TINJAUAN PUSTAKA
2.2.3.1 Kepuasan versus kualitas jasa
Banyak peneliti yang sepakat bahwa kepuasan pelanggan merupakan ukuran spasifik untuk mengukur setiap transaksi, situasi atau interaksi (encounter) yang bersifat jangka pendek, sedangkan kualitas jasa merupakan sikap yang terbentuk dari evaluasi keseluruhan terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang (Parasuraman, et al, 1985; hoffman dan Bateson, 1997). Disatu sisi, beberapa pakar mengatakan bahwa kepuasan pelanggan menimbulkan kualitas
jasa. Kepuasan pelanggan terhadap pengalaman jasa tertentu akan mengarah pada evaluasi atau sikap keseluruhan terhadap kualitas jasa sepanjang waktu (Bitner,1990; Oliver, 1981; Parasuraman,et al, 1988). Menurut American Society For Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten.
Selain itu, hubungan antara kepuasan pelanggan dan kualitas jasa serta keduanya dengan perilaku pembelian masih belum banyak yang telah dijelaskan (Cronin dan Taylor, 1992). Salah satu kemungkinan hubungan yang banyak disepakati adalah bahwa kepuasan membantu pelanggan dalam merevisi persepsinya terhadap kualitas jasa (Cronin dan Taylor, 1992). Dasar pemikirannya antara lain:
1. Bila konsumen tidak memiliki pengalaman sebelumnya dengan suatu
perusahaan, maka persepsinya terhadap kualitas jasa perusahaan tersebut akan didasarkan pada ekspektasinya.
2. Interaksi (service ecounter) berikutnya dengan perusahaan tersebut akan menyebabkan konsumen akan memasuki proses diskonfirmasi dan merevisi persepsinya terhadap kualitas jasa.
3. Setiap interaksi tambahan dengan perusahaanitu akan memperkuat atau
sebaliknya malah akan mengubah persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. 4. Persepsi terhadap kualitas jasa yang telah direvisi memodifikasi minat beli
konsumen terhadap perusahaan dimasa yang akan datang (Hoffman dan Bateson, 1997).
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) mengatakan bahwa perbedaan antara kepuasan konsumen dengan kualitas pelayanan terletak pada cara diskonfirmasi yang digunakan. Mereka mengatakan dalam mengukur kualitas pelayanan, tingkat perbandingannya adalah apa yang seharusnya konsumen inginkan, sedangkan untuk mengukur kepuasan perbandingan yang sesuai adalah apa yang akan diinginkan oleh konsumen. Tetapi perbedaan itu tidak konsisten dengan pernyataan Woodruff, Cadotte, dan Jenkins (1983) yang menyatakan bahwa ekspektasi (keinginan atau harapan) harus berdasarkan pengalaman.
Kualitas layanan adalah sebuah sikap jangka panjang, sedangkan kepuasan konsumen adalah sebuah penilaian sementara yang dibuat berdasarkan pertemuan layanan mencerminkan persepsi-persepsi evaluatif seorang konsumen atas sebua pertemuan layanan pada sebuah titik waktu spesifik. Sebaliknya, penilaian-penilaian kepuasan konsumen bersifat pengalaman, melibatkan sebuah keadaan akhir dan sebuah proses dan mencerminkan baik elemen kognisi maupun emosional (Oliver, 1993). Penilaian-penilaian kepuasan diyakini menurun ke dalam seluruh penilaian-penilaian kualitas layanan dari waktu ke waktu (Cronin dan Taylor, 1992; Oliver, 1993)
Pada awalnya Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985, 1988) mengusulkan bahwa tingkat kualitas pelayanan yang tinggi akan meningkatkan kepuasan konsumen. Tetapi bukti terbaru mengatakan bahwa kepuasan adalah bagian dari kualitas pelayanan (Bitner, 1990; Bolton dan Drew, 1991). Dalam penelitian selanjutnya, Bolton dan Drew (1991) mengatakan bahwa kualitas pelayanan dapat disamakan dengan sikap dan kepuasan adalah bagian dari
pelayanan. Mereka menempatkan kualitas pelayanan sebagai persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan dari periode sebelumnya dan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang sekarang ini.
Jika seseorang menganggap kualitas pelayanan sebagai suatu sikap, penelitian Oliver mengemukakan bahwa:
1. Karena tidak adanya pengalaman dengan pemberi pelayanan sebelumnya,
ekspektasi pada awalnya menjukan tingkat kualitas pelayanan.
2. Pada pengalaman pertama dengan pemberi pelayanan, proses diskonfirmasi menunjukan perbaikan terhadap pelayanan yang pertama.
3. Pengalaman selanjutnya akan menunjukan deiskonfirmasi yang lebih jauh, yang memodifikasi kembali tingkat kualitas pelayanan.
4. Penjelasan kembali tentang tingkat kualitas pelayanan akan mengubah
intensitas berbelanja konsumen terhadap pemberi pelayanan tersebut.
Oleh karena itu, penelitian Oliver mengemukakan bahwa kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen adalah suatu konsep yang berbeda, tetapi saling berhubungan, bahwa kepuasan menghubungkan efek kualitas pelayanan sebelumnya untuk memperbaiki kualitas pelayanan yang akan diberikan. Dengan demikian kepuasan secara cepat menjadi bagian dari kualitas pelayanan yang telah diperbaiki.
2.2.3.2 Jasa
Jasa menurut Gummesson (1987) adalah something which can be bought and sold but which you cannot drop on your feet. Definisi ini menekankan bahwa
jasa bisa dipertukarkan namun kerap kali sulit dialami atau dirasakan secara fisik. Sedangkan kotler (1996), mendefinisikan jasa sebagai setiap “tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemiklikan sesuatu”. Definisi lain yang dikemukakan oleh Gronroos (2000) “jasa adalah proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan atau sumber daya fisik atau barang dan atau system penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan”. Menurut Gronroos (2000), interaksi antara pelanggan dan penyedia jasa kerapkali terjadi dalam jasa, sekalipun pihak-pihak yang terlibay mungkin tidak menyadarinya. Selain itu, dimungkinkan ada situasi dimana pelanggan sebagai individu tidak berinteraksi langsung dengan perusahaan jasa Zeithaml dan Bitner dalam (yadid 2001) mendefinisikan jasa yaitu mencakup semua aktivitas ekonomi yang outputnya bukannya produk atau konstruksi fisik, yang secara umum konsumsi dan produksinya dilakukan pada waktu yang sama (stimultan), dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk yang secara prinsip intangible (kenyamanan, hiburan, kecepatan dan kesehatan) bagi pembeli utamannya.
Pelanggan bukan hanya semata-mata membeli barang atau jasa, namun mereka membeli manfaat yang diberikan oleh barang atau jasa yang bersangkutan (Levitt, 1980). Mereka membeli penawaran semacan ini mencerminkan jasa atau layanan bagi pelanggan dan customer-perceived service tersebut memberikan nilai tambah bagi setiap pelanggan. Dengan demikian, setiap perusahaan selalu
menawarkan jasa atau layanan bagi pelanggan terlepas dari apapun bentuk produk yang dihasilkannya. Nilai suatu barang dan jasa bagi pelanggan tidak dihasilkan dipabrik atau kantor perusahaan jasa, namun justru diciptakan dalam customers value-generating process sewaktu pelanggan individual maupun pelanggan industrial memanfaatkan atau menggunakan solusi atau paket penawaran yang mereka beli (Gronroos, 2000).
Jasa memiliki emoat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi terhadap rancangan pemasaran (Tjiptono dan Chandra, 2005):
1. Intangibility
Jasa bersifat intangible artinya, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli atau dikomsumsi. Konsep intangible memiliki dua pengertian: (1) sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasakan; dan (2) sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, dirumuskan atau dipahami secara rohaniah.
2. Inseparibility
Barang biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual baru dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi poada waktu dan tempat yang sama. Interaksi antar penyedia jasa dan konsumen merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa bersangkutan.
3. Variability
Jasa bersifat variabel karena merupakan nonstandarized output, artinya terdapat banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa,
kapan, dan dimana jasa tersebut diproduksi. Terdapat tiga faktor yang nmenyebabkan variabilitas jasa; (1) kerja sanma atau partisipasi konsumen selama penyampaian jasa; (2) moral atau motivasi karyawan dalam melayani konsumen; dan (3) beban kerja perusahaan kesemuanya ini menyebabkan perusahaan jasa sulit mengembangkan citra merek yang konsisten sepanjang waktu.
4. Perishability
Perishability artinya jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang diwaktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan. Apabila permintaan berfluktuasi maka perusahaan tersebut menghadapi masalah yang sulit. Kegagalan memenuhi permintaan puncak bakal menimbulkan ketidakpuasan konsumen dan dalam banyak kasus kualitas jasa mengalami penurunan signifikan.
2.2.4 Loyalitas
Loyalitas adalah respon perilaku atau pembelian yang bersifat bias dan terungkap secara terus menerus oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternative dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis. Namun perlu ditekankan bahwa hal tersebut berbeda dengan perilaku beli ulang, loyalitas pelanggan menyertakan aspek perasaan didalamnya (Dharmmesta, 1999).
Orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional kearah pendekatan kontemporer (Bhote, 1996). Pendekatan
konvensional menekankan kepuasan pelanggan sedangkan pendekatan kontemporer kebih berfokus pada loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections, lifelong customer. Menurut Schnaars dalam Tjiptono (2000), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan: failures, forced loyality, defector, dan successes, sehingga kepuasan tidak lagi menjadi variabel intervening terhadap loyalitas pelanggan.
Menurut Griffin (1996), pelanggan yang loyal adalah mereka yang sangat puas dengan produk atau jasa tertentu sehingga mempunyai antusiasme untuk memperkenalkannya pada siapapun yang mereka kenal.
Menurut Griffin (1996) karakteristik pelanggan yang loyal memiliki indikator antara lain:
1. Melakukan pembelian secara teratur 2. Membeli diluar lini produk atau jasa.
3. Menolak produk atau jasa dari perusahaan lain 4. Kebal terhadap daya tarik pesaing
5. Menarik pelanggan baru untuk perusahaan
6. Kelemahan atau kekurangan akan diberitahukan kepada perusahaan.
Dari berbagai teori diatas, dapat disimpulkan bahwa loyalitas nasabah adalah kesetiaan nasabah setelah mengalami pelayanan yang dinyatakan dalam perilaku untuk menggunakan jasa bank tersebut dan mencerminkan adanya ikatan jangka panjang antara bank dan nasabah.