• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV STRATEGI UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN

IV.2. Kepentingan Uni Eropa

Kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun konflik. Keterlibatan Uni Eropa dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh adanya tujuan bersama (common goal) dan nilai bersama (common values) yang mengarah kepada kepentingan bersama (common interest).

Negara-negara secara rasional menyadari bahwa mereka memiliki beberapa kepentingan yang sama, dan oleh sebab itu dimungkinkan terjadinya kerja sama. Maka, dengan adanya kepentingan bersama tersebut, negara-negara

83

Eropa melakukan kerja sama melalui sebuah institusi bersama, yaitu Uni Eropa, untuk mencapai tujuan yang selaras dengan kepentingan bersama tersebut.

Menarik untuk mengamati keterlibatan Uni Eropa dalam kasus nuklir Iran. Sejak tahun 2003 hingga saat ini, Uni Eropa berperan aktif dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran. Uni Eropa menjadi negosiator utama. Namun, dalam kasus proliferasi nuklir India, Pakistan, dan Korea Utara, Uni Eropa cenderung tidak terlalu terlibat secara aktif dan tidak memainkan peran yang terlalu progresif. Perbedaan sikap ini tentu didorong oleh seberapa besar kepentingan Uni Eropa terhadap sebuah negara target.

Jika tidak semua negara anggota Uni Eropa memiliki kepentingan dalam mengintervensi proliferasi nuklir Iran, maka sejak awal masalah ini hanya akan diselesaikan oleh E+3. Namun, sejak tahun 2004, seluruh anggota Uni Eropa mulai terlibat dalam isu ini melalui Javier Solana selaku Duta Besar untuk CFSP, yang memainkan peran menjadi jembatan antara E+3 dan negara anggota Uni Eropa lainnya.

Pertama adalah kepentingan keamanan. Senjata nuklir adalah senjata yang paling berbahaya dalam sejarah. Senjata nuklir didefinisikan sebagai perangkat yang dirancang untuk melepaskan energi secara eksplosif sebagai akibat dari fisi nuklir, fusi nuklir, atau kombinasi kedua proses tersebut. Senjata fisi umumnya disebut sebagai bom atom, dan senjata fusi disebut sebagai bom termonuklir, atau lebih umumnya, bom hidrogen.237

237

Berdasarkan dua strategi Uni Eropa, European Security Strategy dan EU’s

Strategy against Proliferation of WMD, terlihat bahwa ancaman proliferasi senjata pemusnah masal, termasuk nuklir, merupakan ancaman yang serius. ESS menetapkan proliferasi senjata pemusnah masal sebagai salah satu ancaman utama bagi Eropa, sementara EU WMD Strategy melihatnya sebagai ancaman yang terus tumbuh dan berkembang, yang beresiko terhadap keamanan negara-negara Eropa, rakyat Eropa dan kepentingan Eropa di seluruh dunia.

Rusia, Israel, dan Iran adalah negara dengan senjata nuklir yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Eropa. Namun, hanya Iran yang menjadi ancaman potensial bagi keamanan Eropa. Rusia dan Israel tidak memiliki tujuan untuk mengancam Eropa.238 Israel dekat dengan Barat, dan telah menjadi bagian dari dunia Barat, serta memiliki kepentingan yang sama terhadap keamanan dan keseimbangan global. Sementara, Rusia tidak memiliki kecenderungan agresif terhadap negara-negara Eropa, dan Eropa pun tidak menganggap Rusia sebagai ancaman. Rusia sendiri telah membangun hubungan baik kerja sama di bidang ekonomi dengan negara-negara Eropa, dan khususnya dengan Uni Eropa.239

Eropa khawatir dengan perkembangan situasi di Iran. Secara geografis, nuklir Iran diperkirakan berpotensi menjangkau wilayah Eropa. Jangkauan nuklir Iran juga dapat memicu terjadinya ketegangan dan konfrontasi di wilayah yang sudah stabil.240 Jika Iran berhasil mencapai upayanya untuk mendapatkan senjata nuklir dan mengembangkan kemampuan rudal balistiknya, itu bisa menjadi

238 Aggelis,

The Weapons of Mass Destruction, 9. 239

Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 9. 240

85

kekuatan nuklir yang dengan mudah dapat menargetkan sejumlah besar negara-negara Eropa.

Selain itu, nuklir Iran dapat menyebabkan perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 1960an, ketika Israel diyakini telah membangun senjata nuklir dan menjadi satu-satunya negara bersenjata nuklir di Timur Tengah. Akibatnya, untuk mengatasi asimestris militer ini, negara-negara Arab juga berupaya untuk memiliki senjata nuklir. Walalupun, pada akhirnya usaha itu gagal, negara-negara Arab telah menimbun senjata kimia dan senjata biologi.241

Jika perlombaan senjata terjadi kembali, maka hal tersebut selanjutnya akan mengguncang wilayah Timur Tengah dan wilayah sekitar Eropa. Guncangan tersebut akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, yang pada akhirnya akan mengancam kepentingan Eropa. Hal ini juga akan semakin melemahkan NPT.242 Sementara, kekuatan diplomatik Eropa semakin diuji, sebagaimana Iran yang semakin dekat untuk menyelesaikan program nuklirnya.

Kedua, Uni Eropa ingin menjadi pemain utama dalam isu nonproliferasi nuklir. Beberapa tahun lalu, gagasan bahwa Uni Eropa dapat menjadi aktor penting dalam rezim nonproliferasi ditanggapi secara skeptis.243 Namun, hari ini dunia melihat bahwa Uni Eropa sedang membangun dirinya sebagai aktor besar dalam bidang nonproliferasi nuklir dan senjata pemusnah masal, bahkan Uni Eropa mengembangkan strateginya sendiri untuk menuntunnya menjadi aktor

241 Bahgat,

A WMD-Free Zone.

242 Renard,

Partnering for a Nuclear-Safe World, 8. 243

Clara Portela, "The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons",

global. Sesuai dengan EU WMD Strategy, Uni Eropa harus menggunakan semua instrumennya untuk mencegah, menghalangi, menghentikan, dan jika mungkin, menghapuskan program proliferasi yang mengakibatkan kehawatiran dalam konteks global.

Uni Eropa menempatkan isu proliferasi nuklir Iran dalam prioritas utama, dibandingkan dengan isu HAM dan demokrasi di Iran. Dengan membuat isu nuklir menjadi prioritas utama, Uni Eropa sedang menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Uni Eropa benar-benar memerangi proliferasi senjata nuklir global. Dengan terlibat dalam krisis nuklir Iran Uni Eropa sedang membuktikan kualitas perannya dalam isu yang berkaitan dengan nonproliferasi nuklir.

Dalam konteks saat itu, intervensi Uni Eropa dalam konflik atas program nuklir Iran dilatarbelakangi oleh dua krisis nuklir lainnya. Pertama, pada tanggal 11 Januari 2003, Korea Utara telah mengumumkan pengunduran dirinya dari Non Proliferation Treaty tahun 1968.244 Kedua, pada tahun yang sama, aksi militer terhadap Irak, dijustifikasi oleh dugaan kepemilikan senjata pemusnah masal (meskipun akhirnya tidak terbukti). Melihat Korea Utara yang menarik diri dari NPT, Uni Eropa khawatir jika Iran akan melakukan hal serupa. Jika hal ini terjadi, tentunya akan melemahkan dan mengurangi kredibilitas rezim proliferasi dunia tersebut. Uni Eropa melihat Iran sebagai negara yang menjadi ujian bagi kelangsungan rezim nonproliferasi. Sebuah rezim penjaga proliferasi yang selalu diperjuangkan oleh Uni Eropa.

244

Arms Control Associations, Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy, http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron diakses pada 1 Mei 2015.

87

Ketiga, Uni Eropa ingin memainkan peran strategis di Timur Tengah dan mengamankan kepentingan ekonominya di Timur Tengah. Mengingat pengaruhnya di Timur Tengah, Asia Tengah dan Teluk Persia, Iran selalu menjadi subjek perhatian bagi kekuatan besar, termasuk Uni Eropa. Sejak pidato “axis of evil” dari Presiden Bush, Uni Eropa semakin menjadi skeptis atas rencana Amerika Serikat untuk mentrasformasi Timur Tengah.245 Jika Uni Eropa ingin menjaga status quo-nya di Timur Tengah, maka Iran adalah sebuah kesempatan untuk bertidak.

Pada saat yang sama, memecahkan krisis regional dan membangun perdamaian serta stabilitas di Timur Tengah, yang bisa dicapai melalui Iran sebagai kekuatan regional, dan menjadikan Iran sebagai mitra strategis Eropa. Proses perdamaian di Timur Tengah dapat terganggu oleh Iran yang bersenjata nuklir. Uni Eropa ingin menjaga stabilitas regional di Timur Tengah dan memanfaatkan kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih konstruktif dengan Iran di masa depan.

Dalam segi ekonomi, sebagai negara industri dan ekonominya yang berorientasi ekspor, Eropa membutuhkan Iran sebagai pemasok minyak dan gas, serta pasar domestik. Hubungan ekonomi, khususnya keamanan energi Eropa, akan selalu menjadi kepentingan utama Uni Eropa di Iran. Ketergantungan energi telah disebutkan dalam European Security Strategy sebagai perhatian Uni Eropa.246

245 Steven Everts,

Engaging Iran: A Test Case fot EU Foreign Policy, Centre for European Reform, Working Paper, (Maret 2004), 16.

246 Asle Toje, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal”, European Foreign Affairs Review 10, (2005), 126.

Keempat, nuklir Iran sebagai test-case bagi CFSP. Pasca perpecahan Uni Eropa dalam Perang Irak tahun 2003, menyelesaikan isu nuklir Iran menjadi ujian serius bagi kesatuan Eropa dan test-case bagi European Security Strategy dan EU Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction, yang keduanya diadopsi pada tahun 2003. Uni Eropa memiliki persepsi bahwa masalah nuklir Iran merupakan kesempatan yang bagus bagi Uni Eropa untuk menghidupkan CFSP kembali, pasca perpecahan di Perang Irak.247

Uni Eropa dan Amerika Serikat sepakat bahwa Iran tidak perlu menjadi

power state. Namun, Uni Eropa khawatir Amerika Serikat mungkin akan menggunakan kekuatan militernya lagi. Maka, Uni Eropa memutuskan untuk terlibat dalam negosiasi dengan Iran untuk mencegah tindakan unilateral Amerika Serikat, seperti pada Perank Irak tahun 2003.

Perang Irak menunjukkan bahwa Uni Eropa perlu memberikan kesempatan bagi Jerman, Inggris dan Perancis untuk berbicara dalam satu suara dalam isu keamanan yang penting, dan untuk membuat suara Uni Eropa terdengan kencang dan jelas bagi Amerika Serikat. Perang Irak juga telah memberi pelajaran bagi Uni Eropa, bahwa ketika Uni Eropa terpecah, Amerika Serikat yang menguasai dunia. Uni Eropa mempunyai bebrapa alasan yang membuatnya percaya bahwa CFSP akan berhasil di Iran, yaitu situasi internal Uni Eropa, strategi Uni Eropa yang lebih bersahabat dibandingkan Amerika Serikat, dan konteks domestik Iran pada saat itu.248

247

Everts, Engaging Iran, 20. 248

89

Dari perspektif sejarah, koherensi negara-negara anggota Uni Eropa dalam perlucutan senjata nuklir dan isu nonproliferasi ternyata cukup sulit.249 Khususnya yang berkaitan dengan perlucutan senjata, ada perpecahan di antara negara-negara anggota Uni Eropa, seperti antara Perancis dan Inggris, yang memiliki senjata nuklir, dan negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki teknologi dan pengetahuan untuk memproduksi senjata nuklir, tetapi telah berkomitmen di bawah NPT untuk menahan diri tidak memproduksinya. Maka, masalah nuklir Iran akan menjadi ujian serius bagi kesatuan suara dan tindakan Uni Eropa. Kasus nuklir Iran memberikan kesempatan E+3 untuk membuktikan kualitas kepemimpinannya, dan bahwa Uni Eropa mampu bertindak dan melakukan “intervensi bersama” dalam situasi krisis seperti itu.

Dokumen terkait