• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETENTUAN UMUM WASIAT

E. Analisa Penulis 1. Perkawinan 1.Perkawinan

2. Penerima Wasiat Wajibah

Dalam Petitum No. 5 (lima) Majlis Hakim memberikan kepada ahli waris non muslim dengan jalan wasiat wajibah dengan dasar ayat Al-Qur‖an surat An -Nisa ayat 8:



























Artinya:“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak

mendapatkan pusaka), anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka

harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”(QS. An-Nisa: 8).

Menurut penulis ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 8 tersebut bukan dasar keharusan Tergugat I dan II untuk mendapatkan wasiat wajibah, akan tetapi ayat tersebut lebih condong kepada etika pembagian. Dan terkait arti tersebut bukanlah diberikan melaului jalan wasiat wajibah, akan tetapi diberikan sekedarnya. karena yang berhak atas wasiat wajibah adalah anak angkat atau orang tua angkat, bukanlah anak yatim, miskin, dan kerabat kalau mereka tidak menjadi anak angkat atau orang tua angkat dari pewasiat. Juga perlu diingat bahwa Tergugat I seandainya bisa menerima wasiat wajibah tidaklah pantas walaupun pada teorinya tidak bisa pada sebenarnya, karena sudah mendapatkan sebagian harta peninggalan melalui jalan harta bersama. Dan khusus Tergugat II (anak) yang terhalang mendapatkankan sekedarnya dari kebaikan hati Penggugat yang berhak mewarisi, artinya bukan melewati jalan wasiat wajibah.

Seharusnya yang menjadi dasar adalah menurut penulis Al—Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya :

ل م ح ضح م يلع ب

يب ق لآ ي ل لل َيص لآ يخ

Artinya:“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas

orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah:180).

Menurut Ibnu Hazm yang berhak menerima wasiat wajibah adalah mereka yang bertemu mayit dari jalur ayah yang mana darinya dapat diketahui bila dinasabkan. Begitu juga dari jalur ibu yaitu orang yang bertemu mayit dari jalur ibunya yang mana darinya bisa diketahui bila dinasabkan kepadanya, karena mereka semua menurut bahasa disebut kerabat dan selain mereka tidak diperbolehkan disebut kerabat dengan tanpa dasar.1

Dalam perkara wasiat yang diberikan kepada orang tua dan karib kerabat. Yaitu diwajibkan untuk memberikan wasiat ketika tanda-tanda kematian datang. Kemudian Allah memansukh perkara tersebut dengan ayat-ayat kewarisan. Akan tetapi syari’at memberikan wasiat kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan.2 Ibnu Hazm berpendapat, bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat pusaka oleh warisnya, maka hakim harus bertindak

1

Abu Muhammad Aliy Ibnu Hazim, al-Muhalla bi al-As|ar Jilid VIII, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 2003), h. 353

memberi sebagian harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat pusaka sebagai suatu wasiat yang wajib untuk mereka.3

Menurut Sayyid Sabiq terkait penerima wasiat ada syarat-syarat sebagai berikut:

a. Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat.

b. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa jika penerima wasiat ditentukan, maka ditetapkan syarat terkait keabsahan wasiat baginya pada waktu pembagian wasiat baik itu ada secara fisik yang sebenarnya maupun ada dengan penetapan.

c. Ditetapkan syarat bagi penerima wasiat bahwa dia tidak membunuh pemberi wasiat dengan pembunuhan yang dilarang secara langsung.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat (1) dan (2) telah jelas sebagai landasan hukum yang berhak atas wasiat wajibah hanya diperuntukan terhadap anak angkat dan orang tua angkat, dan bukan ahli waris yang terhalang karena

murtad, yang dengan kata lain agar mendapatkan harta melewati jalur-jalur yang bertentangan dengan pedoman hukum atau Kompilasi Hukum Islam.

3

Teungku, Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Cet.III, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Utama, 1999), h. 274-275

4

sesuai dengan teori mashlahah al-ummah, maka anak angkat dapat memperoleh bagian sebagai wasiat wajibah dari harta warisan dengan rekontruksi pemikiran sebagai berikut:

a. Bahwa dalam Islam, anak angkat ―dibolehkan‖ sebatas pemeliharaan, pengayoman dan pendidikan, dan dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung.

b. Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila orang tua angkatnya tidak meninggalkan wasiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibah. Bahwa pemberi wasiat wajibah tidak boleh merugikan hak-hak dari ahli waris.

c. Bahwa apabila ada sengketa tentang status anak angkat, harus dibuktikan dengan adanya putusan dari Pengadilan.

d. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi anak angkat, maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan: anak angkat tersebut berhak atas wasiat atau wasiat wajibah dalam praktek diakumulasi dengan sengketa kewarisan, tetapi petitum khusus untuk dinyatakan berhak mendapat wasiat wajibah tidak ada, karena ketentuan dalam KHI bersifat imperatif, harusnya bersyarat; merujuk kepada nash al-Qur’an yang meyatakan pewaris meninggalkan harta

yang banyak; demikian ulama tafsir telah menyatakan kata khairan QS. [2]: 180.5

menurut professor Hasbi Ash shiddieqy hendaklah diikuti langkah-langkah sebagai berikut.6

1. Dianggap bahwa orang yang meninggal dunia lebih dulu dari pada pewaris masih hidup, Kemudian warisan dibagikan kepada para ahli waris yang ada, termasuk ahli waris yang sesungguhnya telah meninggal lebih dulu itu. Bagian orang yang disebutkan terakhir inilah menjadi wasiat wajibah, asal tidak lebih dari sepertiga.

2. Diambil bagian wasiat wajibah dari warisan yang ada. Mungkin, besarnya sama dengan bagian yang seharusnya diterima oleh orang yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris, mungkinan pula sepertiga.

3. Sesudah warisan diambil wasiat wajibah, sisa warisan inilah yang dibagikan kepada ahli waris lain.

Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena

5

Habiburrahman, Rekontruksi hukum Kewarisan Islam di Indonesia Seri Disertasi, Cet 1,

(Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), h. 189-190

6

Rachmad, Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h. 28

wasiat wajibah itu mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun

nash tidak memberikan bagian yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapi jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta pewaris.7

Memang tidak ada syarat yang menjelaskan tentang larangan orang yang menerima wasiat wajibah dari pada 194-209 itu non muslim, akan tetapi permaslahannya adalah pada titik siapa yang menerimanya, apakah berhak menerima wasiat wajibah, bukan apa agamanya karena tidak ada aturan yang melarangnya.

Dalam pertimbangan memberikan wasiat wajibah sebagai jalan sebab tidak mendapatkan waris, maka menurut penulis ada istilah yang cocok hal ini yaitu, ―Kalalah” menurut Mahmud Yunus Kalalah adalah orang yang meninngagal dunia tidak beranak dan tidak pula berbapa. Dalam kaitan istilah di atas sebenarnya telah dijelaskan dala Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 176 :

ف خ هل ل هل سيل له م لا ل يف م ي في هلل لق ف سي

فص ل

م ثلثل لف ي ث ف ل ل ي مل ث ي ه م

7

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

لض م ل هلل ي ي ييث أ ظح لثم للف ء س ا ج خ

ل ب هلل

ميلع ءيش

Artinya: “Mereka itu meminta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah:Allah menfatwakan kepada kamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal, tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk soadar perempuan seperdua dari pada peninggalan. Saudara laki-laki mempusakai sodara perempuannya, jika tidak ada anak bagi sudara perempuan. Jika saudara perempuan dua orang, maka untuk keduannya dua pertiga dari peninggalan sodaranya, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat. Allah mengetahui tiap-tiap sesuatu.”(QS. An-Nisa ayat:16.

Arti ayat di atas sangatlah jelas menurut penulis dan semakin menegaskan bahwa, yang berhak atas wasiat bukanlah orang yang terhalang mewarisi, akan tetapi dikhususkan kepada selain dari pada itu.

Orang yang berhak menerima wasiat wajibah yaitu walidain dan aqrobin

yang tidak termasuk ahli waris dan tetap hukumnya bagi orang yang tidak menjadi ahli waris. Artinya menurut penulis adalah bahwa, maksud dari ―tidak menjadi ahli waris‖ adalah bukan karena terhalang, akan tetapi memang hakekatnya tidak menjadi ahli waris.8

Para ulama mengemukakan diantaranya adalah :

Maka barang siapa menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh ayat mawaris, baginya tidak ada wasiat, dan bagi yang tidak menerima warisan, tetaplah hukum yang ditetapkan dengan nash tersebut.9

Menurut penulis hal ini menjadi sebuah argumentasi yang sangat jelas kepada siapa saja yang terhalang menjadi ahli waris namun berusaha untuk

8

Suparman Usman, dan Yusuf Somawinata, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, 1997), h. 172

9

mendapatkannya dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan setelah meliha Al-Qur’an dan Hadits

Dokumen terkait