• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Kinerja Akuntan Publik Wooten (2003) menyebutkan bahwa kualitas audit sulit untuk diteliti,

5. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini seharusnya diterima. Hal ini dikemukakan Robbins

ix

(1996, dalam Trisnaningsih dan Iswati, 2003), lebih lanjut menurut peneliti tersebut (dalam Putra Djaja, 2002) determinan dari kepuasan kerja adalah: ”mentally challenging work, equitable rewords, supportive working conditions, supportive colleagues”, sebagai berikut:

a. Pekerjaan yang menantang (mentally challenging work), pelaksana cendrung menerima penugasan yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan keahlian dan kemampuannya serta menawarkan beragam tugas, kebebasan clan umpan balik atas prestasi kerjanya.

b. Kondisi kerja yang kondusif (supportive working conditions), pelaksana sangat peduli dengan lingkungan kerja yang menawarkan kenyamanan dan mendukung terciptanya prestasi kerja yang baik.

c. Dukungan rekan kerja (supportive colleagues), pelaksanaan tidak hanya berfokus pada uang tetapi juga membutuhkan interaksi sosial (social need). Tidak mengherankan jika untuk mencapai dan meningkatkan kepuasan kerja mereka bersikap bersahabat dan kooperatif (supportive worker).

d. Kompensasi yang memadai (equitable rewards), pelaksanaan mengharapkan adanya sistem pembayaran dan kebijakan promosi yang menunjang dan sejalan dengan harapan mereka. Kewajaran pembayaran biasanya disesuaikan dengan penugasan, tingkat keahlian dan standar yang berlaku.

Vroom (1964, dalam Trisnaningsih dan Iswati, 2003) menjelaskan bahwa kepuasan kerja dapat mengharapkan kepada sikap positif terhadap

ix

kemajuan suatu pekerjaan. Luthans (1995) dalam jurnal yang sama menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat tetapi hanya diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya daripada individual.

Berbagai hal dapat mempengaruhi kepuasan kerja, misalnya upah dan promosi, supervisi yang diterima dan kepuasan dengan rekan sekerja. Dalam perencanaan audit telah dianggarkan tentang besarnya biaya audit. Tim auditor menggunakan dana sebatas pada anggaran yang sudah tertuang pada rencana audit.

Kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh fungsi dan kedudukan karyawan dalam organisasi, seperti yang diungkapkan Basset (1995, dalam Myrna Nurahma dan Indriantoro, 2000). Lebih lanjut disebutkan bahwa karyawan pada kedudukan yang tinggi merasa lebih puas karena memiliki otonomi yang lebih besar, pekerjaannya lebih bervariasi dan memiliki kebebasan melakukan penilaian. Karyawan level bawah lebih besar kemungkinannya mengalami ketidakpuasan dan kebosanan karena pekerjaan yang kurang menantang dan tanggung jawab yang kecil.

Albrecrt dan Brown (1981, dalam Nurahm dan Indriantoro, 2000) menunjukan bahwa kepuasan kerja akuntan pemula lebih rendah dibandingkan manajer atau partner dan kepuasan kerja tertinggi dialami oleh partner.

ix 6. Profesionalisme

Dalam kamus bahasa Indonesia yang baku, menurut A.Th.Soetedjo (2003) kata “Profesionalisme” berasal dari kata profesi yang mempunyai arti “Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu”. Selanjutnya profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang ahli dibidangnya, atau profesional; sedangkan profesional memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan kata amatir).

Seiring dengan meningkatnya kompetensi dan perubahan glonal, profesi akuntan/ auditor saat ini dan masa mendatang menghadapi tantangan yang semakin berat sehingga menjalankan aktivitasnya seorang auditor dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme. Ada tiga hal utama menurut Machfoedz (1997, dalam Winarna dan Retnowati 2003) yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi dalam mewujudkan profesionalismenya yaitu berkeahlian, berpengetahuan dan berkarakter.

SAP, Tepatnya didalam standar umum ketiga menyebutkan:

“Dalam pelaksanaan audit penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya”. Standar ini mewajibkan setiap auditor untuk menggunakan kemahiran profesionalnya secara profesionalnya secara profesional, cermat dan seksama yang berarti auditor harus selalu memahami dan melaksanakan seluruh arahan dalam Petunjuk Teknis Pemeriksaan, selalu menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam penentuan lingkup audit, pemilihan metodelogi serta pemilihan pengujian dan prosedur audit serta selalu menggunakan pertimbangan profesional dalam penentuan standar audit/ kriteria yang digunakan.

ix B. Independensi

Athur W. Holmer (1971, dalam Nila Eka Putri,1999) mengungkapkan Independensi sebagai sebuah kebebasan dari pengaruh, bujukan dan pengendalaian dari klien audit. Dengan kata lain bila auditor mengikuti kemauan klien maka laporannya tidak akan bermanfaat.

Arens, Elder & Beasley (2003:83) menegaskan juga bahwa:

“Not only is it essential for auditor to maintain an independent attitude in fulfilling their responsibilities, but it also important that the users of financial statements have confidence in that independence. These two objectives are often identified as independence in fact and independence in appearance. Independence in fact exists when the auditor is actually able to maintain an unbiased attitude throughout the audit, whereas independence in appearance is the result of others’ intepretation of this independence. If auditors are independent in fact, but users believe them to be advocates for the client, most of the value of the audit function will be lost”

Independensi sangat penting bagi auditor untuk dijaga dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Dua hal independensi, in fact yaitu ketika auditor mampu menjaga prilaku yang tidak bias sepanjang audit. Kedua, in appearance ketika auditor terlihat independen menurut penampilan/ sudut pandang orang. Walaupun auditor bisa menjaga independencein fact tapi jika users yakin kalau auditor berpihak kepada kliennya maka sebagian besar nilai dari fungsi audit menjadi hilang.

Standar umum kedua SAP (2001:20) yang mengatur tentang independensi menyebutkan : “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit, organisasi/ lembaga audit dan auditor baik pemerintah maupun akuntan publik, harus independen (secara organisasi maupun secara pribadi), bebas dari

ix

gangguan independensi yang bersifat pribadi dan yang diluar pribadinya (ekstern), yang dapat mempengaruhi independensinya, serta harus dapat mempertahankan dan penampilan terhadap independen”.

Dalam PSA SA Seksi 801 paragraf 06 dijelaskan bahwa: “Tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan melaporkan salah saji sebagai akibat adanya unsur pelanggaran hukum yang berdampak langsung dan material terhadap penelusuran jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan adalah sama dengan tanggung jawab auditor untuk mendeteksi salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan”.

Tidak satu alat ukurpun yang secara obyektif dapat mengukur apakah auditor tersebut benar-benar independen, sehingga auditor dituntut untuk benar-benar menyadari independensi dalam profesinya dan menjaga kepercayaan masyarakat dengan menjaga independensi dalam pelaksanaan audit. Namun auditor dapat mengenali/ mengetahui faktor-faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi (mengurangi) independensi auditor. Menurut Supriyono (1988, dalam Nila Eka Putri,1999) ada enam faktor yang mempengaruhi independensi auditor, yaitu:

1. Ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien,

2. Persaingan, semakin banyaknya kantor akuntan pesaing membuat suatu kantor akuntan berusaha apa saja untuk mendapatkan/ mempertahankan klien.

3. Jasa lain selain audit, bila suatu kantor memberikan jasa non audit juga kepada klien yang diaudit, tentu hal ini mengurangi independensi,

ix

4. Lamanya penugasan audit suatu kantor akuntan, semakin lama kantor tersebut memberikan jasa audit kepada satu klien maka akan mengalami kesulitan untuk memisahkan diri dari manajemen dan bertindak sebagai pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat bukan untuk manajemen,

5. Ukuran Kantor Akuntan Publik, 6. Audit Fee

SAP juga mengidentifikasikan beberapa gangguan/ hal-hal yang mengurangi atau meniadakan independensiyang dapat bersifat pribadi, ekstern atau organisasi. Dengan demikian apabila satu atau lebih dari gangguan yang terhadap independensi tersebut mempengaruhi kemampuan auditor dalam melaksanakan tugas auditnya serta melaporkan hasilnya secara tidak memihak, maka auditor dimaksud sebaiknya menolak penugasan yang dipercayakan kepadanya

Didalam praktik pelaksanaan audit, (Putra Djaja,2002) ada beberapa kondisi yang dapat berpengaruh pada independensi auditor, diantaranya: 1. Adanya hubungan keluarga dan kepentingan antar personil tim dengan

manajemen auditan. Kondisi ini berhubungan dengan interprestasi: independence of patners and staff, cohabitation clan direct and indirect

financial interest clan merupakan perwujudan dari independen dalam penampilan (independence in appearance).

2. Efek pemberian fasilitas akomodasi dan entertainment oleh auditan. Kondisi ini berhubungan dengan interprestasi. Other situations that may impair

ix

independence (khusus tentang gifts from clients) clan merupakan peerwujudan dari independen dalam penampilan (independence in appearance).

Selain itu, SAP juga menyatakan bahwa gangguan yang dihadapi auditor yang bersumber dari luar pribadi auditor (gangguan eksternal) dapat berpengaruh pada independensi dalam menyatakan pendapat (opini) dan kesimpulan audit. Diantaranya:

1. Pembatasan waktu yang tidak masuk akal untuk penyelesaian suatu audit. Kondisi ini berhubungan dengan interprestasi: other situations that may impair independence (khususnya tentang client and auditor litigation) dan merupakan perwujudan dari independent dalam penampilan (independence in appearance).

2. Pembatasan data dan informasi yang berdampak pada kemampuan tim audit menuntaskan penugasan.

Banyak penelitian yang sudah membuktikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi independensi, Shockley (1981) membuktikan bahwa kompetensi untuk mendapatkan klien, jasa layanan management advisory, ukuran kantor akuntan dan lama waktu audit ternyata mempengaruhi independensi auditor. Kemudian Gul dan Windsor (1991) membuktikan bahwa kondisi keuangan klien dan ukuran fee yang diberikan sangat mempengaruhi independensi auditor. Chang dan Monroe (1993) membuktikan bahwa persepsi independensi auditor dipengaruhi oleh ketergantungan fee, dimana auditor

ix

yang tidak tergantung pada klien untuk masalah fee income dianggap lebih independen daripada auditor yang tergantung pada klien.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa untuk mencapai tujuan audit dengan efektif dibutuhkan sikap independen dari auditor baik infact ataupun in appearance. Pengaruh yang ditimbulkan diantaranya transparasi dan kualitas pelaporan tidak memenuhi standar yang berlaku dan berujung pada penambahan waktu untuk penyempurnaan laporan audit atau menggugurkan hasil audit yang telah diperoleh. Karena gangguan pada independensi pencapaian tujuan audit dan mempertimbangkan bahwa independensi in fact sulit untuk diukur, maka peneliti hanya melibatkan konsep independensi in appearance dalam penelitian ini.

Meidawati (2001) untuk dapat menjadi auditor independen yang menegakkan etika profesinya diperlukan hal – hal sebagai berikut:

1. Menjunjung tinggi tanggungjawab profesinya, dengan mematuhi aturan-aturan yang telah disepakati bersama

2. Memiliki sikap keadilan dan obyektif 3. Memiliki moralitas yang tinggi

4. Mempunyai visi dan misi yang sama dengan wadah profesinya 5. Menjunjung tinggi tanggung jawab yang lain

6. Mengerti landasan hukum yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam melaksanakan pekerjaannya; dan

7. Berani menolak dalam kondisi tidak dimungkinkan untuk memberikan jasa astetasi.

ix

Model yang dikembangkan oleh Goldem-Berlev (1974) Behavioral Model Of Independence (Maria dan Pinnarwan : 2003)

Goldman dan Barlev menyimpulkan bahwa ada hubungan kekuasaan antara akuntan publik dan klien ternyata lebih berpihak pada klien, akhirnya hubungan yang tidak seimbang antara akuntan publik dan klien menjadi jawaban dari pertanyaan mengapa independensi menjadi topik yang sentral dalam diskusi profesi akuntan publik apabila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya.

Dokumen terkait