• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat pembatalan nikah : studi putusan pengadilan agama Probolinggo No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat pembatalan nikah : studi putusan pengadilan agama Probolinggo No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh: Kurota Ayun NIM. C01213043

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABSTRAK

Dalam hal ini, penulis mencoba menguraikan beberapa hal mengenai status perwalian anak akibat pembatalan nikah yang menggunakan yuridis (peraturan perundang-undangan yang berlaku) sebagai pisau analisa utama, sekalipun tidak menutup kemungkinan menggunakan beberapa pendapat ulama fikih klasik, seperti: Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob)”.

Pembatalan nikah dalam perkara Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob dilatarbelakangi oleh adanya kekeliruan wali saat akad nikah dilangsungkan, dengan menggunakan wali yang tidak berhak (ayah tiri dari mempelai perempuan). Hal ini juga didukung oleh adanya berkas dari pihak Pegawai Pencatatan Nikah di KUA (Kantor Urusan Agama) yang dengan sengaja memanipulasi data dalam kutipan akta nikah. Sehingga pernikahan ini harus dibatalkan sesuai dengan pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Hal ini tentu berdampak pada status anak akibat dari pembatalan nikah, namun peneliti hanya fokus terhadap status perwalian (nikah) anak tersebut (jika perempuan), sesuai dengan pendapat imam madzhab (kecuali Hambali) yang menjadikan wali sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 28ayat (2) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 75 poin b dan pasal 76 pun telah dijelaskan mengenai status anak akibat pembatalan nikah, namun berbeda dengan pandangan hakim dalam salah satu pertimbangan dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/PA.Prob yang menyatakan bahwa “jika diketahui anak dari pemohon I dan pemohon II adalah perempuan, maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim”

(7)

viii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN………..…………. iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II PEMBATALAN NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Nikah ... 20

(8)

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

DALAM PERKARA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

PROBOLINGGO NO. 154/PDT.G/2015/PA. PROB

A. Kewenangan (Kompetensi) Pengadilan Agama Probolinggo ... 48 B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No.

154/Pdt.G/2015/PA.Prob ... 50

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam... ... 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.1

Oleh karena itu, jika dapat disimpulkan dari kedua pasal ini yakni

bahwa perkawinan adalah sebuah hubungan baru antara seorang pria dan

wanita dalam membentuk suatu keluarga yang salah satunya bertujuan untuk

melestarikan keturunan dengan didasari ikatan yang kuat (mitsaqan

ghalidhan) dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan. Maka, dalam hal

ini jika syarat dan rukun dari perkawinan belum terpenuhi (atau adanya

kesalahan; kekeliruan wali), maka perkawinan dapat dibatalkan demi hukum.

Akibat (konsekuensi) hukum dari pembatalan nikah dalam

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam)

tidak banyak dijelaskan, namun hal yang pasti yakni putusnya hubungan

antara suami isteri yang telah melaksanakan akad nikah atau bahkan memiliki

1

(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id anak setelahnya. Namun hal ini tidak berdampak (tidak berlaku surut)

terhadap status anak (dalam hal hubungan keperdataan).

Penentuan nasab anak akibat nikah fasid (perkawinan yang dibatalkan)

memiliki keterkaitan dengan status perwalian (dalam hal perkawinan) anak

akibat pembatalan nikah.Sehingga perlu dilakukannya penentuan nasab karena

dapat menjaga kelangsungan hidup bagi anak itu sendiri.

Dengan demikian, penentuan nasab dalam pernikahan fasid disyaratkan

tiga hal: Pertama, suami termasuk orang yang mampu menghamili, yaitu

dengan usia yang sudah baligh menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Atau

murahiq menurut Hanafiyyah dan Hanabilah.Kedua, sudah jelas melakukan

hubungan suami isteri atau khalwat (menurut Malikiyyah).Sedangkan ulama

Hanafiyyah hanya mensyaratkan dukhul.Ketiga, jika pihak wanita melahirkan

setelah enam bulan atau lebih dari hari dukhul.Jika istri melahirkan anak

sebelum lewat enam bulan dari dukhul, nasab anak tidak diikutkan pada pihak

lelaki.2

Sederhana bahasa dari pendapat para imam mazhab tentang penentuan

nasab ini adalah bahwa nasab anak dari pernikahan orang tuanya yang

(setelah) dibatalkan oleh Pengadilan Agama tergantung pada masa kehamilan

si wanita. Perbedaan tentang nasab anak akan membawa pada perbedaan

tentang hak perwalian dalam pernikahan anak (apabila perempuan) ketika ia

hendak menikah di kemudian hari. Karena jika nasab diturunkan pada ibunya,

maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim karena keturunan dari ibu

2

(11)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id tidak berhak menjadi wali. Begitu pula sebaliknya, jika nasab diturunkan pada

ayah, maka secara langsung ayah berhak menjadi wali nasab (terhadap

anak)nya.

Adapun hal yang berkaitan dengan hak-hak anak (salah satunya adalah

memperoleh status perwalian yang jelas) akibat dibatalkannya pernikahan

kedua orang tuanya (akibat kekeliruan wali) oleh Pengadilan Agama ini pun

ada perbedaan pendapat tentang nasab anak (yang menentukan hak walinya).

Perwalian adalah pengaturan orang dewasa terhadap urusan orang yang

“kurang” dalam hal kepribadian dan hartanya. Menurut ulama Hanafiyah,

perwalian adalah melaksanakan ucapan atas orang lain, baik ia setuju maupun

tidak. sedangkan ulama madzhab bersepakat, selain Hanafiyah bahwa wali

adalah salah satu rukun akad nikah. Sedangkan ia (Hanafiyah) berpendapat

bahwa wali hanyalah syarat sahnya pernikahan bagi anak kecil, orang gila, dan

budak.3

Namun demikian, perwalian yang diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mulai dari pasal 50 hingga pasal 54 terkesan

tidak membahas tentang perwalian dalam lingkup perkawinan. Sebagaimana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dianggap sebagai suatu

kepengurusan terhadap harta kekayaan dan pengawasan terhadap pribadi

seorang anak yang belum dewasa sedangkan anak tersebut tidak berada di

bawah kekuasaan orang tua.4

3

Ibid.,82

4

(12)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Hal ini (status perwalian anak akibat pembatalan nikah) tentu sangat

memerlukan ijtihad hakim,selaku pihak yang berwenang dalam

mempertimbangkan, menetapkan dan memutuskan suatu perkara yang belum

ada atau belum terang (jelas) hukumnya.

T.M. Hasbi As-Shiddiqie menyatakan bahwa ijtihad ialah memberikan

segala kesanggupan akal dalam mengistinbatkan (merangkum)hukum dari

dalil-dalilnya dengan mempergunakan penyelidikan yang menyampaikan kita

pada hukum itu. Sederhananya, ijtihad adalah proses pemikiran ulang dan

penafsiran ulang hukum secara independen.

Selain itu, ijtihad juga perlu dilakukan karena mengingat banyaknya

persoalan barudan kesadaran hukum masyarakat telah sejalan dengan

kehidupan manusia, terutama jika hal itu dikaitkan dengan adanya suatu

peristiwa hukum yang dilakukan manusia belum ada hukumnyadalam

sumber-sumber hukum islam itu sendiri; al-qur’an dan hadits.5

Mengenai kebebasan hakim untuk mencari dan menemukan hukum

terkait erat dengan pasal 56 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dan pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut mengandung asas hakim atau

pengadilan tidak boleh menolak perkara dengan dalih hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.6

5

Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika:1995), 136

6

(13)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Sedangkan dalam pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob tentang perkara pembatalan nikah, hakim

menetapkan hal yang berbunyi “Menimbang, bahwa dengan dibatalkannya

perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tersebut, maka sesuai ketentuan pasal

28 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo

pasal 75 huruf b dan pasal 76 KHI (Kompilasi Hukum Islam) bahwa

pembatalan perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II tidak memutuskan

hubungan keperdataan antara seorang anak perempuan yang bernama si

fulanah (anak perempuan) dengan orang tua Pemohon I dan II, kecuali dalam

hal wali nikah bagi anak tersebut sesuai ketentuan pasal 28 ayat (1) UUP No.1

Tahun 1974 jo pasal 74 ayat (2) KHI, yang pada pokoknya bahwa pembatalan

perkawinan tersebut berlaku sejak tanggal pernikahan Pemohon 1 dan

Pemohon II , oleh karena itu jika pada saatnya nanti anak perempuan

Pemohon I dan II tersebut menikah wali nikahnya adalah wali hakim.”

Isi pertimbangan hukum dari hakim dalam menetapkan putusan

perkara pembatalan nikah No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob ini ada beberapa hal

yang dirasa masih memiliki persoalan dan perlu ditinjau ulang melalui

peraturan perundang-undangan (yuridis) yang berlaku di Pengadilan Agama,

beberapa darinya seperti Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam.Karena dasar hukum dari pertimbangan ini pun tidak

menyatakan secara eksplisit tentang status keperdataan yang dikecualikan

(14)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti terkait status

perwalian anak akibat pembatalan nikah dengan ditijau dari yuridis (peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Pengadilan Agama) dan dasar

pertimbangan hukum dari hakim yang ditetapkan dalam putusan perkara

pembatalan nikah No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Banyaknya kekurangjelasan hukum tentang akibat hukum dari

pembatalan nikah membuat problematika yang berkaitan butuh kembali

diuraikan secara mendalam (salah satunya adalah status perwalian anak). Hal

ini mampu membuka pintu ijtihad bagi hakim selaku yang berwenang dalam

mempertimbangkan, menetapkan, dan memutuskan perkara yang belum

terbahas secara eksplisit dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan maupun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi dasar

hukum dalam penanganan perkara perdata di Pengadilan Agama, salah

satunya yakni terkait pembatalan nikah dan status perwalian anak akibat

pembatalan nikah.

Masalah yang teridentifikasi oleh peneliti yaitu berhubungan dengan:

1. Akibat (konsekuensi) hukum terhadap pembatalan nikah

2. Pandangan hakim dalam hal kedudukan dan status perwalian anak akibat

pembatalan nikah.

(15)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 4. Analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat pembatalan nikah

dalam pandangan hakim di putusan No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

Dalam hal ini peneliti perlu kirannya memberikan batasan-batasan

supaya dalam pembahasan status perwalian anak akibat pembatalan nikah ini

tidak terlalu meluas.

Adapun yang menjadi batasan masalah mengenai status perwalian

anak akibat pembatalan nikah sebagai berikut:

1. Deskripsi tentang pandangan hakim dalam hal kedudukan dan

perwalian anak akibat pembatalan nikah.

2. Deskripsi status perwalian anak akibat pembatalan nikah dalam

pandangan hakim di pertimbangan putusan perkara pembatalan nikah

No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob ditinjau dari yuridis.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana status perwalian anak akibat pembatalan nikah dalam

pandangan hakim Pengadilan Agama Probolinggo?

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat

pembatalan nikah di dalam putusan Pengadilan Agama Probolinggo

(16)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id D.Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah diuraikan dalam rumusan masalah, tidak

mengingkari kenyataan bahwa kajian ini terpaut dengan kajian-kajian yang

terdahulu. Namun hal ini tidak menjadikan kajian ini hanya melakukan

pengulangan. Kajian ini diarahkan pada menjelaskan tentang bagaimana status

perwalian anak akibat pembatalan nikah dengan pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob. Menurut pengamatan

penulis, karya ilmiah dengan substansi yang sama, khususnya di Fakultas

Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Islam Prodi Hukum Keluarga belum

ditemui. Namun penulis mengakui sudah ada banyak karya-karya ilmiah para

peneliti terdahulu baik berbentuk buku-buku baik dalam bahasa asli maupun

terjemahan, jurnal atau makalah telah membahas atau menyinggung hal ini.

Diantaranya seperti yang tersebut adalah:

Pertama, Zakiyatus Soimah yang membahas tentang Dampak

Pembatalan Perkawinan Akibat Wali Yang Tidak Sebenarnya Terhadap Anak

dan Harta Bersama Menurut Hakim Pengadilan Agama Kediri. Penelitian ini

menghasilkan penguatan hukum yang berupa penyataan (pendapat) hakim

Pengadilan Agama terhadap status anak dan harta bersama akibat pembatalan

nikah yang mengacu pada Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

(17)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id yang menyatakan bahwa hukum tidak berlaku surut setelah pembatalan nikah

disahkan di hadapan Pengadilan Agama.7

Kedua, Fithna Nurul Laily membahas tentang Analisis Hukum Islam

Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik No.0051/Pdt.G/2010/PA/Gs

Tentang Wali Adlal Karena Perceraian Kedua Orang Tua. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa menyelesaikan perkara di pengadilan

agama gresik, hakim mengabulkan permohonan pemohon dengan calon

suaminya dikarenakan alas an seorang wali (ayah kandungnya) telah bercerai

dengan ibu kandungnya. Sebagaimana dalam KHI pasal 39, 40, 41, 42, 43, dan

44 tentang larangan perkawinan bahwa alasan perceraian kedua orangtuanya

tidak termasuk faktor penghalang pelaksanaan perkawinan.8

Ketiga, Nur Shoimah membahas tentang Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Pemalsuan Identitas Wali Nikah Di KUA Wonocolo Surabaya.

Penelitian ini menghasilkan beberapa hal, antara lain adalah menyatakan

bahwa salah satu faktor dari adanya perkara ini adalah unsur kesengajaan dari

pihak kepala KUA sehingga data yang ada dapat dipalsukan. Dalam hal ini,

perkawinan menjadi batal demi hukum karena tidak terpenuhinya rukun (wali

yang berhak) atas perkawinan tersebut.9

7

Zakiyatus Soimah, “Dampak Pembatalan Perkawinan Akibat Wali Yang Tidak Sebenarnya Terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut Hakim Pengadilan Agama Kediri”, (Skripsi: IAIN Sunan, Surabaya, 2015)

8

Fithna Nurul, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik

No.0051/Pdt.G/2010/PA/Gs Tentang Wali Adlal Karena Perceraian Kedua Orang Tua”, (Skripsi: IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013)

9

(18)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Keempat, Nur Afifah membahas tentang StudiAnalisis Terhadap

Putusan Pengadilan Agama Jombang Tentang Status Anak Dari Pembatalan

Perkawinan No.1433/Pdt.G/2008/PA.Jbg. penelitian ini pun menghasilkan

pokok isi yang sama dengan peneliti yang pertama, yakni sesuai

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 28 ayat (2) dan KHI (Kompilasi

Hukum Islam) pasal 75 dan pasal 76, menyatakan bahwa hukum tidak berlaku

surut setelah pembatalan nikah disahkan di hadapan Pengadilan Agama, salah

satunya adalah dalam hal status anak.10

Adapaun kajian yang dibahas pada skripsi ini berbeda dengan

penelitian yang lainnya, dimana penulis akan membahas tentang “Status

Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah (Studi Putusan No.

154/Pdt.G/2015/PA.Prob)”.Dalam penelitian ini, penulis lebih fokus pada

masalah kedudukan dan status perwalian (nikah) anak dari kedua orangtua

yang dibatalkan pernikahannya oleh Pengadilan Agama akibat kekeliruan

wali. Yang dianalisis melalui yuridis (peraturan perundang-undangan yang

berlaku di PA) antara lain seperti: Hukum perkawinan yang ada dalam

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada Pasal 28 ayat (2) dan

KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang tertera pada Bab XI tentang Batalnya

Perkawinan Pasal 75 dan Pasla 76 lebih rincinya dengan dasar pertimbangan

hakim dalam menetapkan putusan No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob, yang pada

intinya memiliki pengecualian dalam hal status perwalian anak.

10

(19)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa peneliti dalam hal ini

masih baru, belum pernah dibahas dan bukan merupakan duplikasi atau

pengulangan dari karya ilmiah terdahulu karena segi yang menjadi fokus

kajian serta subjek dan objeknya memang berbeda.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dalam penelitian ini, sebagai

berikut:

1. Mendeskripsikan kedudukan dan status perwalian anak akibat pembatalan

nikah.

2. Menganalisis berdasarkan yuridis (Undang-Undang Perekawinan No.1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) tentang status perwalian anak

akibat pembatalan nikah dengan dasar pertimbangan hukum dari hakim

dalam menetapkan putusan No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

hal-hal sebagai berikut:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata islam,

menambah wawasan bagi pembaca pada umumnya, sebagai sarana bagi

(20)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id langsung sehingga dapat mengetahui tentang status perwalian anak akibat

pembatalan nikah.

2. Secara Praktis, dapat digunakan sebagai masukan yang membangun dan/

atau membuka wacana bagi para praktisi hukum (khususnya) dalam

menangani perkara yang berkaitan atau sebagai acuan tentang status

perwalian anak akibat pembatalan nikah. Serta sebagai bahan referensi

dalam pentingnya suatu pandangan terhadap status perwalian bagi anak

akibat pembatalan nikah, apalagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan

hukum positif dan hukum islam. Hal ini juga bermanfaat bagi peneliti

untuk dijadikan bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut

terhadap penelitian yang sejenis.

G.Definisi Operasional

Untuk menghindari terhadap penyimpangan pemahaman terhadap skripsi

ini, maka perlu adanya penjelasan yang dapat dipahami beberapa istilah

sebagaimana berikut:

1. Analisis Yuridis: Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri berdasarkan hukum positif yang diatur dalam

perundang-undangan; Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam).

2. Status Perwalian: Keadaan atau kedudukan dalam hubungan perwalian

(21)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 3. Pembatalan Nikah: Perkawinan yang dibatalkan demi hukum, yang sah

setelah adanya putusan dari Pengadilan Agama.

4. Studi Putusan: Mempelajari atau menelaah kembali pandangan hakim

dalam pertimbangan putusan perkara pembatalan nikah

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

H.Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Supaya dalam pembahasan ini dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis

membutuhkan data yang berkaitan dengan status perwalian anak akibat

pembatalan nikah. Diantaranya berupa:

a. Pandangan hakim Pengadilan Agama Probolinggo dalam putusan

perkara pembatalan nikah No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

b. Tentang batalnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974

c. Tentang kedudukan anak dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974

d. Tentang rukun dan syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum

Islam

e. Tentang batalnya perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, adalah data yang

(22)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id a. Sumber primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari

literatur yang terkait.11 Dalam menganalisisterhadap status perwalian anak akibat pembatalan nikah, hal ini mampu diuraikan dengan

menggunakan putusan Pengadilan Agama Probolinggo

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob dan dengan wawancara kepada hakim yang

terkait, yang mempertimbangkan putusan ini dengan dasar hukum atau

hasil ijtihadnya sebagai hakim yang berwenang dalam memeriksa,

menetapkan, dan memutus perkara pembatalan nikah

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

b. Sumber sekunder yaitu, bahan pustaka yang berisikan informasi tentang

bahan primer untuk menunjang sumber hukum primer.12 Sehingga dapat membantu menganalisis dan memahami serta memberikan penjelasan

mengenai sumber data primer. Dalam hal ini sumber hukum ini berupa

buku-buku maupun kitab-kitab yang berhubungan dengan permasalahan

yang ada seperti:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2) KHI (Kompilasi Hukum Islam)

3) Terjemahan Al-Fiqhu Al-Islam Wa Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili

4) Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah

oleh Mardani

5) Hukum Islam Kontemporer oleh Mustofa dan Abdul Wahid

6) Asas-Asas Hukum Islam oleh Moh. Idris Ramulyo

11Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 34.

(23)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 3. Teknik Pengumpulan Data

Dilihat dari segi caranya, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

a. Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

secara langsung kepada responden selanjutnya jawaban responden

dicatat atau direkam.13 Dalam penelitian ini wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dengan cara berdialog bersama hakim yang

memberikan pertimbangan (hasil ijtihad)nya dalam putusan perkara

pembatalan nikah No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob. Dalam penelitian ini

penulis melakukan kontak langsung atau melakukan wawancara sendiri

dengan sumber data. Agar pertanyaan yang disampaikan mengarah pada

sasaran yang diharapkan, maka penulis menggunakan pedoman

wawancara.14

b. Dokumentasi, Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal

dari catatan yang berkaitan dengan penelitian ini. Sehingga penulis

dapat mempelajari, mengkaji, memahami, mencermati dan

menganalisis pertimbangan hukum dari hakim dalam memutuskan

perkara pembatalan nikah No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob berdasarkan

data yang diperoleh tersebut.

c. Pustaka, penulis melakukan penelaahan terhadap berbagai buku,

literature, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan

13

Rianti Ramli, “teknik pengumpulan data”, dalam http://kamriantiramli.wordpress.com/teknik-pengumpulan-data.html, diakses pada 13 Oktober 2016.

14

(24)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id masalah yang ingin dipecahkan. Sehingga penulis mengumpulkan

buku-buku yang dianggap berkaitan dengan hal yang diteliti. Maka dari

itu penulis mengumpulkan beberapa literature, seperti: Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum

Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Acara Perdata di Peradilan

Agama dan Mahkamah Syar’iyah, terjemahan kitab Fiqhu al-Islam wa

Adillatuhu, dan lain yang belum tersebutkan.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui

tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan

memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi

kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan

serta relevansinya dengan permasalahan.15

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa

sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan

masalah.16

5. Teknik Analisis Data

Setelah data yang diperlukan diperoleh dan dikumpulkan, maka

perlu suatu bentuk teknik analisis data yang tepat. Penganalisaan data

merupakan tahap yang penting karena ditahap ini, data yang diperoleh akan

15

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),

hal. 91.

(25)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id diolah dan dianalisis guna memecahkan dan menjelaskan masalah yang

dikemukakan. Untuk analisis data dalam penelitian ini, penulis

mempergunakan analisis kualitatif untuk membuat catatan-catatan dan

menyusun rangkuman yang sistematis. Sedangkan teknik analisa data yang

digunakan adalah sebagai berikut:

a. Deskriptif-Analitis yaitu suatu yang bertujuan untuk membuat

deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.17 Analisis yang paling mendasar untuk menggambarkan atau

mendiskripsikan data secara umum, jadi dalam penelitian ini

Deskriptif-Analitis digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta

tentang apa yang menjadi dasar hukum pandangan hakim di dalam

mempertimbangkan putusan perkara pembatalan nikah

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob yang dianalisis menggunakan yuridis

(hukum yang berlaku).

b. Pola Pikir Deduktif adalah sebuah pola pikir yang berangkat dari

wacana terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Bab IV Tentang

Batalnya Perkawinan Pasal 28 ayat (2) dan KHI (Kompilasi Hukum

Islam) Bab XI Tentang Batalnya Perkawinan Pasal 75 dan Pasal 76

dengan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob, bahwa jika anak perempuan dari pasangan

suami istri (yang nikahnya dibatalkan) nantinya menikah, maka yang

17

(26)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan terkait benar atau tidaknya status perwalian anak akibat

pembatalan nikah ini dapat menggunakan sang ayah sebagai wali nasab

atau mungkin harus menggunakan wali hakim nantinya.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan, maka kajian ini ditata dengan

sistematika sebagi berikut:

Bab pertama berupa pendahuluan untuk mengarahkan argumentasi

dasar penelitian tentang analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat

pembatalan nikah dan mengantarkan pembahasan skripsi secara menyeluruh.

Pendahuluan ini berisi latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

definisi operasional dan metodologi penelitian yang diterapkan serta

sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang pembatalan nikah dan akibat hukumnya.

Pertama, gambaran umum tentang pembatalan nikah dan akibat hukum dari

batalnya pernikahan. Pembatalan nikah dan akibat hukumya diuraikan dengan

menggunakan tinjauan yuridis (peraturan perundang-undangan yang berlaku)

yakni, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam dan serta tinjauan hukum islam berupa pendapat dari para imam

(27)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id akibat pembatalan nikah yang juga diuraikan dalam tinjauan yuridis dan

hukum islam (fikih).

Bab ketiga berisikan tentang status perwalian anak akibat pembatalan

nikah yang meliputi deskripsi putusan Pengadilan Agama Probolinggo No.

154/Pdt.G/2015/PA.Prob (meliputi: duduk perkara, dasar pertimbangan, dan

amar putusan) Dan dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan

Pengadilan Agma Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015/PA.Prob disertai dengan

hasil wawancara kepada hakim yang berwenang dalam memeriksa,

menetapkan, dan memutuskan perkara tersebut beserta dokumen (yang berisi:

alat bukti, BAP, dan lain) yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Bab keempat berisi analisis tentang status perwalian anak akibat

pembatalan nikah. Yang ditinjau melalui pendekatan yuridis (Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) atas

pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan perkara pembatalan nikah

No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

Bab kelima merupakan bab terakhir berisi mengenai kesimpulan-

kesimpulan dan jawaban singkat dari rumusan masalah dan saran-saran yang

sesuai dan bermanfaat bagi penelitian berikutnya pada khususnya maupun

bagi masyarakat pada umumnya.

(28)

20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

PEMBATALAN NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Nikah 1. Pengertian Pembatalan Nikah

Menurut bahasa kata fasakh berasal dari bahasa Arab fasakha-

yafsakhu-faskhan yang berarti batal atau rusak.1 Bila kata ini

dihubungkan dengan hal perkawinan mempunyai arti membatalkan

perkawinan atau merusak perkawinan. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq

dalam kitab fiqih as-sunah jilid 2 (dua)nya secara istilah mendefinisikan

fasakh yaitu membatalkan dan melepaskan hubungan ikatan pertalian

antara suami dan istri.2

Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda, kendati

hukumnya sama antara nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry

menyatakan bahwa nikah al-fasid adalah nikah yang tidak memenuhi

salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan nikah al-batil adalah

apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan al-batil

adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi undang-undang

perkawinan nikah al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan

dan bukan pada pencegahan.3

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), 316.

2

Arif Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya, UIN Sunan Ampel press: 2014), 100

3http//darmansyahteknisicomp.wordpress.com/2012/04/06/pemmbatalan-perkawinan/diakses

(29)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Adapun pendapat dari beberapa imam mazhab fikih terkait hal

pengertian pembatalan nikah yaitu: Menurut ulama Hanafiyah,

pernikahan yang rusak adalah pernikahan yang tidak memenuhi syarat

sahnya nikah.Sedangkan menurut ulama Malikiyah, pernikahan yang

tidak sah atau cacat adalah pernikahan yang terjadi karena rusak (cacat)

dalam salah satu rukun atau dalam salah satu syarat sahnya pernikahan.

Dan menurut ulama Syafi’iyah, pernikahan yang batal adalah

pernikahan yang tidak sempurna rukunnya. Sedangkan pernikahan yang

fasid (rusak) adalah pernikahan yang tidak sempurna syaratnya dan

terdapat cacat setelah terlaksana.4

Secara umum, batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya

perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu

rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”.

Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan

fasakh. Sedangkan yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah

memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri.

Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya

karena talak. Sebab talak masih ada pengklasifikasiannya, seperti: talak

raj’i dan talak ba’in (dengan akibat hukum yang berbeda). Adapun fasakh,

baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat

4Wahbah Zuhaili,Terjemahan Kitab Fiqhu Al-Islam Wa Adillatuhu,Abdul Hayyie al-Kattani,Jilid

(30)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dan rukun yang tidak terpenuhi, ia harus mengakhiri perkawinan seketika

itu.5

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam

Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau

berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan

perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.6

Dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa fasakh nikah adalah

suatu bentuk perceraian yang diputus oleh hakim karena adanya hal-hal

yang dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami istri

yang menjadikan tujuan pernikahan tidak dapat terwujud. Adakalanya

disebabkan terjadinya kecacatan atau kerusakan pada akad nikah itu

sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang di kemudian

sehingga menyebabkan akad pernikahan tersebut tidak dapat dilanjutkan.7 2. Sebab-Sebab Pembatalan Nikah

Dalam hal ini, sebab-sebab terjadinya pembatalan nikah akan

diuraikan melalui perspektif: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Fikih (Hukum Islam) yang mana

mengatur terkait pembatalan nikah.

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

5Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008),141- 143

6Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), 189

(31)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan ialah

segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk

oleh umat Islam dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim

di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan

perkara perkawinan, baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan

perundang-undangan negara atau tidak. Adapun bab yang menjelaskan

tentang pembatalan perkawinan tertera dalam Bab IV tentang

Batalnya Perkawinan yaitu:

Pasal 22 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

Dalam pasal ini, jelas menyatakan bahwa jika diketahui

bahwa ada salah satu dari beberapa syarat-syarat dalam pernikahan

tidak terpenuhi, maka pernikahan dapat dibatalkan karena hukum.

Pasal 26 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(32)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang dan harus diperbaharui supaya sah.8

Pasal 26 ayat (1) ini menjelaskan bahwa ada beberapa

sebab-sebab dari dibatalkannya perkawinan, seperti: Petugas Pencatatan

Nikah yang tidak sah atau tidak memiliki wewenang (ilegal), wali

nikah yang tidak berhak (seperti dalam perkara ini, yang menjadi wali

nikah adalah ayah tiri dari mempelai perempuan), padahal hal itu jelas

tidak dapat dibenarkan, atau saat tidak adanya dua orang saksi dalam

suatu proses berjalannya akad atau adanya saksi namun tidak

memenuhi syarat sebagai saksi.

Adapun penjelasan dari ayat (2) menjelaskan bahwa hak akan

melakukan pembatalan nikah dapat batal (gugur) ketika mereka

(suami dan isteri) mampu hidup serumah sebagai sepasang

suami-isteri, yang dibuktikan berupa akta nikah namun lalu diperbarui

dengan yang sah.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Secara historis, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan

kegiatan menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai

pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan

Peradilan Agama. Yang merupakan berbagai pendapat dari ulama

fikih (imam madzhab) dalam kitab-kitab yang biasa digunakan

sebagai rujukan atau refrensi oleh para hakim yang ada dalam

8

(33)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Pengadilan Agama. Yang ditetapkan berlakunya melalui Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991.9

Dalam hal ini, pembatalan nikah diatur dalam Bab XI tentang

Batalnya Perkawinan dengan beberapa pasal, antara lain:

Pasal 70 dalam Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak raj’i;

b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga

talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 undang-undang no. 1 tahun 1974, yaitu:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tirinya;

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri atau istri-istrinya.

Pasal ini menjelaskan tentang beberapa sebab dapat

dibatalkannya perkawinan, seperti: suami yang melaksanakan

perkawinan dengan wanita ke lima (padahal ia telah memiliki empat

orang isteri sekalipun salah satu dari mereka sedang melaksanakan

9Dakwatul Chairah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya, UIN Sunan Ampel press:

(34)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id iddah dari talak raj’i), seorang suami yang menikahi kembali bekas

istri yang telah dili’annya (meskipun dengan alasan karena

penyesalan), seorang suami yang menikahi kembali bekas istri yang

pernah dijatuhi talak raj’i (kecuali jika ia (istri) menikah kembali

dengan laki-laki lain lalu diceraikan) dalam hal ini mereka bisa

menikah kembali., seorang laki-laki yang menikahi wanita yang

memiliki hubungan saudara, semenda, atau sepersusuan dengan garis

yang telah ditentukan, dan laki-laki yang menikahi saudara

kandungnya atau bibi atau kemenakan dari istri/ istri-istrinya.

Pasal 71 dalam Kompilasi Hukum Islam

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih

menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali

yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal ini menjelaskan tentang dapat dibatalkannya suatu

pernikahan apabila: suami yang berpoligami tanpa seizin dari

pengadilan (sekalipun si istri mengizinkan secara lisan) hal ini tidak

dapat dibenarkan karena poligami pun harus melalui pertimbangan

hukum, perempuan yang dikawini ternyata masih memiliki seorang

suami (sekalipun diketahui suami itu sedang sakit), jika diketahui

(35)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dalam talak raj’i), jika perkawinan dari kedua belah pihak (salah satu

atau keduanya) memiliki umur yang belum mencapai 16 (untuk

perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki), perkawinan yang

dilangsungkan tanpa adanya wali (wali yang tidak berhak), dan/atau

perkawinan yang dilakukan melalui paksaan dari salah satu pihak

atau pihak lain.

Pasal 72 dalam Kompilasi Hukum Islam

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu

menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.10

Pasal ini menjelaskan tentang bahwa salah satu pihak (antara

suami atau istri) dapat membatalkan perkawinan apabila ada hal-hal

seperti: perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan ancaman dari

salah satu pihak atau pihak yang lain, atau perkawinan yang dilakukan

akibat adanya penipuan dan/ atau salah sangka mengenai salah satu

pihak (baik suami maupun istri), namun jika ayat (1) dan ayat (2)

(pemaksaan itu telah berhenti dan yang bersalah sangka itu menyadari

keadaannya) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mereka (antara

10

(36)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id suami dan isteri) masihlah hidup bersama, maka haknya dianggap

telah gugur.

c. Menurut Fikih

Menurut Hanafiyah, macam-macam sebab dari pembatalan

nikah adalah seperti: nikah tanpa saksi, nikah kontrak (temporal),

menikah lima orang sekaligus dalam satu kali akad, menikahi seorang

perempuan dan saudarinya, atau bibi dari ayah, dan bibi dari ibu. Juga

menikahi istri dari orang lain sedangkan mengetahui bahwa ia telah

menikah, menikahi mahram padahal mengetahui akan

ketidakhalalannya. Dalam pernikahan ini, hubungan intim tidak

diperkenankan, tidak wajib memberi mahar dan nafkah kepada si

perempuan, tidak wajib menunaikan iddah, tidak terjadi hubungan

mahram sebab mushaharah, tidak ada penasaban anak kepada suami

dan juga tidak ada hak saling mewarisi antara suami dan istri.11

Adapun penyebab dari perkara pembatalan perkawinan dalam

putusan Pengadilan Agama Probolinggo No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob

adalah dikarenakan tidak sempurnanya syarat sah perkawinan (wali

yang tidak berhak), maka dalam hal ini ulama Hanafiyah membedakan

antara akad batil dan fasid (rusak). Batil adalah sesuatu yang tidak

disyariatkan pokok dan syaratnya seperti menjual bangkai atau

menikahkan wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang

(37)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu segala sesuatu yang

kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad tanpa saksi,

perkawinan yang dibatasi waktunya dengan menggunakan syighat

nikah atau kawinatau yang lain dari beberapa lafal yang menjadi akad

nikah. Jadi, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil 12

Menurut Malikiyah, sebab dari pembatalan nikah terbagi

menjadi dua macam: pertama, pernikahan yang disepakati para ahli

fikih akan kerusakannya. Seperti: menikahi salah satu mahram dari

satu keturunan atau dari satu tempat penyusuan (dengan saudara

sepersusuan) atau ikatan besanan. Kedua, pernikahan yang

diperselisihkan para ahli fikih. Yaitu pernikahan yang dianggap rusak

oleh ulama Malikiyah dan dianggap sah menurut sebagian ahli fikih,

dengan syarat perselisihannya (dianggap) berat. Seperti pernikahan

orang yang sakit, dalam hal ini tidak diperbolehkan.

Menurut ulama Syafi’iyah, pernikahan yang tidak sah tersebut

jumlahnya banyak sekali, yang paling utama ada sembilan macam

antara lain: nikah syighar, nikah mut’ah (pernikahan yang dibatasi

dengan waktu atau biasa disebut kawin kontrak sesuai dengan

kesepakatan kedua belah pihak), nikahnya orang yang sedang

berihram, poliandri (pernikahan yang dilakukan oleh seorang

perempuan dengan dua orang laki-laki dan tidak diketahui kejelasan

12Abdul Aziz dan Abdul Wahhab, Al-Usrah wa Ahkamuhaa fii at-Tasyri’i al- Islami, Abdul Majid

(38)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id tentang siapa antara keduanya yang paling duluan), pernikahan

perempuan mu’tadah (perempuan yang sedang iddah), nikah wanita

yang ragu dengan kehamilannya sebelum habis masa iddahnya, nikah

seorang muslim dengan perempuan kafir selain dari ahli kitab (seperti;

penyembah berhala, majusi (penyembah api), murtaddah (wanita yang

keluar dari agama islam) atau penyembah matahari atau bulan.). Atau

bukan dari ahli kitab yang murni seperti perempuan hasil dari

pernikahan lelaki ahli kitab dengan perempyuan majusi atau

sebaliknya, pernikahan dengan perempuan yang suka

berpindah-pindah agama (kecuali dia masuk islam), pernikahan muslimah

(wanita yang beragama islam) dengan laki-laki kafir dan pernikahan

perempuan murtad.

Menurut ulama Hanabilah, pernikahan yang rusak ada dua

macam: pertama, pernikahan yang tidak sah dari asalnya. Kedua,

pernikahan sah tanpa adanya syarat. Adapun pernikahan yang tidak

sah dari asalnya, yaitu ada empat akad: nikah syighar, nikah muhallil,

nikah mut’ah, dan nikah mu’allaq. Adapun pernikahan sah tanpa

adanya syarat, seperti halnya jika mensyaratkan tanpa mahar atau

nafkah, atau agar sang suami membagi jatah kepada istri tersebut

lebih banyak atau lebih sedikit dari pada istri-istri yang lainnya. Atau

jika kedua atau salah satunya mensyaratkan tanpa adanya hubungan

intim atau faktor-faktor yang menyebabkannya. Atau mensyaratkan

(39)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id menceraikannya maka ia harus mengembalikan barang pemberian

tersebut.13

3. Prosedur Pelaksanaan Pembatalan Nikah

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Pasal 23 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;

2) Suami atau isteri;

3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal ini menjelaskan tentang siapa saja yang boleh atau

memiliki hak untuk mengajukan perkara pembatalan nikah, antara

lain: (1) keluarga dalam garis ke atas dari salah satu (suami atau istri),

seperti: ayah atau ibu, kakek atau nenek. (2) suami atau isteri (selaku

pihak yang bersangkutan). (3) contoh seperti: Pegawai Pencatatan

Nikah (PPN) yang hendak menangani pernikahan, namun belum

dilakukannya akad lalu diketahui adanya salah satu faktor yang dapat

membatalkan pernikahan nantinya, maka pernikahan dapat dibatalkan

oleh pihak yang berwenang.

(40)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Pasal 24 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974

“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.”

Pasal 25 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

“Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.”

Pasal ini menjelaskan tentang kompetensi relatif, yang mana

perkara dapat diajukan ke pengadilan sekitar dimana salah satu atau

dari kedua belah pihak (suami dan isteri) bertempat tinggal (domisili).

Pasal 28 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal ini menjelaskan bahwa perkawinan dapat dianggap

batal di mata hukum apabila keputusan tentang perkara permbatalan

nikah ini telah ditetapkan oleh majelis hakim setelah adanya proses

(41)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 73 dalam Kompilasi Hukum Islam:

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang;

d. Para pihak yang berkepentingan, yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan meneurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Pasal ini menjelaskan hal yang tidak jauh berbeda dengan

pasal 23 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai siapa saja yang berhak untuk melakukan

mengajukan perkara pembatalan nikah.

Pasal 74 dalam Kompilasi Hukum Islam:

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal ini menjelaskan tentang dua hal: pertama, dalam ayat (1)

dijelaskan bahwa perkara pembatalan nikah harus diperiksa dan diadili

di pengadilan yang menjadi salah satu atau dari kedua belah pihak

(suami dan istri) bertempat tinggal. Kedua, dalam ayat (2) dijelaskan

bahwa pembatalan nikah dapat disahkan di mata hukum setelah

(42)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id c. Menurut Fikih

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu

jelas, atau dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak

diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri

adalah saudara kandung atau saudara sesusuan. Akan tetapi jika

terjadi hal-hal berikut, maka pelaksanaannya adalah:

1) Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya,

sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam

hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang

berwenang, seperti qadli di Pengadilan Agama, supaya yang

berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya.

2) Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya

tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian

itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat

menyelesaikannya, barulah hakim memfasakh nikahnya.14

(43)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id B. Akibat Hukum dari Pembatalan Nikah

1. Terhadap Status Perkawinan

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Pasal 28 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974:

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal ini menjelaskan tentang adanya pembagian dari harta

bersama antara suami dan istri yang telah melakukan pembatalan

nikah, yang mana setelah disahkannya perkara ini oleh Pengadilan

Agama. Akan tetapi, pembagian harta bersama ini tidak dapat

dilaksanakan jika pembatalan nikah dilakukan karena pernikahan yang

telah dilakukan terlebih dahulu antara pihak (istri) dengan pihak yang

ketiga (suami yang mafqud).

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 75 dalam Kompilasi Hukum Islam:

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;

(44)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan

beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

c. Menurut Fikih

Hukum pernikahan yang batil (tidak sah) adalah pernikahan ini

tidak mengakibatkan konsekuensi apapun dari pengaruh-pengaruh

pernikahan yang sah. Oleh karenanya, si lelaki tidak dihalalkan

menggauli si perempuan, tidak wajib membayar mahar dan memberi

nafkah. Demikian juga, mereka tidak dapat mewarisi ataupun

hubungan musharahah (besanan). Dan tidak ada masa iddah setelah

berpisahnya keduanya, seperti halnya pernikahan yang mauquf

(ditunda) sebelum dapat persetujuan.Diwajibkan bagi pasangan

suami-istri ini untuk berpisah dengan sendirinya. Jika tidak

dilakukan, maka perkara tersebut diserahkan kepada hakim agar dapat

memisahkan mereka berdua.

Walaupun status bersenggama dalam pernikahan yang rusak

(cacat) itu merupakan sebuah maksiat, namun menurut ulama

Hanafiyah, dengan berhubungan intim (bukan dengan lainnya)

menyebabkan berlakunya hukum-hukum berikut ini:

Pertama, wajib membayar mahar. Wajib membayar paling

sedikitrnya dari mahar mitsli dan mahar musamma walaupun telah

(45)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id sebenarnya, ia diwajibkan karena telah terjadi hubungan intim. Dalam

kaidah fikih disebutkan: “setiap jimak dalam lingkungan islam tidak

terlepas dari pembatalan hukuman had apa pun atau pembatalan

mahar apa pun.”. Dikarenakan had telah ditiadakan, sebab

ketidakjelasan akad, maka yang menjadi wajib adalah maharnya.

Mahar tidak boleh lebih dari yang disebutkan, karena si perempuan

telah meridhai ukuran mahar tersebut. Demikian juga, yang wajib

dibayar adalah harga terendah dari kedua jenis mahar tersebut (mahar

musamma dan mitsli), karena asalnya adalah kewajiban memberi

mahar mitsli, sebab rusaknya akad, dan diwajibkan menurut

Zufrmahar mitsli, berapapun itu besarnya.

Kedua, tetapnya nasab anak dari si lelaki (suami), jika

memang ada. Itu sebagai langkah kehati-hatian untuk merawat anak

dan tidak menelantarkannya.

Ketiga, wajib iddah atas perempuan tersebut, mulai dari waktu

pemisahan antara keduanya, menurut mayoritas ulama Hanafiyah dan

ini merupakan pendapat yang kuat di dalam mazhab. Karena setelah

terjadi persenggamaan, pernikahan yang rusak telah terlaksana dalam

kaitannya dengan hak hubungan istri. Hak hubungan

suami-istri akan terus ada sebelum diadakan pemisahan antara keduanya.

Iddah yang ditunaikan serupa dengan iddahnya wanita (istri) yang

(46)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Menurut Zufr, tidak ada iddah dalam pernikahan dengan mahram, istri

orang lain dan perempuan yang masih dalam masa iddah. Oleh

karenanya, pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak

pernah dilaksanakan. Yang berartikan bahwa ini merupakan

pernikahan yang batil.15

Menurut ulama Malikiyah, akibat hukum yang ada dalam

pernikahan yang rusak dan tidak sah antara lain yaitu: Pertama,

diharamkan dan diwajibkan untuk membatalkan pernikahan yang

berlangsung demi menghindari perbuatan maksiat. Dalam kaidah fikih

dijelaskan: “setiap pernikahan yang rusak sebelum terjadi hubungan

intim, maka tidak ada pengaruh apa pun, baik itu merupakan

pernikahan yang disepakati kerusakannya maupun karena maharnya,

atau karena keduanya.”. Dengan demikian, status fasakh (rusaknya

akad nikah) sebelum terjadinya hubungan intim di pernikahan yang

sah.

Kedua, akad yang rusak ditinjau dari kelayakan batalnya

setelah terjadi hubungan intim, yaitu ada tiga macam: Pertama, wajib

membatalkan selamanya meskipun hubungan intim tersebut telah

lama terjadi; apabila ada kecacatan dalam pernikahan tersebut

disebabkan karena rusaknya dalam shigat (ijab qabul), rusaknya dalam

hal dua belah pihak pelaksana akad seperti pernikahan yang dilakukan

15

(47)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dengan salah satu mahram dari satu garis keturunan, sepersusuan,

ikatan mushaharah (besanan), pernikahan mut’ah, pernikahan tanpa

wali, dan lain sebagainya. Kedua, tetapnya hubungan kemahraman

mushaharah (ikatan besanan), sebab telah terjadi watha’ (hubungan

intim) atau sekedar pendahuluan berhubungan intim, jika akad nikah

tersebut masih diperselisihkan kerusakannya. Ketiga, seorang wanita

diwajibkan ber iddah jika suaminya telah berhubungan intim

dengannya atau berduaan yang berkemungkinan besar mereka

berhubungan suami istri, kemudian akadnya difasakh (dibatalkan),

baik akad itu disepakati atau diperselisihkan kecacatannya. Masa

iddah itu dimulai sejak mereka dipisahkan setelah fasakh.16

Secara umum, ulama Syafi’iyah menilai hukum keduanya

sama. Yakni, salah satu dari kedua jenis pernikahan ini tidak

mengakibatkan terlaksananya konsekuensi (akibat) hukum seperti

halnya pernikahan yang sah. Dengan demikian, tidak diwajibkan

adanya mahar, nafkah, tidak ada hubungan mahram sebab mushaharah

(besanan), penetapan nasab dan juga iddah.

2. Status Anak Akibat Pembatalan Nikah

a. Status Nasab Anak Akibat Pembatalan Nikah

1) Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

16

(48)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Pasal 28 dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974:

Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XI tentang Batalnya

Perkawinan

Pasal 75 dalam Kompilasi Hukum Islam:

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

d. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;

e. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

f. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 76 dalam Kompilasi Hukum Islam:

“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya."

3) Menurut Fikih

a) Pengertian Perwalian

Secara etimologis : wali mempunyai arti pelindung, penolong, atau

(49)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Dalam KBBI, definisi perwalian yaitu segala sesuatu yang

berhubungan dengan wali. Dan wali memiliki banyak arti, antara

lain:

(1) Orang yang menurut hukum (agama atau adat), diserahi

kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak

itu dewasa.

(2) Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu

yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)

(3) Orang soleh (suci), penyebar agama; dan

(4) Kepala pemerintah dan lain sebagainya.

Arti-arti wali diatas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan

dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan

ini adalah wali dalam hal pernikahan (perkawinan), yaitu yang sesuai

dengan poin b. orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah

wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup

bertindak sebagai wali. Namun, adakalanya wali tidak hadir atau karena

suatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya

berpindah kepada orang lain.

1) Urutan Kerabat yang Berhak Menjadi Wali

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari

orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

Pengertian sistem menurut para ahli.. Diperoleh

Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui derajat self-compassion pada 40 orang ibu rumah tangga yang memiliki anak preschool di sekolah “X” Bandung merupakan alat ukur yang

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti unsur struktural dan konflik sosial yang terdapat pada video wayang orang Balai Sigala-gala serta mencari tahu apakah relevan

Dari hasil pengukuran tekanan darah dapat kita analisa bahwa salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal kronik adalah hipertensi yang tidak terkendali yang menyebabkan

Hasil penelitian dan analisis deskriptif persentase, diketahui bahwa cabang olahraga yang berpotensi untuk Pembinaan olahraga usia dini di Kecamatan Semarang Barat adalah

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Kemacetan proses pewarisan tersebut disebabkan oleh upaya pewarisan yang kurang relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat masa kini.. Selain itu, titiak