2.1.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Priansa (2016:291) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sekumpulan perasaan pegawai terhadap pekerjaannya, apakah senang/suka atau tidak senang/tidak suka sebagai hasil interaksi pegawai dengan lingkungan pekerjaannya atau sebagai persepsi sikap mental, juga sebagai hasil penilaian pegawai terhadap pekerjaannya.
Pandangan ini sejalan dengan Robbins (2016:37) kepuasan kerja mengacu pada sikap yang lazim ditunjukkan seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan kepuasan kerja yang tinggi memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya.Seseroang yang tidak puas memiliki sikap negatif.Ketika
orang-orang membicarakan sikap karyawan, mereka biasanya merujuk pada kepuasan kerja.
Berdasarkan ketiga teori diatas dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan di mana seorang karyawan merasa bangga, senang, diperlakukan adil, dihargai, merasa aman karena pekerjaannya dapat menghasilkan sesuatu yang memenuhi kebutuhan keinginan harapan dan ambisi pribadinya sehingga ia merasa puas secara lahir batin.
2.1.2.2. Teori-teori Kepuasan Kerja
Greenberg dan Baron dalam Priansa (2016:297) menyatakan teori mengenai kepuasan kerja secara umum, yaitu sebagai berikut.
a. Teori Dua Faktor (Two-factor Theory)
Teori kepuasan kerja yang menggambarkan kepuasan dan ketidakpuasan berasal dari kelompok variabel yang berbeda yakni hygiene factors dan motivators. Hygiene factors adalah ketidak puasan kerja yang disebabkan oleh kumpulan perbedaan dari faktor-faktor (kualitas pengawasan, lingkungan kerja, pembayaran gaji, keamanan, kualitas lembaga, hubungan kerja dan kebijaksanaan organisasi). Karena faktor-faktor ini bersifat mencegah reaksi negatif maka disebut sebagai hygiene (maintenance) factors. Kepuasaan kerja yang didatangkan dari sekumpulan faktor-faktor yang berhubungan pekerjaannya atau hasil secara langsung dari pekerjaannya (peluang promosi, pengakuan, tanggung jawab, prestasi) disebut sebagai motivators, karena merupakan level tertinggi dari kepuasan kerja.
b. Teori Nilai (Value Theory)
Teori kepuasan kerja yang menjelaskan pentingnya kesesuaian antara hasil pekerjaan yang diperolehnya (penghargaan) dengan persepsi mengenai
ketersediaan hasil. Semakin banyak hasil yang diperoleh maka ia akan lebih puas, jika memperoleh hasil yang sedikit maka ia akan lebih sedikit puas. Teori ini berfokus pada banyak hasil yang diperoleh.Kunci kepuasannya adalah kesesuaian hasil yang diterima dengan persepsi mereka.
2.1.2.3 Faktor-faktor Kepuasan Kerja
Menurut Sutrisno dalam buku Etri Gusmarany (2016: 15), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah:
a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.
b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosialantar karyawan maupun karyawan dengan atasan.
c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisikkaryawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat,perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara,kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.
d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminanserta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya. Menurut George dan Jones dalam Priansa (2016: 302) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pegawai adalah sebagai berikut. a. Kepribadian
Kepribadian sebagai karakter yang melekat pada diri seseorang seperti perasaan, pemikiran, dan perilaku adalah determinan utama yang menunjang setiap orang
yang berpikir dan merasakan mengenai pekerjaan atau kepuasan kerjanya.Kepribadian memberi pengaruh terhadap pemikiran dan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya sebagai hal positif atau negatif. Seorang individu pegawai yang agresif dan kompetitif akan memiliki target kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu pegawai yang tenang dan santai dalam bekerja.
b. Nilai-nilai
Nilai (value) berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja karena nilai mencerminkan keyakinan pegawai atas hasil kerjanya dan tata cara pegawai harus berperilaku di tempat kerjanya. Pegawai dengan nilai kerja intrinsik yang
kuat (berhubungan dengan jenis kerja itu sendiri), cenderung lebih puas dengan pekerjaan yang menarik (interesting) dan berarti (personally meaningful) seperti pekerjaan yang bersifat sosial (social work) ketimbang pegawai dengan nilai kerja intrinsik lemah, meskipun pekerjaan bersifat sosial ini memerlukan waktu kerja yang panjang dan bayaran yang kecil. Pegawai dengan nilai kerja ekstrinsik yang kuat (berhubungan dengan konsekuensi kerja) cenderung lebih puas dengan pekerjaan yang dibayar tinggi tetapi jenis pekerjaan menoton (monotonous) ketimbang pegawai dengan nilai ekstrinsik rendah.
c. Pengaruh Sosial
Determinan terakhir dari kepuasan kerja adalah pengaruh sosial atau pengaruh sikap dan perilaku pegawai. Rekan kerja, budaya kerja, dan gaya hidup pegawai berpotensi untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Misalnya, pegawai yang berasal dari keluarga mapan akan merasa tidak puas dengan pekerjaan sebagai guru sekolah dasar karena pendapatan yang diterima tidak sesuai dengan gaya hidup
yang dijalaninya selama ini. Pegawai yang tumbuh dari budaya yang menekankan pentingnya melakukan pekerjaan yang berguna bagi semua orang, seperti budaya Jepang, tentunya akan kurang puas dengan pekerjaan yang kompetitif.
2.1.2.4 Indikator-indikator Kepuasan Kerja
Indikator-indikator yang menentukan kepuasan kerja yaitu (Robbins, 2015: 181-182):
a. Pekerjaan yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang akan menciptakan kebosanan, tetapi pekerjaan yang terlalu banyak menantang akan menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. b. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan yang baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk mempermudah mengerjakan tugas yang baik. Studi–studi membuktikan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar yang aman, tidak berbahaya dan tidak merepotkan. Di samping itu, kebanyakan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan alatalat yang memadai.
c. Gaji atau upah yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu,
dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu, individu– individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat secara adil, kemungkinan besar karyawan akan mengalami kepuasan dalam pekerjaannya. d. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
Teori “kesesuaian kepribadian–pekerjaan” Holland menyimpulkan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan okupasi akan menghasilkan seorang individu yang lebih terpuaskan. Orang–orang dengan tipe kepribadian yang sama dengan pekerjaannya memiliki kemungkinan yang besar untuk berhasil dalam pekerjaannya, sehingga mereka juga akan mendapatkan kepuasan yang tinggi.
e. Rekan sekerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, bekerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung akan mengarah ke kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
2.1.3. Stres Kerja
2.1.3.1 Pengertian Stres Kerja
Menurut Greenberg (dalam Setiyana, V. Y. 2013: 384) stres kerja adalah konstruk yang sangat sulit didefinisikan, stres dalam pekerjaan terjadi pada seseorang, dimana seseorang berlari dari masalah, sejak beberapa pekerja membawa tingkat pekerjaan pada kecenderungan stres, 20 stress kerja sebagai kombinasi antara sumber-sumber stress pada pekerjaan, karakteristik individual, dan stresor di luar
organisasi. Stres kerja adalah sesuatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan
Menurut Handoko (2011:200) stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi fisik seseorang.
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Menurut Gibson (dalam Hermita, 2011 :19), ada empat faktor penyebab terjadinya stres. Stres terjadi akibat dari adanya tekananan (Stressor) di tempat kerja, stressor tersebut yaitu :
a. Stress Lingkungan Fisik berupa sinar, kebisingan, temperatur dan udara yang kotor.
b. Stressor Individu berupa Konflik peranan, kepaksaan peranan, beban kerja, tanggung jawab terhadap orang lain, ketiadaan kemajuan karir dan rancangan pengembangan karir.
c. Stressor Kelompok berupa hubungan yang buruk dengan rekan sejawat, bawahan dan atasan.
d. Stressor Keorganisasian berupa ketiadaan partisipasi, struktur organisasi, tingkat jabatan, dan ketiadaan kebijaksanaan yang jelas.
2.1.3.3 Indikator Stres Kerja
Jin et al., (2017) menuturkan indikator untuk stres kerja ada 4(empat), disebutkan sebagai berikut:
Adalah takut terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti dalam pekerjaan. Perasaan khawatir dialami oleh pekerja yang dikarenakan karena banyak faktor dari dalam pekerjaan tersebut.
b. Gelisah
Perasaan tidak tenteram yang dirasakan oleh pekerja saat melaksanakan tugas pekerjaan yang dia kerjakan. Biasanya dikarenakan tugas yang terlalu beresiko. c. Tekanan
Suatu perasaan tertekan dari seorang pekerja yang dirasakan saat dia melaksanakan tugas dan pekerjan yang dilakukan. Bisa disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri. d. Frustrasi
Rasa kecewa akibat kegagalan di dalam mengerjakan sesuatu atau akibat tidak berhasil dalam mencapai suatu tujuan. Ini biasanya dikarenakaan kurang puas terhadap pekerjaan tersebut
2.1.4 Job Insecurity
2.1.4.1 Pengertian Job Insecurity
Menurut Smithson dan Lewis dalam Sandi (2014) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah ubah (perceived impermanace).Pegawai yang mengalami job insecurity dapat mengganggu semangat kerja sehingga efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak dapat diharapkan dan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja.
Menurut Ashford et al. dalam Sandi (2014), job insecurity merupakan cerminan derajat kepada karyawan yang merasakan pekerjaan mereka terancam dan merasakan ketidak berdayaan untuk melakukan segalanya tentang itu.Kondisi ini
muncul karena banyaknya pekerjaan dengan status kontrak maupun outsourcing yang cukup marak diterapkan oleh perusahaan.
Makin banyaknya pekerjaan dengan durasi waktu sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity Secara umum, job insecurity adalah ketidak amanan dalam bekerja secara psikologis. Menurut Hellgren, et al. dalam Sandi (2014), terdapat dua bentuk job insecurity yaitu job insecurity kuantitatif, yaitu khawatir akan kehilangan pekerjaan itu sendiri, dan perasaan khawatir kehilangan pekerjaan. Sementara job insecurity kualitatif mengacu pada perasaan potensi kerugian dalam kualitas posisi organisasi, seperti memburuknya kondisi kerja, kurangnya kesempatan karir, penurunan gaji pengembangan.
Kedua sisi yang berbeda dari job insecurity adalah untuk dijadikan pengalaman subjektif, berdasarkan pada persepsi individu dan pemahaman tentang lingkungan dan situasi, dan mengacu pada antisipasi dari peristiwa stress kehilangan pekerjaan itu sendiri.
2.1.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity
Robbins (dalam buku Hadia Hulungunan 2015: 31-32) mengemukakan faktor-faktor penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yang meliputi:
a. Umur Bertambahnya umur seseorang individu maka akan semakin berkurang produktifitasnya dan akan menimbulkan job insecurity pada diri individu tersebut.
c. Kesesuaian antara kepribadian dan pekerjaan. Apabila karyawan merasa tidak sesuai atau merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang dilakukannya maka karyawan akan merasa tidak aman atau mengalami job insecurity.
d. Tingkat kepuasan kerja. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda sehingga apabila terdapat seorang individu yang sudah
puas dengan hasil kerjanya maka belum tentu individu lainnya merasa puas, sehingga individu yang merasa tidak puas tersebut dapat mengalami job insecurity. 2.1.4.3 Indikator Job Insecurity
Menurut Nugraha dalam Sandi (2014), menyatakan bahwa ada lima indikator dalam job insecurity, yaitu:
a. Arti pekerjaan itu bagi individu
Merupakan suatu pekerjaan yang memiliki nilai negatif terhadap perkembangan karirnya sehingga pekerjaan tersebut memiliki arti penting bagi kelangsungan kerjanya. Indikator ini diukur dari tanggapan responden apakah pekerjaan yang diberikan memiliki arti yang besar bagi masing-masing karyawannya.
b. Tingkat ancaman yang kemungkinan terjadi saat ini dan mempengaruhi keseluruhan kerja individu.
Merupakan seberapa besar tingkat ancaman yang dirasakan karyawan terkait aspek-aspek pekerjaan mereka. Indikator ini diukur dari tanggapan responden apakah dapat menyelesaikan tugas dengan baik walaupun ada ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek pekerjaan.
c. Tingkat ancaman yang kemungkinan akan terjadi dan mempengaruhi keseluruhan kerja individu.
Merupakan kemungkinan terjadinya ancaman kerja yang dapat mempengaruhi keseluruhan kerja karyawan. Indikator ini diukur dari tanggapan responden apakah merasa terancam terkait kemungkinan yang terjadi dan mempengaruhi keseluruhan kerja karyawan.
d. Tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa tersebut
Misalnya dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Dengan kata lain dapat dikatakan arti penting bagi keseluruhan kerja bagi karyawan.
2.2 Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penulis melakukan penelitian berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya dan telah dipublikasikan berupa artikel jurnal penelitian, baik lokal maupun internasional, sebagai berikut:
1. Bagus Ida Dwihana Parta Yuda, I Komang Ardana (2017) yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja terhadap Turnover Intention pada Karyawan Hotel Holiday Inn Express”. Volume 06, nomor 10, tahun 2017. Hasil penelitiannya menyimpulkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap terhadap turnover intention sedangkan stres kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
2. Govand Anwar dalam artikel yang berjudul: Job Satisfaction and Employee Turnover Intention. Volume 02, Issue 1, tahun 2015. Menghasilkan kesimpulan bahwa Kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan pada niat turnover dari para peserta. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai alat administrasi yang berguna yang dapat lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi.
3. Gabriela Syahronica, Moehammad Soe’oed Hakam, Ika Ruhana (2015), yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja terhadap Turnover Inetention pada karyawan Departemen Dunia Fantasi PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk”. Volume 20, nomor 01, tahun 2015 Dari hasil penelitian ini diketahui adanya pengaruh signifikan dari kepuasan kerja terhadap turnover intention karyawan Departemen Dunia Fantasi PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, dan di sini dapat diketahui bahwa kedua variabel bebas tersebut yang dominan pengaruhnya terhadap Turnover Intention adalah stres kerja karena nilai koefisien beta yang lebih besar.
4. Made Ni Tiya Jumani Monica, Made Surya Putra (2018) yang berjudul “Pengaruh Stres Kerja, Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention.” Volume 07, nomor 6, tahun 2018 Hasil penelitian membuktikan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Hasil yang didapatkan selanjutnya yaitu, komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Penelitian juga mendapatkan hasil bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
5. Aharon Tziner (2015) yang berjudul “Work Stress and turnover intention among hospital physicians the mediating role of burnout and work satisfaction” Volume 31, Issue 3, tahun 2015 Hasil penelitian membuktikan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Penelitian juga mendapatkan hasil bahwa stress kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
6. Waspodo AWS Agung, Nurul Chotimah Handayani, Widya Paramita (2018), yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention pada Karyawan PT. Unitex di Bogor”. Volume 04, nomor 01, tahun 2018
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention.
7. Ketut Ni Septiari, I Komang Ardana (2016) yang berjudul “Pengaruh Job Insecurity dan Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention Karyawan Pada Hotel Asana Agung Putra Bali”.Volume 05, nomor 10, tahun 2016 Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurity dan stres kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap turnover intention Job insecurity berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan.Stres kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan.
8. Farish Alghamdi (2016) yang berjudul “ Job Insecurity, Organizational Commitment, Financial Responsibility, and Turnover Intention, a Test of Three-Way Interaction”. Volume 02, Issue 1, tahun 2015 Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurity dan stres kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap turnover intention Job insecurity berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan.Stres kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan
2.3 Hipotesis
H1 : Di duga ada pengaruh signifikan Kepuasan Kerja (X1) terhadap Turnover Intention (Y) karyawan PT. Infomedia Nusantara yang bekerja di GraPARI Telkomsel Bekasi. Hipotesis ini di dukung dari hasil penelitian Gabriela Syahronica, Moehammad Soe’oed Hakam, Ika Ruhana ( 2015), yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja terhadap Turnover Inetention pada karyawan Departemen Dunia Fantasi PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk”, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 20 No. 1 Maret 2015.
H2 : Di duga ada pengaruh signifikan Stres Kerja (X2) terhadap Turnover Intention (Y) karyawan PT. Infomedia Nusantara yang bekerja di GraPARI Telkomsel Bekasi. Hipotesis ini di dukung dari hasil penelitian Waspodo AWS Agung, Nurul Chotimah Handayani, Widya Paramita (2018), yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention pada Karyawan PT. Unitex di Bogor”. 2018, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta, Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI)│Vol. 4, No. 1, 2013.
H3 : Di duga ada pengaruh signifikan Job Insecurity (X3) terhadap Turnover Intention (Y) karyawan PT. Infomedia Nusantara yang bekerja di GraPARI Telkomsel Bekasi. Hipotesis ini di dukung dari hasil penelitian Ketut Ni Septiari, I Komang Ardana. 2016, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana (Unud) Bali, E-Jurnal Manajemen Unud, Vol.5,No.10,2016:6429-6456.
27