• Tidak ada hasil yang ditemukan

WASIAT DAN HIBAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia. Dosen Pengampu : Rozikan, S.E.I., M.S.I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WASIAT DAN HIBAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia. Dosen Pengampu : Rozikan, S.E.I., M.S.I"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

WASIAT DAN HIBAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia

Dosen Pengampu : Rozikan, S.E.I., M.S.I

Disusun oleh kelompok 1:

Dyah Ayu Ratna Wiranti (20130730253) Juliana Rahmawati (20130730264)

PRODI EKONOMI DAN PERBANKAN ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidahyahnya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu.

Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi agung kita, Nabi Muhammad saw yang mana telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu.

Pada kesempatan kali ini, penyusun akan membahas mengenai wasiat dan hibah. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang kami miliki serta bantuan dari beberapa sumber. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada Bpk Rozikan, S.E.I., M.S.I yang telah memberikan tugas kepada kami.

Penyusun menyadari bahwa dalam mengerjakan tugas makalah ini banyak kekurangan dalam hal isi maupun penulisan. Maka dari itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun agar tugas makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Yogyakarta, 29 Desember 2015

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... iii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan ... 3

D. Manfaat ... 3

BAB II ... 4

PEMBAHASAN ... 4

A. Pengertian Wasiat ... 4

B. Dasar Hukum Wasiat ... 5

C. Rukun dan Syarat Wasiat ... 7

D. Pembatalan Wasiat ... 11

E. Wasiat Wajibah ... 12

F. Pengertian Hibah ... 17

G. Dasar Hukum Hibah ... 17

H. Rukun dan Syarat Hibah ... 19

I. Macam-macam Hibah ... 20

J. Pembatalan Hibah ... 21

K. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Wasiat dan Hibah ... 22

BAB III ... 28

PEMBAHASAN ... 28

(4)

iv A. Pembagian Harta Peninggalan Kepada Kerabat yang Tidak

Mendapatkan Harta Warisan ... 28

B. Pandangan Islam Terhadap Harta yang di Hibahkan Melebihi 1/3 dari Total Harta yang Dimiliki ... 29

C. Hukum Kepemilikan Harta Hibah Jika Si Pemberi Hibah Meninggal Terlebih Dahulu ... 30

BAB IV ... 31

PENUTUP ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(5)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Harta adalah anugerah dari Allah SWT yang menjadi sarana mempermudah kehidupan manusia yang dapat berdampak baik dan berdampak tidak baik.1Harta benda atau kekayaan dalam berbagai bentuknya telah diciptakan untuk makhluk hidup di muka bumi ini.

Kemudian pengelolaan alam diserahkan kepada manusia sebagai khalifah, sebagaimana difirmankan oleh Allah yang artinya:

Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian.(Q.S. Al-Baqarah: 29).

Manusia harus menyadari hakikat harta itu sendiri, bahwa harta hanyalah titipan Allah, kepemilikan sepenuhnya hanya ditangan Allah.Allah dapat mengambil sewaktu-waktu harta pada diri manusia.

Allah berfirman dalam surat An-Najm ayat 31 yang artinya:

Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga.)

Manusia sudah dipercayai oleh Allah dalam mengelola harta benda, maka dari itu konsekuensi manusia adalah menjaga agar harta itu digunakan pada jalan kebenaran dan membuat manusia yang ada di muka bumi ini mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Akan tetapi, manusia memiliki batasan umur. Kematian adalah sebuah rahasia Illahi dan manusia akan meninggalkan semua harta yang dimilikinya di dunia. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki dapat disebut harta peninggalan.

1 Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia. ( Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press). Hlm.46.

(6)

2 Harta peninggalan, haruslah dibagi kepada orang-orang yang berhak menerimanya,di dalam fiqih terdapat pembahasan mengenai ilmu mawaris. Menurut para fuqaha, ilmu mawaris adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagiannya. Kedudukan ilmu ini dipandang separoh ilmu syariah, karena bidang-bidang yang lain dari ilmu syariah berpautan dengan keadaan manusia sebelum meninggal, maka ilmu ini berpautan dengan keadaan mereka sesudah wafat.2

Sistem pembagian harta peninggalan menggunakan sistem kewarisan Islam, adakalanya ahli waris tidak dapat menikmati bagian harta warisan, sehingga perlu ditingkatkan efektifitasnya dan optimalisasi pelaksanaan sistem kewarisan Islam agar harta peninggalan itu beredar pada lingkungan kekerabatan yang lebih luas.Untuk melengkapi dan mengisi celah-celah peristiwa yang terjadi pada hukum waris, maka Allah telah memerintahkan manusia untuk melakukan wasiat dan hibah.Posisi wasiat dan hibah sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan. Maka dari itu, Penyusun akan membahas mengenai wasiat dan hibah dalam pandangan Islam dan pelaksanaanya di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pembagian harta peninggalan apabila kepada kerabat- kerabat yang tidak mendapat harta warisan?

2. Apakah harta yang dihibahkan melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki itu sah menurut Islam?

3. Bagaimana kepemilikan harta hibah, apabila si penerima hibah meninggal terlebih dahulu?

2Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy. Fiqh Mawaris. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra). Hlm. 8.

(7)

3 C. TUJUAN DAN MANFAAT

1. Untuk mengetahui bagaimana pembagian harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat harta warisan.

2. Untuk mengetahui apakah harta yang dihibahkan melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki itu sah menurut Islam.

3. Untuk mengetahui bagaimana kepemilikan harta hibah, apabila si penerima hibah meninggal terlebih dahulu.

(8)

4 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wasiat

Istilah wasiat berasal dari bahasa Arab yang berarti tausiyah, kata kerjanya berasal dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan menyari’atkan.3

Wasiat dalam pengertian ilmu fiqh (hukum Islam) adalah sebagai berikut:4

a. Menurut al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa benda atau manfaatnya.

b. Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu memiliki kemampuan menerima hibbah setelah matinya orang yang berwasiat.

c. Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai hartanya atau kepada beberapa oang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.

d. Menurut Muhammad Sarbini al Khatib, wasiat adalah memberikan sesuatu dengan kemauan sendiri yang dijalankan sesudah orangnya meninggal dunia.

e. Undang0undang wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 pasal 1 menyebutkan bahwa wasiat itu merupakan tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan sudah mati.

Pada Kompilasi Hukum Islam bab 1 Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada

3Sidik Tono. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan. (Jakarta:

Kementerian agama Republik Indonesia). Hlm. 43.

4Ibid., Hlm. 45-46.

(9)

5 orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.5

Jadi dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian harta benda kepada orang lain yang diberikan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dimana si penerima wasiat harus sesuai dengan syarat-syarat penerima wasiat.

B. Dasar Hukum Wasiat

Dasar hukum wasiat berbunyi : Al Baqarah: 180



































Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat tersebut, dianjurkan setiap orang yang sebentar lagi dijemput oleh malaikat pencabut nyawa haruslah memberikan wasiat kepada keluarga yang akan ditinggalkan.

Wasiat itu mengandung perbuatan sosiologis karena menyangkut beberapa orang yang terkait seperti orang yang berwasiat, penerima wasiat dan harta benda yang diwasiatkan.6 Dalam hal ini Allah berfirman: Al Mai’dah: 106













































5Ibid., Hlm. 47-48.

6Ibid., Hlm. 49.

(10)

6





























































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.

kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang- orang yang berdosa.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa saksi sangatlah penting dalam wasiat, agar tidak ada kecurangan atau penyelewengan harta wasiat.

Wasiat berlaku setelah orang berwasiat itu meninggal dunia, dan menurut hukum Islam pelaksanaan wasiat didahulukan dari pelaksanaan kewarisan dengan memperhatikan batasan- batasannya.7Ketentuan batas wasiat itu berdasarkan hadits riwayat an Nasai dan Ahmad:8

Artinya: “Rasulullah SAW menjenguk aku ketika dalam keadaan sakit, seraya bertanya: “apakah engkau telah berwasiat?”, aku menjawab: “sudah”, Beliau bertanya lagi: “Berapa?”, aku menjawab: “semua hartaku sabilillah”, lalu Beliau bertanya lagi:“lalu apa yang ditinggalkan untuk anakmu?”, aku menjawab:“mereka adalah orang-orang kaya”. Lalu Beliau bersabda: “Wasiatkanlah yang sepersepuluhnya”. Kalimat itu diulang-ulang dan aku juga mengatakan berulang-ulang (“semua”), sehingga Beliau bersabda: “Wasiatkanlah sepertiganya, karena sepertiga itu sudah cukup banyak atau besar”.

7Ibid., Hlm. 50.

8Ibid., Hlm. 59.

(11)

7 Ketika ingin memberikan wasiat maka janganlah berlebihan dan tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan. Terdapat hadist yang senada dengan hadist di atas, yaitu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqas yang menceritakan bahwa:9

Artinya: “Rasulullah SAW mengunjungi aku pada tahun haji wada‟, karena aku menderita sakit keras, kemudian aku berkata:

“Aku telah menderita sakit keras dan aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisinya kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh bersedekah duapertiga dan anakku cukup sepertiga?”. Nabi menjawab: “Jangan”, lalu aku bertanya: “Bagaimana kalau seperdua?”, Nabi menjawab: “Jangan”. Kemudian Beliau bersabda:

“Wasiatkanlah sepertiga saja, sepertiga itu cukup banyak.

Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kueadaan miskin yang menjadi beban orang lain”.

Prinsip dalam membuat wasiat adalah tidak boleh merugikan ahli waris, maka harta yang dibagikan tidak boleh lebih dari sepertiga.Sehingga ahli waris dapat menikmati lebih harta peninggalan.10Wasiat lebih baik dan aman jika ditulis, jika sudah ada niat, maka tulislah wasiat tersebut dalam akta otentik.Hal tersebut dilakukan untuk berjaga-jaga dan berhati-hati dengan wasiat palsu.

C. Rukun dan Syarat Wasiat

Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi.Rukun wasiat adalah orang yang berwasiat (musi), orang yang menerima wasiat (muso lagu), sesuatu (benda) yang diwasiatkan (muso bihi), dan sighat (akad).

Rukun dan syarat wasiat akan dijabarkan sebagai berikut:11 1. Orang yang berwasiat

Setiap orang pada dasarnya boleh melakukan wasiat, dan wasiat itu merupakan perbuatan hukum, dan setiap perbuatan hukum itu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehingga orang yang berwasiatpun harus memenuhi syarat sebagi berikut:

9Ibid., Hlm. 60.

10Ibid., Hlm. 62.

11Ibid., Hlm. 75.

(12)

8 a) Baligh

b) Berakal

c) Atas kehendak sendiri

d) Harta yang diwasitkan itu milik sendiri

Syarat orang yang berwasiat ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 194 yaitu:

a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapaat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

b) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

c) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah wasiat meninggal dunia.

2. Penerima wasiat

Terdapat beberapa kelompok penerima wasiat, yaitu:

a) Ibu-bapak seperti ibu-bapak angkat, ibu bapak yang dalam pemeliharaan panti asuhan, ibu-bapak yang sakit keras sangat membutuhkan biaya perawatan, dan lain sebagainya.

b) Para keluarga yang tidak berhak mendapat warisan.

c) Lembaga seperti lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan (KHI Pasal 194 ayat 1).

d) Para keluarga dalam hubungan keagamaan seperti para fakir dan miskin.

e) Ahli waris yang memperoleh persetujuan para ahli waris (KHI pasal 195 ayat 3).

Secara umum Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa agar sasaran wasiat sesuai dengan ketentuan syari’at, maka penerima wasiat itu harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Penerima wasiat dapat diketahui dengan jelas.

b) Penerima wasiat telah ada ketika wasiat dinyatakan.

(13)

9 c) Bukan tujuan kemaksiatan.

Akan tetapi terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian bagi para penerima wasiat ini antara lain:

a) Wasiat yang ditujukan kepada ahli waris

Jumhur ulama (imam empat mazha) membolehkan, bahwa berwasiat kepada ahli waris itu hukumnya boleh apabila para ahli waris mengizinkan.

Persetujuan para ahli waris harus sudah diperoleh sebelum orang yang berwasiat itu mati, sebab persetujuan itu adalah kerelaan para ahli waris untuk dikurangi haknya untuk diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan wasiat..

b) Wasiat kepada pembunuh pewasiat

Seseorang yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja membunuh pemberi wasiat maka ia tidak akan menerima wasiat itu.

c) Wasiat kepada orang yang tidak ada pada saat pewasiatmati, maka wasiat tersebut batal apabila dilihat dari unsur ketidakhadiran penerima wasiat pada waktu wasiat itu dibuat, sebab kehadiran itu merupakan syarat sahnya wasiat.

d) Wasiat kepada seorang bayi yang masih dalam kandungan, maka wasiat tersebut adalah sah hukumnya, dengan catatan anak tersebut lahir dalam keadaan hidup.

e) Wasiat wajibah

Wasiat wajibah artinya tindakan wasiat itu atas kehendak undang-undang, hal ini berbeda dengan wasiat ikhiyariyah dimana wasiat ini adalah sukarela dari si pemilik harta.Wasiat wajibah ini diutamakan kepada cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki yang telah mati mendahului kakek atau neneknya, sehingga posisi cucu tersebut dalam keadaan seperti diatas adalah sebagai zaw al

(14)

10 arham, dan juga kasus yang berkaitan dengan ahli waris yang tidak berhak mewarisi karena berlainan agama.

Menetapkan cucu laki-laki dan cucu perempuan dalam wasiat wajibah mempunyai akibat sebagai waris pengganti ayahnya yang telah mendahului kakek dan neneknya, secara umum dapat dilihat kelemahannya, yaitu seandainya ada kasus bahwa:

1) Ahli waris yang terdiri dari anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka cucu laki-laki itu akan menduduki posisi sebagai waris pengganti yang menggantikan ayahnya yang telah meninggal mendahului kakek atau neneknya, yang menyebabkan cucu laki-laki akan mendapatkan bagian dua kali bagian anak perempuan.

2) Ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, maka cucu perempuan ini tidak berfungsi sebagai waris pengganti.

3) Ahli waris terdiri dari seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki atau anak perempuanyang telah ditinggal mati orang tuanya mendahului kakek atau neneknya. Jika kakeknya mati, maka seluruh harta peninggalan akan diterima oleh anak laki-laki, sedangkan cucu laki-laki tidak akan memperoleh bagian sedikitpun karena kedudukan cucu laki-laki terhapus oleh anak laki-laki.

3. Benda yang diwasiatkan

Syarat-syarat benda atau manfaatnya yang dapat diwariskan adalah:

a) Benda itu dapat berlaku sebagai harta warisan atau b) Benda itu dapat menjadi obyek perjanjian,

c) Sudah wujud pada waktu wasiat dinyatakan, d) Milik pewasiat

(15)

11 Benda-benda tersebut haruslah yang berharga dalam pandangan Islam sehingga benda tersebut bisa diwasiatkan.Sedangkan benda yang tidak berharga dalam pandangan Islam adalah semua benda yang haram dimana obyek haram tersebut tidak bisa diwasiatkan.

4. Akad atau sighat wasiat

Pernyataan wasiat dianggap sah apabila dalam membuatnya mempergunakan sighat (akad) dimana bisa secara tertulis, lisan, atau dengan isyarat yang dapat dimengerti bagi para ahli waris.

Jadi dalam wasiat kita harus ada empat rukun yaitu orang yang berwasiat, penerima wasiat, serta benda yang diwasiatkan dimana jika salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi maka wasiat itu tidak sah dan disetiap rukun terdapat syarat-syarat yang harus dilaksanakan.

D. Pembatalan Wasiat

Suatu wasiat akan dipandang batal dan tidak dapat dilaksanakan, apabila:12

a) Orang yang berwasiat menarik wasiatnya;

b) Orang yang berwasiat kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena gila atau rusak akal;

c) Orang yang berwasiat ketika meninggal dunia menanggung hutang yang menghabiskan harta peninggalannya;

d) Orang yang menerima wasiat meninggal sebelum orang yang berwasiat;

e) Orang yang menerima wasiat membunuh orang yang berwasiat;

f) Orang yang menerima wasiat menolak wasiat;

g) Harta yang diwasiatkan binasa;

h) Harta yang diwasiatan diputus hakim menjadi hak orang lain;

i) Harta yang diwasiatkan keluar dari milik orang yang berwasiat sebelum mati, meskipun akhirnya harta tersebut kembali menjadi miliknya lagi;

12Ibid., Hlm. 92-93.

(16)

12 j) Harta yang diwasiatkan mengalami perubahan bentuk dan;

k) Habis waktu wasiatnya.

Setelah kita lihat bahwa wasiat itu merupakan pemindahan kepemilikan harta peninggalan. Namun disini wasiat bisa dibatalkan karena ada beberapa hal yaitu apabila si penerima wasiat itu meninggal terlebih dahulu maka wasiat itu batal karena yang diberi wasiat sudah tidak ada. Bisa juga karena harta yang diwasiatkan itu hais karena oleh suatu hal sehingga tidak ada harta yang bisa diwasiatkan. Wasiat juga bisa batal dikarenakan karena sipenerima wasiat itu sudah tidak memiliki kecakapan dalam mengurus wasiat.

Jika si penerima wasiat itu membunuh si pemberi wasiat maka wasiat itu batal karena sipenerima sudah melakukan hal yang tidak baik maka sipenerima wasiat itu tidak pantas untuk menerima wasiatnya dan hal tersebut menjadi batalnya pemberian wasiat.

Suatu wasiat itu terkadang tidak selalu dengan harta namun bisa juga dengan pemanfaatan suatu benda, sehingga apabila pemanfaatan benda tersebut sudah habis maka wasiat itu telah habis masa waktunya.

E. Wasiat Wajibah

Segolongan fuqahatabi’in dan imam-imam fiqh dan hadits, diantaranya Sa’id ibn Musayyab, Adh-Dhahhak, Thaus, Al-Hasanul Bishri, Ahmad Ibnu Hazn. Berpendapat: “Bahwasannya wasiat untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat pusaka adalah wajib ditetapkan dengan firman Allah.” (QS. Al-Baqarah: 180)

Para ulama berselisih pendapat tentang masih berlakukah hukum yang telah di nashkan oleh ayat itu, yaitu wajib wasiat untuk ibu, ayah dan kerabat-kerabat terdekat, ataukah tidak lagi.13

13Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy. Fiqh Mawaris. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra). Hlm. 262.

(17)

13 Banyak ahli tafsir dan jumhur ulama berpendapat bahwa wajib wasiat untuk Ibu. Ayah, dan kerabat sudah mansukh (dihapus) karena ayat wasiat tersebut telah di mansukh-kan oleh ayat-ayat mawaris dan oleh sabda Nabi saw. “La washiyyata liwaritsin” (tidak ada wasiat untuk para waris). Walaupun hadits ini ahad dan mutawatir tetapi hadits ini diterima baik oleh para fuqaha.14

Wasiat wajibah harus memenuhi dua syarat antara lain yang pertama yaitu yang wajib menerima wasiat yaitu bukan waris dan yang kedua yaitu orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, misalnya seperti hibah.15

Jadi penyusun menyimpulkan bahwa wasiat wajibah ini adalah wajib dilakukan dimana dengan jalan putusan hakim serta wasiat wwajibah ini harus didahulukan dari pada wasiat ikhtiariyah (suka rela).

Secara realita banyak pasangan suami istri yang sudah mapan dan perekonomian yang berlebihan belum berhasil memperoleh keturunan sementara disatu sisi pasangan suami istri yang belum siap secara perekonomian belum tercukupi justru banyak mempunyai keturunan.

Dari gambaran tersebut diatas suami istri yang tak memperoleh keturunan dapat mengangkat anak dari kedua orang tua yang menyerahkan anaknya untuk di adopsi menjadi anak angkat. Dengan demikian terjadilah peralihan tanggungjawab dari orang tua yang menyerahkan anaknya kepada yang menerima, kemudian bersedia mendidik dan membesarkannya sebagaimana anak kandungnya sendiri.16

Proses pengangkatan anak mengakibatkan ketentuan hukum baru, dimana jika terjadi sesuatu musibah dan mengakibatkan kematian

14Ibid.

15Ibid., Hlm. 265.

16 http://kerinci.kemenag.go.id/2014/09/06/artikel-hukum-keluarga-wasiat-wajibah- dalam-khi-dan-perspektif-fiqh/ diakses pada 29 Desember 2015

(18)

14 terhadap orang tua angkat tersebut maka akan terjadi perubahan sosial tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan . kedudukan anak angkat / orang tua angkat pada hukum waris yang di atur dalam Hukum adat keduanya adalah ahli waris yang saling mewarisi dan menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat / orang tua angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak 1/3 apabila anak angkat tidak menerima warisan. Sementara Kitab Undang undang Hukum Perdata pasal 832 dan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk ahli waris.

Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.

Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.

Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.

Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang

(19)

15 asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.

Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :

1. Yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.

2. Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam :

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash.

sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.”

Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi.

Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah

(20)

16 sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”

Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.

Dalam Perspektif Fiqh :

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru’ .

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang

(21)

17 yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.

Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia .

F. Pengertian Hibah

Kata hibah adalah Bahasa Arab yang berarti “kebaikan atau keutamaan yang diberikan suatu pihak kepada yang lain berupa harta atau bukan”.17

Menurut istilah agama Islam hibah itu semacam akad atau perjanjian yang menyatakan pemindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan sedikitpun.18

Jadi hibah adalah pemberian sesuatu untuk dimiliki tanpa adanya ganti sesuatu semasa hidupnya.

G. Dasar Hukum Hibah

Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk saling mengasihi, salah satu caranya dengan memberikan hibah secara suka rela. Dasar hukum disyariatkannya hibah adalah firman Allah:

(QS. Al Baqarah: 177)









































17Asymuni A. Rahman, dkk. Ilmu Fiqh 3. (Jakarta: Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN. 1986). Hlm. 198.

18Ibid., Hlm. 199.

(22)

18

































































Artinya: “ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.

(QS. Ali-Imran: 92)

































.

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Selain itu, terdapat hadts mengenai hibah yang artinya:

Dari Khalid bin Adi, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:

Barang siapa yang diberi saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih- lebihan dan tidak dia minta, hendaklah diterimanya (jangan ditolak);Sesungguhnya yang demikian itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya. (HR. Ahmad)

“Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibnu Umar, dan Siti Aisyah r.a.

bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.”

(23)

19 H. Rukun Dan Syarat Hibah

Rukun-rukun hibah diantara lain:

1. Sighat hibah

Dalam pemberian hibah diperlukan sighat yaitu akad dimana terdiri atas ijab dan qabul. Apabila ada yang kurang mampu berbicara.Maka sighat hibah bisa dengan isyarat, asal isyarat itu bisa dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.

2. Penghibah

Penghibah adalah orang yang memberikan hibah, dimana penghibah ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Penghibah itu adalah pemilik harta yang akan dihibahkan.

b) Penghibah itu mampu bertanggung jawab jika terjadi persoalan atau perkara dipemgadilan yang berhubungan ddengan hartanya.

c) Penghibah tidak berada dibawah perwalian orang lain karena lemah akalnya.

d) Penghibah itu dalam melakukan tindakannya atas dasar kehendak bukan karena terpaksa dan juga melakukan perbuatannya itu atas dasar pilihannya sendiri.

3. Penerima hibah

Penerima hibah adalah orang yang menerima pemberian hibah itu.

Syarat-syarat penerima hibah antara lain:

a) Bahwa ia telah ada, artinya ia tidak berada di dalam kandungan.

b) Dalam perpindahan milik hendaklah ada, artinya bahwa kita harus ada saat setelah penghibahan atau setelah sighat akad diucapkan.

c) Jik penerima hibah itu belum mukallaf, maka sebagai penerima ibahnya yaitu wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawas memelihara dan mendidiknya.

(24)

20 4. Barang Hibah

Barang hibah adalah sesuatu atau harta yang dihibahkan. Syarat- syarat barang hibah antara lain:

a) Barang hibah itu telah ada saat hibah itu dilaksanakan. Tidak sah jika menghibahkan bangunan namun bangunan itu belum dibangun, atau tanah yang belum di balik nama dan sebagainya.

b) Barang yang dimiliki harus sesuai dengan ajaran Islam.

c) Barang itu telah menjadi sah dari penghibahan. Misalnya tidak boleh menghibahkan barang yang belum jelas pemiliknya.

d) Harta yang dihibahkan itu telah terpisah dari harta penghibah.

e) Harta yang akan dihibahkan itu tidak dalam keadaan terikat pada suatu perjanjian dengan pihak manapun.

I. Macam-macam Hibah

Hibah dilihat dari bentuknya dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu (1) hibah „umra, (2) ruqba, (3) hibah bil-iwadl, dan (4) hibah bisysyarth aliwadl. Hibah manfaat yaitu hibah yang berjangka waktu („umra).19

Hal ini disamakan dengan ariyah (pinjaman). Menurut bahasa ariyah mempunyai arti memberi manfaat tanpa imbalan. Sedangakan ariyah (meminjami) menurut syara’adalah memberi manfaat dari sesuatu yang halal dimanfaatkan kepada orang lain, dengan tidak merusak zatnya, agar zat barang itu nantinya bisa dikembalikan lagi kepada yang empunya. Dan ada juga yang diisyaratkan seumur hidup orang yang diberi atau disebut juga dengan hibah „umra.

19Miftah Noor Rosyid, Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang

Kebolehan Hibah „Umra. 2010

(25)

21 Ijabdapat dilakukan secara sharih, seperti seseorang berkata,”Sayahibahkan benda ini kepadamu”, atau tidak jelas, yang akan lepas dari syarat,waktu, atau manfaat mempunyai maksud sebagai berikut:

a. Ijab disertai waktu (hibah „Umra)

„Umra merupakan sejenis hibah yaitu bila seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain selama hidup dan apabila yang diberi hibah itu meninggal, maka barang tersebut kembali lagi kepada orang yangmemberi.

b. Ijab disertai syarat penguasaan (hibah Ruqba)

Seperti seseorang berkata, “Rumah ini untukmu, secara raqabi (saling menunggu kematian, jika pemberi yang meninggal lebih dahulu,maka barang tersebut menjadi miliknya. Sebaliknya, jika penerima yang meninggal dunia lebih dahulu maka barang tersebut kembali kepada pemilik awal)”. Ijab yang seperti ini hakikatnya adalah pinjaman.

J. Pembatalan Hibah

Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya. Telah dijelaskan bahwa menarik hibah itu termasuk perbuatan tercela serta hal tersebut telah diharamkan. Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekah (hibah)nya, adalah seperti anjing yang muntah-muntah, kemudian mengambil kembali muntahannya itu, dan memakannya.”20(HR.

Muslim)

Dapat disimpulkan bahwa, janganlah mengambil kembali hibah yang telah diberikan karena itu perbuatan yang tercela.

20AhmadRofiq. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). Hlm.

476-478.

(26)

22 K. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Wasiat dan Hibah

WASIAT Pasal 194

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Pasal 196

Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

(27)

23 Pasal 197

(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;

b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;

c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;

d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.

(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;

b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;

c. mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

(28)

24 Pasal 198

Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan jangka waktu tertentu.

Pasal 199

(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.

(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.

(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.

(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200

Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.

Pasal 201

Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.

(29)

25 Pasal 202

Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Pasal 203

(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.

(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

Pasal 204

(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.

(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

(30)

26 Pasal 205

Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 206

Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207

Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208

Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

Pasal 209

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

(31)

27 (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

HIBAH Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Pasal 213

Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal- pasal ini.

(32)

28 BAB III

PEMBAHASAN

A. Pembagian Harta Peninggalan Kepada Kerabat yang Tidak Mendapatkan Harta Warisan

Harta peninggalan di dalam Islam telah diatur di Ilmu Mawaris. Akan tetapi, banyak permasalahan yang muncul dalam pembagian harta peninggalan. Seperti kerabat atau keluarga yang belum mendapatkan bagian harta tersebut padahal, mereka berhak mendapatkannya. Maka dari itu, wasiat sebagai solusi untuk memecahkan persoalan tersebut.

Seperti permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini, ada sebuah kasus dimana Pak Budi memiliki satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pak Budi memiliki cucu laki-laki dari anak laki-lakinya. Anak laki-laki pak Budi meninggal dunia terlebih dahulu. Bagaimana pembagian harta peninggalan kepada cucu laki-laki pak Budi?

Dalam kasus ini wajiblah kakek (Pak Budi) membuat wasiat untuk cucu laki-lakinya. Hal ini termasuk dalam wasiat wajibah dimana wasiat wajibah ini lebih didahulukan daripada wasiat ikhtiariyah. Wasiat ikhtiariyah yaitu wasiat yang diberikan secara sukarela sedangkan wasiat wajibah ini adalah wasiat yang diwajibkan sesuai dengan undang-undang.

Cucu laki-laki ini tidak mendapatkan harta warisan namun pengganti dari ayahnya yang sudah meninggal terlebih dahulu sejumlah pokok ayahnya. Apabila jumlah harta peninggalan itu lebih dari sepertiga harta peninggalan, sedangkan para ahli waris itu tidak membenarkan dan jika jumlah wasiat wajibah itu sepertiga harta maka mereka berhak mengambil dan wasiat ikhtiariyah tidak mendapatkan apa-apa. Apabila cucu laki-laki

(33)

29 menerima kurang dari sepertiga harta peninggalan maka sisa dari sepertiga itu untuk wasiat ikhtiariyah

Jika lebih dari sepertiga harta peninggalan maka yang wajib diambil oleh si cucu laki-laki adalah sepertiga harta peninggalan dan tidak boleh lebih karena hal ini ditempuh dengan jalan wasiat.

B. Pandangan Islam Terhadap Harta yang Dihibahkan Melebihi 1/3 dari Total Harta yang Dimiliki

Di Indonesia permasalahan hibah masih kompleks, salah satu masalah adalah mengenai jumlah pemberian hibah. Misalnya, Bapak Seto memberikan hibah kepada salah satu mahasiswanya yang berprestasi sejumlah setengah dari hartanya karena ia merasa perlu membantu mahasiswanya untuk meneruskan kuliah. Akan tetapi, keluarganya tidak mengetahui hal tersebut. Kemudian Bpk Seto jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Setelah itu keluarga membagi harta peninggalan dan baru diketahui bahwa setengah dari hartanya sudah dihibahkan kepada mahasiswanya sedangkan, meminta hak atas harta yang dihibahkan karena mereka tidak mengetahui hal tersebut.

Di dalam Islam hibah tidak ada batasan siapa dan berapa mengenai pemberian hibah. Mengenai kasus tersebut ada beberapa kesalahan. Pertama, Bapak Seto tidak memberitahukan keluarga apabila ia memberikan hibah kepada mahasiswanya sehingga keluarga menuntut harta yang telah dihibahkan karena merasa bahwa itu adalah hak mereka. Padahal, Islam sangat mengecam orang yang mengambil hibah yang sudah diberikan. Kedua, jumlah hibah yang diberikan memang tidak ada batasannya akan tetapi, penghibah harus melihat akibat yang akan ditimbulkan baik berupa kemaslahatan maupun kemudharatannya.

(34)

30 C. Hukum Kepemilikan Harta Hibah Jika Si Penerima Hibah

Meninggal Terlebih Dahulu

Permasalahan hibah yang sering dijumpai adalah status kepemilikan harta yang telah dihibahkan, padahal penerima hibah sudah meninggal lebih dahulu dibanding penghibah.

Dalam hibah barang yang diberikan belum menjadi milik yang diberi melainkan sesudah diterimanya. Di dalam buku Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia diceritakan bahwa Rasulullah pernah memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi, kemudian Najasyi meninggal dunia sebelum diterimanya, Nabi kemudian mencabut pemberian tersebut setelah Najasyi meninggal.

Hal ini bisa dijelaskan apabila si penerima hibah itu meninggal maka penghibah boleh mencabutnya atau memberikan kepada ahli waris dari si penerima hibah.

(35)

31 BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Penyelesaian permasalahan akan pembagian harta kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta peninggalan yaitu dengan jalan wasiat wajibah.

2. Pandangan Islam terhadap harta yang dihibahkan melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki adalah boleh, akan tetapi harus dilihat juga dari segi kemaslahatan serta kemudharatan yang akan ditimbulkan.

3. Hukum kepemilikan harta hibah jika si penerima hibah meninggal terlebih dahulu yaitu si penghibah boleh mencabutnya atau memberikan kepada ahli waris si penerima hibah.

4. Perbedaan yang paling utama antara harta yang diterima lewat warisan, wasiat dan diterima lewat hibah adalah pada masih hidup atau tidaknya pemberi harta. Bila pemilik harta itumasih hidup dan dia memberikannya kepada anak-anaknya atau mungkin juga orang lain, namanya hibah dan bukan warisan. Sedangkan warisan dan wasiat hanya dibagi bila pemilik harta sudah wafat.Dalam hibah, begitu pemilik harta memberikannya kepada seseorang, saat itu juga sudah terjadi perpindahan kepemilikan harta. Akan tetapi wasiat dan warisan akan berpindah kepemilikan ketika si pemilik harta sudah wafat.

(36)

32 DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul. 2011. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indoneisa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ash-Shiddieqy, Teungku. 2015. Fiqh Mawaris. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Kompilasi Hukum Islam

Rahman, Asymuni, dkk. 1986. Ilmu Fiqh 3. Jakarta: Pembinaan Prasarana dan Sarana Tinggi Agama/ IAIN.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rosyid, Miftah. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan Hibah „Umra. 2010

Tono, Sidik. 2012. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan. Jakarta: Kementerian Agama RI.

http://kerinci.kemenag.go.id/2014/09/06/artikel-hukum keluarga-wasiat-wajibah-dalam-khi-dan-perspektif- fiqh/ diakses pada 29 Desember 2015

Referensi

Dokumen terkait

Display dalam istilah Drumband SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung merupakan Bentuk Penyajian Drumband yang ditampilkan oleh sekelompok orang yang memainkan satu atau

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Seminar wajib mendaftarkan diri kepada dosen pengelola dan penyelenggara Seminar, dengan menunjukkan KRS yang berlaku pada

Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan pirimetamin- sulfadoksin

Hal yang harus dicari dalam refleksi setelah siswa mempelajari menentukan rumus fungsi adalah apakah siswa di akhir pembelajaran dapat (1) memahami bahwa apabila

Terkait dengan pertanyaan penelitian kedua, yaitu bagaimana dampak keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding pada perilaku konsumen, khususnya pada minat beli dan

Subyek Penelitian adalah seseorang atau hal yang akan diperoleh keterangan tentang mereka. 18 Subyek peneliti ini berkaitan dengan sumber- sumber informasi

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman genetik RTBV dari tiga daerah endemis virus tungro di Indonesia berdasarkan sekuen basa nukleotida dan