Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh: Ahdi Maulana NIM:109044100008
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1435 H/2014M
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. ix + 69 h + 1(satu) lampiran.
Skripsi ini berisi tentang ketentuan maksimal kadar wasiat wajibah. Secara teori dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah hanya diperbolehkan kepada anak angkat dan orang tua angkat saja dengan batas maksimal 1/3 dari harta peninggalan, akan tetapi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris lebih dari 1/3. Karena permasalahan tersebut skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebenaran terkait putusan hakim yang memberikan lebih dari 1/3 harta peninggalan.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam dan hukum positif terkait kadar wasiat wajibahyangmelebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalan dan untuk mengetahui alasan dan dasar hukum hakim dalam memutuskan perkara wasiat wajibah lebih dari1/3 (sepertiga).
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan pemasalahan yang diteliti dan menghimpun seluruh data yang ada di skripsi ini diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat terhadap putusan perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB.
Wasiat wajibah artiya tindakan wasiat itu atas kehendak undang-undang, hal ini berbeda dengan wasiat ikhityariyah yang merupakan tindakan sukarela atas kemauan sendiri dari pemilik harta.
Wasiat wajibah menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia, dan wasiat ini harus tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik kehendak maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi dalam pelaksanaan wasiat wajibah itu tidaklah tergantung kepada pewasiat, akan tetapi kehendak undang-undang yang mengatur pembagian dengan kadar maksimal.
Kata kunci : Maksimal, Kadar, Wasiat Wajibah, (Putusan Perkara No.339/ Pdt.G/2000/PA.JB).
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag Daftar Pustaka : 1971-2012
vi
Segala puja dan puji hanyalah kepada Allah SWT. Yang selalu memberikan rahmat dan nikmatNya kepada kita semua khsusnya kepada penulis. Karena dengan nikmat dan pertolongannya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul “Ketentuan Maksimal Kadar Wasiat Wajibah (Studi Analisa Putusan Perkara No. 339/Pdt. G/2000/PA. JB)”.
Tak lupa lantunan shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang dengan kedatangannya membawa kita semua keluar dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan keilmuan yang dapat kita rasakan
saat ini.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini bukan lah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri melainkan adanya bantuan dari orang-orang disekitar yang selalu siap
sedia membantu. Melalui secarik kertas ini untaian rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada:
vii
seluruh Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayaullah tahun 2009-2014.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Hukum Keluarga. 4. Sri Hidayati, M.Ag dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi, yang selalu
meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan bimbingan dan arahan serta masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik dan memenuhi standard.
5. Hj. Rosdiana M.A. Sekretaris Program Studi hukum keluarga.
6. Drs. Heldi, M.Pd. Dosen Pembimbing Akademik, yang selalu membimbing
penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.
7. Segenap ibu dan bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membimbing dan mendidik kami.
8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan umum dan fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan pelayanan untuk mengakses referensi
yang berkaitan dengan skripsi ini.
9. Salam rindu kepada Eryna Ikawati, yang selalu memberikan motivasi,
viii
Iyas, Fauzan, Kosim, Eni, Ridwan, Fikri, Dewi, Farhan, Marzuki, nailul,
helmi, Jefri dan Sarah Semoga hubungan persahabatan kita tidak akan terputus. Serta semua pihak terkait yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, atas segala bantuan, dukungan dan doa yang diperuntukkan kepada
penulis.
11. Kepada teman-teman (LEBAH) yang selalu memberikan support dan
dukungannya.
12. Kepada teman-teman AMSIN BROATHER CLUB dan lainnya. yang membantu memberikan refreshing apabila telah datang kejenuhan.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati dan mengharap ridho illahi, penulis hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya do’a lah
yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan kasih sayangNya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya. amin.
Jakarta, Mei 2014
Rajab 1435
ix
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI... ix
BAB I : PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. PembatasandanPerumusanMasalah ... 5
C. TujuandanManfaatPenelitian ... 5
D. TinjauanStudiTerdahulu ... 7
E. MetodePenelitian ... 8
F. SistematikaPenulisan ... 9
BAB II : KETENTUAN UMUM WASIAT A. Pengertian ... 11
B. Dasar Hukum ... 16
C. Rukun dan Syarat ... 21
D. Batas ... 26
BAB III : WASIAT WAJIBAH. A. Pengertian ... 29
x
BAB IV : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. PERKARA 339/Pdt.G/2000/PA.JB DAN ANALISA HUKUM.
A. Kronologi Kasus... 43
B. Tuntutan Penggugat ... 46
C. Putusan ... 47
D. Alasan Hakim ... 48
E. Analisa Penulis ... 49
BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 65
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Setiap orang mengalami peristiwa penting dan sangat berpengaruh dalam
kehidupannya, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Apabila sesorang meninggal dunia bukan berarti dia lepas dan bebas dari segala persoalan yang mengiringinya, karena akan timbul persoalan baru terhadap sesuatu yang
ditinggalkannya.1 Ada beberapa kewajiban yang harus ditunaikan terkait harta peninggalannya diantaranya, warisan dan pembagian wasiat. Berkenaan dengan
hal ini harus diatur agar tidak terjadi perebutan harta warisan.2
Wishayah adalah amanat yang diberikan seseorang kepada pihak lain agar melaksanakan pesan-pesannya sesudah ia meninggal dunia, seperti melunasi
utang-piutangnya, menagih piutang yang menjadi miliknya, menjaga dan menafkahi anak-anaknya, dan sebagaimya. Washayah kadang-kadang disebut
dengan wilayah atau al-washiyyah al-„adhiyyah (pesan amanat), dan orang yang
1
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. (Jakarta, Rineke Cipta :1997), h. 5
2
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta, kencana: 2004) h. 394
menerima amanat itu disebut al-washi al-mukhtar, atau penerima amanat yang dipilih.3
Di Indonesia, seperti diketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia asli disamping tunduk pada hukum adat daerah masing-masing juga merupakan
pemeluk agama yang berbeda namun Islam sebagai agama yang memiliki syari’at yang banyak diikuti oleh penganutnya sehingga memilik pengaruh kuat dalam salah satunya hukum waris di Indonesia. Hukum Islam sebagai komponen penting
dalam hukum nasional menawarkan konsep-konsep tentang menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan dalam Islam dimaksudkan untuk menegakkan hukum
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan Islam. Sama halnya dengan sistem hukum lainnya yang hidup dan berlaku di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam hukum Islam tetap exis dan berlaku
seperti di Indonesia.
Sejak zaman dahulu, pembagian harta warisan bagi orang-orang yang
ditinggalkan sudah menjadi ketetapan umum, akan tetapi sebelum Islam datang pembagian tersebut belum sepenuhnya adil. Hal ini disebabkan belum adanya
ketentuan secara pasti siapa saja yang belum mendapatkan harta waris.4
3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,cet 16,(Jakarta: Lentera ,2006) h. 525
4
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.5 Kata wasiat itu sendiri berasal dari bahasa
Arab, yaitu washa yang berarti menyampaikan, dengan kata lain wasiat adalah harta yang diberikan kepada orang lain ketika si pemberi meninggal dunia. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 (f) mendefinisikan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.6Menurut syara’ wasiat itu adalah secara
suka rela memberikan hak yang dikaitkan setelah mati.7
Wasiat merupakan hal yang penting dalam hukum dan kewarisan hukum
Islam, hal ini diatur dalam Al-quran surat Al-baqarah ayat 180. Ayat ini mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang ditinggalkan berkaitan dengan
hartanya.8 Menurut fuqaha pemberian wasiat itu adalah setiap pemilik barang yang sah hak kepemilikannya terhadap orang lain.9
5
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam,(Jakarta: Attahiriyah, 1976) ,h. 351
6
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 poin f, Cet II, 2007
7Ali As’ad, Fathul Mu’in,(yogyakarta,Menara Kudus,1979), h.393 8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan, dan keserasian Al-Quran,Vol I (jakarta :lentera hati ,2000), h. 397.
9
Bila diperhatikan dengan seksama lembaga wasiat wajibah seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Mesir dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
terdapat persamaan dan perbedaannya, bahwa pada Undang-Undang Mesir wasiat wajibah hanya untuk anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah yaitu
untuk cucu yang ditinggal mati orang tuanya sedangkan kakek atau neneknya masih hidup akan tetapi kakek neneknya tersebut tidak memberikan wasiat. Sedangkan di Indonesia wasiat wajibah diperuntukan yaitu bagi anak angkat dan
orang tua angkat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan di berikan untuk anggota keluarga sedarah dengan syarat ahli waris yang lain mengizinkan.
Secara normatif seharusnya wasiat wajibah maksimal diberikan 1/3 dari harta warisan. Namun pada tataran prakteknya ternyata wasiat wajibah diberikan lebih dari 1/3. Berdasarkan putusan Maejlis Hakim PA. Jakarta Barat nomor
penetapan perkara 339/Pdt.G/2000/PA.JB.
Dengan demikian dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengadakan penelitian yang membahas tentang “Ketentuan Batas Maksimal Wasiat Wajibah” (
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindarkan pembahasan yang meluas penulis membatasi masalah mengenai ketentuan kadar wasiat wajibah yang berlaku di Indonesia di kaitkan
dengan putusan Pengadilan Agama perkara No. 339/Pdt. G/PA. JB.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini penulis susun dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang wasiat wajibah lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian.
b. Bagaimana ketentuan hukum positif tentang wasiat wajibah lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian.
c. Bagaimana alasan hakim menetapkan wasiat wajibah lebih dari 1/3 dalam putusan perkara No 339/Pdt.G/2000/PA.JB.
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, diantarnya
adalah:
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum Islam dan Hukum positif tentang wasiat
b. Untuk mengetahui alasan atau dasar hukum hakim dalam menetapkan wasiat wajibah yang melebihi 1/3 dari harta warisan.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam objek penelitian ini adalah:
a. Untuk penulis: memberikan wawasan kepada penulis, dalam meningkatkan pengetahuan ilmu yang akan dikembangkan dalam penelitian, sesuai dengan bidang studi penulis yang berkecimpung dalam penelitian yang penulis
garap.
b. Untuk civitas akademis: seperti mahasiswa dan para penganut akademis
dengan adanya skripsi ini bisa berguna sebagai bahan informasi dan pengetahuan juga sebagai bahan rujukan terhadap pembelajaran terkait kasus-kasus yang sama.
c. Penambahan ilmu pengetahuan: sebagai sumbangan terhadap adik-adik kelas nanti sebagai studi terdahulu terkait skripsi yang digarap dalam konteks yang
sama dan sebagai sumbangsih kepada perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D.Tinjauan Studi Terdahulu
1. Pembagian Wasiat Wajibah Kepada Ahli Waris yang Berbeda Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara No.
membahas tentang pemberian wasiat wajibah kepada non muslim dengan alasan masih mempunyai hubungan kekerabatan dan emosional kepad si
pewasiat, melihat pertimbanga secara psikologis dari ahli waris berdasarkan landasan yuridis dan normatif Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Wasiat Wajibah Kepada Ahli Waris Non Muslim (Studi Analisis Penetapan Perkara No. 0176/Pdt.p/2012/PA.JP), oleh Muhammad Syaefudin Bahri (109044100006), dalam skripsi ini membahas tentang penetapan ahli waris
yang ditetapkan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang dalam skripsinya memfokuskan kepada wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim .
Dari tinjauan studi di atas jelas skripsi yang penulis ingin teliti berbeda, karena dalam pembahasan skripsi penulis, yaitu mengenai besarnya kadar wasiat wajibah yang diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Dengan judul “Ketentuan Batas Maksimal Kadar Wasiat Wajibah (Studi Analisis Putusan
Perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB).” Dalam penelitian ini menurut hemat penulis tema ini sangat menarik, karena apa yang diputuskan hakim berbeda dengan teori yang berlaku di Indonesia dan hukum Islam.
E.Metode penelitian
1. Sumber dan Jenis Bahan Hukum Penelitian
Jenis bahan yang di tuangkan dalam penelitian adalah berbentuk dokumen.
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat No.
339/Pdt.G/2000/PA.JB.
b. Bahan sekunder:
Bahan skunder merupakan data pendukung dari data primer yang
didapatkan dari beberapa sumber hukum baik berupa undang-undang maupun ketentuan lain yang berlaku di Indonesia, seperti KUHPer dan Kompilasi Hukum Islam, Selain itu, karena penelitian ini juga meninjau
pandangan hukum Islam, maka data sekunder terdiri dari literatur fiqh atau hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan materi penelitian, baik secara
langsung maupun tidak. 2. Tehnik Pengumpulan Bahan
Dalam tehnik pengumpulan bahan penulis melakukan Penelitian kepustakaan
(library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan menghimpun seluruh data
proses Pengadilan Agama Jakarta Barat terhadap Putusan Perkara No. 339/Pdt.g/2000/PA.JB, tentang putusan pembagian wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama.
3. Tehnik Analisa bahan
Bahan yang penulis dapatkan, penulis analisa bersifat content analisis atau
penjelasan-penjelasan sehingga dapat tersusun secara sistematis dalam menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan.
4. Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tehnik yang biasa
digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing mempunyai
sub-sub bab tersendiri dengan dengan sistematika penulisan yaitu:
Bab pertama, yaitu merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, studi
review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab Kedua, yang membahas tentang ketentuan umum wasiat yang terdiri
dari Pengertian secara umum, dasar hukum, rukun dan syarat, batas.
Bab Ketiga, yang membahas tentang wasiat wajibah terddiri dari Pengertian, menurut pandangan ulama, menurut KHI, beberapa contoh di negara
Bab Keempat, yang membahas tentang Putusan pengadilan dan analisa terdiri dari kronologi perkara, tuntutan penggugat, putusan majlis hakim, alasan,
analisa putusan.
BAB II
KETENTUAN UMUM WASIAT
A. Pengertian
Wasiat menurut bahasa adalah Washiyyatussyai’a aw syiihi artinya (aku
menyampaikan sesuatu).1 Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain;
washaitu bi kadzaa au aushaitu (aku menjadikan sesuatu itu untuknya). Washaya
yang merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah mencakup wasiat harta;
sedangkan iisha’, wishaayah, dan washiyyah dalam istilah ulama fiqh diartikan kepemilikan yang disandarkan pada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabarru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa
benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang. Dengan arti ini, istilah-istilah tersebut menjadi berbeda dengan kepemilikan-kepemilikan benda munjazah
(yang langsung bisa dilaksanakan), seperti penjualan dan hibah, juga kepemilikan nilai guna seperti sewa-menyewa, dan yang disandarkan kepada keadaan selain
kematian seperti sewa-menyewa yang disandarkan kepada waktu mendatang, misalnya diawal bulan depan atau yang lainnya.2
1
AW Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, cet XXV, (Surabaya, Pustaka Progresif, 20002), h. 1563
2
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 154
Menurut istilah wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari’atkan.3 Wasiat menurut istilah syaria’at adalah hibah dari seseorang
kepada orang lain berupa barang, hutang, manfaat dengan ketentuan pihak yang
diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.4 Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk
dilaksanakan sesudah wafat.5
Menurut syafi’iyyah wasiat adalah suatu pemberian secara suka rela yang
pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal baik disebutkan maupun tidak waktu pelaksanaannya wasiat tidak ada perbedaan yakni tetap
pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Menurut ulama hanabilah wasiat adalah perintah untuk mentasarufkan sesuatu setelah orang yang
berwasiat meninggal, seperti wasiatnya seseorang kepada orang lain untuk merawat anaknya yang masih kecil atau mengawini putrinya atau memisahkan 1/3
dari hartanya.6 Sedang kitab Undang-undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 menta’rifkannya secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan
3
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h. 43
4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 588
5
Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 19
6
Abdur rahman, Al-Zairy, Fiqh Ala Madzahibi Al-Arba’ah, jilid III ,(Libanon Bairut:
macam-macam wasiat yakni mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang
ditangguhkan kepada kematian seseorang.7
Dalam pengertian syara’ para ulama mazhab berbeda dalam
mendefenisikan wasiat. Menurut ulama hanafiyyah wasiat adalah pemberian hak
untuk memliki sesuatu secara suka rela (tabarru’) yang pelaksanaanya setelah adanya kematian baik itu berbentuk barang atau manfaat.8 Menurut ulama malikiyyah wasiat adalah akad yang mewajibkan pemberian hak 1/3 dari harta
warisan orang yang berwasiat sedang waktu pelaksanaannya adalah setelah si pewasiat meninggal. Sebagian ulama malikiyyah mengartikan wasiat seperti ulama
hanafiyyah.9
Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama dan pendapat ini diakui oleh
Ibnu Abdul Barri sebagai ijma’ ulama, bahwa wasiat itu tidak wajib berdasarkan
dalil makna hadis dari Ibnu Umar r.a. itu, karena seandainya dia tidak mewasiatkan niscaya dia bagikan semua hartanya antara para ahli warisnya berdasarkan ijma’ para ulama. Lalu seandainya wasiat itu adalah wajib, maka pasti
dia sudah mengeluarkan sebagian dari hartanya sebagai bagian pengganti wasiat
itu.10
7
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet.IV, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1975), h. 50-51
8
Rahman, Ilmu Waris, h. 50-51
10
Dalam Hukum Pokok Perdata wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal
dunia. pada dasarnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdlig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang
membuatnya.11
Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam lebih mudah
dikenal dalam nahasa hukum di Indonesia. Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah sebagai jalan alternatif anatara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat
kepada orang yang dikehendakinya.12
Apabila dilihat secara makro, bahwa penyelesaian harta peninggalan
belumlah cukup diselesaikan dengan aturan kewarisan secara sistematis dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam rangka penyebaran harta pada lingkungan kompleks masyarakat sosial tertentu. Akan tetapi wasiat merupakan
11Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet 31, (Jakarta : Intermasa, 2003), h. 106-107
12
cara penyelesaian alternatif yang bertujuan melengkapi cara penyelesaian waris bagi mereka yang tidak memperoleh bagian waris karena adanya hubungan
kekerabatan dan kekeluargaan dengan yang meninggal.13
Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak
terdapat perbedaan subtansial akan tetapi antara satu dengan lainnya saling melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur yaitu : pertama,
wasiat itu merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan harta benda atau
manfaatnya. Kedua, wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak kepemilikan
dari orang yang berwasiat kepada yang menerima wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.14Subtansi wasiat di atas berarti juga mengandung pernyataan kehendak
oleh seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah meninggal kelak. Akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus tunduk kepada
beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.15
13
Tono, Kedudukan Wasiat, h. 58
14
Tono, Kedudukan Wasiat, h. 46
15
B. Dasar Hukum 1. Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat : 180
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf16, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah:180)
Ayat ini secara lugas mengemukakan hukum wasiat yang dimaksud di
dalamya dengan hukum wajib. Kelugasan demikian dijadikan golongan zahiriyah sebagai dasar menetapkan bahwa wasiat itu hukmnya fardu’ain bagi tiap orang
yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.17
Dalam surat Al-Baqarah ayat 180 Rasyid Ridha berpendapat bahwa hukum
wasiat adalah wajib bagi orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang banyak bagi pewarisnya, dimana wasiat tersebu harus diberikan kepada
16
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris
17
orang tua dan kerabat yang tidak dapat mewarisi, meskipun kedua orang tuanya
berbeda agama dengan batas sepertiga harta.18
Sasaran hukum wasiat di atas ditunjuk kepada ibu bapak dan karib kerabat. Sasaran ini yang perlu direspon dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia
sebab istilah yang dipergunakan Al-Qur’an itu apakah mencakup orang tua angkat, anak angkat atau mencakup batasan yang lebih luas secara kontekstual dalam
menampung perkembangan hukum yang semakin kompleks.19
Surat Al-Baqarah ayat : 240
Artinya: “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut Mahmud Yunus, tafsir kebanyakan ulama, bahwa orang-orang
yang meninggal dunia hendaklah berwasiat kepada isterinya, supaya bersenang-senang dan ber’idah setahun lamanya dengan tiada berkawin dan tiada keluar dari
18
Rasyid, Ridha, Tafsir Al-Manar, juz II, (Beirut : Dar Al-Ma’arif,t,th),h. 127
19
rumahnya. Ayat di atas jelas menegaskan kewajiban berwasiat untuk para istri yang ingin ditinggal mati oleh suaminya, hendanya berwasiat untu para istri
tersebut.20
Surat An Nisa ayat : 11
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisaa (4): 11)
Surat An Nisa ayat : 12
Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (Q.S. an-Nisaa (4): 12)
wasiatnya tidak lebih dari sepertiga harta pusaka, jika lebih maka wasiat itu hukumnya batal. Jadi sangat jelas bahwa menyalurkan warisan itu setelah utang
dan wasiat.21
2. Hadits
رمع نْب هاّْبع ْنع ،عفان ْنع ،كلم انربْخا ،فس ْ ي نْب هاّْبع انثَّح
ها يضر
ص ها ْ سر َّا ،ام ْنع
مَلس هْيلع ها َىل
اق
َّحام :
ةبْ تْ م هتَيص َاا نتلْيل ْيبي ،هْيف ْيصْ ي ئْيش هل ملْسم ئرْما
ْنع ،رمع ْنع،رْمع ْنع ،ملْسم نْبَّمحم. ّْنع
هْيلع ها َىلص ِيبَنلا
مَلس
Artinya: “Abdullah bin Yusuf berkata: Malik memberi kabar kepada saya dari
Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya nabi SAW berkata: bukanlah hak
seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat disisinya”, hadits ini diikuti oleh Muhammad bin Amar, dari Ibn Umar, dari Nabi Muhammad
SAW.” (HR. Imam Bukhari)
ْ مي ّْأ رْ ي ه ة مب انأ يندْ عي ملس هْيلع ها ىلص يبنلا ينءاج
ءارْفع نْبا ها محْري : اق ا ْنم رجاه يتلا ضْرأْلاب
‚
ْ سراي : ْلق
: اق ,ثًلثلا : ْلق ,ال : اق؟رْطشلا: ْلق .ال : اق؟هلك امب يصْ أ,ها
كتثر عّ ّْأ كنا ,رْيثك ثلثلا ,ثلثلاف
ءاينْغأ
ْم عّ ّْأ ْنم رْيخ
ًةلاع
.ْمهّْيأ يف سانلا ّْ فف تي
21Yunus, Tafsir Qur’an Terjemahan, h. 107
22
Abu Al-Hasan Nur Ad-Din Muhammad, Shahih Al-Bukhari jilid 2,(Bairut:Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah,1971), h. 230
23Abi ‘abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Bardizbah Al
“Rasulullah SAW datang mengunjungi saya ketika berada di Mekkah pada saat
saya menderita sakit keras. Rasulllah mendoakan: semoga Allah Merahmati mu
wahai Ibn „Afra. Saya bertanya kepada rasul: bolehkah Saya mewasiatkan seluruhku kepada anakku? Rasulullah menjawab: Tidak. Saya pun bertanya kembali:separu wahai rasul?Rasulullah menjawab: Tidak. Saya pun bertanya kembali: sepertiga wahai Rasulluah?Rasulullah menjawab: berikanlah sepertiga, karena sepertiga sudah cukup banyak, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.’
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahi
bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni sepertiga harta peninggalan mayit, maka ukuran wasiat adalah sepertiga.
3. Ijma’
Umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang banyak menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh
seorangpun. Ketidak ingkaran seseorang tersebut24 menunjukkan adanya Ijma.
C.Rukun dan Syarat
1. Rukun Wasiat Ada Empat :
a. Orang yang berwasiat, keadaannya bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan dengan kehendaknya sendiri.
24
b. Yang menerima wasiat (Maushilah), hendaklah kedaannya yang bukan jalan maksiat, baik kepada kemaslahatan umum seperti membuat masjid,
sekolah atau lainnya.
c. Suatu yang diwasiatkan, keadaannya dapat berpindah milik dari seseorang
kepada orang lain.
d. Lafaz kalimat wasiat dengan kalimat yang dapat difaham untuk wasiat.25 Dalam kitab ad-Durrul Mukhtaar dari golongan Hanafiyah yang dikutip
oleh Wahbah Zuhaili mengatakan, rukun wasiat hanya ijab saja, yakni perkataan tentang wasiat yang keluar dari pihak mushii (orang yang berwasiat). Sedangkan
qabul dari pihak mushaa lah (orang yang menerima wasiat) hanya merupakan syarat bukan rukun. Yang dimaksud qabul adalah suatu ucapan yang jelas atau terang-terangan, seperti qabiltu (aku terima), atau secara isyarat/petunjuk. Qabul
dalam wasiat hanya sah apabila dialukan setelah meninggalnya
mushii26.Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu
mushii (pihak pembuat wasiat), mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih
(sesuatu atau barang yang diwasiatkan), dan shigat (ucapan serah terima).27
25
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam,(Jakarta: Atthahiriyyah, 1976),hlm. 352
26
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 160
27
Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaiu
mushii (pihak pembuat wasiat), mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih
(sesuatu atau barang yang diwasiatkan), dan shigat (ucapan serah terima).28 Dalam hukum perdata Islam hanya kabul rukun wasiat, karena jika
disatukan antara ijab dan kabul itu terlalu mengada-ngada, sebab bagaimana mungkin ijab dan kabul dilaksanakan seandainya penerima wasiat tidak ada ditempat, misalnya dalam keadaan si pewasiat ditengah perjalanan, atau si
pewasiat meninggal mendadak.29
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 194 :
(1) Orang yang telah berumur skurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari si pewasiat. (3) Pemilik terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
dilaksanakn sesudah pewasiat meninggal dunia.
28
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 161
29
2. Syarat Wasiat Adalah :
Para ahli hukum Islam berselisih paham tentang rukun dan syarat-syarat
wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak syara’.
a. Pemberi wasitat.30 b. Dewasa.
c. Berakal.
d. Merdeka.
e. Dapat dipercaya31
Menurut Wahbah Zuhaili syarat sah Mushii itu adalah: Berkompeten melakukan tabarru’ yaitu mukallaf (balig dan berakal sehat), merdeka, baik
laki-laki maupun perempuan, dan muslim maupun kafir.32
Berakal adalah syarat yang sudah disepakati dalam hal wasiat. Karena itu, wasiat yang dikeluarkan dari orang gila, orang idiot dan orang epilepsi tidaklah
sah karena perbuatan mereka tidak dianggap hukum. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan mushii harus orang yang merdeka. Maka wasiat yang keluar dari seorang budak tidakklah sah. Golongan Hanafiyah sepakat dan golongan
30
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5,(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 595
31Abi Syuja’ Ahmad, Al
-Ashfani, Terjemah Mantan Ghoya Wat Taqrib Cet II, (Jakarta: Pustaka Amani ,2001),h. 89
32
Syafi’iyyah satu pendapat yang lebih unggul dari dua pendapat yang ada
mensyaratkan mushii haruslah orang yang sudah baligh. Artinya, tidaklah sah
wasiat yang keluar dari anak kecil yang sudah atau belum tamyiz. Golongan Malikiyyah dan Hanabillah memperbolehkan wasiat yang dilakukan oleh anak
yang sudah tamyiz, yang sudah berusia sepuluh tahun atau kurang sedikit, jika si tamyiz ini memikirkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT).33
Wasiat sah dilakukan oleh orang mukallaf merdeka dalam keadaan bebas
merdeka, untuk keperluan-keperluan yang halal semisal pembangunan masjid, makanya tidak sah wasiat dilakukan oleh anak kecil, orang gila, budak sekalipun
mukatab tanpa seizin tuannya, dan juga orang yang dipaksa wasiat. Dan wasiat boleh kepada anak yang telah mumayyiz.34
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 195 menurut penulis menjadi syarat
wasiat :
(1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau
tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.
33
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 170
(3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang
saksi atau disaksikan di hadapan Notaris
Dan termasuk juga pasal 196 kedalam syarat wasiat yang berbunyi “Dalam
wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan disebutkan dengan tegas dan jelas
siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang diwasiatkan.
D. Batas Maksimal
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahi bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni sepertiga (1/3) harta peninggalan
mayit, maka ukuran wasiat adalah sepertiga.
a. Jika Mushii memiliki ahli waris; jumhur ulama fiqh selain golongan
zahiriyyah dan malikiyyah berpendapat; wasiat yang melebihi sepertiga harta peninggalan si mayit tidaklah diluluskan dan tidak dilaksanakan,
kecuali adanya izin dari ahli waris.35
35
Mengenai wasiat yang melebihi sepertiga harta tidak dilaksanakan melainkan setelah adanya izin dari ahli waris. Wahbah Zuhaili menjelaskan :
pertama, Imam madzhab empat berpendapat bahwa pemberian izin tidaklah diterima atau diharuskan untuk dilakukan melainkan setelah meninggalnya Mushii.
Apabila pemberian izin atau penolakan terjadi semasa hidupMushii hal tersebut tidak dianggap/ tidak sah. Karena, status kepemilikan harta peninggalan hanya akan sah menjadi milik ahli waris ketika Mushii sudah meninggal. Maka,
pemberian izin atau penolakan mereka baru menjadi sah setelah status kepemilikan benar-benar ada ditangan mereka.36
Namun, golongan malikiyyah mengatakan ahli waris memberikan izin saat
Mushii sakit yang mengkhawatirkan dan dilakukan dihadapan Mushii,dan setelah itu Mushii tidak lagi sehat, maka pemberian izin itu menjadi wajib dilaksanaka.
Kecuali, karena ada udzur yang berupa ketidaktahuan. Artinya, ahli waris tersebut tidak mengetahui akan komitmen pemberian izin saat sakit tersebut.37
Wasiat tidaklah syah pada selebihnya dari 1/3 harta dalam wasiat yang diucapkan pada waktu sakit parah, yaitu yang kebanyakan orang mati dari penyakit sejenis itu, jika ditolak ahli waris khas yang mempunyai hak tasarruf
mutlaq, karena harta itu adalah hak ahli waris itu. Apabila ada sebagian ahli waris
36
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 229
37
yang menyetujuinya, maka syah untuk jumlah sebesar bagian mereka dalam
selebihnya 1/3 harta, dan apabila seluruh ahli waris menyetujuinya.38
Qatada mengatakan Abu Bakar mewasiatkan seperlima, sedang Umar mewasiatkan seperempat. Dan Abu Bakar berkata seperlima itu lebih aku sayangi.
Sementara para fuqaha berpendapat bahwa kadar wasiat yang dianjurkan adalah sepertiga.39 Jadi jelas bahwa hadist Nabi SAW dan sahabat serta para fuqaha tidak
ada yang berpendapat lebih dari sepertiga berserikat ataupun sendiri.
38
Ali,Fathul Mu’in (Yogyakarta : Menara Kudus, 1979),h. 40 39
A.Pengertian
Wasiat wajibah menurut Suparman Usman adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik
diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.1 Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan
bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarakan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.2
Indonesia memang negara yang aneh tetapi nyata. Sebab sering salah kaprah dalam menerapkan istilah , termasuk dalam masalah menyebutkan istilah
wasiat wajibah ini. Istilah yang ada dalam UU Hukum Keluarga Mesir, jelas tidak sama dengan istilah yang disebutkan dua kali pada pasal 209 KHI di atas. Pasal itu membahas mengenai jatah waris bagi orang tua angkat dan anak angkat
1
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: gaya Media Pratama, 1997), h. 163.
2
Usman dan Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, 1997, h. 163.
yang oleh karena tidak bisa mendapatkan warisan maka oleh ulama Indonesia, mereka tetap diberi jatah dengan nama wasiat wajibah
B. Pandangan Ulama
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari
pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf. Menurut Fatchur Rahman dijelaskan : (1) tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat Fuqaha dan Tabi’in besar ahli hukum Islam(fiqih)
dan ahli hadis, antara lain, Said Ibnu al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus,Ahmad, Ishaq Ibnu Rahawaih dan Ibnu Hazm, (2) pemberian sebagian hartapeninggalan si
mati kepada kerabat-kerabatnya yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibnu Hazm yang dinukilkan dari Fuqaha Tabi’in dan pendapat Imam Ahmad, (3)
pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar sepertiga peninggalan adalah didasarkan pendapat Ibnu Hazm dan kaidah syari’ah yang mengatakan bahwa pemegang
kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemashlahatan umum, bila
penguasa menetapkan maka wajib mentaati.3
Ketentuan wasiat wajibah di atas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah. Sebagaimana ulama, dalam menafsirkan
3
ayat tersebut berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu, bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan masih
dapat diberlakukan. Sedang sebagian ulama lain berpendapat bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum
mengenai wasiat dalam ayat tersebut sudah di nasakh atau dihapus hukumnya baik oleh al-Quran maupun al-Hadis.4
Para ulama berbeda pendapat mengenai wasiat wajibah. Hal ini dilatar
belakangi oleh adanya perbedaan pendapat dalam masalah mansukh atau tidaknya ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan. Akan tetatpi jumhur ulama berpendapat
sudah mansukh, baik yang menerima warisan atau tidak.5 Sebagian ulama fiqih seperti Ibnu Hazim azh-Zhahiri, ath-Thabari, dan Abu Bakr bin Abdul Aziz dari golongan Hambali berpendapat, wasiat adalah kewajiban bersifat utang dan
pemenuhan untuk kedua orang tua serta kerabat yang tidak bisa mewarisi.6
Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi,
mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu ketika orang yang meninggal lupa atau teledor dalam memberikan wasiat kepada
4Usman dan Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, h. 164
5
Tengku, Muhammad Hasbih, Ash-shiddieaqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT Pustaka, 2001), h. 274
6
orang yang seharusnya menerima harta wasiat. 7 Dalam kaitan ini Ibn Hzm berpendapat bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat dekat yang
mendapatkan yang tidak mendapatkan pusaka dari warisnya, maka hakim harus bertindak memberikan sebagian harta peninggalan kepada kerabatnya.8 Karena,
sesuatu yang menghalangi mereka seperti perbedaan agama.9 Mesir dan Syiria menggunakan pendapat tersebut dalam Perundang-Undangan negaranya.10
C.Menurut KHI
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 209 ayat (1) dan (2) dijelaskan :
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 113 dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 113 darki harta warisan orang tua angkatnya.
7
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet.IV, h. 63
8
Dorry Elvana, sarie, Wasiat Sebagai Bentuk Penerobosan Kewarisan Ahli Waris Non Muslim, 2005, h. 37
9
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 245
10
Dalam pasal tersebut di atas wasiat dijelaskan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan baik itu sendiri maupun lebih. Dan yang melewati jalan wasiat
wajibah hanya anak angkat dan orang tua angkat, selain dari pada itu tidak ada landasan hukum untuk menerima harta dari jalan wasiat.
D.Di Negara Islam
Hukum keluarga Islam selama berabad-abad diakui sebagai landasan utama bagi pembentukan masyarakat (umat) Islam. Selain itu, kajian terhadap hukum
keluarga Islam tetap penting dan terus berkembang juga karena dari persoalan-persoalan inilah selalu muncul perdebatan antara kekuatan konservatif dengan
kekuatan-kekuatan progresif di dunia Islam. Oleh karena itu, mengkaji perkembangan hukum Islam di dunia Islam perlu dilaksanakan.11
Kebaradaan wasiat wajibah dalam sistem hukum keluarga Islam terutama
bila dihubungkan dengan hukum kewarisan memiliki kedudukan sangat penting terutama dalam menjaga dan menjamin kesejahteraan keluarga bahkan
masyarakat. Sehubung dengan arti pentingnya wasiat dalam hukum keluarga islam dan tengah-tengah hukum muslim sehingga mudah dimengerti jika ada beberapa negara Islam yang memasukan dictum wasiat wajibah dalam undang-undang
kewarisan.12
11
M. Atho Mudzar dan Khairudin Nasution, Hukum keluarga di Dunia Islam Modern, Cet I, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 164
12
1. Kuwait
Perundang-undangan yang sangat penting berhubungan dengan warisan adalah hukum Wasiat Wajibah (Law on Obligatory Bequest/ Qanun Wasiyyah al-Wajibah) tahun 1971, yang diundangkan tanggal 4 April 1971.
Perundang-undangan ini dapat membeikan manfaat bagi cucu yang orang tuanya meninggal (descendant of the predeceased children of deceased persons) dimana menurut
aturan ini cucu tersebut berhak mendapat bagian.13
Istilah Wasiat Wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Hukum
Waris 1946 guna menegakan keadilan dan membantu cucu yatim. Hukum Wasiat Wajibah Kuwait 1971 dibuat secara sederhana yang hanya memuat empat pasal. Ketentuan ini meskipun menderivasi dari UU Mesir, tentang “wasiat”, yaitu
menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 180 menururt mufassir dan fruqaha tradisional terhadap ayat ini wasiat hanya diberikan kepada orang tua dan kerabat dekat.14
Sebagaimana disebutkan sebelumnya penduduk kuwait memeluk tiga mazhab fiqh, yaitu Maliki, Hambali, dan minoritas Syi’ah.15 Pemedapat mereka semua beragam, akan tetapi pendapat yang lebih tegas berasal dari kalangan
13
Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 165-166
14
Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 168-169
15
mazhab Zahiri “Wajib bagi setiap Muslim berwasiat kepada keluarga dekat yang
tidak mendapatkan warisan.16
a. Butir Undang-Undang Wasiat Wajibah Tahun 1977
1) Bila seorang meninggal dunia (kakek/nenek) tidak berwasiat kepada
cucunya dari anak-anaknya yang meninggal sebelumnya atau anak yang meninggal bersama dengan kakek, bagian (warisan) ayah dari harta yang ditinggalkan kakek saat meninggal akan berpindah kepada anaknya (cucu)
sebagai harta wasiat yang harus diberikan kepadanya tapi tidak boleh melebihi sepertiga jumlah harta yang boleh diwasiatkan. Cucu tersebut
tersebut tidak termasuk ahli waris kakek yang meninggal yang tidak memberinya dengan cara lain. Tanpa pertimbangan lain, itulah hak yang harus diberikan kepadanya. Wasiat itu menjadi hak keturunan generasi
pertama dari anak anak perempuan orang yang meninggal. Akan tetapi wasiat itu menjadi hak garis keturunan laki-laki kebawah yang akan
menghalangi keturunannya sendiri, tapi bukan keturunan garis lain (garis perempuan). Bagian anak laki-laki dari orang yang meninggalkan dibagi diantara anak-anak (cucu)-nya kebawah sesuai prinsip kewarisan yang
seakan-akan hubungan itu melalui orang yang dihubungkan kepada orang
16
yang meninggal setelah dia dan kematiannya terjadi pada saat generasi itu masih memiliki hubungan dengannya.17
2) Jika orang yang meninggal berwasiat kepada cucu yangb melebihi harta yang harus diwasiatkan, pengaruhnya dianggap sebagai wasiat biasa dan jika
dia berwasiat kurang dari batas itu, kewajiban memenuhi wasiat itu sebatas memenuhi haknya. Jika wasiat itu (mesti) diberikan kepada beberapa orang akan tetapi si mati hanya berwasiat untuk beberapa orang diantaranya, tidak
kepada yang lainnya, maka wasiat itu harus juga diberikan kepada mereka (yang tidak diberi wasiat) sesuai haknya. Orang-orang yang tidak diberi
wasiat wajibah dan juga orang-orang yang diberi wasiat wajibah kurang dari jumlah itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang boleh diwasiatkan. Jika sisa harta itu tidak c ukup, maka wasiat yang diberikan itu
menjadi optimal.18
3) Wasiat wajibah lebih diutamakan dari pada wasiat biasa (optimal). Jika si
mati tidak brwasiat kepada cucu yang seharusnya mendapatkan wasiat wajibah, tapi justru berwasiat kepada yang lain, maka cucu-cucu itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang diwasiatkan (jika masih ada
sisa) atau mengambil harta yang diwasiatkan kepada orang lain itu. 19
17
Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 172
18
Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 172-173
19
2. Maroko
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh tunisia dari hukum wasiat Mesir
(1946) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat atau terakhir setelah Mesir, Syiria, dan Tunisia yang
mengadopsi aturan ini demi menjamin cucu yatim. Menurut Undang-undang Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak (dan seterusnya kebawah) dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini
tidak ditemukan dalam mazhab manapun dalam fiqh tradisional, sebab warisan hanya diperuntukan bagi ahli waris yang masih hidup.20
3. Mesir
Dalam kitab Undang-undang Mesir Tahub 1946 Nomor 71 dalam pasal 76, 77 dan 78 menetapkan bahwa :
a. Pewaris boleh berwasiat kepada orang yang menerima pusaka tanpa bergantung izin dari ahli waris atau tidak, sebagaimana halnya
membolehkan wasiat kepada orang yang tidak menerima harta peninggalan atau dzawil arham.21
b. Menetapkan wasiat wajibah berdasarkan hasil kompromi dari beberapa pendapat ulama Mesir, dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli
hadits, antara lain Said Ibnu Musyaiyah, Hasanul Bisrhry, Thawus
20
Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 115
21
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rawaih, serta Ibnu Hazm. Bahwa besarnya wasiat wajib kepada keluarga yang tidak memperoleh harta
peninggalan sebesar apa yang diperoleh ayah atau ibunya dengan batas maksimal sepertiga dari harta peninggalan. 22
Undang-undang Mesir pasal 9 dan Undang-undang Syria pasal 215 menetapkan:
1. Wasiat sah meskipun diberikan kepada orang-orang yang berbeda agama
dan kepercayaan dengan pihak mushii
2. Jika mushaa lah adalah orang asing maka disyaratkan ada sistem
pertukaran satu sama lain.
Artinya, perbedaan agama tidaklah mencegah sahnya wasiat, demikian juga perbedaan Negara. Jika negara mushaa lah tidak menghalangi wasiat kepada orang
seperti mushii, sebagai aplikasi atas persamaan dan sistem pertukaran satu sama lain, maka wasiat diperbolehkan apabila Negara mushi memperbolehkan akad
semacam wasiat. Wasiat dicegah apabila Negara tersebut tidak memperbolehkannya.23
22
Ramulyo, Hukum Perkawinan, h. 103
23
E. Contoh Penghitungan 1. Kasus I :
Dibawah ini adalah gambar pembagian wasiat wajibah dan keterangannya