• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepercayaan Kaharingan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu

Dalam dokumen Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Huk (Halaman 30-84)

BAB IV PENGARUH KAHARINGAN PADA HUKUM TANAH ADAT DAN

A. Kepercayaan Kaharingan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu

Penjelasan mengenai konsep kepercayaan akan meliputi definisi serta perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan. Definisi kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari beberapa literatur. Kepercayaan, agama dan kebatinan dibedakan berdasarkan definisi, konsep dan sumber ajaran.

1. Definisi Kepercayaan

Kepercayaan didefinisikan sebagai konsep keyakinan yang bersumber dari nenek moyang terhadap hal baik yang bersifat materiil/immateriil.31 Soeganda Poerbakawatja dalam buku yang dikutip oleh IGM Nurdjana menyatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu paham yang terjalin dengan adat istiadat yang

31Alshad El Hafidy, 1977, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Penerbit Ghalia, Jakarta, hlm. 87

18 hidup dari berbagai macam suku bangsa dan menganggap bahwa kepercayaan merupakan turunan dari kehidupan nenek moyang.32

IGM Nurdjana sendiri menyebut kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan spiritual yang bersifat mistis dan merupakan warisan leluhur yang telah membudaya dalam masyarakat.33 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian kepercayaan sebagai suatu paham yang mengakui adanya kekuatan ghaib yang tidak berdasarkan ajaran agama.34

Penelitian ini mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan adikodrati yang merupakan warisan dari nenek moyang dan digunakan sebagai pedoman serta batasan dalam kehidupan seseorang.35 Pemaknaan mengenai definisi tersebut juga digunakan oleh beberapa komunitas adat di Indonesia seperti Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang dan Masyarakat Hukum Adat Badui.

Kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang meyakini keberadaan dari “Turiek Akrakna” (Yang Maha Mengetahui) dan “Toa

Manurung atu’ Ammatoa” (roh leluhur) sebagai kekuatan adikodrati yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka.36 Contoh kedua

32 IGM. Nurdjana, 2009, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 21

33 Ibid. 34

Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 312

35 Adikodrati diartikan sebagai kekuatan yang memiliki kuasa diluar batas jangkauan manusia (dikenal juga dengan kekuatan supranatural) - Lihat Ibid, hlm. 12

19 adalah Masyarakat Hukum Adat Badui yang meyakini adanya kekuatan adikodrati yang mereka sebut dengan “Sang Hiyang Keresa” dan ajaran Karuhun (leluhur) mereka adalah sesuatu hal yang baik bagi mereka.37

2. Perbedaan antara Agama dan Kebatinan

Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti peraturan atau upacara untuk kebaktian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.38 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama diartikan sebagai ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya.39

Agama juga disebut sebagai sesuatu yang disyaratkan oleh Tuhan berisi perintah dan larangan untuk kemaslahatan manusia, baik dalam urusan di dunia maupun di akhirat.40 Agama dianggap sebagai sebuah dogma yang kebenarannya tidak bisa dipermasalahkan oleh akal manusia.41

Adapun kebatinan merupakan sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama ataupun kepercayaan. Aliran kebatinan mulai berkembang di tahun 1950an, kebatinan menitikberatkan pada ilmu yang diajarkan oleh seorang guru yang berdasarkan wahyu/wangsit yang diperoleh dari dari Tuhan berdasar pada

37 Masykur Wahid, op.cit, hlm. 2 38

Alshad El Hafidy, op.cit, hlm. 85

39 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 56

40 A.C. Kruyt, 1976, Keluar dari Agama Suku masuk ke Agama Kristen, Gunung Mulia, Jakarta hlm. 15

20 pengakuannya.42 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebatinan merupakan segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini oleh manusia terkait adanya suatu kebenaran yang bersumber pada batinnya yang paling dalam.43

Sejumlah pemikiran menganggap bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu kesatuan. Salah satu pemikir yang pendapatnya sering dirujuk adalah Wongsonegoro. Menurut Wongsonegoro, kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu-kesatuan karena sama-sama berbakti kepada Panembah (Ketuhanan Yang Maha Esa).44

Sementara Koentjaraningrat menyebut bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan memiliki persamaan dan perbedaan sekaligus. Ketiganya memiliki persamaan karena sama-sama meyakini wujud dari alam ghaib (supranatural) dan menyebabkan manusia menjadi religius, adapun perbedaan dari ketiganya karena masing-masing memiliki keyakinan terhadap kekuatan wujud supranatural.45

Dua pendapat diatas, sampai saat ini merupakan bagian dari perdebatan dalam kajian anthropologi religi.46 Untuk kepentingan penelitian ini, Penulis memilih untuk menggunakan pendapat dari Koentjaraningrat karena ketiganya memiliki unsur pembeda yang tercantum pada tabel dibawah ini:

42

IGM. Nurdjana, op.cit. hlm. 24

43 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 278

44 Pernyataan tersebut diucapkan Wongsonegoro pada saat pelaksanaan Kongres Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diselenggarakan pada tahun 1955. Wongsonegoro juga merupakan Ketua dari Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) - Lihat Koentjaraningrat, 1977, op.cit, hlm. 129

45 Ibid, hlm. 137

46 Irwansyah Harahap, 2000, Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia: Kasus Parmalim Batak Toba, Jurnal Anthropologi Indonesia, Universitas Indonesia, hlm. 137

21 Tabel 1. Perbandingan Kepercayaan, Agama dan Kebatinan

Unsur Pembeda

Definisi Sumber Ajaran Konsep

Kepercayaan Sebuah keyakinan terhadap kekuatan adikodrati yang merupakan warisan dari nenek moyang dan digunakan sebagai pedoman serta batasan dalam kehidupan seseorang

Ajaran bersumber dari cerita-cerita nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun.

Sumber ajaran umumnya berasal dari tutur kata dan kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang.

Percaya kepada dewa atau kepada roh nenek moyang dimana alam semesta yang disembah berdasarkan kebudayaan.

Memiliki objek yang sangat luas, dapat berbentuk animisme atau dinamisme.

Agama Suatu sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta kaidahnya berkaitan dengan adanya pergaulan manusia kepada manusia yang lainnya.

Ajaran bersumber dari wahyu-wahyu Tuhan yang disampaikan melalui orang-orang terpilih yang diutus-Nya. Sumber ajaran tertuang dalam Kitab Suci.

Percaya kepada Tuhan dan menganggap Tuhan sebagai pencipta semesta alam.

Memiliki suatu pola dan sistem dalam beribadah.

Kebatinan Segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini oleh manusia terkait adanya suatu kebenaran yang bersumber pada batinnya yang paling dalam.

Ajaran bersumber dari manusia yang mendapatkan hidayah dan mimpi yang berasal dari dalam jiwa manusia.

Sumber ajaran berasal dari batin manusia.

Batin manusia sebagai sesuatu yang dapat dipercaya.

Memiliki objek yang lebih sempit, hanya sebatas pada lingkup batin manusia.

22 Tabel diatas memberikan penjelasan perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan yang didasarkan atas definisi, konsep dan sumber ajaran yang dipakai dari ketiga istilah tersebut. Dengan kata lain, Kaharingan dikategorikan sebagai suatu kepercayaan karena penganut Kaharingan meyakini keberadaan dari Ning Bhatara Langit (Yang Maha Kuasa) sebagai pemilik dari seluruh alam. Mereka juga percaya bahwa pasarupa (roh leluhur) mengawasi kehidupan mereka sehari-hari dan keyakinan tersebut merupakan ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun.47

B. Adat dan Hukum Adat

Bagian ini melihat konsep adat berdasarkan asal-muasal adat dan definisinya, sedangkan hukum adat merujuk pada konsep hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama karena berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, bagian ini juga membahas perbedaan antara adat dengan hukum adat.

1. Adat

Kata ‘adat’ berasal dari bahasa arab yaitu “adah” yang memiliki definisi sebagai kebiasaan. Dalam bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, istilah adat

47 Hasil diskusi dengan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2016.

23 juga sudah lama dikenal, misalnya di daerah Gayo menyebutnya sebagai odot dan di daerah Jawa Tengah serta Jawa Timur disebut sebagai adat atau ngadat.48

Definisi adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala;

b. cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan- kebiasaan; dan

c. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Penulis mendefinisikan adat sebagai aturan yang bermula dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang sehingga menimbulkan kebiasaan yang membentuk suatu nilai atau norma.

2. Hukum Adat

Hukum Adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan didalamnya mengandung unsur-unsur agama.49 Djojodigoeno menjelaskan bahwa hukum adat merujuk kepada hukum yang bersumber dari ugeran-ugeran.50

48 Adat di masing-masing daerah merujuk kepada kebiasaan yang dilakukan oleh warga atau masyarakat yang dianggap sebagai sesuatu yang baik. Lihat Bushar Muhammad, 1961, op.cit, hlm. 13.

49 Risalah Kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15-17 Januari 1975.

50 Istilah ugeran dimaknai sebagai aturan/norma yang membebankan suatu kewajiban atau pantangan yang bertujuan untuk membatasi sikap, tingkah laku atau perbuatan agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak baik.

24 Ugeran-ugeran berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di masyarakat dan dipengaruhi oleh unsur agama. Salah satu contoh adalah ugeran fiqh dalam hukum perkawinan Islam yang mengatur perkawinan, talak dan rujuk. Dalam perkembangannya, hukum perkawinan Islam disimpangi oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilaksanakan secara teratur oleh masyarakat. Kebiasaan menyimpang yang memiliki tujuan dan mengandung hal-hal baik disebut sebagai hukum adat.51

3. Perbedaaan antara Adat dan Hukum Adat

Van Dijk dan Van Vollenhoven menyebut bahwa adat dan hukum adat memiliki perbedaan sangat tipis, perbedaan tersebut terletak pada akibat hukum yang ditimbulkan yaitu sanksi.52 Sanksi yang digambarkan oleh Van Vollenhoven merupakan bentuk akibat hukum yang secara tegas membedakan keduanya. Perbedaan yang sangat tipis membuat anggapan antara adat dan hukum adat menjadi suatu hal yang sama, padahal terdapat perbedaan diantara keduanya.

Ter Haar memiliki pandangan berbeda dengan Van Dijk serta Van Vollenhoven, Ter Haar membedakan adat dengan hukum adat dengan Beslissingenleer Theory yang dicetuskannya. Teori ini menganggap adat dapat menjadi hukum adat sepanjang adanya keputusan para petugas hukum yang

51 Djojodigoeno, op.cit, hlm. 8

52 Van Dijk, 1971, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Cetakan Ketujuh), Penerbitan Sumur, Bandung, hlm. 9

25 menyepakati bahwa adat tersebut merupakan hukum adat yang terdapat di kelompok masyarakat.53

Otje Salman Soemadiningrat menyebut bahwa adat menjadi hukum adat sepanjang memenuhi 3 (tiga) syarat: Pertama, masyarakat meyakini bahwa kebiasaan tersebut merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan. Kedua, bahwa terdapat keyakinan dalam masyarakat kebiasaan tersebut bersifat mengikat (kewajiban yang harus ditaati). Ketiga, adanya pengukuhan yang berupa pengakuan (erkenning) dan/atau penguatan (bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa untuk melekatkan sanksi pada kebiasaan-kebiasaan tersebut.54

Penelitian ini memilih menggunakan pemikiran Van Dijk dan Van Vollenhoven untuk membedakan antara adat dengan hukum adat, karena akibat hukum berupa sanksi merupakan poin tegas yang membedakan kedua konsep.

C. Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat

Bagian ini memberikan pemahaman mengenai konsep hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang dihimpun dari doktrin-doktrin ahli hukum adat. Selanjutnya, konsep-konsep tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran terkait dengan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

53 Ter Haar, op.cit, hlm. 53

26 1. Hukum Tanah Adat

Hak atas tanah dalam hukum adat dibagi kedalam 2 (dua) jenis yaitu hak ulayat dan hak perorangan. Ter Haar menyebut bahwa kedua jenis hak memiliki hubungan timbal-balik yang disebut dengan “Teori Bola”.55

Maria SW Sumardjono menyebut bahwa hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum sebagai subjek hak dan tanah/wilayahnya sebagai objek hak tersebut. Selain itu, hak ulayat berisi wewenang yang dapat digunakan oleh subjek hak untuk hal-hal berikut:56

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu); dan

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.

Hak Ulayat merupakan terjemahan dari beschikkingrecht. Van Vollenhoven mengartikan beschikkingrecht sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh suatu suku (stam), gabungan desa (doperbond) atau hanya satu desa, yang memiliki sifat-sifat diantaranya adalah: 57

a. Hanya masyarakat hukum dan anggotanya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya

55Teori Bola menyatakan bahwa “Semakin kuat Hak Individual atas sebidang tanah, maka semakin lemah Hak Persekutuan atas tanah sebidang itu, begitu juga sebaliknya” - Ter Haar, op.cit, hlm. 53 56 Maria SW Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 56-58

27 (beschikkingskring), dalam hal ini contoh konkretnya adalah membuka lahan;

b. Orang-orang yang bukan anggota masyarakat hukum itu (orang yang berasal dari desa lain), hanya diperbolehkan menggunakan tanah sepanjang sudah memperoleh izin dari masyarakat hukum yang memiliki beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut. Apabila penggunaan tanah dilakukan tanpa izin masyarakat hukum tersebut, maka hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran;

c. Orang-orang asing yang akan menggunakan tanah ataupun anggota dalam masyarakat hukum tersebut diharuskan untuk membayar suatu bentuk pengakuan (recognize) yang umumnya berupa uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat hukum tersebut;

d. Masyarakat hukum pemilik beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut bertanggungjawab penuh atas beberapa kejahatan yang dilakukan oleh siapapun di wilayah beschikkingrecht tersebut;

e. Masyarakat hukum tersebut tidak dapat melepaskan beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut kepada siapapun;58 dan

f. Dalam beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut masih terdapat tanah-tanah yang sedang diusahakan/digarap dengan baik dan secara terus-menerus. Hukum tanah adat juga tetap mengakui adanya hak perorangan.Oleh Ter Haar dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:59

a. Hak Penguasaan Bumiputera; b. Hak Menikmati;

c. Hak Wenang yang Didahulukan; d. Hak Memilih lebih Dahulu; e. Hak Imbalan Jabatan;

58 Istilah melepaskan disini dapat diartikan merupakan sebuah perbuatan jual-lepas yang umumnya dikenal dalam transaksi tanah dalam hukum adat.

28 f. Hak Pakai; dan

g. Hak Gadai dan Hak Sewa.

Dalam hukum adat, hak perorangan diartikan sebagai hak untuk melakukan pengelolaan yang dapat diberikan kepada anggota persekutuan hukum adat maupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat masyarakat hukum tersebut.60

Perolehan hak atas tanah berdasarkan hukum tanah adat terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu melalui perbuatan sepihak dan melalui perbuatan dua pihak.61 Perolehan hak atas tanah yang dilakukan dengan perbuatan sepihak terdiri dari:

a. Membuka tanah hutan/tanah belukar; b. Mewaris tanah;

c. Menerima tanah karena pembelian, penukaran dan hadiah; dan d. Daluwarsa (verjaring).

Sementara perolehan hak atas tanah dengan perbuatan dua pihak dilakukan dengan transaksi tanah. Bentuk-bentuk transaksi tanah adalah:62

a. Transaksi Jual-Lepas, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain, untuk menerima pembayaran uang secara tunai dan penyerahan tanah berlaku untuk selamanya tanpa hak menebus kembali oleh pemilik tanah terdahulu;

b. Transaksi Jual Gadai, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain, untuk menerima pembayaran secara tunai dengan ketentuan pemilik tanah terdahulu tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus kembali; dan

60 Iman Sudiyat, 2012, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8 61 Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 222

29 c. Transaksi Jual Tahunan, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai yang dibatasi dengan janji, dibatasi dengan janji yang dimaksud adalah hak atas tanah akan kembali dengan sendirinya kepada pemilik terdahulu setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak.

Selain itu, transaksi yang berkaitan dengan tanah merupakan bagian dari hukum tanah adat. Transaksi yang berkaitan dengan tanah adalah:63

a. Transaksi Bagi-Hasil, merupakan transaksi yang terjadi apabila pemilik tanah memberikan izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya yang dilandasi dengan suatu perjanjian yang menerangkan bahwa penggarap tanah tersebut harus memberikan sebagian hasil dari tanah yang dikerjakan olehnya kepada pemilik tanah;

b. Transaksi Sewa, merupakan transaksi yang memberikan izin kepada orang lain/orang luar persekutuan untuk menggarap tanah atau tinggal di atas tanahnya dengan membayar uang sewa yang tetap setiap bulan atau setiap sesudah panen;

c. Transaksi Campuran, merupakan transaksi yang menggabungkan antara transaksi tanah dengan transaksi yang bersangkutan dengan tanah. Dalam contoh, pihak A (yang menerima tanah yang digadaikan) memberikan izin kepada B (pemilik tanah / sebagai pihak yang menggadaikan tanah) untuk mengerjakan tanah dengan transaksi bagi hasil.

2. Hukum Perkawinan Adat

Hukum perkawinan adat di Indonesia tidak lepas dari fakta yang menyatakan bahwa keberadaannya pada masing-masing daerah memiliki norma,

30 kaidah dan cara pelaksanaan perkawinan yang berbeda. Perbedaaan tersebut umumnya didasarkan pada sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat setempat.64 Menurut Iman Sudiyat, ruang lingkup hukum perkawinan adat meliputi langkah perintis perkawinan, pertunangan, proses perkawinan, pemutusan perkawinan dan hukum harta perkawinan.65

Langkah perintis perkawinan dimulai oleh pihak orangtua ataupun kerabat yang berasal dari calon suami/isteri yang akan melakukan ikatan perkawinan. Di kalangan masyarakat, langkah perintis perkawinan disebut dengan istilah “pelamaran”. Bila pihak laki-laki dan perempuan bersepakat untuk melakukan perkawinan, maka laki-laki wajib memberikan tanda pengikat atau tanda mau pada saat pelamaran.66 Tanda pengikat atau tanda mau sudah diterima oleh pihak perempuan, maka pelamaran berlanjut kepada perundingan dan perencanaan pelaksanaan hari perkawinan yang dilakukan oleh orangtua kedua belah pihak.67

Jenjang pertunangan merupakan janji diantara calon suami-isteri untuk melangsungkan perkawinan. Pertunangan juga menentukan hari berlangsungnya perkawinan, besaran biaya untuk pelaksanaan perkawinan dan penentuan biaya denda apabila terputusnya pertunangan.68 Di beberapa daerah di Indonesia, proses

64 Hilman Hadikusuma,1990, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17 65 Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 107

66

Tanda Pengikat atau Tanda Mau disini berbeda dengan “jujur”, tanda pengikat atau tanda mau merupakan syarat awal sebelum berangkat ke jenjang selanjutnya yaitu jenjang pertunangan. 67 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 19

68 Besaran denda hanya berlaku apabila perkawinan dibatalkan oleh salah satu pihak dan pihak tersebut yang diwajibkan untuk membayar denda - Lihat Iman Sudiyat, 1981, loc.cit

31 pertunangan juga digunakan untuk menyepakati besaran “jujur” yang akan dibayarkan.69

Tahapan berikutnya adalah putusnya perkawinan yang lebih sering dikenal dengan perceraian. Perceraian menandakan terputusnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya telah melangsungkan perkawinan.70 Pelaksanaan pemutusan perkawinan umumnya mengikuti sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat setempat.71

Hukum harta perkawinan merupakan bagian terakhir yang terdapat dalam pembahasan tentang hukum perkawinan adat. Harta perkawinan dibagi atas 4 (empat) jenis, yaitu:72

a. Harta Warisan, merupakan harta yang dibagikan pada saat hidup atau saat pewaris telah meninggal dunia yang diberikan kepada suami atau istri dan juga kepada ahli warisnya;

b. Harta yang diperoleh selama atau sebelum melangsungkan perkawinan (Harta Pribadi), merupakan harta yang diperoleh oleh suami atau istri pada masa sebelum perkawinan ataupun sesudah masa perkawinan yang merupakan hak dari masing-masing dan tidak dapat dilakukan tuntutan terhadap harta tersebut apabila perceraian terjadi;

c. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama yang dilakukan (Harta Bersama), merupakan harta yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan sehingga dalam hal terjadi

69 Hilman Hadikusuma, 2003, op.cit, hlm. 194 70

Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 133 71

Masing-masing dari sistem kekerabatan memiliki cara masing-masing dalam melakukan pemutusan perkawinan baik Patrilineal, Matrilineal dan Parental – Lihat lebih lengkap pada Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 36 dan Ibid, hlm. 133

32 perceraian diantara keduanya, maka suami dan istri dapat menuntut hak atas harta tersebut; dan

d. Harta Hadiah Perkawinan, merupakan harta yang berdasarkan kebiasaan yang ada, diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai sesuatu hadiah.

Hilman Hadikusuma menyebut bahwa kedudukan harta perkawinan di tiap daerah berbeda-beda, karena kedudukan harta perkawinan disebabkan oleh pengaruh dari susunan masyarakat hukum adatnya, bentuk perkawinan dan jenis hartanya.73

D. Teori Receptio in Complexu dan Receptie 1. Receptio in Complexu

Pembicaraan tentang teori receptio in complexu, diawali dengan sejarah tercetusnya teori ini. Teori ini bermula dari eksistensi kerajaan Islam sebelum para kolonialis masuk ke Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam memberlakukan hukum yang memuat unsur-unsur Islam sebagai aturan bagi penduduknya yang mayoritas Muslim. Setelah kolonialis masuk ke nusantara pada akhir tahun 1596, hukum Islam masih mendapatkan tempat dan apresiasi yang cukup baik dari pemerintah kolonial Belanda.74

Salomon Keyzer menyebut sejak tahun 1800 Pemerintah Kolonial Belanda mengetahui bahwa peradilan yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia banyak

73 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 98

74 Muhammad Daud Ali, 2000, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia (cetakan ke-8), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 217

33 menggunakan hukum Islam sebagai acuannya,75 karena mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Latar belakang sejarah tersebut menjadi dasar teori Van Den Berg untuk merumuskan teori receptio in complexu yang memiliki arti "bagi masyarakat Indonesia berlaku hukum apa yang menjadi

Dalam dokumen Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Huk (Halaman 30-84)

Dokumen terkait