• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2. Kepuasan Kerja

2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan kerja juga adalah sikap umum yang meruapakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadapa faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja (Rivai & Sagala, 2009:856) yang dikutip dalam Darmilisani (2012:12).

Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional karyawan di mana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari perusahaan/organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa kerja karyawan, baik yang berupa “financial” maupun yang “nonfinansial” (Martoyo, 2000:142).

Menurut Anoraga (2007:242), kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi dalam lingkungan kerja. Menurut Robbins dan Coulter (2010:37), kepuasan kerja mengacu pada sikap yang lazim ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan kepuasan kerja yang tinggi memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya. Seseorang yang tidak puas memilikli sikap negatif. Ketika orang-orang membicarakan sikap karyawan, mereka biasanya merujuk pada kepuasan kerja.

Menurut Handoko (2008:193) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan persasaan seseorang terhadap pekerjaannya.

2.2.2 Komponen-Komponen Kepuasan Kerja

1.Menurut Yudha (dalam Duriyo, 2003:76) kepusan kerja merupakan kombinasi dari beberapa komponen pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Psikologis Sosial ( The social psychological approach)

Berkaitan dengan bagaimana persepsi individu terhadap pekerjaan itu sendiri. b.Pendekatan Ekonomi neo-klasik (neo –calssical economic approach)

Berhubungan dengan berapa jumlah kompensasi yang diperoleh melalui pekerjaantersebut guna memenuhi kebutuhan hidupnya (termasuk keluarganya).

c.Pendekatan Sosiologi (sociological approach)

Menekankan bagaimana kondisi hubungan interpersonal dalam konteks lingkungan sosial.

2. Menurut Greenberg dan Baron (dalam Dariyo, 2003:77) kepuasan kerja meliputi beberapa unsur:

a. Komponen Evaluative (evaluative component)

Adalah dasar afeksi (perasaan,emosi) yang berfungsi untuk menilai suatu objek.

b. Komponen Kognitif (cognitive component)

Yaitu mengacu pada unsur kecerdasan (intelektual) untuk mengetahui suatu objek,yakni sejauh mana individu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan objek yangdimaksud.

c. Komponen Perilaku (behavioral component)

Adalah bagaimana individu menentukan tindakan terhadap apa yang diketahui ataupunyang dirasakan.

2.2.3 Dimensi Kepuasan Kerja

Menurut Smith, Kendall, dan Hullin (dalam As’ad, 2002:114) terdapat lima dimensi pada kepuasan kerja, yaitu:

1. Pimpinan yang adil, yakni sikap pimpinan yang tidak membedakan karyawan. Pimpinan yang mengerti kebutuhan karyawan dan mau menjalin hubungan baik, serta mampu menjadi contoh yang baik dalam hal disiplin.

2. Pekerjaan itu sendiri, yaitu meliputi beban kerja secara keseluruhan, variasi tugas, maupun pekerjaan yang memungkinkan adanya interaksi sosial.

3. Gaji atau balas jasa yang diterima sesuai dengan beban kerja.Upah yang memuaskan akan mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

4. Rekan kerja adalah dukungan teman dan sikap solidaritas untuk hal-hal positif terutama dalam hal menegakkan disiplin dan meningkatkan prodiktifitas kerja. 5. Kondisi kerja, meliputi kondisi peralatan kerja yang memenuhi standar

keamanan dan lingkungan tempat kerja yang sehat agar mendukung pelaksanaan kerja.

2.2.4 Teori-teori Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja telah lama menarik perhatian banyak kalangan industri. Hal ini disebabkan karena kepuasan kerja telah menjadi faktor penentu kelangsungan hidup organisasi atau perusahaan. Suatu keadaan yang paradok dimana kepuasan kerja merupakan konsep yang terdapat sedikit teori. Diantaranya ahli psikologi Wexley dan Yukl yang menjelaskan ada tiga teori kepuasan kerja yang lazim dikenal yaitu:

1. Teori Kesenjangan ( Discrepancy Theory )

Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter yang mengatakan bahwa untuk mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirahasiakan. Locke juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung kepada kesenjangan dengan apa yang menurut perasaannya yang diperoleh melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Sebaliknya, semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Lawler menemukan bahwa sikap karyawan terhadap pekerjaan tergantung bagaimana discrepancy itu dirasakan. 2. Teori Keadilan (Equity Theory)

Prinsip dari teori ini adalah orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Teori ini dikemukakan oleh Zalenznik yang kemudian dikembangkan oleh Adams. Perasaan equity dan in-equity atas suatu situasi, diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Keadilan merupakan suatu keadaan yang muncul dalam pikiran seseorang jika ia merasa bahwa anatara ratio usaha dan imbalan adalah seimbang.

Ada empat elemen penting dalam teori ini, yaitu:

a. Orang (person) yaitu individu yang merasa diperlukan secara adil dan tidak adil.

b. Perbandingan dengan orang lain (comparation others) yaitu setiao kelompok atau orang yang digunakan oleh orang (person) sebagai perbandingan ratio dari masukan dan perolehan.

c. Masukan (input) yaitu karakteristik individu yang dibawa serta oleh orang (person) ke pekerjaan yang dapat dicari. Misalnya, ketrampilan, pengalaman belajar.

d. Perolehan (Outcomes) yaitu apa yang diterima oleh orang (person) dari pekerjaan, seperti tunjangan, penghargaan, dan upah.

3. Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory)

Prinsip dari teori ini adalah kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Artinya, kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontiniyu. Diyakini bahwa faktor yang berhubungan dengan kinerja dapat dibagi dua, yaitu:

a. Hygiene Factor yaitu meliputi status, hubungan antar manusia supervise,

peraturan-peraturan perusahaan dan administrasi, jaminan dalam pekerjaan, kondisi kerja, gaji, dan kehidupan pribadi.

b. Motivational Factor yaitu meliputi pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab,

kesempatan promosi, kemajuan dalam jabatan, dan pengakuan.

Jadi, apabila faktor hygiene tidak mencukupi, maka akan timbul ketidakpuasan, namun jika semua faktor hygiene mencakupi, maka akan

mendorong kepuasan kerja lebih tinggi, namun bila motivator tidak terpenuhi kepuasannya pada tingkat netral.

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

1. Menurut Baron dan Greenberg (dalam Lestari, 2001:50) terdapat tiga kategori utama hal-hal yang berhubungan dengan kepuasan kerja, yaitu:

a. Faktor Organisasi. Yaitu system imbalan (reward) meliputi; promosi, kebijakan organisasi, dan kualitas pengawasan yang dirasakan oleh karyawan. b. Faktor pekerjaan dan Work Setting yaitu meliputi beban kerja secara

keseluruhan, variasi tugas, tingkat pencahayaan, jumlah sekat disekeliling karyawan, dan lingkungan sosial.

c. Faktor karakterisitik personal yaitu meliputi self system, kepribadian, dan usia. 2. Menurut pendapat Gilmer faktor-faktor yang memepengaruhi kepuasan kerja

adalah :

a. Kesempatan unutk maju, yaitu kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama bekerja.

b. Keamanan kerja, yaitu sebagai penunjang kepuasan kerja dan keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama bekerja.

c. Gaji, yaitu gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil.

e. Pengawasan (Supervisi), bagi karyawan, supervisor diaanggap sebagai figure ayah dan sekaligus atasannya. Superivisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turnover.

f. Komunikasi, yaitu memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawan sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan. g. Faktor intrinsic dari pekerjaan, yaitu atribut yang ada pada pekerjaan

mensyaratkan ketrampilan tertentu.

h. Kondisi kerja, yaitu kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parker.

i. Aspek sosial dalam pekerjaan, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan, tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.

j. Fasilitas yang diberikan perusahaan seperti, rumah sakit, cuti, dana pension, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.

Faktor-faktor penentu kepuasan kerja (Munandar, 2008:357) antara lain: 1. Ciri-ciri interinsik pekerjaan

Terdapat lima ciri yang memperlihatkan keterkaitan dengan kepuasan kerja, yaitu: a. Keragaman keterampilan. Banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.

b. Jati diri tugas (task identity). Sejauh mana tugas merupakan kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan

yang lebih besar dan dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas.

c. Tugas yang penting (task significance). Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. d. Otonomi. Pekerjaan yang memeberikan kebebasan, ketidakgantungan, dan

peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. e. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan

kerja.

2. Gaji penghasilan, imbalan yang dirasakan adil (Equittable reward)

Siegel dan Lane, 1982 (dalam Munandar, 2008:360) mengutip kesimpulan beberapa ahli yang meninjau kembali hasil-hasil penelitian tentang pentingnya gaji sebagai penentu dalam kepuasan kerja yaitu merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan.

3. Kondisi kerja yang menunjang

Kondisi kerja yang memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi, kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. Ketidakpuasan karyawan dapat diungkapkan dalam sejumlah cara, misalnya daripada mengundurkan diri, karyawan dapat mengeluh, menjadi tidak patuh, mencuri properti organisasi, atau menghindari sebagian tanggungjawab kerja mereka.

4. Kesempatan mendapat promosi

Promosi jabatan bagi karyawan mempunyai dampak yang positif terhadap kepuasan kerja. Perubahan tingkat pekerjaan karyawan akan mempengaruhi kepuasan kerja. Seorang karyawan yang naik ke jabatan yang lebih tinggi

cenderung akan menjadi lebih puas dengan pekerjaannya. Ghiselli & Brown (dalam As’ad,2002:112).

Menurut Yuli (2005:197) faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja yaitu tingkat upah atau gaji yang diterima, pekerjaan itu sendiri, pengawasan, promosi karir, kelompok kerja, kondisi kerja. Sedangkan, menurut Rivai dan Sagala (2009:860) faktor yang biasa digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah : isi pekerjaan, supervisi, organisasi dan manajemen, kesempatan untuk maju, gaji dan keuntungan dalam bidang financial, rekan kerja, kondisi kerja.

2.3 Kerangka Konseptual

Brownell 1982, Reed et al., 1994, dan Bernardi 1997 sama-sama menyajikan bukti yang menjelaskan bahwa tingkatkepuasan kerja individu berhubungan dengan Locus of Control. Karena kepuasankerja telah terbukti berhubungan dengan semakin tingginya tingkat komitmen organisasi dan semakin rendahnya keinginan turnover (Reed et al., 1994 dalam Patten 2005:212), maka temuan yang menyebutkan bahwa kecenderungan Locus of Control internal berkaitan dengan tingkat pengalaman, dapat menjadi fungsi bagi auditor dengan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Artinya, jika internal lebih puas dengan pekerjaannya dibandingkan eksternal, maka auditor tersebut akan diasumsikan tetap berada pada perusahaannya lebih lama, sehingga menghasilkan hubungan. Dengan mengembangkan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Hyatt dan Prawitt (2001) dengan Patten (2005), studi ini menginvestigasi peran dari Locus of

Control dan struktur audit di dalam ruang lingkup internal audit. Berbeda dengan

menjelaskan bahwa fungsi internal audit terdiri atas sebuah rangkaian kesatuan dari assurance ke aktivitas – aktivitas konsultasi. Aktivitas – aktivitas yang berhubungan dengan assurance antara lain perikatan seperti: keuangan, kinerja, kepatuhan, keamanan sistem, dan audit due diligence. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan konsultasi antara lain melakukan pelatihan pengendalian internal, memberikan nasehat kepada manajemen tentang hal-hal yang menyangkut pengendalian di dalam sistem baru, perancangan kebijakan, dan keikutsertaan di dalam tim, (Anderson, 2003:106). Karena fungsi-fungsi internal audit kurang dipengaruhi oleh arahan otoritatif dan mencakup kegiatan yang lebih beragam, maka struktur audit pada departemen internal audit lebih dekat hubungannya dengan lingkungan perusahaan.

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu dan akan mengalami tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku pada individu tersebut. Ini disebabkan karena adanya perbedaan pada diri individu. Semakin banyak aspek-aspek pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan karyawan dan sebaliknya bila dalam suatu perusahaan ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan maka akan menimbulkan ketidakpuasan dalam diri karyawan.Permasalahan akan dapat timbul disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor yang ada di dalam diri dan di lingkungan sekitar manusia.

Manusia dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam hidupnya selalu berupaya member respons terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang ada dalam diri dan di lingkungan sekitar manusia. Aktivitas individu sebagai respons

terhadap faktor-faktor internal dan eksternal tersebut di kontrol oleh faktor locus of control.

Seorang karyawan akan memiliki kepuasan kerja, apabila mereka dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya sebagai hasil pengaruh dalam dirinya (internal) maupun lingkungan diluar dirinya (ekternal). Melalui locus of control yang dimiliki, perilaku pekerja dapat dijelaskan ketika seorang karyawan merasakan hasil pekerjaan yang mereka lakukan merupakan hasil control internal atau eksternal. Seorang karyawan merasakan kontrol internal sebagai kepribadian karena merasakan hasil pekerjaan yang dilakukannya berada dibawah pengaruh kontrol diri pribadinya sendiri.

Kontrol internal ini akan tampak melalui kemampuan kerja dan tindakan kerja yang berhubungan dengan keberhasilan dan kegagalan karyawan pada saat melakukan pekerjaannya. Dengan demikian seseorang karyawan akan merasa puas dalam bekerja karena kontrol internalnya memberikan keberhasilan dalam bekerja. Sedangkan ada pula karyawan yang merasa bahwa terdapat kontrol eksternal di luar dirinya yang mendukung hasil pekerjaan yang dilakukannya.

Kontrol eksternal ini terlihat melalui nasib dan keberuntungan karyawan yang bersangkutan serta kekuasaan atasan dan lingkungan kerja tempat karyawan tersebut bekerja. Satu hal yang penting disini adalah bahwa perasaan karyawan tentang locus of control, baik internal maupun eksternal mempunyai pengaruh yang berbeda pada penampilan kerja dan kepuasan kerja karyawan (Robbins & Judge, 2008:135).

Dari uraian tersebut, dapat digambarkan kerangka konseptual yang disajikan pada Gambar 2.1

Sumber : Robbins dan Judge (2008:127:135), data diolah. Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual

Dokumen terkait