• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Huk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Huk"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

PENULISAN HUKUM

PENGARUH KEPERCAYAAN KAHARINGANPADA HUKUM TANAH

ADAT DAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BALAI KIYU, KALIMANTAN SELATAN

Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum

Diajukan oleh

Nama : Bimantara Adjie Wardhana NIM : 12/328565/HK/19041 Departemen : Hukum Adat

(2)
(3)
(4)
(5)

v KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat, berkat, cinta kasih, dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu, Kalimantan Selatan,” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Penulisan Hukum ini menjadi sebuah kesempatan yang baik bagi penulis untuk menerapkan teori-teori dan ilmu yang telah penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan untuk memberikan manfaat khususnya bagi perkembangan ilmu hukum adat yang semakin hari semakin sedikit peminatnya, padahal ilmu hukum adat merupakan bagian hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Selama proses penyusunan Penulisan Hukum ini, penulis banyak memperoleh dukungan, semangat, ide, bantuan, petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ibu Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., selaku Rektor Universitas Gadjah Mada, beserta segenap Pimpinan Universitas Gadjah Mada.

2. Bapak Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, beserta segenap Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan bantuan, dukungan dan kemudahan selama penulis mengenyam pendidikan dan juga Dekan Baru Fakultas Hukum UGM yaitu Bapak Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M pada saat Penulisan Hukum ini diselesaikan. Terima Kasih Bapak-Bapak Profesor hebat. 3. Kedua orangtua penulis Dra. Ismamik Sumaryani dan Drs. Trinoegroho

(6)

vi 4. Bapak Dr. Rikardo Simarmata, S.H., selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini. Motivasi dan dukungan yang diberikan telah membantu penulis menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Terima Kasih banyak untuk ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis yang didapatkan dengan hasil bertukar-fikiran dengan Bapak, hal tersebut merupakan suatu berkah tersendiri bagi penulis.

5. Mas Tody Sasmitha Jiwa Utama S.H., LL.M, selaku Dosen yang sudah penulis anggap sebagai kakak penulis dan sudah banyak membantu memperkenalkan ilmu hukum adat dan penelitian secara lebih mendalam kepada penulis. Terima kasih banyak mas telah memberikan banyak pembelajaran dari hasil penelitian-penelitian dan diskusi kecil yang sering dilakukan, sekaligus dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

6. Bapak Dr. Paripurna Sugarda, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang telah banyak membantu dalam hal aktivitas akademik yang dilalui oleh penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen-Dosen pada Departemen Hukum Adat yaitu Bapak Dr. Djoko Sukisno, S.H., C.N., Dr. Sulastriyono, S.H., M.Hum., Bapak Dr. Agus Sudaryanto, S,H., M.Hum., Ibu Darmini Mawardi, S.H., S.U., Ibu Pudjiastuti, S.H., S.U., Ibu Sri Natin, S.H., S.U dan Mbak Rimawati., S.H., M.Hum yang juga telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat khususnya ilmu hukum adat yang sudah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 9. Seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang sudah sangat berperan

(7)

vii Lamberi dan Ibu Ingsep yang sudah sangat berkenan menyambut penulis seperti layaknya anak sendiri dalam keluarga Bapak dan Ibu. Terima Kasih untuk segala keramah-tamahan dari Masyarakat Adat Balai Kiyu, semoga saya bisa kembali lagi pada lain waktu.

10. Keluarga Besar Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar hukum dalam dunia praktik dan memberikan pengalaman yang sangat berharga untuk berproses di dalamnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Hariyanto, S.H., M.Kn., Mbak Saida Rusdiana, S.H., LL.M., Mas Imam Munandar, S.H., dan Mas Zahru Arqom., S.H., M.Hlit. Begitu juga dengan teman-teman paralegal yang sudah memberikan rasa kekeluargaan dalam PKBH FH UGM yaitu Astri, Wiarta, Ais, Alif, Laili, Cynthia, Tissa, Wiwid, Fifi, Vivi dan Farah.

11. Sahabat-Sahabat Penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Galih, Sendy dan Rafi. Begitu juga dengan kelompok bermain penulis yang akrab disapa “Mokondo Megawati”: Hesma, Bayu, Sinyo, Prakoso, Lodom, Rosi, Pesek, Mbendhol, Majid, Palguna, Muslih, Alvin, Kemal, Gotrek, Habi, Ilham, Helda, Wagiman dan Haryogi, Gigin dan Priaji. terima kasih banyak gaesss sudah memberikan waktunya untuk bermain dan belajar bersama dengan penulis.

(8)

viii 13. Teman-Teman KKN-JTM 09 (Desa Ngabab, Pujon, Kab. Malang) yang bersama-sama selama 60 hari untuk mengabdi bersama kepada Masyarakat Desa Ngabab, yaitu Arif, Deden, Dea, Arbi, Windy, Septi, Nina, Ayu, Haris, Evy, Adit, Memed, Cak Sur, Cak Bagus, Kevin dan Jeki, Imam, Eliz, Cicik, Ika, Ariska, Riska, Ais, Tiara, Bagas, Fitri, Elsa, The 2nd Big Boss yang juga Sahabat Penulis yaitu Afia dan yang terakhir adalah Mutia Laraswati yang sudah banyak memberikan pengalaman dan kontribusinya untuk mengabdi pada Desa Ngabab. Begitu juga dengan Keluarga Besar Ngabab, yang menjadi orangtua kami selama 2 bulan, terima kasih kami ucapkan kepada Pak Carik (Pak Amin) beserta Istri, Bu Mah dan Dua Cak yaitu Cak Gisan dan Cak Dublin. Terima Kasih semua pihak yang sudah berandil dalam KKN Ngabab 2015.

14. Keluarga MCC DEMA 2013, yang memperkenalkan penulis kepada dunia praktek dan belajar untuk lebih serius dalam bidang hukum. Terima Kasih yang sebesar-besarnya pada Mas Adit “Suhu MCC”, Kak Disa, Kak Ola dan Kak Wabhe. Galer dan Priaji yang menjadi backup penulis sebagai Ketua Delegasi. Adik-adik dan teman-teman seperjuangan, Gigin, Faiz, Fafa, Karin, Saski, Vesa “Sang Partner”, Wiwid, Mita, Sesty, Belinda, Radit dan Mira yang sudah banyak berjuang bersama demi nama baik Dema Justicia dalam PDFH IX. Kalian Keren, karena Kita semua SIAP MENANG !! 15. Teman-teman yang tergabung dalam komunitas “Adat Recht” yang digagas

oleh teman-teman konsentrasi Hukum Adat dan membantu kegiatan Pusat Kajian Hukum Adat “Djojodigoeno” yang terdiri dari Mas Pras, Ben, Brian als Bra, Arifan, Putra dan Srikandi Hukum Adat “Almonika”.

16. Terima Kasih banyak bagi seluruh pihak-pihak yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum serta dalam kehidupan kampus Penulis.

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ………... .v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

1.Tujuan Subjektif ... 8

2.Tujuan Objektif ... 9

D.Keaslian Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 11

1.Manfaat secara teoritis ... 11

2.Manfaat secara praktis... 12

F. Metode Penelitian ... 12

1.Pendekatan Penelitian ... 12

2.Lokasi Penelitian ... 13

3.Responden Penelitian ... 14

4.Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 14

5.Analisis Data ... 15

(10)

x

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL ... 17

A.Kepercayaan ... 17

1.Definisi Kepercayaan ... 17

2.Perbedaan antara Agama dan Kebatinan... 19

B.Adat dan Hukum Adat ... 22

1.Adat ... 22

2.Hukum Adat ... 23

3.Perbedaaan antara Adat dan Hukum Adat ... 24

C.Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat ... 25

1.Hukum Tanah Adat ... 26

2.Hukum Perkawinan Adat ... 29

D.Teori Receptio in Complexu dan Receptie ... 32

1.Receptio in Complexu ... 32

2.Receptie ... 34

BAB III HUKUM TANAH ADAT DAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BALAI KIYU A.Gambaran Lokasi Penelitian ... 36

B.Hukum Tanah Adat ... 42

1.Kepemilikan Tanah ... 42

2.Perolehan Hak atas Tanah ... 45

3.Transaksi atas Tanah ... 49

4.Transaksi yang berkaitan dengan Tanah ... 51

C.Hukum Perkawinan Adat ... 55

1.Bentuk - Bentuk Perkawinan ... 55

(11)

xi

3.Proses Perkawinan ... 60

4.Pemutusan Hubungan Perkawinan ... 62

5.Hukum Harta Perkawinan ... 65

BAB IV PENGARUH KAHARINGAN PADA HUKUM TANAH ADAT DAN HUKUM PERKAWINAN ADAT ... 68

A.Kepercayaan Kaharingan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu ... 68

B.Pengaruh Kaharingan pada Hukum Tanah Adat ... 71

C.Pengaruh Kaharingan pada Hukum Perkawinan Adat ... 76

BAB V PENUTUP ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(12)

xii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Wilayah Adat Balai Kiyu ... 37

Gambar 2. Struktur Lembaga Adat Balai Kiyu ... 38

Gambar 3. Zonasi dan Kepemilikan Tanah pada Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu ... 44

Gambar 4. Ritual Tabas Kayu ... 47

Gambar 5. Surat Keterangan Pinjam Tanah ... 53

Gambar 6. Benda-Benda yang dibawa pada saat Mamang Larang ... 59

(13)

xiii DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku. Suku-suku tersebut melahirkan bermacam-macam budaya yang disebut sebagai keragaman budaya. Salah satu bagian dari keragaman budaya adalah keragaman hukum. Keragaman hukum (yang dikenal sebagai pluralisme hukum) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.

Pluralisme hukum di Indonesia ditandai dengan beragamnya otoritas pengaturan (governing authorities) yang menghendaki kepatuhan pada anggota atau warga yang diaturnya.1 Salah satu sistem hukum yang merupakan bagian dari pluralisme hukum di Indonesia adalah hukum adat. Hukum adat telah berkembang sejak zaman nenek moyang (zaman sebelum datangnya agama2 dan kolonialis).3 Hilman Hadikusuma membagi periode perkembangan hukum adat ke dalam 5 (lima) bagian yaitu:5

1

Rikardo Simarmata, Tanpa Tahun, Pluralisme Hukum dan Isu-Isu yang Menyertainya, Perkumpulan HuMa, Jakarta, hlm. 12

2 Agama pada penelitian ini merujuk kepada agama Abrahamiah (Samawi) yaitu Agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Hal tersebut dilakukan pada penelitian ini untuk membedakan konsep antara kepercayaan dan agama yang meminjam pemikiran Kontjaraningrat. Koentjaraningrat membedakan agama Abrahamiah (Samawi) dengan Kepercayaan karena keduanya memiliki perbedaan pada konsep dan sumber ajaran. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada halaman 21 pada penelitian ini – Lihat juga Koentjaraningrat, 1977, Kebudayaan Mentelitet dan Pembangunan: Cetakan Keempat, PT. Gramedia, Jakarta hlm. 122

3 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, hlm. 53

(15)

2 1) Hukum Adat di Zaman Hindu;

2) Hukum Adat di Zaman Islam;

3) Hukum Adat dan Peradilan di Zaman Kompeni; 4) Hukum Adat di Zaman Hindia Belanda; dan 5) Hukum Adat setelah Kemerdekaan.

Berdasarkan catatan sejarah, faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan hukum adat adalah faktor animisme, faktor agama dan faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.6 Agama sebagai salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan hukum adat terlihat dalam teori hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama. Teori hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama terdiri dari 2 (dua), yaitu teori receptio in complexu dan teori receptie.7

Teori receptio in complexu dicetuskan oleh Salomon Keyzer dan Van Den Berg yang menyatakan apabila suatu masyarakat menjadi pemeluk agama tertentu, maka hukum adatnya adalah hukum agama yang dipeluknya. Bushar Muhammad menyebut teori receptio in complexu menganggap hukum adat sebagai hal yang diterima secara bulat-bulat (sepenuhnya) dari hukum agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.8

Van Den Berg menambahkan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaan tersebut terdapat penyimpangan. Salah satu bentuk prakteknya terlihat di zaman kolonial ketika terjadi peristiwa perkawinan dan kewarisan Islam yang dilaksanakan oleh hakim-hakim Belanda, mereka

6 Djojodigoeno, 1961, Asas-Asas Hukum Adat, Prandja Pramita, Jakarta, hlm. 6

7 Bushar Muhammad, 1961, Pengantar Hukum Adat: Djilid I, Penerbit Ichtiar, Jakarta, hlm. 14 8

(16)

3 dibantu oleh penghulu/kadhi Islam.9 Sehingga dalam hal ini teori receptio in complexu terlihat nyata terjadi dalam masyarakat Indonesia pada masa itu.

Dalam perkembangannya, teori receptio in complexu mendapat kritik dari banyak sarjana hukum. Salah satunya adalah Snouck Hurgronje yang menyangkal teori receptio in complexu dengan teori receptie. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat, hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang sifatnya sangat pribadi (dalam hal ini hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris).10

Ter Haar membantah pendapat Snouck Hurgronje terkait dengan dikategorikannya hukum waris sebagai bagian yang dipengaruhi oleh hukum agama. Ter Haar berpendapat bahwa hukum waris merupakan hukum adat yang asli, bukan pengaruh dari hukum Islam. Hal tersebut ditunjukkan oleh temuan Ter Haar di tanah Minangkabau. Hukum waris yang berlaku di wilayah Minangkabau merupakan perwujudan norma-norma yang sesuai dengan susunan dan struktur masyarakat Minangkabau.11

Para penganut teori receptie menegaskan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia sempat merasakan pengaruh dari hukum Islam sebagaimana telah disebutkan diatas, akan tetapi pengaruh hukum Islam dapat dikatakan memiliki kekuatan yang berlaku dan mengikat ketika ketentuan hukum tersebut

9 Sajuti Thalib, 1982, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, hlm. 16

10 Iman Sudiyat, 1978, Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3 11

(17)

4 dikehendaki serta diterima oleh hukum adat yang terdapat di masyarakat tersebut.12

Penjabaran dua teori di atas hanya menggambarkan pengaruh agama Islam terhadap hukum adat. Hal tersebut didasarkan atas 2 (dua) alasan.13 Pertama, pemerintahan kolonial menganggap bahwa kekuatan pemberontakan Bangsa Indonesia dipelopori oleh keyakinan keagamaan khususnya agama Islam. Kedua, usaha untuk melemahkan keyakinan keagamaan tersebut adalah dengan menghapus dasar berlakunya hukum Islam dan menompangkannya ke dalam hukum adat sekaligus mempertentangkan antara hukum Islam dengan hukum adat. Dua alasan tersebut yang menyebabkan dominannya agama Islam dalam perbincangan dua teori di atas.

Dua teori di atas belum menyinggung adanya kepercayaan-kepercayaan yang terdapat di Indonesia sebagai salah satu unsur yang berperan dalam memengaruhi hukum adat. Apabila merujuk kepada beberapa masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia, sebagian besar dari adat dan hukum adat yang berlaku dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh mereka. Selain itu, kepercayaan tersebut diyakini sebagai pedoman sekaligus batasan dalam kehidupan sehari-hari.14

12 Sajuti Thalib, op.cit, hlm. 23 13

Ibid, hlm. 12

(18)

5 Salah satu kepercayaan yang sampai saat ini tetap dijadikan pedoman hidup bagi sebagian komunitas Dayak di Kalimantan adalah adalah Kaharingan. Kaharingan sering diidentikkan sebagai kepercayaan asli suku Dayak, karena Kaharingan berkembang di 3 (tiga) suku Dayak yang tersebar di Pulau Kalimantan yaitu suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, suku Dayak Tunjung dan Benuaq di Kalimantan Timur,15 dan Dayak Meratus Kalimantan Selatan.16

Dayak Meratus tersebar di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Wilayah yang memiliki jumlah penganut Kaharingan terbesar dari kedua wilayah tersebut adalah Kecamatan Batang Alai Timur yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah tahun 2015, jumlah penganut Kaharingan yang terdapat pada Kecamatan Batang Alai Timur adalah 2.898 (dua ribu delapan ratus sembilan puluh delapan) jiwa yang tersebar di 2 (dua) desa yaitu Desa Hinas Kiri dan Desa Juhu.17

Penganut Kaharingan di Desa Hinas Kiri terdapat di Balai Kiyu yang merupakan tempat dimana Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu bertempat tinggal.18 Mayoritas Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu adalah penganut

Wahid, Tanpa Tahun, Sunda Wiwitan : Penjaga Alam Kanekes, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, hlm. 4.

15 Martin Baier, 2007, The Development of Kaharingan in Dayak Community at Central and East Kalimantan, Anthropos Vol. 102.

16

Anna Lowenhaupt Tsing, 1998, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (Terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia), Penerbit Obor, Jakarta. 17 Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam Angka, Barabai, hlm. 48

(19)

6 Kaharingan, hal itu tercermin dari jumlah penganut Kaharingan di wilayah Balai Kiyu yang mencapai +/- 285 (kurang lebih dua ratus delapan puluh lima) jiwa.19

Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan bagian dari sub-etnik Dayak Meratus atau Dayak Bukit. Dayak Meratus atau Dayak Bukit ini merupakan pembagian Dayak yang didasarkan atas penggunaan bahasa yang terbagi kedalam 5 (lima) kelompok.20 Pada kesempatan yang lain disebut sebagai Dayak Meratus karena Masyarakat Dayak tersebut bertempat tinggal di kaki Pegunungan Meratus.21

Kepercayaan Kaharingan telah lama dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Mereka meyakini bahwa ajaran-ajaran dalam Kaharingan yang diwariskan oleh nenek moyang merupakan pedoman sekaligus batasan hidup yang ada dan ajaran-ajaran Kaharingan tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.22

Kaharingan) dan upacara perkawinan. Balai juga digunakan oleh warga setempat untuk tempat menginap bagi tamu dari luar persekutuan – Lihat Departemen Hukum Adat FH UGM & Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Identifikasi Kesiapan (Calon) Desa Adat untuk Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kampung Adat Anak Rawa, Riau dan Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kalimantan Selatan), Tidak Dipublikasikan, hlm. 4

19 Hasil wawancara dengan Bapak Norsewan (Sekretaris Desa Hinas Kiri), pada tanggal 7 Mei 2016 yang menerangkan Profil Desa Hinas Kiri.

20 Paschalis Maria Laksono, 2006, Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 26

21 M. Salleh Lamry, 2007, Orang Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan: Asal-Usul dan Perhubungan Mereka, Kertas Kerja untuk Konferensi Antar-Universitas se-Borneo Kalimantan ke-3, Banjarmasin 15-17 Juni 2007, hlm. 9

(20)

7 Dalam kesehariaannya, Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada sektor agraris. Mereka menganggap bahwa tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan merupakan tempat tinggal yang diwariskan oleh nenek moyang sekaligus menjadi sumber utama penghidupan mereka.23 Dalam mengelola tanah, mereka masih menggunakan hukum tanah adat sebagai acuannya.

Di bidang lain, hukum perkawinan adat yang terdapat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu masih terjaga hingga saat ini. Pelaksanaan perkawinan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu tetap menjalankan beberapa proses menjelang perkawinan dan tata cara perkawinan menurut hukum perkawinan adat.

Dua norma tersebut menjadi fokus dalam penelitian ini dikarenakan keduanya masih dipertahankan dan diberlakukan sampai saat ini. Hal ini yang memunculkan anggapan bahwa eksistensi dari hukum adat yang dipengaruhi oleh suatu kepercayaan hidup dan digunakan oleh sebagian kecil masyarakat yang terdapat di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam terkait hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Hal lain yang juga diperiksa adalah pengaruh kepercayaan Kaharingan terhadap hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di wilayah Balai Kiyu.

(21)

8 B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu?

Rumusan Masalah ini memberikan penjelasan mengenai hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu didasarkan pada konsep-konsep hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat.

2. Bagaimana pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu?

Rumusan Masalah ini menjelaskan bagaimana pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat sekaligus menilai kesesuaian teori receptio in complexu dan teori receptie pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif

(22)

9 2. Tujuan Objektif

Tujuan objektif dari penelitian ini antara lain adalah :

a. Untuk mendapatkan informasi terkait hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu; b. Untuk mengetahui pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah

adat dan hukum perkawinan adat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu serta menilai relevansi teori receptio in complexu dan receptie pada kasus sampel penelitian.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai kepercayaan Kaharingan di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah :

1. Tesis Nuhrison pada Jurusan Kajian Agama-Agama dalam Program Studi Pengkajian Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Studi Agama Kaharingan: Sejarah dan

Perkembangannya Pasca Reformasi (Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas)”.24 Penelitian ini memfokuskan pada 2 (dua) hal yaitu :

(23)

10 a. Penjabaran sejarah perkembangan kepercayaan Kaharingan sebagai

sebuah kepercayaan atau agama; dan

b. Menerangkan upaya-upaya pemeluknya untuk memperjuangkan Kaharingan sebagai agama resmi yang diakui oleh Pemerintah.

Tesis ini juga memaparkan aspek-aspek yang terdapat dalam kepercayaan Kaharingan (dalam hal ini kekuatan adikodrati yang memiliki kuasa/Ranying Hatalla, tata cara ibadah dan upacara keagamaan) yang dilakukan untuk menggambarkan bagaimana kepercayaan Kaharingan hidup dan dianut oleh banyak masyarakat yang terdapat di Kalimantan Tengah.

2. Disertasi Marko Mahin pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul “Kaharingan:

Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah”.25 Penelitian ini memfokuskan pada 2 (dua) hal yaitu :

a. Bagaimana dinamika kepercayaan Kaharingan di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah eksis hingga masa kini sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama; dan

b. Bagaimana bentuk peran aktif para penganut kepercayaan Kaharingan dalam dinamika tersebut.

(24)

11 Disertasi ini meninjau kedudukan kepercayaan Kaharingan melalui sudut pandang sejarah. Kesimpulan dalam disertasi ini menyebut bahwa Kaharingan dapat digolongkan ke dalam agama resmi dan bukan lagi menjadi bagian dari kepercayaan.

Dua penelitian yang disebutkan di atas lebih fokus menjelaskan kepercayaan Kaharingan dari pendekatan anthropologi dan sosiologi. Dengan demikian, kedua penelitian tersebut tidak membahas pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum adat. Selain itu lokasi kedua penelitian tersebut berbeda dengan lokasi dalam penelitian ini. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, Penulis menganggap penelitian yang dilakukan tidak tumpang tindih dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas, diantaranya adalah :

1. Manfaat secara teoritis

(25)

12 2. Manfaat secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara langsung terkait norma-norma hukum adat (khususnya hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat) yang dapat membuktikan bahwa hukum adat hidup dan berkembang di sebagian kecil wilayah Indonesia. Penelitian ini juga menyajikan penjelasan terkait dengan pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

F. Metode Penelitian26 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggabungkan antara pendekatan normatif dan pendekatan empiris (yang lebih sering dikenal sebagai normatif-empiris/yuridis-empiris). Pendekatan normatif yang dilakukan memfokuskan pada pendekatan terhadap norma-norma adat, khususnya pada norma tanah adat dan norma perkawinan adat. Pendekatan ini juga digunakan untuk memahami konsep atau teori hukum,27 khususnya konsep atau teori hukum yang berhubungan dengan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat guna menjawab rumusan masalah pertama.

Sementara pendekatan empiris digunakan untuk mengetahui dalam hal apa kepercayaan Kaharingan memiliki pengaruh pada hukum tanah adat dan hukum

26

Metode Penelitian pada Penulisan Hukum ini tidak mengikuti kelaziman yang terdapat pada Penulisan Hukum lainnya. Hal ini disebabkan karena Metode Penelitian memuat instrumen-instrumen penelitian yang merupakan bagian awal (Pendahuluan) dari sebuah penelitian. Alasan tersebut yang membuat Penulis menampilkan Metode Penelitian menjadi satu-kesatuan dengan Bab Pendahuluan.

27

(26)

13 perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu untuk menjawab rumusan masalah kedua.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Balai Kiyu merupakan tempat tinggal bagi Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Alasan yang mendasari dipilihnya lokasi Balai Kiyu karena di wilayah Balai Kiyu masyarakat masih memberlakukan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat. Hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku dipercaya oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai hukum adat yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kaharingan.

Hal tersebut diketahui karena sebelumnya penulis terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh Dosen-Dosen Departemen Hukum Adat Fakultas Hukum UGM yang bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan judul “Identifikasi Kesiapan (Calon) Desa Adat untuk Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kampung Adat Anak Rawa, Riau dan Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kalimantan Selatan)”.

(27)

14 penulis untuk melakukan eksplorasi lebih dalam terkait hukum adat yang berlaku dan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan Kaharingan. Sehingga ketertarikan untuk pemahaman yang lebih mendalam terhadap dua hal tersebut yang menyebabkan penulis memilih kembali Balai Kiyu sebagai lokasi penelitian.

3. Responden Penelitian

Responden merupakan seseorang yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling.28 Responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :29

a. Pemangku Adat Balai Kiyu; b. Sekretaris Desa Hinas Kiri;

c. Gurujaya (Kepala Pemuka Agama) Balai Kiyu; d. Balian (Pemuka Agama) Balai Kiyu; dan e. Tokoh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sekunder yang dilakukan Penulis adalah dengan membaca literatur-literatur yang memuat doktrin ahli hukum, khususnya doktrin-doktrin dalam hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat guna menjawab pertanyaan pada rumusan masalah pertama. Sementara, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur dan diskusi yang berbentuk

28 Purposive Sampling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara menentukan responden yang didasarkan atas suatu unsur. Unsur yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk kepada pemangku adat dan tokoh-tokoh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai representasi dari pihak yang mematuhi hukum adat yang berlaku dan sebagai penganut kepercayaan Kaharingan - Lihat Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 51

(28)

15 pertemuan dengan pemangku adat dan pertemuan dengan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Wawancara dan diskusi juga ditunjang dengan pengamatan tidak terlibat selama 12 (dua belas) hari di lokasi penelitian yang berlangsung dari tanggal 4 - 15 Mei 2016.

Teknik pengamatan bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap hal yang berkaitan dengan topik penelitian, seperti ajaran-ajaran Kaharingan yang dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu serta melihat kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Teknik pengumpulan data primer tersebut berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah kedua dalam penelitian ini.

Alat pencari data yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data primer adalah pedoman wawancara dan alat penunjang lain. Alat penunjang lain yang dimaksud adalah beberapa catatan hasil diskusi dengan beberapa Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu untuk melengkapi pelaksanaan wawancara dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

(29)

16 menghasilkan sebuah kesimpulan yang dapat menjawab rumusan masalah penelitian.

G. Organisasi Penulisan

Penelitian ini diawali dengan pengantar yang termuat di dalam Bab I (Pendahuluan). Bab tersebut berisi paparan umum terkait dengan perdebatan teoritik mengenai hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama sekaligus memberikan gambaran umum terkait kasus sampel dalam penelitian ini. Selanjutnya, konsep-konsep yang dijadikan rujukan dalam penelitian dijabarkan pada Bab II (Kerangka Konseptual).

Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini akan tertuang dalam Bab III (Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu) dan Bab IV (Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu).30 Penelitian ini diakhiri dengan Bab V (Penutup) yang memaparkan kesimpulan dari hasil penelitian.

(30)

17 BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

Bab ini memaparkan konsep-konsep yang meliputi kepercayaan, adat dan hukum adat serta hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat. Sekalipun berfokus pada penjelasan konsep-konsep tersebut, bab ini juga menjelaskan teori yaitu teori receptio in complexu dan teori receptie.

A. Kepercayaan

Penjelasan mengenai konsep kepercayaan akan meliputi definisi serta perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan. Definisi kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari beberapa literatur. Kepercayaan, agama dan kebatinan dibedakan berdasarkan definisi, konsep dan sumber ajaran.

1. Definisi Kepercayaan

Kepercayaan didefinisikan sebagai konsep keyakinan yang bersumber dari nenek moyang terhadap hal baik yang bersifat materiil/immateriil.31 Soeganda Poerbakawatja dalam buku yang dikutip oleh IGM Nurdjana menyatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu paham yang terjalin dengan adat istiadat yang

(31)

18 hidup dari berbagai macam suku bangsa dan menganggap bahwa kepercayaan merupakan turunan dari kehidupan nenek moyang.32

IGM Nurdjana sendiri menyebut kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan spiritual yang bersifat mistis dan merupakan warisan leluhur yang telah membudaya dalam masyarakat.33 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian kepercayaan sebagai suatu paham yang mengakui adanya kekuatan ghaib yang tidak berdasarkan ajaran agama.34

Penelitian ini mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan adikodrati yang merupakan warisan dari nenek moyang dan digunakan sebagai pedoman serta batasan dalam kehidupan seseorang.35 Pemaknaan mengenai definisi tersebut juga digunakan oleh beberapa komunitas adat di Indonesia seperti Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang dan Masyarakat Hukum Adat Badui.

Kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang

meyakini keberadaan dari “Turiek Akrakna” (Yang Maha Mengetahui) dan “Toa

Manurung atu’ Ammatoa” (roh leluhur) sebagai kekuatan adikodrati yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka.36 Contoh kedua

32 IGM. Nurdjana, 2009, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 21

33 Ibid. 34

Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 312

35 Adikodrati diartikan sebagai kekuatan yang memiliki kuasa diluar batas jangkauan manusia (dikenal juga dengan kekuatan supranatural) - Lihat Ibid, hlm. 12

(32)

19 adalah Masyarakat Hukum Adat Badui yang meyakini adanya kekuatan adikodrati yang mereka sebut dengan “Sang Hiyang Keresa” dan ajaran Karuhun (leluhur) mereka adalah sesuatu hal yang baik bagi mereka.37

2. Perbedaan antara Agama dan Kebatinan

Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti peraturan atau upacara untuk kebaktian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.38 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama diartikan sebagai ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya.39

Agama juga disebut sebagai sesuatu yang disyaratkan oleh Tuhan berisi perintah dan larangan untuk kemaslahatan manusia, baik dalam urusan di dunia maupun di akhirat.40 Agama dianggap sebagai sebuah dogma yang kebenarannya tidak bisa dipermasalahkan oleh akal manusia.41

Adapun kebatinan merupakan sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama ataupun kepercayaan. Aliran kebatinan mulai berkembang di tahun 1950an, kebatinan menitikberatkan pada ilmu yang diajarkan oleh seorang guru yang berdasarkan wahyu/wangsit yang diperoleh dari dari Tuhan berdasar pada

37 Masykur Wahid, op.cit, hlm. 2 38

Alshad El Hafidy, op.cit, hlm. 85

39 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 56

40 A.C. Kruyt, 1976, Keluar dari Agama Suku masuk ke Agama Kristen, Gunung Mulia, Jakarta hlm. 15

(33)

20 pengakuannya.42 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebatinan merupakan segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini oleh manusia terkait adanya suatu kebenaran yang bersumber pada batinnya yang paling dalam.43

Sejumlah pemikiran menganggap bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu kesatuan. Salah satu pemikir yang pendapatnya sering dirujuk adalah Wongsonegoro. Menurut Wongsonegoro, kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu-kesatuan karena sama-sama berbakti kepada Panembah (Ketuhanan Yang Maha Esa).44

Sementara Koentjaraningrat menyebut bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan memiliki persamaan dan perbedaan sekaligus. Ketiganya memiliki persamaan karena sama-sama meyakini wujud dari alam ghaib (supranatural) dan menyebabkan manusia menjadi religius, adapun perbedaan dari ketiganya karena masing-masing memiliki keyakinan terhadap kekuatan wujud supranatural.45

Dua pendapat diatas, sampai saat ini merupakan bagian dari perdebatan dalam kajian anthropologi religi.46 Untuk kepentingan penelitian ini, Penulis memilih untuk menggunakan pendapat dari Koentjaraningrat karena ketiganya memiliki unsur pembeda yang tercantum pada tabel dibawah ini:

42

IGM. Nurdjana, op.cit. hlm. 24

43 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 278

44 Pernyataan tersebut diucapkan Wongsonegoro pada saat pelaksanaan Kongres Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diselenggarakan pada tahun 1955. Wongsonegoro juga merupakan Ketua dari Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) - Lihat Koentjaraningrat, 1977, op.cit, hlm. 129

45 Ibid, hlm. 137

(34)

21 Tabel 1. Perbandingan Kepercayaan, Agama dan Kebatinan

Unsur Pembeda

Definisi Sumber Ajaran Konsep

Kepercayaan Sebuah keyakinan terhadap kekuatan adikodrati yang merupakan warisan dari nenek moyang dan digunakan kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang. dapat berbentuk animisme atau dinamisme.

Agama Suatu sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta kaidahnya berkaitan dengan adanya pergaulan manusia kepada manusia yang lainnya.

Ajaran bersumber dari wahyu-wahyu Tuhan yang disampaikan melalui orang-orang terpilih yang diutus-Nya. Sumber ajaran tertuang dalam Kitab Suci.

Kebatinan Segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini oleh manusia terkait adanya suatu kebenaran yang bersumber pada batinnya yang paling dalam.

Ajaran bersumber dari manusia yang mendapatkan hidayah dan mimpi yang berasal dari dalam jiwa manusia.

Sumber ajaran berasal dari batin manusia.

Batin manusia sebagai sesuatu yang dapat dipercaya.

(35)

22 Tabel diatas memberikan penjelasan perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan yang didasarkan atas definisi, konsep dan sumber ajaran yang dipakai dari ketiga istilah tersebut. Dengan kata lain, Kaharingan dikategorikan sebagai suatu kepercayaan karena penganut Kaharingan meyakini keberadaan dari Ning Bhatara Langit (Yang Maha Kuasa) sebagai pemilik dari seluruh alam. Mereka juga percaya bahwa pasarupa (roh leluhur) mengawasi kehidupan mereka sehari-hari dan keyakinan tersebut merupakan ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun.47

B. Adat dan Hukum Adat

Bagian ini melihat konsep adat berdasarkan asal-muasal adat dan definisinya, sedangkan hukum adat merujuk pada konsep hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama karena berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, bagian ini juga membahas perbedaan antara adat dengan hukum adat.

1. Adat

Kata ‘adat’ berasal dari bahasa arab yaitu “adah” yang memiliki definisi sebagai kebiasaan. Dalam bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, istilah adat

(36)

23 juga sudah lama dikenal, misalnya di daerah Gayo menyebutnya sebagai odot dan di daerah Jawa Tengah serta Jawa Timur disebut sebagai adat atau ngadat.48

Definisi adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala;

b. cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan- kebiasaan; dan

c. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Penulis mendefinisikan adat sebagai aturan yang bermula dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang sehingga menimbulkan kebiasaan yang membentuk suatu nilai atau norma.

2. Hukum Adat

Hukum Adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan didalamnya mengandung unsur-unsur agama.49 Djojodigoeno menjelaskan bahwa hukum adat merujuk kepada hukum yang bersumber dari ugeran-ugeran.50

48 Adat di masing-masing daerah merujuk kepada kebiasaan yang dilakukan oleh warga atau masyarakat yang dianggap sebagai sesuatu yang baik. Lihat Bushar Muhammad, 1961, op.cit, hlm. 13.

49 Risalah Kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15-17 Januari 1975.

(37)

24 Ugeran-ugeran berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di masyarakat dan dipengaruhi oleh unsur agama. Salah satu contoh adalah ugeran fiqh dalam hukum perkawinan Islam yang mengatur perkawinan, talak dan rujuk. Dalam perkembangannya, hukum perkawinan Islam disimpangi oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilaksanakan secara teratur oleh masyarakat. Kebiasaan menyimpang yang memiliki tujuan dan mengandung hal-hal baik disebut sebagai hukum adat.51

3. Perbedaaan antara Adat dan Hukum Adat

Van Dijk dan Van Vollenhoven menyebut bahwa adat dan hukum adat memiliki perbedaan sangat tipis, perbedaan tersebut terletak pada akibat hukum yang ditimbulkan yaitu sanksi.52 Sanksi yang digambarkan oleh Van Vollenhoven merupakan bentuk akibat hukum yang secara tegas membedakan keduanya. Perbedaan yang sangat tipis membuat anggapan antara adat dan hukum adat menjadi suatu hal yang sama, padahal terdapat perbedaan diantara keduanya.

Ter Haar memiliki pandangan berbeda dengan Van Dijk serta Van Vollenhoven, Ter Haar membedakan adat dengan hukum adat dengan Beslissingenleer Theory yang dicetuskannya. Teori ini menganggap adat dapat menjadi hukum adat sepanjang adanya keputusan para petugas hukum yang

51 Djojodigoeno, op.cit, hlm. 8

(38)

25 menyepakati bahwa adat tersebut merupakan hukum adat yang terdapat di kelompok masyarakat.53

Otje Salman Soemadiningrat menyebut bahwa adat menjadi hukum adat sepanjang memenuhi 3 (tiga) syarat: Pertama, masyarakat meyakini bahwa kebiasaan tersebut merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan. Kedua, bahwa terdapat keyakinan dalam masyarakat kebiasaan tersebut bersifat mengikat (kewajiban yang harus ditaati). Ketiga, adanya pengukuhan yang berupa pengakuan (erkenning) dan/atau penguatan (bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa untuk melekatkan sanksi pada kebiasaan-kebiasaan tersebut.54

Penelitian ini memilih menggunakan pemikiran Van Dijk dan Van Vollenhoven untuk membedakan antara adat dengan hukum adat, karena akibat hukum berupa sanksi merupakan poin tegas yang membedakan kedua konsep.

C. Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat

Bagian ini memberikan pemahaman mengenai konsep hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang dihimpun dari doktrin-doktrin ahli hukum adat. Selanjutnya, konsep-konsep tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran terkait dengan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

53 Ter Haar, op.cit, hlm. 53

(39)

26 1. Hukum Tanah Adat

Hak atas tanah dalam hukum adat dibagi kedalam 2 (dua) jenis yaitu hak ulayat dan hak perorangan. Ter Haar menyebut bahwa kedua jenis hak memiliki hubungan timbal-balik yang disebut dengan “Teori Bola”.55 Maria SW Sumardjono menyebut bahwa hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum sebagai subjek hak dan tanah/wilayahnya sebagai objek hak tersebut. Selain itu, hak ulayat berisi wewenang yang dapat digunakan oleh subjek hak untuk hal-hal berikut:56

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu); dan

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.

Hak Ulayat merupakan terjemahan dari beschikkingrecht. Van Vollenhoven mengartikan beschikkingrecht sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh suatu suku (stam), gabungan desa (doperbond) atau hanya satu desa, yang memiliki sifat-sifat diantaranya adalah: 57

a. Hanya masyarakat hukum dan anggotanya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya

55Teori Bola menyatakan bahwa “Semakin kuat Hak Individual atas sebidang tanah, maka semakin lemah Hak Persekutuan atas tanah sebidang itu, begitu juga sebaliknya” - Ter Haar, op.cit, hlm. 53 56 Maria SW Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 56-58

(40)

27 (beschikkingskring), dalam hal ini contoh konkretnya adalah membuka lahan;

b. Orang-orang yang bukan anggota masyarakat hukum itu (orang yang berasal dari desa lain), hanya diperbolehkan menggunakan tanah sepanjang sudah memperoleh izin dari masyarakat hukum yang memiliki beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut. Apabila penggunaan tanah dilakukan tanpa izin masyarakat hukum tersebut, maka hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran;

c. Orang-orang asing yang akan menggunakan tanah ataupun anggota dalam masyarakat hukum tersebut diharuskan untuk membayar suatu bentuk pengakuan (recognize) yang umumnya berupa uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat hukum tersebut;

d. Masyarakat hukum pemilik beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut bertanggungjawab penuh atas beberapa kejahatan yang dilakukan oleh siapapun di wilayah beschikkingrecht tersebut;

e. Masyarakat hukum tersebut tidak dapat melepaskan beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut kepada siapapun;58 dan

f. Dalam beschikkingrecht (hak ulayat) tersebut masih terdapat tanah-tanah yang sedang diusahakan/digarap dengan baik dan secara terus-menerus.

Hukum tanah adat juga tetap mengakui adanya hak perorangan.Oleh Ter

58 Istilah melepaskan disini dapat diartikan merupakan sebuah perbuatan jual-lepas yang umumnya dikenal dalam transaksi tanah dalam hukum adat.

(41)

28 f. Hak Pakai; dan

g. Hak Gadai dan Hak Sewa.

Dalam hukum adat, hak perorangan diartikan sebagai hak untuk melakukan pengelolaan yang dapat diberikan kepada anggota persekutuan hukum adat maupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat masyarakat hukum tersebut.60

Perolehan hak atas tanah berdasarkan hukum tanah adat terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu melalui perbuatan sepihak dan melalui perbuatan dua pihak.61 Perolehan hak atas tanah yang dilakukan dengan perbuatan sepihak terdiri dari:

a. Membuka tanah hutan/tanah belukar; b. Mewaris tanah;

c. Menerima tanah karena pembelian, penukaran dan hadiah; dan d. Daluwarsa (verjaring).

Sementara perolehan hak atas tanah dengan perbuatan dua pihak dilakukan dengan transaksi tanah. Bentuk-bentuk transaksi tanah adalah:62

a. Transaksi Jual-Lepas, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain, untuk menerima pembayaran uang secara tunai dan penyerahan tanah berlaku untuk selamanya tanpa hak menebus kembali oleh pemilik tanah terdahulu;

b. Transaksi Jual Gadai, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain, untuk menerima pembayaran secara tunai dengan ketentuan pemilik tanah terdahulu tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus kembali; dan

60 Iman Sudiyat, 2012, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8 61 Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 222

(42)

29 c. Transaksi Jual Tahunan, merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai yang dibatasi dengan janji, dibatasi dengan janji yang dimaksud adalah hak atas tanah akan kembali dengan sendirinya kepada pemilik terdahulu setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak.

Selain itu, transaksi yang berkaitan dengan tanah merupakan bagian dari hukum tanah adat. Transaksi yang berkaitan dengan tanah adalah:63

a. Transaksi Bagi-Hasil, merupakan transaksi yang terjadi apabila pemilik tanah memberikan izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya yang dilandasi dengan suatu perjanjian yang menerangkan bahwa penggarap tanah tersebut harus memberikan sebagian hasil dari tanah yang dikerjakan olehnya kepada pemilik tanah;

b. Transaksi Sewa, merupakan transaksi yang memberikan izin kepada orang lain/orang luar persekutuan untuk menggarap tanah atau tinggal di atas tanahnya dengan membayar uang sewa yang tetap setiap bulan atau setiap sesudah panen;

c. Transaksi Campuran, merupakan transaksi yang menggabungkan antara transaksi tanah dengan transaksi yang bersangkutan dengan tanah. Dalam contoh, pihak A (yang menerima tanah yang digadaikan) memberikan izin kepada B (pemilik tanah / sebagai pihak yang menggadaikan tanah) untuk mengerjakan tanah dengan transaksi bagi hasil.

2. Hukum Perkawinan Adat

Hukum perkawinan adat di Indonesia tidak lepas dari fakta yang menyatakan bahwa keberadaannya pada masing-masing daerah memiliki norma,

(43)

30 kaidah dan cara pelaksanaan perkawinan yang berbeda. Perbedaaan tersebut umumnya didasarkan pada sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat setempat.64 Menurut Iman Sudiyat, ruang lingkup hukum perkawinan adat meliputi langkah perintis perkawinan, pertunangan, proses perkawinan, pemutusan perkawinan dan hukum harta perkawinan.65

Langkah perintis perkawinan dimulai oleh pihak orangtua ataupun kerabat yang berasal dari calon suami/isteri yang akan melakukan ikatan perkawinan. Di kalangan masyarakat, langkah perintis perkawinan disebut dengan istilah “pelamaran”. Bila pihak laki-laki dan perempuan bersepakat untuk melakukan perkawinan, maka laki-laki wajib memberikan tanda pengikat atau tanda mau pada saat pelamaran.66 Tanda pengikat atau tanda mau sudah diterima oleh pihak perempuan, maka pelamaran berlanjut kepada perundingan dan perencanaan pelaksanaan hari perkawinan yang dilakukan oleh orangtua kedua belah pihak.67

Jenjang pertunangan merupakan janji diantara calon suami-isteri untuk melangsungkan perkawinan. Pertunangan juga menentukan hari berlangsungnya perkawinan, besaran biaya untuk pelaksanaan perkawinan dan penentuan biaya denda apabila terputusnya pertunangan.68 Di beberapa daerah di Indonesia, proses

64 Hilman Hadikusuma,1990, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17 65 Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 107

66

Tanda Pengikat atau Tanda Mau disini berbeda dengan “jujur”, tanda pengikat atau tanda mau merupakan syarat awal sebelum berangkat ke jenjang selanjutnya yaitu jenjang pertunangan. 67 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 19

(44)

31 pertunangan juga digunakan untuk menyepakati besaran “jujur” yang akan

dibayarkan.69

Tahapan berikutnya adalah putusnya perkawinan yang lebih sering dikenal dengan perceraian. Perceraian menandakan terputusnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya telah melangsungkan perkawinan.70 Pelaksanaan pemutusan perkawinan umumnya mengikuti sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat setempat.71

Hukum harta perkawinan merupakan bagian terakhir yang terdapat dalam pembahasan tentang hukum perkawinan adat. Harta perkawinan dibagi atas 4 (empat) jenis, yaitu:72

a. Harta Warisan, merupakan harta yang dibagikan pada saat hidup atau saat pewaris telah meninggal dunia yang diberikan kepada suami atau istri dan juga kepada ahli warisnya;

b. Harta yang diperoleh selama atau sebelum melangsungkan perkawinan (Harta Pribadi), merupakan harta yang diperoleh oleh suami atau istri pada masa sebelum perkawinan ataupun sesudah masa perkawinan yang merupakan hak dari masing-masing dan tidak dapat dilakukan tuntutan terhadap harta tersebut apabila perceraian terjadi;

c. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama yang dilakukan (Harta Bersama), merupakan harta yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan sehingga dalam hal terjadi

69 Hilman Hadikusuma, 2003, op.cit, hlm. 194 70

Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 133 71

Masing-masing dari sistem kekerabatan memiliki cara masing-masing dalam melakukan pemutusan perkawinan baik Patrilineal, Matrilineal dan Parental – Lihat lebih lengkap pada Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 36 dan Ibid, hlm. 133

(45)

32 perceraian diantara keduanya, maka suami dan istri dapat menuntut hak atas harta tersebut; dan

d. Harta Hadiah Perkawinan, merupakan harta yang berdasarkan kebiasaan yang ada, diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai sesuatu hadiah.

Hilman Hadikusuma menyebut bahwa kedudukan harta perkawinan di tiap daerah berbeda-beda, karena kedudukan harta perkawinan disebabkan oleh pengaruh dari susunan masyarakat hukum adatnya, bentuk perkawinan dan jenis hartanya.73

D. Teori Receptio in Complexu dan Receptie 1. Receptio in Complexu

Pembicaraan tentang teori receptio in complexu, diawali dengan sejarah tercetusnya teori ini. Teori ini bermula dari eksistensi kerajaan Islam sebelum para kolonialis masuk ke Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam memberlakukan hukum yang memuat unsur-unsur Islam sebagai aturan bagi penduduknya yang mayoritas Muslim. Setelah kolonialis masuk ke nusantara pada akhir tahun 1596, hukum Islam masih mendapatkan tempat dan apresiasi yang cukup baik dari pemerintah kolonial Belanda.74

Salomon Keyzer menyebut sejak tahun 1800 Pemerintah Kolonial Belanda mengetahui bahwa peradilan yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia banyak

73 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 98

(46)

33 menggunakan hukum Islam sebagai acuannya,75 karena mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Latar belakang sejarah tersebut menjadi dasar teori Van Den Berg untuk merumuskan teori receptio in complexu yang memiliki arti "bagi masyarakat Indonesia berlaku hukum apa yang menjadi keyakinan agama mereka".76 Teori receptio in complexu menganggap bahwa hukum Islam benar-benar berlaku sepenuhnya kepada semua penduduk Islam yang terdapat di Indonesia, walaupun terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan.

Van Den Berg menunjukkan teori yang ia cetuskan dengan memperlihatkan peristiwa perkawinan dan kewarisan Islam yang dilaksanakan oleh hakim-hakim Belanda banyak dibantu oleh penghulu/kadhi Islam. Hal tersebut dikuatkan dengan ketentuan dalam pasal 75 RR (Regeeringsreglement) tahun 1855 ayat 3 yang berbunyi: “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang -undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.”

Pada masa tersebut keluar juga Staatsblaad. 1882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priesterraad) di samping pengadilan negeri (Landraad), yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang berisi

75 Salomon Keyzer (1823 1868) merupakan ahli Bahasa dan Kebudayaan Hindia Belanda yang banyak menulis tentang Islam di Jawa dan menuliskan masa awal teori receptio in complexu. Hal tersebut termaktub dalam buku pedoman bagi hukum Islam (1853) serta brosur tentang pengembalian hak milik tanah di Jawa berdasarkan ajaran Islam murni - Lihat Cornelis Van Vollenhoven, 1987, Penemuan Hukum Adat, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm. 89-90

76

(47)

34 himpunan hukum Islam sebagai pegangan para hakim, seperti Mogharrer Code pada tahun 1747, Compendium van Clootwijk pada tahun 1795, dan Compendium Freijer pada tahun 1761.77 Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam benar-benar berlaku bagi orang Islam dan menjadi hukum adat yang berlaku di masyarakat tersebut sehingga teori receptio in complexu terlihat nyata.

2. Receptie

Setelah bertahun-tahun teori receptio in complexu digunakan, persepsi Pemerintahan Kolonial Belanda terhadap teori tersebut hilang setelah munculnya antitesis terhadap teori receptio in complexu. Teori tersebut dikenal dengan nama teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje.78 Snouck merupakan pemikir yang membuat strategi untuk mengadu domba kesetiaan Masyarakat Aceh terhadap agama dan adatnya.79

Hasil dari penyelidikan Snouck terkait hukum adat dan hukum Islam di Aceh merupakan pijakan dasar dari teori receptie yang tertuang dalam Buku De

Atjehers” dan “Het Gajoland”. Teori receptie memandang hukum Islam dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Persetujuan dan

77 Snouck Hurgronje, 1910, De Islam in Nederlandsch Indie (Diterjemahkan oleh S.Gunawan - Islam di Hindia Belanda), Bhatara, Jakarta, hlm. 10

78 Snouck Hurgronje (1857-1933) merupakan Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda yang ditugaskan untuk menyelidiki Islam. Dirinya sempat mempelajari agama Islam secara lebih mendalam ke Mekkah dengan nama samaran “Abdul Gaffar” Sebagai penasehat Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck terkenal dengan "Islam Policy" nya – Lihat Ibid, hlm. 232 dan Sajuti Thalib, op.cit, hlm. 19-21.

79

(48)

35 kesediaan masyarakat adat atau penduduk setempat merupakan dasar dijadikannya hukum Islam sebagai hukum adat yang berlaku bagi kelompok mereka.80

Teori receptie oleh Pemerintah Kolonial Belanda digunakan untuk membuat Undang-Undang Dasar Hindia Belanda pengganti RR yang disebut Wet Op De Staat Snrichting Van Nederlands Indie, yang disingkat Indische Staat Regeering (IS) pada tahun 1929. Hal tersebut tertuang dalam pasal 134 ayat (2) yang berbunyi :

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam diselesaikan oleh hakim agama Islam, hukum adat dapat berlaku apabila mereka menghendaki untuk menggunakan hukum adat tersebut dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.”

Hazairin dan Sajuti Thalib menganggap bahwa teori receptie merupakan teori yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk meruntuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam, mereka menyebut teori receptie sebagai “teori iblis”.81

Kurnia Warman menyebut bahwa teori receptie memuat pemahaman sebagai berikut:82

a. Pada umumnya, orang Islam di Indonesia takluk kepada hukum adat; b. Hukum Islam dituruti sepanjang telah diresepsi oleh hukum adat

setempat; dan

c. Hukum Islam yang telah diresepsi meliputi hukum perkawinan, hukum waris dan hukum wakaf.

80

Hazairin,1974, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Cetakan I), Tintamas, Jakarta, hlm. 101 81 Ibid, hlm. 15

(49)

36 BAB III

HUKUM TANAH ADAT DAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BALAI KIYU

Bab ini diawali dengan gambaran lokasi penelitian yang menjelaskan wilayah, demografi penduduk serta struktur lembaga adat. Bab ini juga menjabarkan hukum tanah adat yang terdiri dari kepemilikan tanah, perolehan hak atas tanah, transaksi atas tanah dan transaksi yang berkaitan dengan tanah serta hukum perkawinan adat yang terdiri dari bentuk perkawinan, langkah perintis, proses perkawinan, pemutusan hubungan perkawinan dan hukum harta perkawinan.

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Balai Kiyu merupakan dusun yang terletak di Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Dusun Balai Kiyu terdiri dari dua balai (rumah adat) yaitu Balai Kiyu dan Balai Haraan.83 Wilayah Balai Kiyu memiliki luas 8.546,47 Ha (delapan ribu lima ratus empat puluh enam koma empat puluh tujuh hektar) dan terletak di Daerah Aliran Sungai Alai.84

Balai Kiyu berbatasan dengan Desa Juhu di utara, dengan Balai Batu Perahu (Desa Atiran) di sebelah barat, Desa Hinas Kanan di sebelah selatan dan

83

Hasil wawancara dengan Bapak Norsewan (Sekretaris Desa Hinas Kiri) pada tanggal 7 Mei 2016 dan hasil wawancara dengan Bapak Makurban (Kepala Adat Balai Kiyu) pada tanggal 6 Mei 2016.

(50)

37 berbatasan dengan Balai Kayang (Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan).85 Batas-batas wilayah adat Balai Kiyu dapat dilihat dalam peta yang termuat dalam Gambar 1. berikut:

Gambar 1.

Peta Wilayah Adat Balai Kiyu

Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu terdiri atas 64 (enam puluh empat) umbun (keluarga). Umbun yang dimaksudkan disini adalah keluarga inti yang umumnya terdiri atas suami, istri dan anak. Mayoritas Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari berladang (bahuma), dengan menanam padi, jagung dan singkong.

(51)

38 Hasil dari tanaman-tanaman tersebut sepenuhnya diperuntukkan untuk konsumsi sehari-hari. Selain itu, mereka juga menanam tanaman-tanaman keras yaitu karet, mahoni dan kayu jati untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang umumnya digunakan untuk membiayai pendidikan dari anak-anak mereka.86

Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu memiliki lembaga adat yang terstruktur dan telah digunakan secara turun-temurun.87 Struktur pemerintahan adat Balai Kiyu dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini:

Gambar 2.

Struktur Lembaga Adat Balai Kiyu88

86 Hasil wawancara dengan Bapak Majuh (Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu / Pelaku Perkawinan turun tangga, naik tangga ) pada tanggal 4 Mei 2016.

87

(52)

39 Kepala Adat merupakan jabatan tertinggi sekaligus pemimpin bagi seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Kepala Adat dipilih oleh seluruh anggota masyarakat melalui musyawarah. Kepala Adat merupakan seseorang yang memiliki jiwa pemimpin dan teladan bagi seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Kepala Adat juga bertanggung jawab menyelesaikan masalah terkait persoalan-persoalan adat yang terdapat di masyarakat. Pihak-pihak pengambil keputusan atau disebut dengan Hakim Adat terdiri dari Kepala Adat, Penghulu dan Tokoh Adat/Tetua Adat.89

Kepala Adat membawahi 3 pengurus yaitu Pangirak, Kepala Balai dan Mantir (Sekretaris Adat). Pengurus-pengurus adat tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Pangirak merupakan orang yang dipercaya Kepala Adat untuk membantu urusan sosial kemasyarakatan.90 Pangirak membawahi Kepala Padang dan Penghulu. Pangirak juga merupakan petugas yang dipercaya oleh Pembakal (Kepala Desa) Hinas Kiri untuk mengontrol keadaan wilayah Balai Kiyu yang merupakan bagian dari Desa Hinas Kiri.91

Kepala Padang merupakan penanggungjawab sekaligus penjaga wilayah adat Balai Kiyu. Kepala Padang berkewajiban mengetahui batas-batas wilayah

89 Hasil wawancara dengan Bapak Makurban (Kepala Adat Balai Kiyu) pada tanggal 6 Mei 2016. 90 Urusan sosial kemasyarakatan yang diurusi oleh Pangirak adalah memberikan saran dan nasehatnya dalam persoalan-persoalan di masyarakat, seperti perselisihan yang terjadi di wilayah Balai Kiyu harus diselesaikan melalui Pangirak sebelum dibawa kepada Kepala Adat atau Pembakal (Kepala Desa).

(53)

40 termasuk sejarah dari setiap lahan yang berada di wilayah Balai Kiyu. Kepala Padang juga memiliki tugas sebagai saksi apabila terjadi sengketa batas tanah antar umbun (keluarga).

Kepala Padang baru tidak ditunjuk oleh Pangirak, jabatan ini hanya dapat diisi oleh orang yang dipercaya dan ditunjuk oleh Kepala Padang sebelumnya.92 Bapak Suliman menambahkan bahwa Kepala Padang sebelumnya menunjuk dirinya karena dianggap sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai batas-batas tanah yang terdapat di wilayah Balai Kiyu.93

Jabatan di bawah Pangirak lainnya adalah Penghulu. Penghulu merupakan jabatan yang ditugaskan untuk memimpin upacara perkawinan adat. P enghulu dipilih oleh masyarakat dari orang-orang yang memiliki sifat arif dan bijaksana sekaligus memiliki pengetahuan tentang ilmu Kaharingan (Mangaji) yang cukup.94 Hal ini dikarenakan Penghulu memiliki wewenang untuk menyetujui perceraian dan menentukan besaran uang jujur (mahar) dalam hukum perkawinan adat. Dalam sengketa perkawinan dan perkara kejahatan, Penghulu ikut mengambil keputusan bilamana tidak dapat mencapai mufakat.95

92 Orang yang dipercayai disini tidak hanya sebatas keluarga atau kerabat dari Kepala Padang sebelumnya, akan tetapi orang lain yang memiliki pengetahuan cukup dan memiliki sifat bijaksana sehingga dapat diangkat sebagai Kepala Padang.

93

(54)

41 Jabatan lain yang kedudukannya berada dibawah Kepala Adat adalah Mantir. Mantir merupakan sekretaris adat yang bertanggungjawab untuk melakukan pencatatan pelaksanaan hasil keputusan pengurus adat. Mantir merupakan jabatan yang baru diadakan pada tahun 2000 berdasarkan kesepakatan para pemangku adat dan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu karena adanya usul yang disampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu mengenai pencatatan perkawinan dan pencatatan musyawarah adat.96

Hal ini bertujuan agar seluruh pelaksanaan perkawinan yang menggunakan hukum perkawinan adat Balai Kiyu dapat dicatatkan dan diketahui oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu serta seluruh masyarakat sekitar wilayah Balai Kiyu.97 Begitu juga dengan catatan hasil musyawarah adat, Mantir akan menyampaikan catatan hasil musyawarah adat kepada seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

Adapun Kepala Balai merupakan jabatan yang pengisiannya ditunjuk oleh Kepala Adat. Tugas keseharian Kepala Balai adalah membersihkan Balai dan memberikan rekomendasi kepada Kepala Adat untuk memberikan persetujuan bagi pihak luar Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang ingin menggunakan Balai Adat.98

wawancara dengan Bapak Suhaderi (Penghulu Adat dan Gurujaya Balai Kiyu) pada tanggal 7 Mei 2016.

96

Hasil wawancara dengan Bapak Rusmin (Mantir Adat Balai Kiyu) pada tanggal 4 Mei 2016. 97 Hasil diskusi dengan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2016.

(55)

42 Selain pemangku adat, Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu juga memiliki Balian (Pemuka Agama dalam Kepercayaan Kaharingan) sebagai orang-orang terpilih yang memiliki pengetahuan terkait kepercayaan Kaharingan sekaligus memiliki kemampuan Mangaji yang baik. Balian dalam agama Islam dipandang layaknya seorang Ustadz.99 Balian memiliki tingkatan kemampuan Mangaji yang berbeda-beda, sehingga Balian yang memiliki kemampuan untuk Mangaji yang paling baik dan paling tinggi disebut sebagai Gurujaya (Pimpinan dari para Balian).

B. Hukum Tanah Adat 1. Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah yang terdapat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu terdiri dari 2 (dua) jenis. Pertama, tanah persekutuan yang merupakan bagian dari hak persekutuan dan dikelola secara komunal. Kedua, tanah individu yang haknya dimiliki oleh masing-masing umbun.

Tanah persekutuan yang dikelola secara komunal merupakan harta kekayaan bersama yang dimiliki oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Seluruh umbun memiliki hak untuk melakukan pengelolaan atas tanah

Gambar

Tabel 1.  Perbandingan Kepercayaan, Agama dan Kebatinan
Gambar 1. Peta Wilayah Adat Balai Kiyu
Gambar 3.
Gambar 4. Ritual Tabas Kayu
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut di perkuat dengan teori dari Moorman (dalam Setyaningsih & Koshatono, 2013) menyatakan bahwa kepercayaan konsumen yang tergolong tinggi ditunjukkan

Baik artinya ketika semua nilai dan norma yang berasal dari agama maupun adat dan budaya telah terintegrasi secara harmonis dan dinamis di dalam diri seseorang,

Orang Ma’anyanmuslim dalam menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam kepada anak-anaknya menggunakan berbagai macam cara,yaitu melalui panutan/nganyu conto, bahadat,

Jogiyanto (Dikutip oleh Afdalia, 2014) menyatakan bahwa norma-norma subjektif adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan- kepercayaan orang lain

Oleh sebab itu norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma kesopanan, kesusilaan, hukum dan norma sosial. Dibalik ketentuan tersebut ada nilai yang

Dalam norma ini, masih dipisah-pisahkan menjadi 3 (tiga), yaitu Pertama, norma yang sangat erat kaitannya dengan agama. Misalnya, hukum perkawinan, merupakan bagian

Fakta sosial ini diartikan sebagai gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur sosial, adat kebiasan, nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang

Jadi dengan demikian Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini dan dipercaya. Agama diakui sebagai