• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Hukum Syara’ yang berkaitan dengan perkara ini, maka Majelis Hakim memutuskan dan mengadili dalam Primernya Menolak Permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Depok.

Adapun dalam Subsidairnya, Majelis Hakim memutuskan dan megadili: 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk memfasakh perkawinannya yang

pernah dilakasnakan pada tanggal 26 Maret 2001, batal demi hukum untuk selama-lamanya;

2. Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon pelipr lara sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) dan cincin mas seberat 5 gram;

3. Menghukum Pemohon untuk member nafkah tiga orang anak yang bernama Fahrezy Aldi Permana, Toddy Afrian, dan Candra Dijaya yang berada dalam asuhan Termohon minimal sebesar Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa dan mandiri; serta

4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 241.000,- (dua ratus empat puluh satu ribu rupiah).12

12

51

A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata

1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai realisasi mazhab Indonesia. Fiqh ini sebagai hasil dari pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan muncul karena adanya pandangan bahwa ada pemaksaan adat istiadat yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah sebuah kesalahan.1 Oleh karenanya, Hukum Islam dinyatakan sebagai hukum yang hidup di masyarakat Islam Indonesia.

Dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa anak yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.2

1

Nourrouzzaman Shiddiqie, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet I, hal. 231

2

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), Cet II, Hal. 137

Berdasarkan pasal tersebut bahwa anak yang sah memiliki dua sifat; pertama anak sah adalah anak berdasarkan pembuahan antara suami istri secara alami (hubungan suami istri) dan anak yang dilahirkan berdasarkan pembuahan suami istri di luar rahim dengan mediasi ilmu kedokteran. Dengan kata lain, bayi tabung.3

Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa itu adalah anak yang sah maka diperlukan bukti otentik sebagai asal-usul anak. Dalam hal ini, Pengadilan memiliki andil untuk menetapkan status anak tersebut setelah diverifikasi dan diteliti dengan berbagai bukti lainnya. Hal ini dijelaskan dalam pasal 103 KHI sebagai berikut:

a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lainnya;

b. Bila akta kelahiran atau bukti lainnya yang tersebut dalam ayat 1 tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti sah;

c. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat 2, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan

3

Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.4

Rumusan anak sah bagian kedua merupakan pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung. Ketentuan ini merupakan legitimasi kebolehan menggunakan teknologi kedokteran dalam hal konsepsi (pembuahan) janin (anak) dalam kandungan. Menurut ketentuan ini dapat diketahui bahwa:

a. Pembuahan anak di luar rahim itu sah dan dibolehkan

b. Pembuahan itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istri itu sendiri

c. Tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim perempuan lain.5 Adapun rumusan anak sah dalam point a sama persis dengan rumusan dalam Undang-undang Perkawinan, yang dapat ditarik pengertian, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan dan sebagai akibat perkawinan yang sah.

Kemudian bila penjelasan di atas di hubungkan dengan akibat perkawinan yang batal demi hukum, Kompilasi Hukum Islam (KHI) berpendapat dalam pasal 75 yang berbunyi:

4

Dedi Supriadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, hal. 119-120

5

Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), cet II, Hal. 106

Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.6

Dari pasal 75 point b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebutkan di atas, jelas bahwa status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang batal masih disebut sebagai anak sah, sebab keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut bagi anak-anak yang dilahirkannya meskipun keputusan pembatalan perkawinan tersebut untuk selamanya dan tidak berkesempatan untuk rujuk kembali.

2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab

Berketurunan merupakan tujuan pokok diantara tujuan pernikahan. Hal ini merupakan kecintaan laki-laki sebagai akar rumah tangga, begitu juga bagi perempuan. Karena setiap manusia ingin namanya tetap ada dan berlanjut pengaruhnya.7

Dalam Hukum Islam, berketurunan biasa disebut dengan istilah nasab. Secara bahasa Nasab berarti al-qarabah atau kedekatan dalam hubungan

6

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 131

7

Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami(Jakarta: Amzah, 2010) cet. I, Hal. 251

keluarga. Kedekatan tersebut baik hubungan darah atau karena adanya perkawinan. 8 























54

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan (nasab) dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (Q.S. Al-Furqan: 54).

Nasab seperti yang disebutkan al-Farra’, diartikan sebagai hubungan dimana terdapat larangan perkawinan diantaranya. Akar suatu nasab dalam pandangan Ulama Fikih adalah mulai dari bapak dan ibu sampai ke atas dan dari anak sampai ke bawahnya. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa pendapat yang menguraikan pengertian nasab secara istilah, seperti yang dicatat oleh Jumni Nelli, yaitu:

a. Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan;

b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah;

8 Sa’d abu Jubab, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1993). Cet III, hal. 350.

c. Menurut Wahbah al-Zuhailiy nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah; d. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil

percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar’i.9

Dalam perspektif Fikih proses penetapan nasab tidak pernah memberikan suatu definisi yang jelas tentang nasab yang sah, namun dari berbagai sumber terutama yang dinukilkan dari al-Quran dan Al-Sunnah, dapat diketahui bahwa Islam sangat memberikan batasan yang jelas tentang nasab tersebut.10

Dalam Syariat Islam diakui bahwa hanya nasab yang sah saja yang berhak dijadikan ukuran suatu hubungan darah dalam keluarga yaitu ketika melalui proses akad perkawinan yang sah pula. Dalam al-Quran disebutkan secara implisit tentang kesucian nasab dalam Islam, yaitu:

9

Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, h. 6, diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada 3 Januari 2011.

10

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,









.





















6

5

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. Al-Mukminun: 5-6).

Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa Allah melarang manusia untuk mendekati zina, perbuatan yang akhirnya juga akan melahirkan anak yang berstatus anak zina. Demikian ayat ini menyebutkan :

















32:17

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra’/17: 32).

Oleh karena itu, nasab menjadi suatu pondasi yang kuat dalam membangun keluarga yang kokoh, di dalamnya terikat sebuah ikatan darah yang kuat, kesatuan benih dan keturunan. Seorang anak menjadi bagian dari bapaknya dan seorang bapak menjadi bagian dari anaknya. Nasab menjadi sebuah jejaring yang menguatkan hubungan keluarga, dan menjadi nikmat mulia yang dikaruniakan Allah kepada manusia, karena jika tidak maka akan kacau hubungan darah dan akan hancur kemaslahatan yang ada di dalamnya. Demikian itu pula, tidak akan tercapai hubungan yang harmonis, kasih

sayang, dan rahmat di antara para individu di dalamnya. Maka dari itu, Allah sangat menjaga dan memelihara kelanggengan nasab manusia.11

12

Selain dari hadits di atas, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abi Bakrah. Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang menasabkan keturunannya kepada seorang yang bukan bapaknya, sedangkan ia mengetahui (bahwa ia bukan bapaknya yang sah), maka haram baginya surge di hari akhirat kelak. Dalam konteks inilah, meskipun dilakukan pula oleh Rasulullah dan banyak umat Islam, sistem pengangkatan anak tidak dapat memberikan nasab kepada sesorang.13

11

Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz 10. H. 1

12Sulaiman ibn Asy’ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz I, h. 688, hadits no. 2262

13

Perkawinan yang sah akan melahirkan anak yang sah pula, jika pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat berlangsungnya perkawinan yang sah. Lain halnya anak zina yang diartikan oleh para ahli Fikih sebagai anak yang lahir dari hubungan (badan) antara laki-laki dan perempuan tanpa dengan status perkawinan yang sah.14 Dalam suatu hadits disebutkan :

15

Dalam konteks hadits ini, menurut al-Syaukani dalam nail al-Authar, bahwa penentuan keturunan (nasab) seseorang hanya dihubungkan kepada bapak, setelah adanya kepastian antara kedua suami istri telah melakukan hubungan badan, serta dengan akad pernikahan yang sah. Menurut Ibnu Qayyim, seperti dikutip al-Syaukani, kata “firasy” dalam hadits ini menjadi dasar pembuktian nasab dalam Islam. 16

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h 279

15 شا ف ا ص:ي خ ظف يف . Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, subbab Anna Al-Walad li al-firasy. Dalam Shahih Muslim Hadits ini disebutkan:

ئ ع نع ع نع ش ي ا نع ثي ا ن خا ن د ث د ثي ث د ديعس ن يتف ثد ت ق نا : د ع ق ي ا ن تع يخا ن ا ها س يا دعس قف اغ يف ع د ع ق ي ا ن دعس صتخا ها س ظ ف تدي ن ي ا ش ا ف ي ع د ها س ي يخا ا ع ن د ع ق ش ي ا ظنا ا ع ي ا ا ع شا ف د ا د ع ي ك قف تع ش يا ف ش ي ا س ي ع ها ي ص

Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-arabi, tth), Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II, hal. 1079. Hadits nomor 1457. Lihat Pula, Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi,

(Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, dkk, Juz III, h. 462, hadits nomor 1156.

16

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari info@omelketab.net.

Menurut Wahbah al-Zuhailiy, hadits ini menunjukkan bahwa nasab hanya diambil dari bapak dan ibu yang menjalin hubungan perkawinan yang sah. Firasy diartikan sebagai perempuan yang telah diketahui oleh khayalak umum, bahwa ia adalah isteri (dari lelaki) yang sah.17

Dari penjelasan di atas, bila dibandingkan dengan uraian dalam Shahih Muslim,18 dapat diambil benang merah, bahwa dalam Islam pengakuan atas anak oleh orang tua (termasuk pula dengan nasabnya yang sah) hanya bisa dilakukan ketika perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan telah terikat hubungan yang sah sebagai suami istri. Dengan kata lain, anak sah hanya boleh diakui dengan akad pernikahan yang sah pula. Oleh karena itu, jelaslah bahwa anak-anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah tetap berkedudukan sebagai anak sah, meskipun suatu saat terjadi pembatalan perkawinan. Sebab kata Firasy dalam hadits di atas dapat dipahami yaitu mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain pemilik alas tidur tersebut setelah adanya perkawinan yang sah adalah laki-laki yang menjadi suaminya.

Selain itu dalam pandangan ulama Fikih dikenal juga istilah anak syubhat. Menurut Jawad al-Mughniyyah, mengutip dari berbagai pandangan Ulama, anak syubhat yaitu anak yang dilahirkan dari percampuran (persetubuhan) syubhat, hal ini terjadi manakala seorang laki-laki mencampuri

17

Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz 10, h. 3

18

Lihat, Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim. Penjelasan hadits nomor 1457, jilid II, h. 1079

seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram untuk dicampuri, baik karena haram untuk selamanya atau bersifat sementara. Syubhat terbagi dua yaitu syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan.19 a. Syubhat dalam Akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan

akad nikah dengan seorang wanita seperti biasa, tapi ternyata akadnya tersebut fasid.

b. Syubhat dalam tindakan, yaitu manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara keduanya, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar melakukannya bahwa wanita tersebut tidak halal dicampurinya.

Nasab hasil persetubuhan syubhat ini dianggap sah oleh para ulama, sehingga seorang anak dapat ditetapkan pada bapaknya. Kalaupun seorang lelaki tersebut tidak mengakuinya, maka tidak akan menafikan adanya nasab (secara hakiki), bahkan lelaki tersebut dipaksa untuk mengakui.

3. Status Anak Menurut Hukum Perdata

Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan lain sebagainya.20 Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan

19

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB, dkk. (Jakarta: Lentera, 2001) cet VII, H. 389

20

negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.21

Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya, Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya, Dalam Inpres RI No 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan

21

Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 52

21

Darwin Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, 2003). Hal. 80

bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan.22

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa, Menurut penelitian Supomo tentang Hukum Perdata adat di Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi : a. Dapat bekerja sendiri

b. Cakap untuk melakukan apa yang di syaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.

c. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri

Dalam K.U.H.Perdata dan juga dalam UUP berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.23 Hal ini menjelaskan bahwa keturunan yang sah yang di maksud di atas adalah anak sah termasuk dari anak dan seterusnya ke bawah.

Pasal 250 K.U.H.Perdata mengemukakan bahwa “ Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari pasal di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

22

Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki (Ayah) Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang), (Semarang: Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005). Hal 32

23 Prinsip yang sama berlaku juga dalam hukum di Amerika Serikat, “Legitimacy is defined primariliy by reference to the marital status of the child’s parents’.

Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan dilangsungkan secara sah sampai perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. 24

Kemudian pada kata”ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata verwekt yang bisa juga diberikan arti “dibenihkan”. Kata suami dalam rangkaian kata-kata memperoleh si suami sebagai ayahnya, mempunyai arti suami dari perempuan yang melahirkan anak tersebut.25

Dari penjelasan di atas, terdapat dua ukuran yang dipakai oleh pembuat Undang-undang untuk menetapkan siapa ayah seorang anak, jika anak tersebut lahir dalam suatu keluarga, yang orang tuanya menikah secara sah.

Selanjutnya, dari bunyi ketentuan pasal 250 tersebut di atas, orang menyimpulkan bahwa “anak yang lahir sepanjang perkawinan bapak-ibunya, dan anak yang dibenihkan di dalam perkawinan bapak-ibunya adalah anak sah dari kedua orang tuanya artinya ukuran pertama ayah dari seorang anak tersebut adalah bapak/ayah yang membuahi perempuan yang melahirkan anak tersebut di dalam perkawinan.

24

Pasal 199 KUHPer dan pasal 38 UUP.

25

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), cet II, hal. 19.

Sedangkan ukuran kedua siapa ayah dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua mereka adalah berangkat dari anggapan bahwa yang membuahi sesuai dengan umumnya terjadi yaitu suami si perempuan yang melahirkan itu adalah ayahnya. Akan tetapi jika kenyataannya berbeda, maka ayah dari seorang anak tersebut adalah suami si perempuan yang melahirkan anak tersebut meskipun suami tersebut tidak pernah membuahi si perempuan tersebut.26

Sehubungan dengan penjelasan di atas, perlu dicermati juga bunyi anak kalimat terakhir pasal 199 sub 4 K.U.H.Perdata berkata tentang “karena perceraian sesuai dengan ketentuan dalam bagian ketiga bab ini” adalah agar kita memperhatikan ketentuan pasal 221 K.U.H.Perdata yang berbunyi “Perkawinan bubar karena perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register catatan sipil”.

Dalam pasal 221 K.U.H.Perdata di atas dapat dipahami bahwa perkawinan dapat dikatakan bubar atau putus disebabkan karena adanya keputusan perceraian dari pengadilan dan juga harus didaftarkan keputusan perceraian itu di kantor catatan sipil. Kemudian lain halnya dengan bunyi pasal 38 UUP mengatakan bahwa perkawinan dapat diputus karena : kematian, perceraian, dan atas keputusan peradilan. Jadi, menurut UUP, pencatatan dalam register di kantor pencatat nikah bukan merupakan syarat

26

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal 24.

putusnya perkawinan. Dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dengan tegas menyebutkan “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan”

Oleh karena itu, apabila pemutusan perceraian itu hanya ada keputusan perceraian dari pengadilan saja, tanpa adanya pendaftaran di kantor Catatan Sipil dalam jangka waktu enam bulan, konsekuensinya adalah semua anak yang dilahirkan dalam masa enam bulan (6 bulan) sejak keputusan perceraian (yang tidak didaftarkan) lahir di dalam/sepanjang perkawinan orang tuanya maka anak tersebut dikatakan sebagai anak sah.27

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa anak-anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah dan ibunya disebut anak sah. Oleh karena itu, manakala anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak terikat dalam suatu perkawinan disebut anak-anak tidak sah atau anak-anak luar kawin (onwettige, onechte, natuurlijke kinderen).

Anak-anak yang tidak sah atau anak luar kawin dibedakan menjadi dua golongan yaitu:

a. Anak-anak luar kawin yang bukan anak zina (overspelig) atau anak sumbang (bloed schennis) maksudnya adalah anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah

27

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal. 19-20

b. Anak-anak luar kawin hasil zina (overspelige kinderen), artinya anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah.28

Pengertian anak luar kawin dalam undang-undang digunakan dua arti yaitu: Pertama, dalam arti luas, adalah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan termasuk didalamnya anak-anak zina dan anak sumbang; Kedua, dalam arti sempit ialah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang bukan anak zina dan anak sumbang.

Sejak tahun 1947, B.W. Belanda telah mengalami perubahan dan dewasa ini telah dimasukkan kedalam pasal 221 ayat 1 B.W.N. yang berbunyi :”Anak-anak tidak sah mempunyai kedudukan sebagai anak alami ibunya. Ia

Dokumen terkait