• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHMAD TARMIJI ALKHUDRI, lahir di Tangerang, 11 Oktober 1986. Perjalanan pendidikan, diawali pada jenjang Pendidikan Dasar di SDN Kp. Melayu IV, Teluk Naga (1994-1999). Setelah tamat SD, melanjutkan ke jenjang Pendidikan Menengah Pertama di SMPN 1 Teluknaga, Tangerang (1999-2002) dan Pendidikan Menengah Atas di SMAN 1 Kosambi, Tangerang (2002-2005). Tahun 2009, menyelesaikan pendidikan sarjana bidang Pendidikan Sosiologi di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial-UNJ. Tahun 2013 memperoleh Master Sosiologi Pedesaan di Institut Pertanian Bogor.

Saat ini aktif mengajar di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan dan Sosiologi Pedesaan. Minat Kajiannya mengenai Pendidikan, Budaya, dan Politik Lokal di pedesaan. Publikasinya antara lain: Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi Sosio- Edukasi dan Kesadaran Humanis (Bogor: Edukati Press, 2011); Menghidupkan Ruang Sosial Pendidikan, Editor (Bogor: Edukati Press, 2011); dan Sosiologi Pesisir: Catatan Kecil dari Pedesaan Banten (Bogor: Edukati Press, 2013).

Beberapa kegiatan penelitian: Upacara Pesta Laut Antara Tradisi dan Komersialisasi Budaya (Studi Kasus Pada Masyarakat Tanjung Pasir, Kec. Teluknaga), 2005; Sejarah Kabupaten Tangerang (bersama Tim Peneliti Pasundan), 2005; Tangerang dalam Persimpangan: Membaca Arah Transformasi Pendidikan dari Masyarakat Agraris Menuju Masyarakat Industri, 2006; Dinamika Sosial-Politik PGRI dalam Gerakan Guru Indonesia, 2009 – FIS, UNJ; Pengukuran dan Pengembangan Toleransi Sosial pada Masyarakat Multikultural, 2010 – FIS, UNJ; Sejarah Sosial Masyarat Pesisir Tangerang, tahun 2010-2011 bersama Persada Nusantara Institute; dan Pembangunan Pertanian Di Banten Era Desentralisasi, tahun 2011 bersama Labsosio, FISIP UI. Penulis dapat dihubungi melalui email: a.tarmiji@yahoo.co.id.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran baru dalam konteks ketatanegaraan dan pembangunan nasional di Indonesia. Pembangunan yang pada masa Orde Baru mengusung sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi. Momentum otonomi daerah yang dilegalisasi melalui UU No. 32 Tahun 2004 menjadi tonggak peralihan kebijakan tersebut. Dari sinilah kemudian agenda pembangunan nasional yang diidealisasikan mengakar ke bawah, mengedepankan kearifan lokal dan mengusung kepentingan masyarakat disemaikan. Dalam konteks ini pembangunan daerah diarahkan untuk kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Dalam perjalanannya saat ini, kebijakan otonomi daerah yang sudah memasuki lebih dari satu dasawarsa telah memunculkan dialektika pembangunan nasional. Struktur sosial dan organisasi sosial birokrasi ketatanegaraan berubah, terdistribusikan dari pusat ke daerah. Kepemimpinan politik pun sudah berpindah dari pusat menuju daerah. Namun, pertanyaannya sudahkah implementasi dari otonomi daerah dengan kebijakan desentralisasinya tersebut mampu mengintrodusir pembangunan yang berkeadilan. Sudahkah kebijakan tersebut menyejahterakan masyarakat atau hanya memindahkan kekuasaan plus kesejahteraan elit dari tingkat pusat ke raja-raja kecil di daerah. Kedua pertanyaan tersebut menjadi proposi penting yang sering muncul dalam wacana dan penelitian tentang demokratisasi-desentralisasi, yang dalam kurun 2005-2007 melalui Pilkada telah berlangsung 282 kali pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota (Sudiarto: 2011).

Terkait hal itu, mengutip beberapa penelitian, seperti Abrori (2003), Choi (2007), Buehler (2007), Yusoff (2010), dan Alamsyah (2010) menjelaskan bahwa

desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru telah memunculkan “orang-orang

kuat lokal”. Mereka memasuki berbagai aspek kehidupan di daerah dan memberi

pengaruh signifikan terhadap perubahan di tingkat lokal. Dalam konteks ini, kebijakan otonomi-desentralisasi tidak hanya membuka ruang baru bagi sirkulasi elit lokal dalam kancah politik pembangunan saat ini, namun juga mempengaruhi munculnya oligarki kekuasaan dan politik kekerabatan/ kekeluargaan di dalam ruang demokratisasi. Salah satu elit lokal yang menjadi “orang kuat lokal”

tersebut adalah “jawara”.

Kemunculan jawara sebagai elit lokal memiliki sejarah sendiri dan selalu berupaya untuk beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang berubah-ubah. Menurut Ekadjati (1995: 223-224) kemunculan jawara sebagai elit lokal tak lepas dari sifat legendaris dan kharismatis yang melekat pada diri jawara yang lambat laun menjadikan kelompok masyarakat ini dipandang sebagai sebuah lembaga adat dan mereka dipandang sebagai kelompok elit dalam stratifikasi sosial masyarakat Banten (Ekadjati, 1995: 223-224). Sebagai kelompok sosial yang telah dipandang menjadi sebuah elit lokal, tentunya kelompok jawara memiliki sumber kekuasaan. Dalam konteks budaya lokal, sumber kekuasaan

yang dimiliki jawara dapat menjadi faktor integrasi dan dapat pula menjadi faktor konflik. Keduanya tidak dapat dilepaskan dari empat hal, yakni kesaktian, keberanian, kepemimpinan informal, dan perintah (Sunatra, 1997: 217).

Dalam konteks kekinian, sumber kekuasaan Jawara tidak hanya ditentukan dan identitik dengan kesaktian semata, namun dapat juga berupa pengakuan simbolisasi identitas kejawaraan dan faktor penguasaan ekonomi, termasuk di dalamnya penguasaan jaringan, dan posisi-posisi penting dalam bidang bisnis. Alamsyah (2010) dalam kajiannya tentang Bantenisasi Demokrasi menguraikan bahwa dominasi kekuasaan politik Jawara di Serang telah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang khas. Dari tingkat propinsi hingga desa-desa kekuasaan pemerintahan didistribusikan dan dipegang oleh jawara. Identitas jawara menjadi instrumen dan ciri penting dari peta politik demoktatisasi lokal yang tumbuh di Banten pasca-Soeharto. Dalam konteks ini menurut Alamsyah (2010) telah terjadi proses polarisasi Bantenisasi kekuasaan politik jawara.

Sementara itu, kajian Hidayat (dalam Nordholt dan Klinken 2009: 267- 303) berupaya menjelaskan kekuasaan dari keluarga X (penguasa Banten), menguraikan bagaimana keluarga ini meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pasca-Soeharto. Kombinasi antara jaringan sosial, politik uang, intimidasi, penguasaan atas proyek-proyek pembangunan pemerintah adalah beberapa faktor yang memungkinkan keluarga X dapat meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Tuan Besar, begitu istilah yang diberikan Hidayat untuk orang paling berkuasa dalam keluarga X, berperan besar dalam mengendalikan sepak-terjang keluarga ini. Tuan Besar tak memiliki kekuasaan formal – non governing elite, tetapi ia berperan penting dalam mengendalikan pemerintahan lokal di belakang layar, yang dikonseptualisasikan Hidayat sebagai shadow-state (Hidayat dalam Nordholt dan Klinken 2009: 303).

Kajian lainnya dilakukan oleh Abrori (2003), yang menjelaskan bahwa Keberadaan jawara sebagai elit sosial berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Orientasi politik jawara memperlihatkan perilaku yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Untuk itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka. Pengejaran nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah, dan kepala desa (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural. Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal.

Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga- lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang

berseberangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis. Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dari mitra-mitranya, juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial di mana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya kontrol (pengawasan) terhadap lembaga- lembaga berseberangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki. Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah memunculkan terjadinya decivilisasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya.

Dari beberapa kajian tersebut, terdapat beberapa “kekosongan analisa”

yang menjadi celah dan titik signifikansi kebaruan kajian ini. Baik Alamsyah, Hidayat, maupun Abrori, pertama, gagal melihat aspek-aspek kesejarahan jawara secara komprehensif, di mana akar keberadaan jawara berada di pedesaan dan salah satunya berawal dari pesisir. Kedua, dalam penelusuran penulis hampir tidak ada satupun literatur mengkaji tentang elit jawara di pesisir Tangerang – padahal kejawaraan di Tangerang memiliki ciri yang unik antara persinggungan budaya Banten, Betawi, dan China. Ketiga, Alamsyah, Hidayat, dan Abrori fokus melihat kepemimpinan jawara pada konteks makro, dan meninggalkan analisis pada konteks mikro. Keempat, pilihan wilayah pesisir menjadi penting sebab masyarakat pesisir merupakan kelompok yang paling marginal sekaligus merupakan basis massa jawara.

Keempat hal di atas menjadi poin penting yang signifikan dan relevan untuk dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, pada titik inilah, tulisan ini

bermaksud untuk mengisi “kekosongan-kekosongan kajian dan analisa” tentang kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang pada masa desentralisasi, seperti yang nampak kosong pada kajian Alamsyah, Hidayat, dan Abrori.

Permasalahan Penelitian

Secara empiris pedesaan pesisir merupakan ruang sosial yang signifikan pada era desentralisasi sebagai lokus kajian sosiologi pedesaan. Terlebih lagi bagi pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan pinggiran dari kawasan metropolitan Jakarta. Keberadaannya tidak hanya dilihat dari potensi sumberdaya alam yang dimiliki, tetapi juga dilihat sebagai instrumen politik negara. Pada posisi ini secara keseluruhan, ruang sosial pesisir Tangerang memiliki dinamikanya yang mendalam sebagai produk kontestasi negara, pasar, dan masyarakat yang menetap di area tersebut. Dalam konteks ini, peran signifikan desentralisasi-otonomi pesisir berkelitkelindan dengan dinamika kepemimpinan kuasi pemerintahan

Kekuasaan jawara sebagai orang kuat lokal dalam prosesnya hadir dan beradaptasi dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik. Otoriterianisme dan industrialisasi (pembangunan) menjadi titik penting yang mengubah posisi jawara dari sekedar buruh, petani, petambak, nelayan, dan penjaga keamanan (security informal), non pemerintahan (non-governing), kelas yang dikuasai (the rulled class) menjadi kepanjangan tangan rezim yang hidup dari rente proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta. Pola relasi sosial jawara dengan jaringannya dari patron-klien menjadi hubungan fungsional yang kemudian bersifat pragmatis- opportunis. Dengan posisinya tersebut, pada masa otoritarianisme jawara dan keturunannya mengakumulasi beragam sumberdaya yang dimilikinya tersebut sebagai modal untuk meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pada masa desentralisasi.

Sumber kekuasaan jawara diperoleh melalui basis ekonomi, di samping pola lama yaitu melalui kharisma/citra, keturunan, dan jaringan yang disesuaikan dengan iklim demokrasi-desentralisasi. Karena tumbuh dan ditopang oleh rente dari proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta, maka kekuasaan jawara lebih banyak ditujukan untuk menguasai sektor-sektor strategis dan melayani pemodal. Posisi yang strategis tersebut dalam konteks geopolitik Tangerang semakin menjadikan posisi jawara kian mapan dan signifikan. Dalam kenyataan ini, politik pembangunan dan kebijakan jawara sebagai pemimpin di pedesaan pesisir Tangerang perlu ditinjau dan di analisa. Apakah kedekatannya dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemodal membawa perbaikan dan signifikansi bagi pembangunan masyarakat pesisir Tangerang, atau sebaliknya politik pembangunan semakin membuat masyarakat pesisir tak berdaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini:

1. Bagaimana konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang?

2. Bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class)?

3. Bagaimana gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan yang akan dicapai penelitian ini ialah:

1. Mengkaji konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di pesisir Tangerang;

2. Menganalisa kemunculan kepemimpinan jawara yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class);

3. Mengkaji gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan atau signifikansi dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan tentang dinamika otonomi daerah- desentralisasi yang ternyata mampu membuka ruang bagi munculnya

kepemimpinan entitas lokal “jawara” menjadi elit baru dipanggung demokratisasi Indonesia. Dinamika otonomi-desentralisasi ini secara lebih kongkret akan dilihat dari kepemimpinan dan politik pembangunan yang dilakukan oleh Jawara dalam setting desa – memiliki pengaruh signifikan bagi berlangsungnya hegemoni jawara di Banten – tingkat propinsi. Selain itu, secara khusus tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi tentang:

a. Kajian awal mengenai kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang.

b. Sudut pandang otonomi daerah-desentralisasi dan ruang sosial pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan penyangga ibukota Jakarta, menjadi kekhasaan dialektika kejawaraan di Tangerang dalam tarik-menarik kontestasi Negara (Jakarta) dan Banten.

c. Membaca dan memahami realitas sistem bantenisasi birokrasi yang berwajah oligarki-monarkhi kejawaraan dan politik kekerabatan, yang ironisnya hadir dalam ruang demokratisasi Indonesia.

d. Membangun tesis tentang adanya gejala theatrical leadership (kepemimpinan teater) di pedesaan pesisir Tangerang khususnya, dan Banten pada umumnya. Teathrical leadership ialah suatu epifenomena di mana dalang kepemimpinan adalah orang tua; tokoh utamanya sebagai pemimpin adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, panggungnya adalah desa, banten; penulis skenarionya para pemodal; sementara rakyat sebagai pemilih adalah penonton; sistem politiknya, politik keluarga/kekerabatan; pemerintahannya, oligarki; dan demokrasinya, demokrasi kontekstual/bantenisasi demokrasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Memahami Jawara: dari Non Governing Elite menjadi Governing Elite

Jawara merupakan entitas penting dalam sejarah dan realitas masyarakat Banten. Jawara sering diidentikkan sebagai seorang yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), dan terbuka/blak- blakan (Hudaeri, 2002: 2). Versi tentang munculnya jawara beragam, pertama sebutan jawara hadir pada masa kerajaan Sunda. Kedua, ada yang mengatakan bahwa kelompok jawara itu muncul seiring dengan berdirinya Kesultanan Banten tahun 1552 (Halwany dan Chudari, 1993: 69-70; Sunatra, 1997: 184). Ketiga, jawara merupakan organisasi tukang pukul, yang awalnya berasal dari istilah orok lanjang“bayi menjelang dewasa” (Ekadjati, 1995: 223).

Keempat, kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka adalah golongan yang dilahirkan oleh Kiayi yang kemudian disebut jawara (Sunatra, 1997: 185). Kelima, pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 memaknai jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara dipersamakan dengan kelompok “bandit sosial”. Istilah ini disematkan kepada orang-orang yang mengacau dan memberontak terhadap pemerintah Kolonial Belanda terutama pada masa Daendels (Sunatra, 1997: 180-181). Keenam, dalam perkembangan selanjutnya, jawaradiartikan sebagai orang yang berani merampok (jalma wani rampog) atau pembohong atau penipu (jalma wani rahul) (Kartodirdjo, 1984: 43).

Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banten. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Bahkan kemudian, ada yang menggunakan istilah bandit lokal untuk menggambarkan betapa citra jawara itu begitu negatif. Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif kaum jawara dengan mengemukakan bahwa bahasa kirata jawara itu adalah jagoan yang berani tetapi ramah (jalma wani ramah). Mereka sebenarnya pelindung masyarakat pedesaan dan sangat patuh kepada kaum ulama. Mereka tidak melakukan kejahatan untuk keuntungan dirinya sendiri, karena jawara bukanlah pencuri atau perampok (Adimihardja dalam Sunatra, 1997: 181).

Keenam versi tentang jawara di atas menjadi penanda dialektika Jawara. Pun demikian menjadi proses periodeisasi eksistensi jawara. Era Kerajaan Sunda, Kesultanan Banten, dan Pra kemerdekaan, jawara dan segala atributnya dicitrakan sebagai pejuang rakyat. Era awal kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru citra jawara mengalami pasang surut dan terdikotomikan antara negatif dan positif. Dalam dua periodeisasi tersebut posisi jawara adalah sebagai kelas yang dikuasai (the rulled class) dan non-governing class.

Gambar 2.1 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi

Penguasa Elit Penguasa (The Rulling Class)

Yang dikuasai Kaum Jawara (The Rulled Class)

Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar

Momentum otonomi daerah menjadi titik balik pemanfaatan perbaikan citra jawara di mata masyarakat. Pemberlakuan sistem otonomi daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 membuka ruang baru bagi sirkulasi politik kejawaraan di daerah. Menurut pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya,

pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” (UUD 1945, pasal 18).

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.”

Terbukanya peluang dan ruang sosial politik pada era otonomi- desentralisasi seperti nampak dalam penjelasan di atas membuka kesempatan Jawara untuk mengisi dan mengkonsolidasikan kekuatan politik di daerah dan pedesaan. Pada periodeisasi desentralisasi ini posisi sosial Jawara daerah dan pedesaan naik menjadi kelas elit, kelas penguasa (the rulling class), dan governing class.

Gambar 2.2 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi

Penguasa Elit Jawara (The Rulling Class)

Yang dikuasai Masyarakat/Rakyat (The Rulled Class)

Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar

Menurut Pareto, yang disebut dengan elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Pareto menjelaskan antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elit. Setiap elit yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elit akan tetap berjalan karena secara individual baik elit keturunan maupun elit yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis (Varma, 2007: 204).

Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah (the rulling class) dan kelas yang diperintah (the rulled class). Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan (Varma, 2007: 206-207). Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemudian didukung oleh Robert Michel (dalam Niel, 1984: 35) yang

berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan.

Sementara itu, bila merujuk pada dasar pandangan Weber, transformasi kedudukan jawara dari the rulled class menjadi the rulling class – istilah Mosca atau dari non governing elite menjadi governing elite – istilah Pareto, tentunya meniscayakan terjadinya transformasi otoritas atau kedudukan jawara. Kedudukan jawara yang semula bersifat karismatik-tradisional mengalami pergeseran ke arah legal-formal.1 Pergeseran dipengaruhi oleh terbukanya ruang politik desentralisasi

1

Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu: adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide

yang terjadi di masyarakat. Dalam posisi ini, jawara mampu memanfaatkan basis massa untuk melakukan konsolidasi politik dengan memainkan keran kekuasaan dan gaya kepemimpinan politiknya.2 Realitas inilah yang menjadi sisi menarik dari dinamika demokrasi Indonesia saat ini.

Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan muncul dalam wujud kemampuan untuk memimpin, mengajak dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian tujuan tertentu. Menurut Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2006) kepemimpinan merupakan proses sosial yang diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan seseorang atau badan untuk menggerakan warga masyarakat. Dengan demikian kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Selain sebagai proses sosial, Koentjaraningrat (dalam Komarudin, 2011: 60) memberi pengertian kepemimpinan sebagai kedudukan. Dalam konteks ini kepemimpinan merupakan suatu kompleksitas dari sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseoarang atau badan.

Menurut Locke (1997) konsepsi kepemimpinan terkait pada tiga hal