• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status anak akibat pembatalan perkawinan analisis putusan pengadilan agama depok nomor 1723/pdt.g/2009 pa.dpk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status anak akibat pembatalan perkawinan analisis putusan pengadilan agama depok nomor 1723/pdt.g/2009 pa.dpk"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD SYADHALI NIM: 107044101992

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD SYADHALI NIM: 107044101992

Di bawah Bimbingan Pembimbing

DR. JM. Muslimin, M.A., Ph.D NIP: 150 292 489

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Rajab 1432 H, 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 21 Juni 2011M Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195 003 061 976 031 001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA.

NIP. 196 906 102 003 122 001 3. Pembimbing : Dr. JM. Muslimin, MA., Ph.D

NIP. 150 292 489

4. Penguji I : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195 505 051 982 031 021

5. Penguji II : Mu’min Rouf, MA.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Neeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Mei 2011

(5)

v

ميح رلا نم رلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala pujian serta syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya. Dengan limpahan kasih sayang-Nya, syukur Alhamdulillah penulis mendapatkan limpahan kekuatan, tebalnya keyakinan, dan tekad yang kuat sehingga penulis dapat menyeselesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Shalawat teriring salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah menebarkan cahaya islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam.

Skripsi merupakan bentuk nyata dari sebuah perjuangan mahasiswa selama menuntut ilmu di bangku kuliah. Sama halnya dengan penulis, bentuk nyata yang dipersembahkan penulis kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syatif Hidayatullah Jakarta adalah karangan ilmiah yang disebut skripsi. Dalam proses penulisannya, berbagai hambatan, kesulitan, kebingungan, dan kebekuan berfikir pernah penulis alami. Akan tetapi, dengan kekuatan yang Allah berikan penulis pun berhasil menangkis semua hambatan tersebut.

(6)

terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Keluarga besar Bapak Zaini dan Ibu Umyati sebagai kedua orang tua Penulis, yang senantiasa selalu menjadi motivator, penyejuk jiwa, penenang hati, dan pendorong semangat serta yang selalu memberikan kekuatan batin. Dengan segenap jiwa raganya, tetesan keringat, linangan air mata, teriknya mentari, dinginnya hujan, tanpa lelah beliau berkorban demi keluarga hingga sekarang ini penulis bisa berada di tingkat Universitas. Perjuanganmu tiada tara, kasih sayangmu tak lekang oleh waktu. Semoga Allah selalu melindungi dan menjagamu wahai ayah dan ibu,

2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa selalu memberikan pencerahan dan motivasi bagi mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum untuk meraih masa depan yang gemilang dan berani bersaing dalam kancah perkembangan industri

3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan studi Ahwal-Asysyakhshiyyah yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

beliau begitu besar dan tiada tara, hanya doa yang bisa penulis sampaikan. Semoga Beliau selalu diberikan kesehatan dan terus membimbing mahasiswa/I kea rah yang lebih baik.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tak kenal leleah mengajarkan penulis berbagai ilmu, pengalaman hidup, serta petuah-petuah kepada penulis. Besar harapan penulis semoga ilmu yang yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan orang banyak pada umumnya serta menjadi bekal amal kebaikan bagi Bapak dan Ibu;

6. Pimpinan dan segenaf Staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini

7. Bapak ketua Pengadilan Agama Depok beserta Staf yang telah membantu Penulis dalam kelancaran penulisan skripsi serta telah mengizinkan Penulis untuk melakukan wawancara dengan Salah satu Ketua Pengadilan Agama Depok. Tiada lain yang bisa penulis ungkapkan, hanya terima ksih dan doa yang bisa penulis sampaikan, semoga Pengadilan Agama Depok semakin jaya dan membanggakan.

(8)

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kawan…terima kasih

sahabat…Jasamu akan selalu aku kenang sampai aku mati.

9. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), dan Peradilan Agama. B Angkatan 2007, yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil. Banyak sekali kenangan yang telah kita lalui bersama, kehadiranmu senantiasa membuat aku bahagia, Pengorbananmu buat aku selalu ingat, canda

tawamu buat aku selalu merindukanmu. Terima kasih kawan…terima kasih.

Kenangan kalian akan selalu aku kenang di seumur hidupku

10.Sahabat-sahabat sejatiku angkatan 2007 (Munawar, Faiz Alfian, Abdul Ghoni, Abdul Ghofur, Ade Qomaruzzaman, Ade Farid Farullah, Nanang Muhajirin El-Hady, M. Afif Firmansyah, Hamzah Nasrullah, Chowas Ahmad Sholeh) yang selalu setia menemani hari-hariku, kawan seperjuangan dari SMA sampai sekarang, teman curhat kala penulis gundah, sahabat yang bisa buat aku bahagia, sedih, dan tertawa. Thanks Sahabat. Aku selalu akan merindukan kalian.

11.Teman-teman Delima (Tajul Muttaqin, Desi Amalia, Astrian Widiyantri, Laila Wahdah, Mariah, dan Maryam Mahdalena) yang telah memberikan ruang kehangatan setiap kali penulis bersamamu, selalu memberikan mootivasi dan solusi kala Penulis Terjatuh, dan senantiasa selalu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. Thanks sahabat.

(9)

perjuangan di blantika music Indonesia serta telah memberikan support bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Jaya terus sahabat dilemma, karya-karyamu akan selalu kami nantikan. Tetaplah maju di blantika music Indonesia

Ciputat, 20 Mei 2011 18 Jumadil Tsani 1432

(10)

x

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian... 9

E. Review Studi Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan. ... 14

BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh ... 16

B. Nasab Dalam Hukum Islam ... 24

C. Hak dan Status Anak ... 29

D. Halangan Pernikahan ... 34

BAB III : DESKRIPSI KASUS A. Pihak Yang Berperkara ... 42

B. Duduk Perkara/Posita ... 42

C. Tuntutan/Petitum………. 46

D. Pertimbangan Hukum... 47

(11)

BAB IV : ANALISA KASUS TENTANG STATUS ANAK

A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata ... 51 1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 51 2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab ... 54 3. Status Anak Menurut Hukum Perdata ... 61 B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat

Pembatalan Perkawinan ... 68 C. Analisa Penulis ... 71

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 86

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah momen yang sangat penting dalam hidup seseorang, karena akan dikenang sepanjang hidupnya. Pernikahan menyatukan dua insan manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga akan menyatukan kedua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan, sehingga kedua keluarga besar tersebut bisa saling mengenal lebih dekat satu sama lain sekaligus dapat menjalin ikatan persaudaraan yang semula belum terikat menjadi lebih terikat.

Perkawinan merupakan sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai kehormatan tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.1

Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial dan sebagai makhluk sosial manusia sudah tentu harus mengadakan interaksi antar sesamanya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka akan muncul berbagai peristiwa hukum yang merupakan akibat dari interaksi tersebut. Salah satunya ialah perkawinan yang merupakan sanatullah yang umum yang berlaku bagi semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada seseorang yang sudah mampu untuk segera melaksanakannya.

1

(13)

Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT dan mengikuti sunah Rasul. Di samping mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup manusia juga melestarikan keturunan dan mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.2

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki- laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, perkawinan juga sudah menjadi sunnah yang berlaku dan dilakukan oleh Rasul dimana Beliau dijadikan tokoh teladan yang wajib diikuti jejaknya.3

Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.4

Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan seperti yang termuat dalam pasal 1 dan 2 yang didefinisikan dalam pasal 1 yaitu: “perkawinan

2

Ahmad Azhar Baasyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2000), Cet. 9, h. 13

3

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), Judul Asli Fiqhu Al- Sunnah, ( Bandung : Al -

Ma‟arif, 1990), Cet. VII, Jilid 6, h. 12

4

(14)

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam pasal 2 “perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang terdapat dalam pasal 2 dinyatakan perkawinan dalam Islam adalah “ aqad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqon ghalidzon) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (sakinah, mawaddah dan rahmah) dapat terwujud.6

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita jelaskan bahwa hakikat perkawinan adalah persekutuan hidup seorang pria dan wanita sangat kuat, kekal dan tidak terputuskan. Kesatuan sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat yang essensial dari perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan itu bukanlah sesaat saja akan tetapi sekali untuk seumur hidup.

5

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 114

6

(15)

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selama-lamanya sampai mati dari salah seorang suami istri. Inilah yang sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal – hal yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga sehingga dengan di putusnya sebuah perkawinan akan menjadi jalan keluar yang baik bagi dirinya maupun pasangan hidupnya.7

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir oleh beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain yang salah satunya adalah karena adanya sebab fasakh atau adanya pembatalan perkawinan demi hukum yang dilakukan di depan sidang pengadilan8.

Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan (Fasakh) telah diatur oleh UUP dan KHI. Adanya pengaturan mengenai pembatalan perkawinan selain dimaksudkan untuk penyempurnaan pengaturan ketentuan perkawinan juga untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul kemudian hari. Seperti halnya perceraian, pembatalan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian. Konsekuensi-konsekuensi tersebut

7

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana , 2007), h. 190

8

(16)

berupa hak waris mewarisi, perwalian, pemberian nafkah, terutama kedudukan anak/kejelasan nasab (keturunan).

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua. Sewaktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu orang tua sudah meningal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas. Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti, yaitu sebagai penyambung keturunan, investasi masa depan, harapan untuk menjadi sandaran di usia lanjut, dan modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 penulis hanya menemukan secara umum keterangan tentang kedudukan (Status) anak. Status anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Kemudian jika seorang anak dilahirkan di luar perkawinan maka ia hanya mempunyai nasab kepada ibunya, itu artinya bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan disebut anak luar kawin.

(17)

karena itu, dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusu, sisanya adalah 6 bulan sebagai masa minimal kehamilan.

Melihat ketatnya standarisasi kedudukan anak yang dinasabkan kepada bapaknya yang sah, maka fuqaha menetapkan tiga dasar yang digunakan untuk menentukan apakah anak sah atau tidak, yaitu: 1).berdasarkan tempat tidur yang sah (al-firasy shahih) yaitu adanya tali perkawinan yang sah antara ayah dan ibu semenjak mulai mengandung; 2). Adanya Pengakuan; dan 3). Saksi

Kemudian dihubungkan dengan pembatalan perkawinan karena perkawinan sedarah, notabenenya perkawinan itu dilarang oleh agama, tentu hal tersebut berakibat pula pada status anak yang dilahirkan. Apakah bisa disebut sebagai anak sah dari perkawinan sedarahnya atau anak luar kawin.

Keberadaan seorang anak merupakan hasil buah cinta kasih orang tuanya sehingga keberadaannya harus dihargai, dihormati, dan diakui yaitu dengan cara pemenuhan hak-hak atasnya, salah satunya adalah kejelasan status nasab kepada orang tuanya.

Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus status anak menjadi masalah urgen dalam kehidupan masyarakat. Di samping bersentuhan langsung dengan waris mewarisi terhadap harta orang tuanya, pemenuhan hak-hak atas dirinya setelah orang tuanya pisah, bahkan soal perwalian pada saat akan melangsungkan perkawinan jika anak tersebut perempuan.

(18)

bagaimana pandangan Majelis Hakim menanggapi dan menyelesaikan masalah di atas. Dengan demikian, perlu rasanya penulis mengangkat sebuah judul skripsi yang berkaitan dengan masalah tersebut. Judul skripsi ini adalah ”Status Anak Akibat pembatalan perkawinan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk)

B. Batasan Dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada kasus Status Anak Akibat Batalnya perkawinan Karena Orang tuanya memiliki Hubungan Nasab seibu dengan menitikberatkan pada putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk

2. Rumusan Masalah

(19)

ada ketidakjelasan tentang status anak yang dilahirkan dari pembatalan perkawinan sedarah.

Untuk memudahkan agar bisa dipahami rumusan masalah itu, maka penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut:

1) Bagaimana pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk terkait dengan status anak yang akibat pembatalan Perkawinan karena orang tuanya sekandung/seibu? 2) Bagaimana Status anak akibat batalnya perkawinan karena orang tuanya

memiliki hubungan nasab seibu?

3) Bagaimana Perbandingan Status Anak Sah Menurut KHI, Hadits Nabi Tentang Nasab dan Hukum Perdata?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang terkandung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk memenuhi tugas akhir menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syari‟ah

dan Hukum

b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk

(20)

d. Untuk mengetahui perbandingan Status Hukum yang dijelaskan dalam KHI, Hadits Nabi khususnya tentang nasab, dan HukumPerdata.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan Majelis Hakim terkait putusan tersebut.

b. Memberikan gambaran dan kejelasan hukum tentang status anak yang dilahirkan karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu

c. Memberikan pengetahuan secara jelas mengenai perbandingan status anak menurut KHI, Hadits Nabi, dan Hukum Perdata.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan social dengan cara mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.9

9

Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasinya,

(21)

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 sumber data, yaitu data primer dan data Sekunder.

Data Primer merupakan sumber data yang digunakan sebagai data pokok dalam penyusunan skripsi ini. Data Primer skripsi ini diperoleh dari sebuah wawancara dengan hakim agama yang berada di Pengadilan Agama Depok serta data-data dari Pengadilan Agama Depok berupa putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk.

Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Literatur-literatur yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, Kitab-kitab Fiqih, buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, Jurnal-jurnal, artikel-artikel, internet, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai menggunakan :

(22)

Fasakh di Pengadilan Agama Depok untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai judul skripsi ini

b. Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan cara mengkaji beberapa buku dan literatur-literatur lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini terutama dengan mempelajari dokumentasi putusan dari Pengadilan Agama Depok yang dijadikan bahan dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang dipakai dalam skripsi ini bersifat deskriptif analisis. Deskriptif analisis yaitu menggambarkan data seteliti mungkin yang digunakan sebagai objek penelitian, kemudian menganalisis isi putusan untuk melihat seberapa jauh para hakim menerapkan peraturan perundang-undangan dalam memutus sebuah perkara.

Adapun dalam teknik penulisannya penulis berpedoman kepada penulisan Skripsi yang diatur oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Review Studi Terdahulu

(23)

penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 3 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, dan satu artikel diantaranya sebagai berikut :

1. Judul : Hak Istri Pertama Terhadap Pembatalan perkawinan Kedua (Analisis Putusan di Pengadilan Agama Bogor No. 486/Pdt.G/2005/PA.BGR

Penulis : Sadatul Abadiyah/SAS/AKI/FSH/S1/2009

Dalam skripsi yang ditulis oleh Sadatul Abadiyah berusaha mengungkap sebuah permasalahan yang berkenaan dengan hak-hak istri untuk menggugat pembatalan perkawinan terhadap suaminya sebab suami melangsungkan perkawinan kedua tanpa izin istri pertama. Oleh karena itu, di sini penulis melihat bahwa dalam skripsi ini berusaha untuk menjelaskan kepada kita pelaksanaan pengajuan pembatalan perkawinan oleh istri pertama atas suaminya. Sedangkan pada skripsi yang penulis tulis yakni berkenaan dengan kedudukan yang akan dikenai pada anak sewaktu kedua orang tuanya mengalami pembatalan perkawinan terlebih pembatalannya untuk selamanya seperti dalam skripsi ini kedua orang tuanya ternyata masih memiliki hubungan nasab seibu.

2. Judul : Fasakh Nikah Dengan Alasan Salah Satu Riddah dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok)

(24)

Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Miladi membahas faktor-faktor yang menjadi sebab fasakh nikah akibat riddahnya salah satu pihak dan menganalisis data putusan Pengadilan Agama Depok sekaligus juga membahas penyebab fasakhnya perkawinan akibat riddah. Adapun dalam skripsi yang akan penulis tulis yaitu berkenaan dengan fasakh nikah atau pembatalan perkawinan akibat keduanya memilki hubungan nasab seibu yang dijelaskan dalam KHI dan UUP keduanya harus dibatalkan demi hukum. Oleh karena itu, di sini penulis berusaha menjelaskan tentang gambaran umum nasab yang boleh dan tidak boleh melakukan perkawinan, lebih lanjut mengenai status anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang masih ada hubungan nasab sehingga bisa diambil kejelasan hukum bagi anak tersebut.

3. Judul Artikel : Pembatalan Perkawinan Terhadap Perkawinan Sedarah Sumber : index.phplawskripsi.com

(25)

pada status kejelasan anak yang dilahirkannya setelah perkawinan dibatalkan demi hukum di depan sidang pengadilan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

Bab Pertama memuat Pendahuluan yaitu penjelasan yang erat sekali hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat dirincikan dengan bab-bab sebagai berikut yaitu mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat Penelitian, metode penelitian, review terdahulu, dan sistematika penulisan.

(26)

Bab Ketiga mencakup tentang deskripsi kasus yang akan dibahas dalam skripsi ini, yang termuat dalam salinan putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Dalam deskripsi kasus, ada beberapa hal yang penulis paparkan yaitu meliputi mengenalkan profil pihak-pihak yang berperkara, menggambarkan secara rinci duduk perkara, pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Majlis Hakim dan Keputusan yang ditetapkan oleh Majlis Hakim.

Bab Keempat berisi tentang analisis penulis terhadap data penelitian yang telah didapatkan, kemudian dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian. Dalam kasus analisis kita juga menafsirkan dan menginterpretasikan temuan penelitian ke dalam bingkai pengetahuan yang telah mapan, memodifikasikan teori yang ada, atau menyusun teori baru. Dalam bab ini, penjelasan yang dibahas dalam penelitian skripsi ini meliputi status anak menurut KHI, Hadits Nabi tentang Nasab, dan Hukum Perdata, Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan, Pandangan Majlis Hakim mengenai status anak akibat pembatalan perkawinan, serta Analisa Perkara dari Penulis setelah melakukan wawancara maupun studi kepustakaan.

(27)

16

TINJAUAN TEORITIS

A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh

Pembatalan Perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Yang di maksud dengan fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.1

Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab, menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).2 Secara istilah fasakh ialah :

,

.

“faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.3

1

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003). Hal. 141-142

2

Ibnu Manzur, Lisan al-„arab Juz III, (Qatar: Dar al-Fikr, 1994), hal. 45

3

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI,

(28)

Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak pengakad yaitu suami istri saja tetapi termasuk pihak ketiga. Sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena kehendak suami, kehendak istri, dan kehendak orang lain yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh berkisar pada dua kelompok sebab yakni sebelum akad nikah dan setelah akad nikah.4

Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah Jilid 8, menjelaskan bahwa memfasakh aqad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat - syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah atau karena hal - hal lain yang datang kemudian yang membatalkan kelangsungannya perkawinan.5

Menurut pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah menyebutkan “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.6

4

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995). Hal. 141

5

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, (Terj) Judul Asli Fiqhu al-Sunnah, (Bandung: Al -

Ma'arif, 1980) Cet. I ,hlm. 124 – 125

6

(29)

Menurut Muhammad Yahya Harahap, secara teoritis dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai adanya ikut campur tangan pengadilan.7 Hal ini dapat diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan.8

Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.9

Pengertian kata “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak

batal, yakni tergantung pada sebab-sebab yang timbul kemudian. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah, tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV tentang “Rukun dan Syarat Perkawinan” pasal 14 (c). kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20

Kompilasi Hukum Islam mengenai syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) “yang

7

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,(Medan: CV. Zahir Trading Co, 1975). Cet. 1. hal.74

8

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007) cet. Ke-38. Hal. 572

9

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen

(30)

bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Ayat (2)berbunyi “wali nikah terdiri dari : (a.) wali nasab, (b.) wali hakim. Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.10

Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, Akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia.

Pembatalan Perkawinan yang biasa kita kenal dengan istilah fasakh, tentunya memiliki beberapa faktor yang menyebabkan perkawinannya ini batal. Faktor-faktor penyebabnya tersebut antara lain sebagai berikut: 11

10

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman PelaksanaanPenyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Departemen Agama, 2006). Hal. 20-21.

11

(31)

1. Syiqaq, yaitu adanya pertengkaran antara suami istri secara terus menerus. Ketentuan syiqaq ini terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 35,

2. Adanya cacat, yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan baik ketahuan atau terjadinya setelah suami istri bergaul atau belum.

3. ketidakmampuan suami memberi nafkah 4. suami gaib (al-mafqud)

5. dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan

Sedangkan menurut ulama empat mazhab, faktor-faktor penyebab perkawinan dapat difasakh adalah sebagai berikut :12

Menurut mazhab Hanafi, hal-hal yang mengakibatkan fasakh nikah adalah pisah karena suami atau istri murtad, perceraian karena perkawinannya fasid/rusak, dan karena keduanya tidak sekufu. Sedangkan fasakh menurut Syafi‟I dan Hanbali adalah adanya cacat, karena adanya kesulitan yang dialami suami, karena li‟an, salah seorang suami istri itu murtad, perkawinan itu rusak, dan tidak

ada kesamaan status (kufu). Adapun fasakh berdasarkan mazhab Maliki adalah terjadinya li‟an, fasadnya perkawinan, salah seorang pasangan itu murtad.

12

(32)

Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan perkawinan, mereka harus melakukan akad nikah baru. Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak menghalangi bilangan thalaq.13

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) permasalahan pembatalan perkawinan dijelaskan secara rinci pada pasal 70 sampai 76. Dalam pasal 70 KHI dinyatakan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 14

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekali pun salah satu dari keempatnya sedang dalam masa iddah

2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya

3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi 3 kali talak oleh dirinya. kecuali jika bekas istrinya sudah menikah lagi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa

iddahnya

4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, sesusuan, sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan

13

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan. Hal. 253

14

(33)

menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu : berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping, bersemenda yaitu mertua, anak tiri, dan ibu atau ayah tiri, berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, dan bibi atau paman susuan, istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila : a). seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, b). perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud, c). perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suuami lian, d). perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, e). perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, f). perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.15

Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam KHI pasal 73 yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas, kebawah baik dari pihak suami atau pun istri; suami istri; pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

15

(34)

sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Adapun menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan yaitu setelah keputusan pengadilan Agama yang mempunyai ketetapan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan ( KHI Pasal 74 ayat 2).

Pembatalan perkawinan tentunya mempunyai akibat hukum yang ditimbulkan setelahnya. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28 ayat 2 dinyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a). anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, b). suami atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, dan c). orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a, dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan Iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. 16

Adapun dalam KHI akibatnya tersebut disebutkan dalam pasal 75 dan 76. Dalam pasal 75 disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam

16

(35)

pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

B. Nasab Dalam Hukum Islam

Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang, anak angkat tersebut dinasabkan kepada Nabi. Kemudian Nabi pun mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:



































































.





































































)

ا آا

:

5

-4

)

(36)

nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 4-5).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa majaala adiya-akum abna-akum. Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz udu-hum li abaihim.17

Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang siapa

menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu

bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.18

Dalam keterangan hadist di atas dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseoran

17

KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h. 385

17

(37)

menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. 19

Secara etimologis istilah nasab berasal dari bahasa arab “an-nasab” yang

berarti keturunan, kerabat, memberikan ciri dan menyebutkan keturunannya. Nasab juga dapat dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.

Ulama fikih mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan kesatuan darah. Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, sesuai dengan firman Allah SWT : 20

























)

:

25

/

54

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan musaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu yang Maha Kuasa (QS. Al-Furqan / 25: 54)..

19

Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan

Nasional, Hal.5 Makalah diaksesdari

www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada tanggal 3 Januari 2011

19

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, jilid 4, hal. 1304

(38)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa jaalahu nasabaa. Dan nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.21

Sedangkan secara terminologis, term nasab ada beberapa definisi diantaranya sebagai berikut:

1. Keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu,nenek, dan seterusnya), dan ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, bibi, dan seterusnya).22

2. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan.23

3. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah.

4. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan

21

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth), juz.II, h.12-23

22

Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 154

23 M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM,

(39)

berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang-orang-orang yang satu pertalian darah.24 5. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil

percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar’i.25

Para Ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya disebabkan karena kehamilan yang disebabkan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan tersebut dilakukan berdasarkan akad nikah maupun perzinaan.26 Adapun nasab dari seorang anak kepada bapaknya bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

1. melalui perkawinan yang sah; 2. melalui perkawinan yang fasid;

3. melalui hubungan senggama karena adanya syubhat an-nikah (nikah syubhat) yaitu berarti kemiripan, keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan.27.

24

Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . Hal. 7247

25

Ibid, hal. 7247

26

Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . hal. 7249

27

(40)

Adapun cara menetapkan nasab menurut Ulama Fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui tiga cara yaitu :28

1. Melalui nikah shahih atau fasid. Para Ulama sepakat bahwa nikah yang sah dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada bapaknya sekalipun pernikahan dari kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait

2. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak.

3. Melalui alat bukti. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani, alat bukti yang dibutuhkan adalah berupa pengakuan dua orang lelaki, atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Sedangkan menurut Ulama Mazhab Maliki, pengakuan itu dikemukakan dua orang lelaki saja. Adapun menurut mazhab Syafi’I, Mazhab Hanbali, dan Imam

Abu Yusuf adalah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh ahli waris yang mengaku. Dalam hubungan ini, para ulama sepakat bahwa kehadiran saksi untuk dapat membenarkan pengakuan tersebut, juga harus benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang akan dinasabkan.

C. Hak dan Status Anak

Arti Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan insan (manusia) yang kedua. 29 Anak adalah kelompok manusia muda yang

28

(41)

batas umurnya tidak selalu sama diberbagai Negara. Di Indonesia yang sering dipakai untuk menjadi batasan umur adalah anak usia 0-21 tahun. Dengan demikian, bayi, balita dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak. Pada umunya disepakati bahwa masa anak merupakan masa yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa.

Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Dan dalam Konvensi hak-hak anak, batasan umur anak adalah dibawah umur 18 tahun.30

Secara umum, periode pertumbuhan anak adalah dimulai sejak ia masih dalam kandungan atau disebut dengan pre-netral, yang artinya masa

29

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), cet V,h. 38

30

(42)

sebelum lahir sejak terjadi peristiwa konsepsi (pembuahan sel telur perempuan oleh sperma laki-laki) dan berakhir ketika sang bayi lahir ke dunia.

Asal periode dalam kandungan dapat dijelaskan dengan empat tahapan perkembangan:

1. Tahap al-Nuthfah yaitu pertemuan antara setetes sperma dengan ovum perempuan sehingga terjadi pembuahan;

2. Tahap al-„Alaqah yaitu perkembangan janin selanjutnya oleh pertumbuhan pembuahan antara sperma dan ovum yang menjadi zat (sesuatu) yang melekat pada dinding rahim;

3. Tahap al-Mudhghah yaitu Perpindahan alaqah ke mudhgah terjadi disaat sesuatu yang melekat (al-mudhghah al-„alaqat) berubah menjadi darah beku yang bercampur, berikutnya tampaknya tulang lalu tulang itu diselubungi oleh daging.

(43)

Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang.31

Oleh karenanya anak memerlukan cinta dan kasih sayang. Dalam Islam hak-hak dimulai sejak anak masih dalam kandungan hingga mencapai kedewasaan secara fisik maupun psikis. Hak-hak tersebut antara lain:

1. Hak mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dalam kandunan maupun setelah lahir

2. Hak mengetahui nasab (keturunan) 3. Hak menerima yang baik

4. Hak mendapatkan ASI dari ibu atau pengantinya 5. Hak mendapatkan asuhan

6. Hak mendapatkan harta warisan

7. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran 8. Hak mendapatkan perlindungan hukum32

Adapun menurut Wahbah al-Zuhailiy, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab (keturunan), hak radla (menyusui), hak hadhanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.

31

Ibrahim Amini, Anakmu, AmanatNya, (Jakarta: Al-Huda, 2006), cet I, h. 141

32

(44)

Salah satu hak-hak anak yang disebutkan Hukum Islam adalah hak mengetahui nasab. Hak mengetahui nasab merupakan suatu hak yang sangat penting bagi kehidupan seorang anak. Karena dengan hak ini, seorang anak dapat mendapatkan hak-hak yang lainnya dari kedua orang tuanya terutama bapak.

Seorang anak yang dinasabkan kepada bapaknya, secara otomatis dia mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan anak, ada sederatan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya.

Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab terhadap anaknya. Jika digolongkan hak anak dapat diketagorikan dalam empat kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia.

(45)

hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian atau pembatalan perkawinan tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak akan terputus sampai kapanpun, meskipun anak yang dihasilkannya dari perkawinan yang dilarang oleh agama, tetap saja ayah ibunya berkewajiban memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Lain halnya jika status anak yang dilahirkan adalah anak luar kawin atau anak zina, ia hanya mendapatkan pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu.

D. Halangan Pernikahan

Untuk memudahkan pencegahan terjadinya kekeliruan dalam sebuah perkawinan, yang mengakibatkan timbulnya kesyubhatan, maka di bawah ini adalah pemaparan hal-hal yang mengakibatkan perkawinan itu dilarang untuk dilakukan baik secara selamanya atau sementara antara seorang lelaki dan perempuan.

Secara garis besar, larangan kawin antara sesama pria dengan seorang wanita menurut Syara’ dibagi dua yaitu hubungan abadi dan halangan

(46)

karena ada hubungan nasab (keturunan), karena pembesanan (karena pertalian kerabat semenda), dan karena sesusuan.33

Larangan kawin karena sebab adanya keturunan (nasab), menurut al-Qur’an ada tujuh macam wanita yang termasuk golongan ini, ialah:

a. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya menurut garis lurus ke atas,

b. Anak perempuan, termasuk cucu dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah

c. Saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak atau seibu d. Bibi (saudara perempuan bapak) sekandung, sebapak, dan seibu. e. Bibi (saudara perempuan ibu) sekandung, sebapak, dan seibu

f. Anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara kandung, sebapak, seibu dan seterusnya ke bawah

g. Anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak, atau pun seibu dan seterusnya ke bawah.

Ketujuh macam wanita yang digolongkan di atas, termaktub dalam surat An-Nisa : 23.









































































33
(47)



























































23

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa :23).

Tidak diragukan lagi bahwa keharaman terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan yang disebutkan di atas memiliki hikmah yang sangat besar yaitu seorang ibu yang berhak atas anaknya berupa kebaikan, pelayanan, dan kesungguhan dalam memuliakannya dan begitu pun dengan seorang anak masih berhak mendapatkan cinta kasih orang tuanya, pemberian pendidikan, dan nafkah serta tidak akan terjadi pemutusan ikatan kekerabatan dan pertentangan.

(48)

menjadikan kekerasan hati diantara mereka. Suatu ketika hal tersebut membawa terputusnya hubungan kerabat, sehingga menikahi dengan mereka menjadi penyebab untuk memutus kerabat. Penyebab keharaman hukumnya juga haram.34

Ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa :”wanita-wanita yang

tidak boleh dinikahi karena hubungan kekeluargaan (nasab) adalah semua

keluarga yang dekat dengan lelaki (haram untuk dinikahi), kecuali anak

pamannya (baik dari pihak ayah atau ibu), dan anak bibinya (baik dari pihak

ayah atau ibu).35

Keempat kelompok di atas, diperbolehkan untuk dinikahi oleh Rasulullah Saw, dan itu tidak dikhususkan untuk nabi saja, namun berlaku juga untuk semua orang-orang beriman.36 Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT :











































































34

Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami, (Jakarta: Amzah, 2002), cet I, Hal. 122

35

Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri an-Nasab,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) cet 1, hal. 61

36

(49)





















50:33

Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (QS. Al-Ahzab/33:50)

Adapun mengenai perkawinan yang diharamkan untuk selamanya karena sebab semenda (musaharah) terbagi atas empat macam yaitu:37

a. Istri bapak, istri kakek dan seterusnya ke atas, baik kakek dari jalur bapak maupun ibu, tidak ada bedanya apakah sudah dicampuri atau belum

b. Istri anak dan istri cucu, baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun dari jalur anak perempuan

c. Ibu istri (mertua) yaitu ibu kandung dan ibu susuannya, baik wanita yang dikawini itu sudah dicampuri atau belum, namun haram kawin dengan mertua. Rasulullah Saw bersabda :”Barangsiapa mengawini seorang

wanita, baik sempat dicampurinya atau pun tidak, namun tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu”.38

37

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hal.179-180

(50)

d. Anak perempuan dari istrimu (anak tirimu) kalau istrimu itu sudah kamu campuri sesudah akad nikah yang sah ataupun yang fasid, akan tetapi kalau istrimu belum kamu campuri maka boleh kawin dengan anak perempuan itu.

Kemudian larangan kawin ketiga yang bersifat selamanya adalah karena adanya hubungan sesusuan. Dalam hubungan sesusuan seorang laki-laki atau perempuan yang mempunyai hubungan ini dilarang melakukan perkawinan, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw :

39

Diriwayatkan dariIbnu Abbas r.a. Dia telah berkata: Sesungguhnya Nabi Saw hendak dijodohkan dengan putrid Hamzah. Akan tetapi beliau bersabda:sesungguhnya dia tidak halal bagiku, dia adalah putrid saudara laki-laki sepersusuanku sendiri. Pengharaman disebabkan sepersusuan itu sama seperti pengharaman karena keturunan keluarga. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, jelas bahwa ibu susuan dan saudara perempuan susuan menduduki hukum yang sama dengan ibu dan saudara perempuan yang senasab tentang keharaman kawin dengan mereka, maksudnya kita diharamkan kawin dengan nasab (keturunan) kita yang berjumlah 7 orang sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa ayat 23. Maka

39

Ahmad Mudjab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Mutafaq Alaih

(51)

apabila kita sudah menyusu kepada perempuan lain, haram pula kita kawin dengan nasab ibu susu.40

Para Ulama sependapat bahwa keharaman susuan (radla) sama dengan keharaman nasab dalam urusan pernikahan. Apabila seorang wanita menyusukan seorang anak, haramlah atas anak tersebut dan atas anak-anaknya terhadap kerabatnya ibu susu itu, segala yang diharamkan atas anak itu dari jalan nasabnya.41

Akan tetapi, tidak diharamkan ibu susu terhadap ayah dari anak susunya dan terhadap saudara anak susunya. Juga tidak haram atas anak susu itu menikahi ibu saudara perempuannya (dari jalan susuan), jika ibu itu bukan ibu anak susu sendiri dan bukan pula istri dari ayahnya.42

Sedangkan halangan-halangan sementara antara lain sebagai berikut: a. Mengumpulkan dua orang wanita mahram

b. Istri yang sudah ditalak tiga c. Kawin dengan budak

d. Kawin lebih dari empat orang istri e. Kawin dengan istri orang lain

f. Haram kawin dengan wanita yang masih dalam masa iddah

40

A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram-Ibnu Hajar al-Asqalani, (Bandung: Dipenogoro, 2006) cet XXVII, Hal 510

41

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) cet II, Hal. 237

42

(52)

g. Kawin dengan wanita musyrik dan ahli kitab h. Dilarang kawin sedang dalam ihram43

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa halangan perkawinan pun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Baba VI pasal 39 sampai 44.

43

(53)

42

DESKRIPSI KASUS

A. Pihak Yang Berperkara

Pihak-pihak yang berperkara d

Referensi

Dokumen terkait

Satu penelitian menunjukkan bahwa respon inflamasi yang berhubungan dengan infeksi sistemik menjadi predisposi perkembangan respon autoimun dari sel T helper 1

[r]

Masih ada pula beberapa karya ilmiah yang salah dalam penulisan kata, ejaan serta aturan atau kaidah yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saat ini, aplikasi

Rencana Kerja yang disingkat Renja mempunyai fungsi penting dalam sistem perencanaan daerah, hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana melihat kode-kode sosial yang terdapat dalam tiap rekonstruksi sosial masyarakat itu sendiri, di mana kode-kode sosial ini

Mata Pelajaran : 21C Seni Budaya Seni Rupa Lokasi Ujian : SMK NEGERI 1 LINGSAR Tanggal Ujian : 2015-12-16,

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”