TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Kepercayaan atau Keyakinan Kesehatan
Fishbein dan Azjen (1975), menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.
Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat dan kajian bidang kesehatan, penggunaan kata “belief” merupakan hal yang lazim untuk menggambarkan keyakinan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan, seperti teori model kepercayaan kesehatan (health belief model) menurut Rosenstock dalam Notoatmodjo (2005) dan kepercayaan kesehatan (health belief) dalam teori pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson dalam Notoatmodjo (2005).
Keyakinan atau kepercayaan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keilahian dan kekuatan yang menciptakan kehidupan. Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam kehidupan manusia mengarahkan budaya hidup. perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber daya didalam suatu masyarakat akan menghasilkan pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
Keyakinan individu dihubungkan dengan semua aspek kehidupan individu termasuk kesehatan dan penyakit (Potter & Perry dalam Kadir, 2004). Ketika tubuh mengalami sakit dan emosi berada diluar kontrol, maka keyakinan seseorang menjadi faktor pendukung dalam mencari pelayanan pengobatan untuk mencapai kesembuhan.
Deutsch dalam Bruhen (2003) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan suatu pihak akan menemukan apa yang diinginkan dari pihak lain bukan apa yang ditakutkan dari pihak lain. Mayer, Davis dan Schoorman dalam Bruhen (2003) menyatakan bahwa kepercayaan adalah kemauan dari salah satu pihak untuk menjadi tidak berdaya (vulnerable) atas tindakan pihak lainnya. Sementara Barney dan Hansen dalam Bruhen (2003) berpendapat bahwa kepercayaan merupakan keyakinan
mutual dari kedua pihak bahwa diantara keduanya tidak akan memanfaatkan kelemahan pihak lain. Costabile dalam Bruhen (2003) kepercayaan atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan keterhandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan.
Definisi di atas memberikan beberapa elemen penting yaitu kesedian dari salah satu pihak untuk menjadi tidak berdaya, keyakinan bersama bahwa diantara mereka tidak akan saling memanfaatkan kelemahan mitranya, serta adanya harapan bahwa pihak lain dapat memberikan kepuasan atas kebutuhannya.
Secara umum bagi industri jasa, dasar dari hubungan jangka panjang dengan konsumen ada pada kepercayaan konsumen terhadap organisasi. Kepercayaan merupakan inti dari kompleksitas hubungan antar manusia. Konsep ini mewakili komponen hubungan kualitas yang berpusat pada masa depan. Kepercayaan dapat dikatakan eksis ketika ada kerelaan konsumen untuk bersandar sepenuhnya pada perilaku perusahaan dimasa depan (Bruhen, 2003).
Dalam upaya pembentukan kepercayaan ini dibutuhkan salah satu pihak yang lemah atau tidak berdaya (vulnerable) dimana terdapat ketidakpastian sebagai hasil dari keputusan yang diambil. Unsur ketidakpastian ini banyak terjadi dalam bidang jasa karena keunikan jasa seperti telah disebutkan diatas.
Kepercayaan merupakan konsep yang memfokuskan diri pada masa depan, yang memberikan suatu jaminan bahwa patner termotivasi untuk tidak beralih dalam konteks pertukaran dengan pihak lain (Gurviez dan Korchia, 2003). Secara psikologi
kepercayaan merupakan suatu keyakinan dan kemauan atau dapat juga disebut sebagai kecenderungan perilaku (Delgado-Ballester et al., 2003), sehingga faktor kepercayaan merupakan variabel kunci dalam hubungan antara suatu organisasi dengan mitra kerjanya.
Beberapa proses yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan adalah (Doney & Canon dalam Bruhen, 2003) adalah :
a. Proses yang terkalkulasi. Menurut proses ini pihak tertentu yakin pada perilaku positif pihak lain ketika manfaat dari perilaku negatif pihak yang sama memiliki konsekuensi biaya yang lebih rendah.
b. Proses prediktif. Kepercayaan menurut proses ini sangat bergantung pada kemampuan pihak tertentu untuk mengantisipasi perilaku pihak lainnya.
c. Proses kemampuan. Proses ini berkaitan erat dengan perkiraan kemampuan pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.
d. Proses intensi. Menurut proses ini kepercayaan didasarkan pada tujuan dan intensi pihak lain serta ini mengacu pada penilaian pihak lain diluar pihak-pihak yang terlibat dalam proses.
Mengacu pada pada beberapa jenis proses di atas terdapat persamaan penting didalamnya yakni bahwa proses penumbuhan kepercayaan membutuhkan kemampuan mengantisipasi perilaku pihak lain dalam hubungan konsumen-produsen. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kesuksesan karyawan lini depan dalam menghantarkan jasa yang ditawarkan sangat ditentukan oleh hubungan pertukaran internal antar bagian dalam organisasi.
Djati dan Ferrinadewi (2004), menyatakan bahwa terdapat dimensi pada manusia dalam jasa merupakan variabel kunci dalam penciptaan kepercayaan konsumen pada bidang jasa. Proposisi ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan usaha jasa untuk mengantisipasi keinginan konsumen merupakan fokus dari keseluruhan aktivitas jasa yang ditujukan untuk mendorong komitmen konsumen, terutama pada usaha jasa dengan tingkat interaksi yang tinggi antara konsumen dan penyedia jasa. Usaha jasa dengan tingkat interaksi yang tinggi dengan konsumen membuat satu-satunya sumber pengalaman konsumen dengan kinerja jasa adalah pada proses interaksi yang mereka jalani. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa kepercayaan merupakan persepsi konsumen akan kehandalan kinerja produk maka sumber stimulus bagi persepsi konsumen ada pada proses interaksi tersebut (Djati dan Ferrinadewi, 2004).
2.6 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006) kata “tahu” berarti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta
kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).
Pengetahuan dapat diperoleh dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga, seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan mengadopsi informasi yang di dapat (Notoatmodjo, 2003).
Sementara Soekamto (1997) berpendapat, pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun orang lain, media masa maupun lingkungan sekitarnya.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (over behavior). Adanya perubahan perilaku baru pada seseorang merupakan suatu proses yang komplek dan memerlukan waktu relatif lama di mana tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain (Soekamto, 1997).
Kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun
pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktek dan latihan (Gibson. et al, 2001).
Pengetahuan terdiri dari fakta, konsep generalisasi dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah.
Menurut Gibson. et al. (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu: 1) melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur sekunder yang
memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan satu dengan yang lain; 2) mencari dan menerima penjelasan - penjelasan dari orang tertentu yang
mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang; 3) penalaran deduktif; 4) pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi terhadap hal - hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).
Sedangkan menurut Purwanto (1994) berpikir merupakan suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan terarah kepada suatu tujuan, atau berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif yaitu aktivitas internal untuk memperoleh pengetahuan. Disebutkan bahwa perilaku seseorang terdiri tiga bagian penting yaitu : 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap, sedangkan psikomotor dari tindakan yang dilakukan. Perilaku seseorang yang terukur dari pengetahuan, sikap dan praktek dapat dijelaskan yaitu bahwa pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya: media masa, media elektronik, buku petunjuk petugas kesehatan, media cetak, kerabat terdekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai
keyakinan tersebut. Tingkat pengetahuan manusia adalah suatu keadaan yang merupakan hasil dari pusat sistem pendidikan yang akan mendapatkan pengalaman dimana kelak akan memberikan tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu.
Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu sikap seseorang. Pengetahuan tersebut mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut :
a. Awareness ( kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.7 Sikap
Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi yang masih tertutup tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya bisa ditafsirkan dari perilaku yang nampak. Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu serta merupakan respon evaluatif terhadap pengalaman kognitif, reaksi afeksi, kehendak dan perilaku berikutnya. Sikap merupakan respon evaluatif berdasarkan pada proses evaluasi diri
disimpulkan berupa penilaian positif atau negatif kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek.
Menurut Gibson. et al, (2001) sikap adalah determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang diberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek-obyek, dan keadaan. Definisi sikap mempunyai implikasi tetentu pada seseorang yaitu: (1) sikap dapat dipelajari, (2) sikap mendefinisikan predisposisi terhadap aspek-aspek yang diberikan, (3) sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antar pribadi dan identifikasi dengan yang lain, (4) sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian.
Sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon secara positif atau negatif terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung sesuatu penilaian emosional / afektif, kognitif dan perilaku. Sedangkan Rogers dalam Notoatmodjo (2003) membagi sikap dalam 4 tingkatan yaitu :
1. Menerima (Receiving) diartikan sebagai manusia (subyek) mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek)
2. Merespon (responding) artinya memberikan suatu tanggapan apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan bahwa menunjukkan suatu sikap terhadap ide yang diterima. Karena dengan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan program yang diberikan. terlepas dari benar dan salah, berati manusia menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing) mengandung arti mengajak orang lain untuk ikut
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah dengan mengukur kemampuan. 4. Bertanggung jawab (responsible) bersedia bertanggung jawab atas sesuatu yang
sudah dipilih dengan segala resikonya.
Sikap (attitude) adalah suatu pernyataan evaluatif positif ataupun negatif terhadap suatu obyek, orang atau peristiwa (Robbins, 1996). Sementara Azwar (1998) membagi sikap menjadi tiga komponen yaitu : a) keyakinan ide dan konsep terhadap suatu obyek, b) kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek, dan c) kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Di dalam penentuan sikap yang utuh pengetahuan, berpikir, berkeyakinan dan emosi memegang peranan sangat penting.
Faktor yang memengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah: pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu seseorang (Azwar, 1998). Menurut Gibson et al (2001) bahwa sikap dapat menentukan afeksi, kognisi dan perilaku sebagai berikut : (1) Afeksi, emosi atau perasaan adalah segmen emosional dari sebuah sikap , komponen dari sikap dipelajari dari orang tua, guru, anggota kelompok sebaya. Komponen afektif dapat diukur dengan menggunakan kuesioner yang digunakan untuk mensurvey sikap, melalui pita rekaman, ketika pita rekaman dimainkan, respon emosi dapat diukur dengan reaksi setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung dari pernyataan yang ada
di pita rekaman, reaksi emosional akan nampak dengan melihat perbedaan pernyataan yang bertentangan, (2) Kognisi, komponen kognisi dari sebuah sikap terdiri dari persepsi, pendapat dan kepercayaan seseorang. Ini mengacu kepada proses berpikir, dengan penekanan khusus pada rasionalitas dan logika.
2.8 Persepsi
Persepsi (perception) merupakan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan perilaku tingkat pertama.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) persepsi diartikan sebagai: (a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006, secara etimologis,
persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian: (a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan
langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwa-peristiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ; (b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau
rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang terhadap kebutuhan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Menurut Zastrow et al, (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.
Persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi dalam setiap kesempatan, disengaja atau tidak, Persepsi sebagai “suatu proses penerimaan informasi yang rumit, yang diterima atas diekstraksi manusia dari lingkungan, persepsi termasuk penggunaan indra manusia”. Kemp dan Dayton dalam Prawiradilaga dan Eveline (2004) menyatakan persepsi “ sebagai satu proses dimana seseorang menyadari keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”. Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indra untuk menyerap objek-objek serta kejadian di sekitarnya. Pada akhirnya, persepsi dapat memengaruhi cara berpikir, bekerja, serta bersikap pada diri seseorang. Hal ini terjadi karena orang tersebut dalam mencerna informasi dari lingkungan berhasil melakukan adaptasi sikap, pemikiran, atau perilaku terhadap informasi tersebut (Prawiradilaga dan Eveline, 2004).
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi
2.9 Masyarakat
Pengertian masyarakat dalam konteks pemanfaatan pelayanan kesehatan rumah sakit dapat ditelaah dari pengertian menurut Soekanto (2006), bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mempunyai kebudayaan yang sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur (Soekanto, 2006).
Secara umum masyarakat digambarkan sebagai bentuk integrasi fungsional, dimana dalam masyarakat tersebut kestabilan sosial di topang oleh kesepakatan dasar atas nilai-nilai. Adapun ketertiban sosial terjadi dalam masyarakat karena setiap individu yang ada dalam masyarakat tersebut memiliki pemikiran bahwa dengan kerjasamalah segala keinginan masing-masing individu dapat tercapai. Dalam pandangan ini ditekankan, bahwa tarik-menarik, solidaritas, integrasi, kerjasama, dan stabilitas dalam masyarakat dipersatukan karena kesamaan budaya, dan kesepakatan atas norma dan nilai yang sama (Soekanto, 2006).
Sebagai mana telah dijelaskan dalam pengertian masyarakat, maka ciri-ciri masyarakat itu sendiri adalah: kesatuan antar individu (gabungan dari beberapa individu), menempati suatu wilayah tertentu, terdapat sistem yang berlaku dan telah disepakati bersama, terdapat interaksi antar sesamanya.
Adanya kecenderungan perbedaan pemanfaatan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada suatu kelompok masyarakat dapat ditelaah sebagai akibat perbedaan tingkatan (strata) pada masyarakat. Stratifikasi dalam masyarakat mengacu kepada definisi stratifikasi sosial menurut beberapa pendapat pakar sosiologi. Menurut Hewitt dan Mitchell dalam Bahrein (1997) menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah tingkat perbedaan individu dalam masyarakat yang mana dalam sistem sosial tertentu sebagai superior maupum inferior. Sedangkan menurut Marx dan Weber dalam Bahrein (1997) mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu masyarakat. Soekanto (2006) menyatakan stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan
adanya jenjang secara bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut akan menghasilkan strata tertentu, dan kedalam strata itulah masyarakat dimasukkan.
Dari ketiga pengertian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa strtatifikasi sosial adalah cara pembedaan masyarakat berdasarkan jenjang atau strata tertentu yang bertingkat-tingkat, dari mulai strata terendah sampai dengan tertinggi.