidikan pada masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan di tiga desa tersebut antara lain: (1) pandangam atau pola pikir dari keluarga miskin; (2) kemauan anak untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan; (3) penghasilan orang tua; dan (4) penghasilan orangtua. Sementara itu, faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan di tiga desa tersebut antara lain: (1) biaya dan keperluan sekolah; (2) jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas; (3) faktor geo-ekologi; dan (4) faktor politik (rendahnya kesempatan dan aksesibilitas pendidikan).

Mengenai fasilitas penunjang pendidikan di pesisir Teluk Naga harus diakui masih jauh dari kategori memadai, di mana pada Desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara hanya terdapat beberapa fasilitas pendidikan saja. Untuk mengetahui fasilitas pendidikan yang ada pada wilayah ini, lihat tabel berikut:

Tabel 4.4 Fasilitas Pendidikan Sarana/Prasarana

Pendidikan

Tanjung Burung

Tanjung Pasir Muara

PAUD 2 5 1

TK 1 - -

SD/Sederajat 3 4 3

SLTP/Sederajat 2* 1* 1**

Sumber: Monografi Desa, 2011.

Keterangan:

*) sekolah swasta, swadaya masyarakat/kualitasnya rendah **) SMP Terbuka

Fasilitas pendidikan di atas, keadaannya sangat memprihatinkan. Di SD Tanjung Pasir II, misalnya, sebanyak 270 murid SDN Tanjung Pasir II, belajar dalam kondisi khawatir dan resah karena harus belajar di bangunan sekolah yang nyaris roboh. Jakfar Sidik (kepala sekolah), mengatakan, bila ada tiupan angin kencang dan hujan deras, pihaknya terpaksa meliburkan siswa lantaran khawatir tertimpa bangunan. Pada bagian atap ruang kelas, sudah tidak memiliki plafon karena hancur beberapa tahun lalu. Demikian pula, tiang penyangga bangunan bagian dalam sudah reot dimakan usia (Wawancara, 26 Oktober 2010).

Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di SMP Bhakti Karya Pantura, Tanjung Burung. Sekolah yang hanya memiliki 12 siswa ini (8 orang kelas 07 dan 4 orang kelas 08) keadaan fisik dan sarana pendukungnya tidak memadai. Pun demikian yang terjadi di SMP Terbuka di Desa Muara. Tidak memadainya fasilitas pendidikan tersebut sangat berpengaruh terhadap akseptabilitas masyarakat setempat terhadap pendidikan. Secara historis kendala tersebut muncul sebagai akibat terjadinya birokratisasi dan politisasi pendidikan oleh pemerintah.

Secara sosiologis-kultural kendala tersebut muncul sebagai akibat dari perilaku pelaksana pendidikan sendiri yang umumnya cenderung kurang menunjukkan sikap beradaptasi dan kurang menyatu dengan masyarakat sekitar sekolah. Secara ekologis pembangunan pendidikan belum sepenuhnya menjadi "wadah sosial" di mana setiap anggota masyarakat secara terbuka dapat mengambil dan melakukan peran-peran pendidikan, serta melakukan proses adaptasi-diri sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing bagi optimalisasi daya-daya dan potensi-potensi ubah-diri yang dimiliki. Simak pandangan berikut ini.

“Anak ibu mah pada ga sekolah de, ibu juga dulu ga sekolah. Anak ibu mentok cuma sampe kelas 3 SD doang, ya kalo menurut ibu mah „pendidikan ga penting‟, ngabisinin duit aja, ntar ujung-ujungnya kerjanya mah sama aja ngangon kebo. Emang dasar anaknya juga pada ga mau sekolah, katanya mah pada mau kerja aja de. Kebetulan juga ibu ga punya uang kalo mau sekolah mah. (Ibu Rohani, wawancara, 20 April 2012).”

Cara pandang pesimistis tersebut menjadi protipe bahwa pendidikan belum sepenuhnya menjadi institusi sosial yang memungkinkan terciptanya kohesi- kohesi sosial dan nilai transformatif di kalangan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Maka relevansi pendidikan dan setting pembelajaran sudah seharusnya disesuaikan dengan kehidupan masyarakat pesisir kita. Untuk itu, perlu adanya transformasi budaya yang dapat membangun keadaban pesisir – keadaban yang transformatif, tangguh, dan mandiri, bukan keadaban yang lemah, pasif, dan destruktif (Mubyarto, et. al. 1984: 10).

Tabel 4.5 Karakter Masyarakat Pesisir

Aspek Tanjung Pasir Tanjung Burung Muara

Karakter Lugas dan spontan Lugas dan spontan Lugas dan spontan

Gaya Hidup Konsumtif, suka

pamer, mewah

Konsumtif, suka pamer

Konsumtif, suka pamer

Partisipasi Politik Pasif Pasif Pasif

Afiliasi Politik Politik

keluarga/kekerabatan

Politik

keluarga/kekerabatan

Politik

keluarga/kekerabatan

Budaya dan seni vulgar (dangdut dan tarling)

vulgar (dangdut, cokek, dan lenong)

vulgar (dangdut, cokek, dan lenong) Corak keagamaan - Nahdiyin, Islam Tradisional - Nahdiyin, Islam Tradisional - Plural (secara umum) - Nahdiyin, Islam Tradisonal - Plural (secara umum)

Kehidupan sosial Egaliter Egaliter Egaliter

Etnik Betawi dan Sebagian

kecil nelayan- Pembudidaya Tambak Asal Parean, Indramayu

Betawi dan Sebagian kecil nelayan-

Pembudidaya Tambak asal Jawa (Demak)

Betawi

Basis peradaban Pantai Muara Cisadane

(Sungai)

Pantai

Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.

Karakter di atas, bagi masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang terbentuk dari proses yang panjang. Misalnya, gaya hidup konsumtif terjadi karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak menggejala dan merupakan

”kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpa. Dengan kata lain gaya hidup yang dianggap ”boros” itu merupakan upaya

menyenangkan diri sesaat dalam menikmati kehidupan yang selayaknya. Streotipe ini sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur masyarakat pesisir, jika dicermati pada dasarnya memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring, dan seterusnya. Kondisi tersebut lambat tapi pasti membentuk dan menjadi identitas mereka (Ginkel, 2007).

Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang secara kultur-pendidikan lemah dan pasif. Secara struktural mereka termarginalisasi dalam sistem. Menurut Sunarto (2004) marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak masalah yang timbul sebagai akibat ketimpangan (Sunarto, 2004). Di mana ketimpangan ketersediaan sarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sarana infrastruktur publik. Marjinalisasi mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat partisipatif (Ife, 2002), cenderung mengakibatkan keadaan komunitas pedesaan menjadi semakin

tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural dan ekologis. Lihat data realitas lemahnya pembangunan sosial ekonomi berikut ini.

Tabel 4.6 Pembangunan Sosial dan Ekonomi

Desa Pelatihan Keterampilan Modal Usaha Padat Karya Perbaikan Rumah Rehabilitasi Kampung Rehabilitasi Ling Kumuh Tanjung Burung

Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Tidak

Tanjung Pasir

Tidak Tidak Ada Tidak Tidak Tidak

Muara Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Tidak

Sumber: Monografi Desa, 2010.

Tabel 4.7 Infratruktur dan Sanitasi

Desa Infrastruktur Air Sungai

Sudah Listrik (KK) Non PLN (KK) Sampah TPS BAB Ma ndi Minu m Baku minu m Irig asi Transport asi Tanjung Burung 1645 0 Timbun angkut dan sungai 0 Bukan jamban 1 4 5 7 4 Tanjung Pasir 1618 200 Timbun angkut dan sungai 0 Jamban Umum 2 4 6 7 4 Muara 480 270 Timbun angkut dan sungai 0 Jamban Umum 1 4 6 7 4

Sumber: Monografi Desa, 2010.

Tabel 4.8 Sarana Kesehatan

Desa Bersalin Poliklinik Puskesmas Puskesmas Pembantu

Tersed ia Akses Jarak Kemud