• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan uni eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran Tahun 2009-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan uni eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran Tahun 2009-2013"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Estri Hardianti NIM: 1111113000057

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i

KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN

PROLIFERASI NUKLIR IRAN

TAHUN 2009-2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Estri Hardianti NIM: 1111113000057

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

ii

Skripsi yang berjudul:

KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya besedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Juni 2015

(4)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama : Estri Hardianti

NIM : 1111113000057

Program Studi : Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013

dan telah memenuhi syarat untuk diuji.

Jakarta, 13 Juni 2015

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Debbie Affianty, M.Si. Andar Nubowo, DEA.

(5)

iv

KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013

oleh: Estri Hardianti 1111113000057

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Juni 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua Sidang,

Debbie Affianty, M.A NIP.

Penguji I, Penguji II,

Eva Mushoffa, M,A. Ahmad Alfajri, M.A.

NIP. NIP.

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Juni 2015. Ketua Program Studi

FISIP UIN Jakarta

(6)

v

ABSTRAKSI

Penelitian ini menjelaskan kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada periode tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran dunia internasional terhadap sifat nuklir Iran. Pemerintah Iran secara resmi selalu menyatakan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai. Walaupun Iran terikat dengan Non-Proliferation Treaty, hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang

mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran bersifat damai dan tidak ada keinginan Iran untuk membangun senjata nuklir.

Di tengah ketidakpastian keamanan internasional karena proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa secara aktif hadir sebagai negosiator utama dalam masalah nuklir Iran. Proliferasi senjata pemusnah masal diidentifikasikan sebagai ancaman paling berbahaya dalam European Security Strategy, hingga Uni Eropa membentuk strategi untuk melawan proliferasi senjata pemusnah masal. Upaya Uni Eropa menghadapi beberapa tantangan dan hambatan internal, maupun eksternal. Namun, ditengah tantangan tersebut, Uni Eropa harus mempunyai sikap dan mampu menjalankan komitmennya yang sejalan dengan kerangka keamanan Uni Eropa dalam bidang proliferasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah diplomasi, sanksi, multilateralism, common interest, dan liberalisme institusionalis sebagai paradigma utamanya. Liberalisme institusionalis digunakan untuk memberi gambaran umum bahwa institusi internasional seperti Uni Eropa penting dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, kehadiran Uni Eropa dianggap penting dan mampu untuk menyelesaikan masalah proliferasi nuklir Iran. Common interest atau kepentingan bersama digunakan untuk memberikan

latar belakang kesediaan Uni Eropa untuk ikut terlibat dalam masalah nuklir Iran. Dalam hasil penelitian, kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran adalah melalui diplomasi dan penjatuhan sanksi ke Iran. Diplomasi dan sanksi termasuk dalam strategi effective multilateralism Uni Eropa.

Selain karena Uni Eropa memiliki sumber daya akan soft power, Uni Eropa juga

memiliki pandangan bahwa soft power akan lebih efektif daripada hard power

untuk mengatasi masalah proliferasi nuklir Iran.

(7)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta para sahabat dan keluarganya. Atas segala rahmat dan karunia-Nya, serta segala petunjuk dan kemudahan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi syarat memperoleh gelar S.Sos, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi yang berjudul “Strategi Uni Eropa dalam Menghentikan

Proliferasi Nuklir Iran Tahun 2009-2013” tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, adik, dan keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Terutama ibu yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.

2. Ibu Debbie Affianty, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

vii

4. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku penguji I dan Ibu Eva Mushoffa, M.A selaku penguji II, yang telah menguji kelayakan skripsi ini dan memberikan kritik serta saran untuk perbaikan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai mata kuliah yang menarik, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis, baik secara akademik maupun non-akademik.

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Yahya Hidayat, Reza Tri Satria, Naeli Fitria, Mawaddah, Fitra Laela, Asriyani Yudhar, Andi Cintana Nurmilad, Sevira Arta, atas dukungan, kebersamaan dan kegembiraan selama menjalani studi.

7. Teman-teman HIVEN B, terima kasih untuk keseruan, keceriaan dan kebersamaan selama masa perkuliahan. Serta terima kasih untuk seluruh teman-teman Program Studi Hubungan Internasional angkatan 2011. Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis akan memperoleh imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi literatur studi hubungan internasional.

Jakarta, 24 Juni 2015

(9)

viii

HALAMAN JUDUL………..………i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…..…..………ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…..……… ………..iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…..……….iv

ABSTRAKSI……….………..………..…v

KATA PENGANTAR……….………..………..…vi

DAFTAR ISI………..………….viii

DAFTAR TABEL………...……….…xii

DAFTAR GAMBAR………..…………xiii

DAFTAR GRAFIK………xiv

DAFTAR SINGKATAN……….….……..xv

BAB I PENDAHULUAN……….1

I.1. Pernyataan Masalah………..………1

I.2. Pertanyaan Penelitian………..……….………..….10

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...…………10

I.4. Tinjauan Pustaka………...……….………….10

I.5. Kerangka Pemikiran………...…….…………12

(10)

ix

I.5.2. Multilateralism……….……….17

I.5.3. Diplomasi……….……….18

I.5.4. Sanksi………..……..20

I.6. Metode Penelitian………...…………....22

I.7. Sistematika Penulisan………...………...23

BAB II PROLIFERASI NUKLIR IRAN………..25

II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran………..25

II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT.…………..…...34

II.3. Keinginan Iran dengan Program Nuklirnya…….……...38

II.4. Politik Domestik Iran dalam Program Nuklir………...43

II.5. Kebijakan Nuklir Iran di Era Pemerintahan Ahmadinejad...48

BAB III PERSPEKTIF UNI EROPA DALAM PROLIFERASI NUKLIR………54

III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa………..54

III.1.1. Common Foreign and Security Policy……….…..57

III.1.2. European Security Strategy………61

III.2. Kebijakan Non Proliferasi Uni Eropa………..64

(11)

x

Tengah………73

BAB IV STRATEGI UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013……..…79

IV.1. Keterlibatan Uni Eropa dalam Proliferasi Nuklir Iran...79

IV.2. Kepentingan Uni Eropa………...82

IV.3. Upaya Diplomasi Uni Eropa Terhadap Iran……….89

IV.3.1. Dialog dan Negosiasi Uni Eropa-Iran…………..92

IV.3.2. Diplomasi Koersif……….………...93

IV.4. Penerapan Sanksi Uni Eropa ke Iran…….………..…….…96

IV.4.1. Embargo……….………...……101

IV.4.2. Sanksi Finansial………...104

BAB V Kesimpulan……….106

(12)

xi

DAFTAR TABEL

BAB II

(13)

xii

BAB II

(14)

xiii

DAFTAR GRAFIK

BAB I

Grafik 1.1 Ekspor Minyak Iran……….4

(15)

xiv

IAEA : International Atomic Energy Agency

PDA : Political Dialogue Agreement

NCRI : National Council of Resistance of Iran

NPT : Non Proliferation Treaty

CFSP : Common Foreign and Security Policy

ESS : European Security Strategy

WMD : Weapon of Mass Destruction

TRR : Tehran Research Reactor

HEU : Highly Enriched Uranium

LEU : Low Enriched Uranium

AEOI : Atomic Energy Organization of Iran

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Pernyataan Masalah

Sejak tahun 1998, Iran dan Uni Eropa telah berupaya untuk memformalkan dan meningkatkan hubungan mereka dalam kerjasama ekonomi, politik dan isu-isu lainnya.1 Uni Eropa secara bertahap berupaya untuk mempererat hubungannya dengan Iran, dan bertujuan untuk tetap mengembangkan hubungan yang bersifat tahan lama (durable) serta positif dengan Iran untuk mengembangkan potensi kemitraan yang konstruktif, dimana kedua belah pihak bisa mendapat keuntungan.

Sebelumnya, Uni Eropa dan Iran berencana untuk membuat sebuah perjanjian untuk membuka jalan bagi kerjasama yang lebih dekat antara Uni Eropa-Iran di berbagai sektor serta isu lain yang menjadi kepentingan bersama. Uni Eropa dan Iran juga mulai menegosiasikan Political Dialogue Agreement

(PDA).2 Namun, fase ini mulai terhambat, ketika Iran diduga memiliki kegiatan nuklir rahasia dan menolak untuk bekerja sama dengan International Atomic

Energy Agency (IAEA). Sejak tahun 2005, kontroversi nuklir Iran telah

melampaui isu strategis lainnya antara Uni Eropa-Iran.

Masalah proliferasi nuklir Iran dimulai ketika pada tahun 2002 kelompok oposisi National Council of Resistance of Iran (NCRI), mengungkapkan adanya

1 European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, EU Briefings, (Maret 2008), 1.

2

Council of the European Union, EU-Iran Basic Facts, (April 2009), 1.

(17)

program nuklir rahasia, termasuk pembangunan pabrik pengayaan uranium di Natanz dan reaktor air berat di Arak.3 Pengayaan uranium dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir, dan bahan bakar bekas dari reaktor air berat yang berisi plutonium dapat digunakan untuk membuat bom. Iran diduga tidak mematuhi

NPT Safeguards Agreement, sehingga kecurigaan mengarah pada adanya upaya

Iran untuk melangkah lebih jauh dan mengaya uranium ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.4

Iran telah menandatangani NPT (Non Proliferation Treaty) pada tahun 1968 sebagai negara nonsenjata nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.5 Hal tersebut berarti bahwa semua kegiatan nuklir harus dilakukan dengan cara yang transparan kepada masyarakat internasional, dan berada di bawah kontrol penuh dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Namun sebaliknya, Iran terus

menolak untuk melakukan kewajiban internasionalnya dan enggan bersikap kooperatif dengan IAEA. 6

Selama ini, pemerintah Iran menyatakan bahwa instalasi nuklirnya dibangun sepenuhnya untuk tujuan damai dan tidak pernah berusaha untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun, ketika IAEA melakukan inspeksi terhadap Iran, IAEA tidak dapat mengkonfirmasi pernyataan Iran tersebut. Sejauh

3 International Institute for Strategic Studies

, Iran's Strategic Weapons Programmes: A Net Assessment, (London: Routledge, 2005), 16.

4 Euro Move Publications,

EU Action on Iran, (April 2012)

http://www.euromove.org.uk/index.php?id=19016 diakses pada 22 April 2014. 5 Nuclear Threat Initiative,

Iran: Nuclear, (terakhir diperbarui pada tahun 2015) http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/ diakses pada 21 Februari 2015

6

Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International

(18)

3

ini, belum ada satu pihakpun yang mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran benar-benar bersifat damai.

Kekhawatiran serius atas proliferasi nuklir Iran telah mendominasi hubungan Uni Eropa-Iran, dan terus membayang-bayangi hubungan tersebut. Proliferasi nuklir Iran telah memicu Uni Eropa untuk turut serta dalam menekan Iran untuk menghentikan pengayaan uraniumnya. Uni Eropa memang berkomitmen untuk memberikan perhatian besar terhadap standar tertinggi terkait keamanan nuklir di Eropa dan di luar perbatasannya.7 Selain itu, Uni Eropa sangat mendukung Non-Proliferation Treaty (NPT). Uni Eropa juga mempromosikan

confidence building dan mendukung proses yang bertujuan untuk mambangun

zona bebas senjata pemusnah masal di Timur Tengah.8

Uni Eropa terus mendesak Iran untuk menghentikan proyek nuklirnya dan meminta Iran agar terlibat secara konstruktif dalam negosiasi untuk mengatasi masalah nuklir ini. Namun di sisi lain, Uni Eropa tetap ingin menghormati hak sah Iran sebagai negara penandatangan NTP, untuk penggunaan energi nuklir secara damai di bawah Non Proliferation Treaty (NPT).

Setiap tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan berdampak pada hubungan Uni Eropa-Iran sehingga Uni Eropa harus memperhatikan posisi Iran. Secara kolektif, Uni Eropa merupakan importir minyak Iran terbesar kedua, setelah Tiongkok. Uni Eropa masih merupakan mitra dagang yang cukup penting bagi Iran, dimana Uni Eropa mengimpor barang senilai 14,5 miliar Euro dari Iran,

7 European Union External Action,

Instrument for Nuclear Safety Co-operation, http://eeas.europa.eu/nuclear_safety/index_en.htm diakses pada 22 April 2014.

8

(19)

dan mengekspor 11,3 miliar Euro (data tahun 2010). Sedangkan sekitar 90% impor Uni Eropa dari Iran adalah minyak dan produk sejenisnya.9

Grafik 1.1

Ekspor Minyak Iran10

Iran juga berada dalam posisi yang kuat, karena harga minyak yang tinggi telah menjadikan Iran salah satu kekuatan besar pada ekonomi dunia.11 Iran merupakan negara yang penting bagi Eropa dan Amerika Serikat. Sejumlah besar perusahaan Eropa memiliki hubungan ekspor yang kuat dengan Iran, sejumlah

9 European Union External Action,

The European Union and Iran.

10

Institute of International Trade, 25 Mei 2012, Oil price falls as Iran allows nuclear probe,

http://www.iitrade.ac.in/kmarticle.php?topic=Oil%20price%20falls%20as%20Iran%20allows %20nuclear%20probe diakses pada 23 November 2014.

11

European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, 3.

Uni Eropa secara kolektif merupakan

importir minyak Iran terbesar kedua

Importir terbanyak *dalam ribu barel per hari

(20)

5

negara anggota Uni Eropa bergantung pada pasokan minyak Iran (Italia dan Spanyol merupakan importir terbesar), dan Iran merupakan jalur utama untuk pengungsi Afghanistan ke Uni Eropa.12

Uni Eropa memiliki sebuah kebijakan bersama, yaitu Common Foreign

and Security Policy, dan framework untuk kepentingan keamanan Uni Eropa yang

dikenal dengan European Security Strategy. Namun, masing-masing negara anggota Uni Eropa memiliki hubungan yang berbeda dengan Iran. Seperti Inggris dan Perancis yang bersikap tegas dan vokal, sementara Jerman dan Italia cenderung lebih moderat dikarenakan keduanya merupakan mitra dagang terbesar Iran di Uni Eropa,13 Menteri Luar Negeri Jerman pernah mengatakan bahwa Iran merupakan pasar terpenting bagi Jerman di Timur Tengah.14

12 European Union Center of North Carolina,

EU Briefings: The EU and Iran, (2012), 6.

13

Leo Cendrowicz, How Should Europe Respond to Iran?, TIME 2 Juli 2009, http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1908446,00.html diakses pada 22 April 2014.

14Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The

(21)

Grafik 1.2

Mitra Dagang Iran15

Sedangkan Uni Eropa harus bertindak sebagai sebuah institusi internasional dan bertindak melalui tindakan bersama atau collective action.

Sementara itu, proses pengambilan keputusan di Uni Eropa seringkali bersifat rumit dan kompleks.

15Wall Street Journal, 3 Oktober 2009,

German Firms Feel Pressure Over Tehran Trade, http://online.wsj.com/articles/SB125453243290661095 diakses pada 2 November 2014.

Perdagangan Jerman dengan Iran tumbuh di tengah

ketegangan internasional dengan Iran

Ekspor Jerman/Iran *dalam milyar Euro

Eksportir utama ke Iran tahun 2008

*dalam milyar Euro Ekspor Jerman ke Iran

(22)

7

Di sisi lain, Uni Eropa mendapat tekanan-tekanan dari Kongres Amerika Serikat agar Uni Eropa mempertegas upayanya. Sebelumnya, antara tahun 2006-2010 EU-3 dan Amerika Serikat telah berhasil mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pengenaan sanksi ke Iran melalui Resolusi 1737, 1747, 1803 dan 1929.16 Resolusi tersebut secara umum memberlakukan sanksi ekonomi, embargo, dan perdagangan serta larangan atas transaksi komoditas yang berhubungan dengan teknologi nuklir terhadap Iran.

Sedangkan Uni Eropa cenderung lebih suka melakukan hubungan dengan Iran dalam format dialog.17 Kebijakan Uni Eropa terhadap Iran sangat berbeda dari kebijakan Amerika Serikat yang cenderung mengisolasi Iran.18 Uni Eropa tidak ingin menggunakan doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat yang digunakan saat AS menyerang Irak pada tahun 2003. Uni Eropa juga memiliki kepentingan ekonomi dan strategis tersendiri di wilayah tersebut.

Namun di sisi lain, Eropa adalah sekutu Amerika Serikat dan mempunyai hubungan kerja sama Transatlantik. Uni Eropa juga mendukung posisi Amerika Serikat terhadap Iran.19 Nuklir Iran ini menjadi kasus uji diplomatik penting bagi Uni Eropa pasca invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Uni Eropa telah dibayangi oleh kekuatan militer dan hak Amerika Serikat untuk bertindak secara sepihak di bawah konsep pre-emption.20

16 Derek E. Mix,

The United States and Europe: Current Issues, CRS Report for Congress, (2013), 6.

17 Walter Posch,

Iran and the European Union, United States Instutites of Peace: The Iran

Primer.

18 Posch,

Iran and the European Union.

19 European Union Center of North Carolina,

EU and Iran, 4. 20

(23)

Beberapa masyarakat Eropa sendiri berpendapat bahwa Uni Eropa harus unjuk gigi, terkait krisis nuklir Iran, untuk mempertahankan kredibilitasnya.21 Namun, Uni Eropa juga harus menghadapi sikap keras dan frontal Iran, dimana pada periode 2009-2013 Iran dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad pada periode kedua. Sebelumnya pada masa pemerintahan Khatami yang moderat, aktivitas pengayaan nuklir Iran sempat dihentikan sementara. Namun, di bawah pemerintahan Ahmadinejad, Iran kembali melakukan pengayaan uranium.

Ia dikenal sebagai sosok presiden Iran yang keras dan vokal, bahkan beberapa pihak menyebutnya dengan hard-liner leader atau pemimpin garis keras.

Ahmadinejad menjadi faktor penting dalam pecahna upaya Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran. Kelompok garis keras sendiri menyatakan bahwa program nuklir adalah kunci untuk kemajuan teknologi Iran serta simbol kedaulatan dan posisi di dunia internasional.

Namun, Uni Eropa terus menekan dan mendesak Iran untuk segera menghentikan program nuklir Iran, sementara kepemilikan nuklir Israel tidak dipertanyakan ataupun diusik. Hal ini membuat Ahmadinejad geram, sehingga ia memperingatkan Uni Eropa bahwa negaranya akan membuat Uni Eropa menyesal. Ia juga mengatakan bahwa siapapun yang mengadopsi langkah-langkah bermusuhan dengan Iran, harus tahu bahwa Iran akan bereaksi dengan cepat.22

Disini terlihat bahwa Uni Eropa menghadapi tantangan tersendiri dan dilema-dilema dalam upayanya untuk menghentikan proyek nuklir Iran. Seperti, kebijakan apa yang harus diambil atau bagaimana langkah-langkah maupun

21

European Union Center of North Carolina, The EU and Iran, (2012), 5. 22

(24)

9

respon yang seharusnya diberikan Uni Eropa kepada Iran sesuai dengan

framework Uni Eropa, tanpa mengesampingkan segala konsekuensinya. Kasus

Iran menjadi menarik karena berfungsi sebagai uji kasus atau test-case bagi peran eksternal Uni Eropa.

Kontroversi program nuklir Iran merupakan ujian awal dan penting bagi pendekatan Uni Eropa yang bersifat khas, yaitu effective multilateralism, dalam mengatasi kekhawatiran tentang dugaan dunia internasional bahwa Iran berencana untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Apalagi pendekatan Uni Eropa yang bersifat soft power ini dihadapkan dengan hard security, yaitu nuklir Iran.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka menarik untuk meneliti bagaimana strategi Uni Eropa di tengah dilema dan tantangan tersebut untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua Ahmadinejad (2009-2013), namun tetap berada dalam kerangka kebijakan dan doktrin keamanannya sendiri.

(25)

I.2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada tahun 2009-2013?

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerangka keamanan Uni Eropa, kebijakan Uni Eropa tentang proliferasi nuklir, dan menganalisa kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada periode 2009-2013 dengan menggunakan teori dan konsep yang relevan.

Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan literatur, memperkaya hasil penelitian yang telah ada, dan memberikan gambaran secara objektif mengenai strategi Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada tahun 2009-2013. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pengembangan studi Kawasan Eropa dan Keamanan Internasional.

I.4. Tinjauan Pustaka

Dina Esfandiary dalam Non-Proliferation Papers No.34 Desember 2013,

menulis “Assessing The European Union’s Sanction Policy: Iran As A Case

Study”.23 Artikel tersebut memaparkan peningkatan penggunakan sanksi oleh Uni

Eropa terhadap Iran atas krisis nuklirnya, dimana sanksi tersebut sering digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku negara, dalam konteks ini yaitu Iran.

23Dina Esfandiary, “Assessing The European Union’s Sanction Policy: Iran As A Case

(26)

11

Artikel ini juga mengkaji efektivitas sanksi yang digunakan sebagai alat kebijakan oleh Uni Eropa dan meneliti langkah-langkah koersif Uni Eropa terhadap Iran. Kemudian, artikel ini membahas sanksi apa yang digunakan Uni Eropa, disertai dasar hukum dan teori penggunaannya. Kemudian artikel ini memberi saran dalam hal perbaikan kebijakan sanksi Uni Eropa saat ini.

Aylin Unver Noi dalam jurnal Perceptions edisi musim semi tahun 2005, menulis artikel berjudul “Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US’ Approach”.24 Artikel tersebut memaparkan perspektif Uni Eropa-Iran dan hubungan antara Amerika Serikat dan Iran pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979. Artikel tersebut juga mengkaji perbedaan kebijakan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap Iran, terutama dalam masalah nuklir.

Dampak dari dua kebijakan yang berbeda juga dipaparkan disertai dengan alasan-alasan yang membentuk pendekatan yang berbeda dari dua kekuatan besar tersebut. Artikel tersebut memaparkan instrumen luar negeri menggunakan konsep

stick and carrot, dengan asumsi Uni Eropa dengan carrot, dan Amerika Serikat

dengan stick, dalam hubungannya terhadap Iran.

Nicoleta Laşan dalam Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14,

No. 1, Maret 2014 menulis artikel berjudul “European Union Intervention in the

Iranian Crisis - A Sociological Institutionalist Perspective”.25 Artikel ini

menganalisis melaui perspektif institusionalisme sosiologis, kemudian mengkaji sejauh mana internalisasi nilai-nilai dan norma-norma dalam identitas

24

Aylin Unver Noi,Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison

to the US’ Approach”, Perceptions Journal of International Affairs, SAM Center for Strategic Research, (Spring 2005).

25Nicoleta Laşan, “European Union Interve

ntion in the Iranian Crisis - A Sociological

(27)

internasional Uni Eropa. Kemudian proses-proses seperti mobilisasi sosial dan mobilisasi aktor non-negara yang mampu mempengaruhi pendekatan Uni Eropa terhadap krisis nuklir Iran.

Sedangkan penelitian ini berusaha untuk mengkaji strategi yang digunakan Uni Eropa ditengah dilemma dan tantangan yang dihadapinya untuk menghentikan program nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua Ahmadinejad 2009-2013. Penelitian ini mencoba mengkaji upaya Uni Eropa tersebut dalam kerangka European Security Strategy, Common Foreign and

Security Policy, dan teori-teori yang relevan, serta bagaimana manajemen konflik

yang dilakukan Uni Eropa terhadap Iran.

I.5. Kerangka Pemikiran

Paradigma yang akan digunakan adalah liberal institusional karena penelitian ini ingin menganalisa strategi negara-negara Eropa yang bertindak melalui institusi, yaitu Uni Eropa untuk menghentikan program nuklir Iran. Liberal institusional menekankan pentingnya institusi untuk membantu mengurangi ketidakpercayaan dan ketakutan antarnegara yang dianggap sebagai masalah tradisional. Liberal institusional tidak menafikan bahwa dunia adalah anarki, namun ditengah ke-anarki-annya, sangat dimungkinkan terjadinya kerjasama dalam hubungan antarnegara, sehingga anarki sejatinya dapat diatur sedemikian rupa agar menjadi situasi yang kooperatif.26

26 Robert O. Keohane dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institusionalist Theory”,

(28)

13

Menurut Timothy Dunne, liberal institusional identik dengan liberal fungsional, yang memandang bahwa institusi-institusi internasional menjalankan sejumlah fungsi terbatas, lalu lama-lama berkembang. Contoh kasusnya adalah proses terbentuknya Uni Eropa, yang semula hanya dimulai dari kerjasama perdagangan batu bara antarbeberapa negara di Eropa.

Sedangkan Georg Sorensen menulis, kaum liberal institusional menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di antara negara-negara. Liberal institusional juga memfokuskan pada institusionalisasi kerjasama global.27 Kemudian, liberalisme institusional memandang bahwa institusi internasional membantu memajukan kerja sama antara negara-negara dan membantu mengurangi ketidakpercayaan antarnegara yang menjadi masalah klasik dikaitkan dengan anarki internasional.

Sorensen juga mengutip Nye, bahwa institusi akan membantu menciptakan iklim harapan berkembangnya perdamaian yang stabil.28 Liberal institusional berpendapat bahwa dalam rangka menciptakan perdamaian dalam percaturan internasional, negara harus bekerja bersama-sama dan memberikan sebagian kedaulatan mereka untuk menciptakan “masyarakat yang terintegrasi” untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, dan menghadapi isu-isu keamanan regional dan internasional.29

27 Georg Sorensen,

Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations, (2006), 51.

28 Sorensen,

Liberalism of Restraint, 55.

29 J. Caporaso dan J. Jupille, “Institutionalism and the European Union: Beyond

(29)

Liberalisme institutional menekankan pada peran organisasi international dan masyarakat internasional dalam hubungan internasional. Institusi-institusi dapat menyediakan aliran informasi dan forum negoisasi, dan juga membantu meyakinkan bahwa komitmen-komitmen akan dihormati. Dengan mengurangi potensi kurangnya kepercayaan antarnegara, institusi akan membantu menciptakan iklim yang membangun harapan terbentuknya perdamaian yang stabil.30

Dalam kasus proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa sebagai organisasi internasional yang dianggap sudah lebih mapan daripada organisasi lainnya, dianggap penting untuk dapat memainkan peran konstruktif dalam masalah tradisional yang mengancam keamanan bersama, yaitu proliferasi nuklir Iran. Kerja sama perlu dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk memutuskan strategi bersama dalam menghadapi Iran. Institusi akan lebih efektif untuk menekan Iran dibandingkan tindakan individu negara. Liberalisme institusional tidak mengedepankan cara-cara militeristik, ini sesuai dengan prinsip dasar Uni Eropa.

Masalah nuklir Iran tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan cara-cara tradisional, seperti penggunaan kekuatan bersenjata atau militer. Sementara Uni Eropa memberi penekanan besar pada penggunaan soft power dan kerjasama

melalui prosedur hukum internasional dan cara-cara diplomasi. Upaya penghentian proliferasi nuklir Iran yang mengkhawatirkan masyarakat internasional akan lebih efektif jika dilakukan secara kolektif melalui Uni Eropa

30

(30)

15

sebagai institusi, dimana Uni Eropa merupakan sebuah wadah untuk menjalankan

collective action. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai institusi dianggap penting

untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran.

I.5.1. Common Interest (Kepentingan Bersama)

Konsep common interest menjelaskan perilaku luar negeri sekelompok negara dalam satu wadah politik internasional yang bersifat liberal, dimana menekankan pada kerja sama dan berorientasi kelompok.31Common interest juga bertujuan mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian sekelompok negara yang berada dalam suatu wadah atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. Atas dasar itu kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun konflik.32

Hedley Bull berpendapat bahwa, negara memiliki kepentingan bersama yang mengarah pada pengembangan seperangkat aturan tertentu.33 Bull mendefinisikan masyarakat internasional terbentuk ketika sekelompok negara tidak hanya membentuk sebuah sistem, namun juga telah dibentuk oleh adanya dialog dan menyetujui aturan bersama, pembentukan institusi untuk menjalankan

31

T.A. Couloumbis dan J.H. Wolff, Introduction to International Relations, (New Jersey: Prentice-Hall, 1986), 113-116.

32 Couloumbis dan Wolff,

Introduction to International Relations, 113-116. 33

(31)

hubungan mereka, serta mencatat kepentingan bersama mereka dalam menjaga kesepakatan tersebut.34

Dalam hal ini Uni Eropa memiliki common goals atau tujuan bersama, yaitu Uni Eropa berkomitmen untuk mempromosikan confidence building dan

mendukung proses yang bertujuan untuk membangun zona bebas Weapon of Mass

Destruction (senjata pemusnah masal) di Timur Tengah. Uni Eropa mengidentifikasi proliferasi senjata pemusnah masal sebagai ancaman bagi negara-negara anggota Uni Eropa. Sejak tahun 2003, Uni Eropa memberika perhatian besar pada isu proliferasi senjata pemusnah masal. Uni Eropa mempunyai sebuah visi bersama, yaitu “A secure Europe in a better world”.35

Uni Eropa memiliki kesatuan pandangan yang akhirnya membuat kebijakan nonproliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua hal penting, yaitu bahwa senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris dan ancaman senjata pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum internasional dan sebaiknya tanpa metode yang menggunakan kekerasan.36 Penelitian ini akan mengkaji strategi Uni Eropa sebagai institusi internasional dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran, oleh karena itu strategi dan tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan didasarkan pada common interest.

34 Bull,

The Anarchical Society, 38.

35 Christer Ahlstrom, “The EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass

Destruction”, Europe and Iran Perspectives on Non-proliferation, Stockholm International Peace Research Institute Research Report No.21, (Oxford University Press, 2005), 30.

36 Tomas Valasek, “The European Union’s Role in Nonproliferation”,

(32)

17

I.5.2. Multilateralism

Robert Keohane mendefinisikan multilateralism sebagai praktik dalam

mengkordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri dari beberapa negara dalam bentuk aliansi atau institusi internasional.37 Dalam istilah regional multilateralism, masalah-masalah yang berkembang akan lebih baik jika dapat

diselesaikan pada tingkat regional daripada tingkat bilateral maupun global.38 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Uni Eropa dipandang akan lebih efektif dibandingkan upaya penyelesaian dengan secara bilateral, seperti Iran dengan Amerika Serikat, ataupun secara global, seperti melalui PBB.

Uni Eropa sendiri mempunyai pendekatan yang unik terkait proliferasi nuklir, yaitu effective multilateralism. Uni Eropa melihat tindakan unilateralism

ala Presiden Bush tidak efektif dan salah, sehingga akhirnya Uni Eropa secara kolektif merasa terdorong untuk merumuskan alternatif lain, effective

multilateralism.39

Pendekatan ini didasari oleh prinsip bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi tantangan keamanan baru, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antarnegara dan penguatan institus internasional.40 Prinsip dasar pendekatan ini adalah mengatasi akar penyebab proliferasi, mengurangi masalah keamanan yang mendorong negara-negara untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Memperkuat perjanjian multilateral seperti NPT, memperkuat kontrol ekspor, melakukan dialog regional, dan menyusun perjanjian baru. Jika langkah-langkah

37

Keohane, The Promise of Institusionalist Theory, 13. 38

Harris Mylonas dan Emirhan Yorulmazlar, Regional multilateralism: The next paradigm in global affairs, CNN 12 Januari 2012.

39

Portela, The Role of the EU in the Non-Proliferation, 24.

40

(33)

politik gagal, maka Uni Eropa akan menggunakan tindakan koersif seperti sanksi atau penggunaan kekuatan melalui PBB.41

Dalam kasus ini, Uni Eropa memiliki komitmen multilateral dan Uni Eropa bekerja dalam kerangka European Security Strategy dan EU Strategy

against Proliferation yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar effective multilateralism. Maka, strategi Uni Eropa atas upaya penghentian proliferasi nuklir Iran akan didasarkan pada pendekatan effective multilateralism.

I.5.3. Diplomasi

Diplomasi adalah instrumen utama negara-negara untuk saling berinteraksi. Bahkan ketika sebuah negara sedang berkonflik dengan negara lain dan konflik tersebut terlihat tidak mungkin untuk diselesaikan, dalam banyak kasus, konflik tersebut akan berakhir dengan kompromi atau negosiasi karena pada dasarnya setiap negara mempunyai “common interest” atau kepentingan

bersama. Diplomasi merupakan penggunaan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik.

Menurut Sumaryo Suryokusumo, diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ lainnya.42 Sumaryo Suryokusumo mengatakan bahwa diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak, termasuk negosiasi antara

41Valasek, The European Union’s Role, 45. 42

(34)

19

wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara yang semacam itulah yang sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.43

Dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran, selain melalui negosiasi dan dialog, Uni Eropa menggunakan diplomasi koersif. Diplomasi koersif mempunyai tiga elemen, yaitu permintaan, ancaman dan tekanan waktu.44

Pertama, permintaan yang spesifik harus dirumuskan langsung dengan lawan.

Tujuan dari permintaan ini adalah untuk menghentikan atau membalikkan tindakan yang telah dimulai oleh lawan. Permintaan harus dipahami sebagai suatu kebutuhan. Alexander George membedakan tiga jenis permintaan dalam diplomasi koersif, yaitu membujuk target untuk menghentikan tujuannya, untuk membatalkan tindakan, dan untuk membuat perubahan dalam pemerintahan.45

Kedua, permintaan tersebut harus didukung dengan ancaman, seperti, “Jika anda tidak setuju dengan permintaan ini saya akan menghukum anda dengan

melakukan X atau Y”. Ancaman yang diberikan harus bersifat kredibel dan

mampu membujuk target untuk memenuhi permintaan. Pemberian ancaman bertujuan supaya target mengikis motivasinya untuk melanjutkan apa yang dia lakukan.46

Ketiga, tidak cukup hanya dengan permintaan yang dikombinasikan

dengan ancaman, namun memerlukan tekanan waktu. Diplomasi koersif juga

43 Sumaryo Suryokusumo,

Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni, 2008), 4-5.

44

Alexander George, Forceful Persuasion Coercive Diplomacy as an Alternative to War, (Washington DC: US Institute of Peace, 1997), 7.

45Alexander George, “Coercive Diplomacy: Definition and Characteristics”;

A.L. George & W.E. Simons (eds.), The Limits of Coercive Diplomacy, (Westview Press, 1994), 9

46

(35)

memberikan tenggat waktu untuk memenuhi permintaan tersebut. Ada empat kategori tekanan waktu menurut Alexander George, yaitu ultimatum eksplisit yang menetapkan tenggat waktu, ultimatum diam-diam yang menekan rasa urgensi, pendekatan “gradual turning-on-the-screws” dan pendekatan “

try-and-see” yang tidak menyebutkan kemungkinan eskalasi.47

I.5.4. Sanksi

Penggunaan sanksi merupakan kebijakan yang lebih murah daripada penggunaan kekuatan militer, dan dapat diterapkan dengan cara yang lebih fleksibel. Menurut John Galtung, sanksi adalah tindakan-tindakan yang diprakarsai oleh satu atau lebih aktor internasional („the senders’ atau yang menjatuhi sanksi) terhadap satu atau lebih pihak lain („the receivers’ atau yang

dijatuhi sanksi) dengan satu atau keduanya dari dua tujuan, yaitu untuk menghukum „the receivers’ dengan mencabut mereka dari beberapa nilai dan/atau

untuk membuat „the receivers’ mematuhi norma-norma tertentu yang dianggap

penting oleh „the senders’.48

Umumnya kebijakan pemberian sanksi digunakan bersama dengan kebijakan lain. Sanksi dianggap sebagai titik tengah antara diplomasi dan kekuatan militer. Sanksi bekerja dengan cara memaksa (coercing), membatasi

(constraining) dan memberi isyarat (signalling) kepada target.49

47

George, Forceful Persuasion, 7-9.

48 John Galtung, “On the Effects of International Economic Sanctions,with Examples

from the Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 03, (1967), 378-416. 49

(36)

21

Tujuan dari pemaksaan adalah untuk mengubah kalkulasi cost and benefit

target dalam mengejar kebijakan tertentu, sementara membatasi bertujuan untuk menghambat kapabilitas target untuk bertindak. Kedua tujuan tersebut dimaksudkan agar target mengubah arah kebijakannya atau terjadi perubahan perilaku (behavior). Perubahan perilaku dapat mencakup berhentinya suatu

kebijakan tertentu atau membawa target ke meja perundingan.50 Sanksi juga bertujuan untuk mencegah pelaku lain melanggar norma-norma internasional.

Seperti dalam kasus Iran, sanksi menjadi alat pemaksa yang penting bagi Uni Eropa. Sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa juga dimaksudkan sebagai isyarat bagi Iran dan seluruh masyarakat internasional bahwa Uni Eropa tidak bisa tetap pasif dalam menghadapi sebuah tindakan atau kebijakan yang tidak dapat diterima, yaitu proliferasi nuklir Iran dan untuk menunjukkan kepada negara-negara lain bahwa Uni Eropa adalah aktor internasional yang kuat dan berpengaruh.

I.6. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. menurut Patton Michael Quinn penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan kata-kata sebagai penjabaran dari objek yang diteliti.51 Sedangkan Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

50 Esfandiary, Assessing The European Union’s Sanction Policy, 5. 51

Patton Michael Quinn, A Guide To Using Qualitative Research Methodology.

(37)

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.52

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, kemudian teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Data primer diperoleh dari dokumen-dokumen resmi pemerintah Iran, Uni Eropa dan organisasi internasional lain yang terkait. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai literatur yang sudah ada, seperti buku, jurnal, artikel, skripsi mahasiswa, media online dan surat kabar. Adapun perpustakaan yang akan dikunjungi untuk mendapatkan referensi terkait, diantaranya, Perpustakaan FISIP UIN, Perpustakaan Utama, Perpustakaan UI dan Perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri.

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang diperoleh dari hasil analisis dokumen, catatan lapangan, dan studi pustaka akan dituangkan dalam bentuk kata dan digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa masalah yang ada pada pertanyaan penelitian. Penelitian ini akan menganalisis data secara induktif. Dalam penelitian ini, nuklir Iran akan diletakkan sebagai variabel X, dan Uni Eropa akan diletakkan sebagai variabel Y. Landasan teori dan konsep yang relevan akan digunakan untuk mengkaji permasalahan dan sebagai pisau dalam menganalisa hubungan X dan Y.

52

(38)

23

I.7. Sistematika Penulisan

Bab 1 dalam penelitian ini berisi tentang pendahuluan. Pada bab ini akan dijelaskan latar belakang masalah yang mendasari signifikansi penelitian, yang diuraikan dalam pernyataan masalah, disertai dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian, bab II berisi tentang proliferasi nuklir Iran. Pada bab ini akan dijelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran yang didorong oleh motivasi iran, kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT. Kemudian, bab ini akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya, bagaimana politik domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam nuklir era pemerintahan yang disertai dengan faktor pembentuk kebijakan nuklir iran, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad.

Selanjutnya, bab III berisi tentang perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir. Pada bab ini akan dijelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir sebagai variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan

(39)

dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur Tengah.

Setelah itu, bab IV berisi tentang strategi Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi Nuklir Iran tahun 2009-2013 Bab ini akan menganalisa hubungan variabel X dan variabel Y untuk menjawab pertanyaan penelitian. Maka, bab ini akan menjelaskan strategi yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran selama tahun 2009-2013. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan hubungan Uni Eropa dan Iran yang kemudian akan melibatkan Uni Eropa dalam Krisis Nuklir Iran dan memunculkan kepentingan Uni Eropa, hingga pendekatan strategis Uni Eropa yaitu Effective Multilateralism. Bab ini juga

menjelaskan upaya diplomasi Uni Eropa terhadap Iran melalui negosiasi. dialog politik, hingga penggunaan diplomasi koersif. Kemudian, penerapan sanksi Uni Eropa ke Iran yang berupa embargo dan sanksi finansial.

(40)

25

BAB II

PROLIFERASI NUKLIR IRAN

Sifat proliferasi nuklir Iran yang tidak pasti, telah memicu perdebatan internasional. Bab ini akan menjelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran, kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT. Kemudian, bab ini akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya, bagaimana politik domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam nuklir era pemerintahan, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad.

II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran

Para pemimpin Iran telah berupaya untuk mengejar teknologi energi nuklir sejak tahun 1950-an, yang didorong oleh diadakannya perjanjian kerjasama nuklir di bawah program Atom for Peace tahun 1957.49 Upaya pertama Iran dalam

memiliki program nuklir terjadi di pemeritahan Syah Reza Pahlevi, dan negara pertama yang membantu Iran dalam mengembangkan program nuklirnya adalah Amerika Serikat.50

Secara umum, evolusi program nuklir Iran dapat diidentifikasi melalui tiga tahap. Pertama, tahap ketergantungan Iran pada Barat ketika Iran masih menjadi

49 Greg Bruno,

Iran's Nuclear Program, Council on Foreign Relations, (2010). 50 Gawdat Bahgat, “Iranian Nuclear Proliferation: The Trans

(41)

sekutu Barat pada masa pemerintahan Syah Pahlevi. Pada tahap awal membangun program nuklirnya, Iran bergantung pada Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.

Kedua, tahap ketika Iran berbalik arah dari negara-negara Barat. Pasca

Revolusi Islam Iran tahun 1979, program nuklir Iran sempat terhenti dan negara-negara Barat menghentikan bantuannya terhadap program nuklir Iran hingga akhirnya Iran memutuskan untuk bekerja sama dengan Rusia, Pakistan dan Cina.

Ketiga, tahap dimana Iran sudah lebih mapan dan mandiri untuk menjalankan program nuklirnya tanpa bergantung dengan negara lain.

Tabel 2.1

(42)

27 uranium di Iran dan di luar negeri

Pada tahun 1953, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam kudeta menggulingkan Mohammed Mossadeq, yang kemudian membawa Syah Pahlevi berkuasa di Iran.52 Saat itu, Amerika Serikat yakin bahwa Iran di bawah kepemimpinan Mohammed Mossadeq akan jatuh ke tangan komunis, sehingga Presiden Eisenhower mendorong pasukan pro Amerika untuk menggulingkan Mohammed Mossadeq.

Sebagai efek dari Perang Dingin, bahkan sejak sebelum Syah berkuasa, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Truman sudah merangkulnya sebagai mitra penting dalam aliansi informal anti-Soviet di Timur Tengah.53 Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak hanya berebut pengaruh, namun juga ladang minyak di Iran. Amerika Serikat sendiri pernah memberikan ancaman nuklir terselubung untuk Uni Soviet.54

Bantuan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran merupakan salah satu bentuk aliansi AS-Iran untuk membantu menyeimbangkan pengaruh Uni Soviet di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat membantu program nuklir Iran untuk menopang aliansi militer dengan Iran dan mempengaruhi kebijakan Iran pada harga minyak. Eksportir nuklir (negara-negara Barat) berharap bahwa

52The Robert S. Strauss Center.

Early US-Iran Relation,

https://strausscenter.org/hormuz/u-s-iran-relations.html diakses pada 17 Maret 2015. 53

Doughlas Little, Frenemies: Iran and America Since 1900, Vol. 4, Issue 8, (Mei 2011). 54

(43)

mereka pun dapat menuai keuntungan politik dan ekonomi dari bantuan nuklir yang diberikannya.55

Di bawah pemerintahan Syah Pahlevi, Iran merupakan sekutu Amerika Serikat dan negara Barat lainnya, serta sangat bergantung pada bantuan dan persenjataan Amerika Serikat. Pada saat itu, Amerika Serikat melihat Iran bukan sebagai ancaman sehingga Amerika Serikat bersedia membantu program nuklir Iran dengan menandatangani perjanjian kerjasama nuklir di bawah program Atom

for Peace tahun 1957 pada masa pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, dan kemudian memberikan lima megawatt-thermal Tehran Research Reactor.56

Pada akhir tahun 1960-an, Atomic Center of Tehran University dan sebuah

reaktor riset didirikan. Bahan bakar yang telah diperkaya dipasok oleh sebuah perusahaan Amerika bernama AMF.57 Pemerintah Syah kemudian mengumumkan rencana untuk membangun lebih dari 20 reaktor nuklir untuk menghasilkan listrik.58

Sampai pada tahun 1979, Amerika Serikat tidak sendirian dalam memberikan bantuan, negara lain seperti Perancis dan Jerman juga berkontribusi dalam program nuklir Iran. Pada tahun 1974, Iran dan Perancis menandatangani perjanjian kerjasama 10 tahun untuk pembangunan lima reaktor nuklir dan total biaya dari perjanjian ini sekitar US$ 4 miliar.59 Kemudian, pada tahun 1976 Iran

57 International Atomic Energy Agency,

Communication dated 12 September 2005 from the Permanent Mission of the Islamic Republic of Iran to the Agency, 4. Tersedia di www.iaea.org. 58 International Institute for Strategic Studies (IISS), Iran’s Nuclear, Chemical, and

Biological Capabilities: A Net Assessment, (2011). 59

(44)

http://politikaakademisi.org/nuclear-29

membeli 10% saham di sebuah pabrik pengayaan uranium yang bernama Tricastin di Paris dan 15% saham di tambang uranium RTZ di Rossing, Namibia.60

Syah Pahlevi mendorong keras pengembangan dalam negeri terkait pengolahan penuh bahan bakar nuklir, khususnya kemampuan untuk memproses ulang bahan bakar bekas.61 Oleh karena itu, sebagai bagian dari rencana untuk memodernisasi Iran, Syah bertekad untuk memulai dan memperluas program nuklir dengan ambisius.62

Di samping perjanjian dengan negara-negara Barat, Iran membeli kue kuning (yellow cake) dari Afrika Selatan dan membiayai sebuah pabrik pengayaan

disana. Pada tahun 1974, Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) didirikan

dan insinyur nuklir Iran dikirim ke luar negeri untuk melakukan pelatihan.63 Meskipun ada pernyataan bahwa program nuklir Iran di bawah Syah hanya untuk tujuan damai, beberapa sumber menyatakan bahwa Syah bermaksud untuk membangun senjata nuklir.64 Terlepas dari spekulasi tentang niat Syah dalam berantai (www.batan.go.id); Proses pengolahan ulang bahan bakar bekas bertujuan untuk mengambil sisa bahan bakar fisi yang belum terbakar dan bahan bakar baru yang terbentuk selama proses pembakaran bahan bakar nuklir (www.batan.go.id); Abbas Milani, The Shah’s Atomic

Dreams, Foreign Policy 29 Desember 2010, http://foreignpolicy.com/2010/12/29/the-shahs-atomic-dreams/ diakses pada 20 Februari 2015.

62

Meier, Iran and Foreign Enrichment, 47. 63

Kue kuning atau yellowcake adalah sebutan untuk semacam bubuk uranium konsentrat yang diperoleh dari proses penghancuran bijih uranium secara mekanik, dan kemudian uranium dipisahkan dari mineral lainnya melalui proses kimia menggunakan asam sulfat. Hasil akhir dari

proses ini berupa konsentrat uranium oksida (U3O8) yang sering disebut kue kuning atau “Yellow Cake”. (United States Nuclear Regulatory Commission, Yellowcake, http://www.nrc.gov/reading-rm/basic-ref/glossary/yellowcake.html); Muhammad Sahimi, Iran’s Nuclear Program, Payvand, Iran News, (2003).

64

(45)

program nuklir, ketika AEOI dibentuk pada tahun 1974, Syah menyerukan untuk membuat seluruh kawasan Timur Tengah sebagai zona kawasan bebas senjata nuklir. Seruan ini menjadi tema yang mendasari kebijakan nuklir Iran di bawah rezim Islam.65

Namun, Revolusi Islam Iran tahun 1979 merupakan titik balik dalam program nuklir Iran. Program nuklir Iran sempat terhenti tak lama setelah Revolusi 1979. Banyak ilmuwan nuklir Iran meninggalkan negara tersebut setelah jatuhnya rezim Syah Pahlevi. Selain itu, pemimpin tertinggi Iran (Supreme

Leader) pada saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, percaya bahwa senjata

nuklir bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.66

Setelah kematian Khomeini pada tahun 1989, pemimpin tertinggi Iran yang baru, Ayatollah Ali Khamenei, memperluas kegiatan nuklir Iran.67 Pada pertengahan tahun 1980an, pemimpin Iran memutuskan untuk memulai kembali program nuklirnya. Tidak seperti pendahulunya, Ayatollah Ali Khamenei mempunyai pandangan yang lebih baik tentang energi nuklir dan teknologi militer, sehingga ia bertujuan untuk membangun kembali Program Teheran.68

Namun, Iran tidak dapat menggandeng kembali negara-negara Barat untuk membantu program nuklirnya. Hal ini disebabkan adanya tekanan dari Amerika Serikat. Pasca Revolusi Islam Iran, hubungan Iran dan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, memburuk. Negara-negara Barat pun kemudian

65 Bahgat,

Iranian Nuclear Proliferation, 309. 66 Bahgat,

Iranian Nuclear Proliferation, 311. 67 Milani, The Shah’s Atomic Dreams.

68

(46)

31

membekukan perjanjian dengan Iran, serta menarik dukungan mereka untuk program nuklir Iran.

Siemens/Kraftwerk Union menghentikan pekerjaannya di Bushehr juga karena tekanan Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri memutuskan untuk menghentikan pasokan uranium weapon-grade69 yang digunakan sebagai bahan

bakar untuk Tehran Research Reactor (TRR). Perancis juga mengubah sikapnya terhadap energi nuklir Iran.70 Sebagian besar perusahaan Barat menghentikan kerjasama dengan Iran terutama karena upaya politik oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Ronald Regan, untuk memaksakan embargo internasional tentang kerja sama nuklir dengan Iran.71

Hingga akhirnya Iran berkeinginan untuk bekerja sama dengan Rusia, Pakistan dan Cina yang kemudian menandatangani perjanjian-perjanjian.72 Iran menandatangani perjanjian kerjasama nuklir jangka panjang dengan Pakistan dan Cina masing-masing pada tahun 1987 dan 1990.73 Iran juga menandatangani perjanjian dengan Rusia pada tahun 1992.

Menarik untuk melihat hubungan Iran dengan Rusia. Sebelumnya Iran dan Rusia memiliki sejarah konflik yang panjang. Namun, kini Rusia menyambut Iran dengan membantu program nuklir Iran. Iran dan Rusia sama-sama menganggap

69

Uranium weapon-grade adalah uranium dengan pengayaan diatas 90%. Fisi uranium di senjata nuklir primer biasanya berisi 85% atau lebih 235U sehingga uranium weapon-grade dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir. (www.batan.go.id)

70

Nuclear Energy, History: Post-Revolution Endeavors, http://nuclearenergy.ir/history/ diakses pada 5 Maret 2015.

71 The International Institute for Strategic Studies (IISS), IISS Dossier: Iran’s Strategic

Weapons Programmes-a net assessment, Routledge Taylor and Francis Group, (New York, 2005),

12.

72 Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear Crisis: An

Interest-Driven Strategy Combined With The “Appropriate” Means, (Hungary: Central European University, 2007), 7.

73

(47)

Amerika Serikat sebagai saingan yang signifikan dan ancaman bagi keamanan jangka panjang mereka. Maka, Rusia memutuskan untuk terlibat dalam strategi menyeimbangkan (balancing strategy).74 Rusia telah membantu pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Bushehr senilai US$ 800 juta dan membantu para ilmuan Iran untuk memperoleh pengetahuan nuklir.75

Pasca Revolusi Islam Iran, Rusia melihat bahwa mustahil untuk membawa pengaruh komunisme di Iran, terutama karena adanya faktor relijius yang kuat di dalam masyarakat Iran. Rusia melihat resiko yang besar untuk melemahkan pemerintah Iran, di samping ada bahaya potensial jika Amerika Serikat menginvasi Iran.76

Namun, Rusia merasa bahwa Iran dapat mengancam keamanan dan kepentingannya dengan mempengaruhi masyarakat Muslim di kawasan Asia Tengah dan Kausasus. Akhirnya, Rusia memutuskan untuk membawa Iran ke arah kerjasama dan berharap bahwa hal tersebut akan menyebabkan Iran bergantung pada Rusia dalam jangka panjang, yaitu dengan membantu program nuklir Iran.77

Sementara Iran dan Cina sama-sama merasa bahwa mereka adalah dua peradaban besar yang telah menjadi korban imperialisme Barat.78 Sebelum tahun 1997, Cina telah menjadi mitra penting Iran dalam membantu Iran mengembangkan kemampuan nuklirnya. Kerjasama Iran dengan Cina dimulai pada tahun 1987 dan berlanjut selama sekitar 10 tahun. Kerjasama ini membantu

74 Ariel Cohen,

The Russian Handicap to U.S. Iran Policy, Jerusalem Issue Briefs, (2009), 35.

75

Global Security. Bushehr –Background,

http://www.globalsecurity.org/wmd/world/iran/bushehr-intro.htm diakses pada 12 Maret 2015. 76 Mahdi Ahouie, Iran’s relationship with China, India and Russia, (2015).

77

Cohen, The Russian Handica, 30. 78

(48)

33

kapabilitas pertambangan uranium Iran dengan menyediakan para pakar dan rancangan fasilitas pembangkit uranium hexaflourida.79

Banyak bagian dari program Iran, termasuk desain fasilitas uranium hexaflourida dan fasilitas reaktor air berat di Arak yang digunakan untuk memproduksi plutonium, dapat ditelusuri melalui adanya kerjasama dengan Cina dan Rusia pada tahun 1990an.80

Aliansi informal dari antara Iran dengan Rusia dan Cina hadir sebagai reaksi terhadap unilateralisme dan upaya aspirasi hegemoni global Amerika Serikat. Cina dan Rusia yang sama-sama memiliki hak veto dalam Dewan Keamanan PBB, memiliki konsistensi untuk menghambat upaya PBB dalam menghentikan program nuklir Iran.81

Kekhawatiran internasional atas kegiatan nuklir Iran semakin intensif pada tahun 2002 ketika kelompok oposisi Iran yang berbasis di Irak, National Council

of Resistance in Iran (NCRI), mengungkap adanya dua fasilitas nuklir yang dirahasiakan, fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan pabrik produksi air berat di Arak. Hingga akhirnya di bawah tekanan dunia internasional, Iran kemudian menandatangani protokol tambahan, yang memberikan izin inspeksi kepada IAEA untuk memverifikasi bahwa Iran tidak membangun senjata nuklir.82

79 Eli Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia, The Washington Times, 5 Juli 2011, http://www.washingtontimes.com/news/2011/jul/5/irans-nuclear-program-helped-by-china-russia/?page=all diakses pada 13 Maret 2015.

80 Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia. 81

Cohen, The Russian Handicap, 37. 82

(49)

Gambar 2.2

Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran83

II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT

Non Proliferation Treaty (NPT) atau Traktat Non-Proliferasi Nuklir adalah perjanjian multilateral yang ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai berlaku efektif pada tahun 1970. NPT merupakan bentuk utama dari upaya dunia internasional untuk membatasi proliferasi nuklir. Ide dasar perjanjian ini adalah bahwa setiap negara harus memiliki kesempatan untuk menggunakan energi

83

(50)

35

nuklir untuk tujuan sipil, namun penggunaan nuklir untuk kepentingan militer harus dilarang dan hanya diperbolehkan eksklusif untuk lima negara, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Cina dan Perancis.84

Perjanjian ini membatasi penggunaan nuklir dan melarang transfer teknologi senjata nuklir ke negara yang tidak memiliki senjata nuklir (non-nuclear

weapon states). Namun, perjanjian ini tidak melarang penggunaan nuklir untuk tujuan damai, melainkan mendorong transfer teknologi nuklir untuk tujuan damai. Perjanjian ini juga mengharuskan negara-negara pemilik senjata nuklir untuk melakukan pengawasan senjata (arms control).85

Tiga tujuan utama NPT yaitu, pertama, menjamin pelucutan senjata nuklir

oleh negara bersenjata nuklir yang telah menandatanagi NPT, yaitu Cina, Rusia, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Kedua, mencegah penyebaran senjata

nuklir dan teknologi yang berkaitan dengan senjata nuklir. Ketiga, menjamin kerjasama dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.86

Iran menandatangani NPT pada tahun 1968 sebagai negara non senjata nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.87 Pasal III dari NPT mengharuskan negara non nuklir untuk menerima safeguard (upaya pengamanan) komprehensif

dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Iran telah menandatangani

84 Oliver Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intentionn

- Testing Scott

Sagan’s Argument of “Why do States build Nuclear Weapons”, Lancaster University, (2008), 5. 85

Wolfson, Richard, Nuclear Choices; A Citizen's Guide to Nuclear Technology, (Massachusetts: McGraw-Hill Publishing Company, 1991), 21.

86 Seyed Hossein Mousavian,

The Iran Nuclear Dilemma: The Peaceful Use of Nuclear

Energy and NPT’s Main Objectives. EU Non-Proliferation Consortium, (2012), 3. 87

(51)

safeguards agreement (perjanjian pengamanan) yang komprehensif dengan IAEA pada tahun 1974.88

Dalam kasus program nuklir Iran, Iran selalu menyatakan bahwa kegiatan pengayaan uraniumnya bertujuan untuk menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan domestik dan warga sipilnya dengan tujuan damai.89 Iran menyatakan bahwa membangun senjata nuklir bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga Iran pun bersikeras bahwa ia tidak sedang membangun senjata nuklir.90

Dengan pernyataan tersebut dan sebagai negara penadatangan NPT, maka pada prinsipnya Iran memiliki hak yang sah untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Iran sendiri juga mengklaim bahwa ia memiliki hak mutlak untuk mengaya uranium sebagaimana diatur dalam NPT, dan bahwa satu-satunya batasan dalam program nuklir adalah pemproduksian senjata, sedangkan Iran tidak sedang membangun senjata nuklir.91

NPT menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara penandatangan untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Hal ini diatur dalam pasal IV, yang pada intinya menyatakan bahwa tidak ada poin dalam perjanjian tersebut yang melarang pihak penandatangan untuk mengembangkan penelitian, produksi dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. Negara

88 Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International

Obligations, Congressional Research Service, (2014), 1. 89

Aylin Ünver Noi, Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US’ Approach, Center for Strategic Research, (2005), 89.

90

Conn Hallinan, The Question of Enrichment.

91

Gambar

Tabel 2.1 Tahapan Program Nuklir Iran……………………..……………26
Gambar 2.2      Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran………………………..34
Grafik 1.1 Ekspor Minyak Iran…………………………………………….4
Ekspor Minyak IranGrafik 1.1 10
+5

Referensi

Dokumen terkait

Palvelutarpeen arviointia on tehty Lapin maakunnan ja kuntien väestötasolla. Palvelutar- peen arvioinnissa on myös kartoitettu nykyisen palvelujärjestelmän tilanne, minkä yhteydes-

jahat namun memang digunakan untuk meningkatkan performa komputer.. file tersebut berpotensi sebagai bukti digital. Sehingga ini merupakan prosedur yang. harus

Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok untuk memperagakan dan berlatih posisi duduk yang benar saat menulis bersama kelompoknya.. Sambil bermain, siswa dapat melakukan

Dengan demikian regresi berganda ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel yang akan diteliti, yaitu Indeks Pembangunan Manusia sebagai

Menyimak dari proses berkesenian Muja yang berawal dari karya tradisi sampai sekarang merupakan kolaborasi gaya tradisi Bali dengan modern, sebagai wujud

Apabila penetuan nilai ini berdasarkan pada nilai hasil tes belajar yang digunakan pada kriterium peserta didik, maka pada hal ini mengandumg arti bahwa nilai yang

LDR pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, seharusnya NIM Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, faktanya NIM

Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam