• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBOPTIMUM DAN OPTIMUM Abstract

6.3.3 Keragaan Hasil Gabah Galur-Galur dari Metode Modifikasi Bulk dan Pedigr

Hasil gabah dari 172 galur yang dihasilkan dari metode pedigri yang diseleksi pada kondisi suboptimum dan optimum menunjukkan keragaan yang berbeda. Seluruh galur yang diuji menunjukkan perbedaan hasil lebih tinggi pada kondisi N optimum (Gambar 6.2). Respon yang ditunjukkan oleh garis

Gambar 6.2. Rata-rata hasil galur menggunakan MBM di lingkungan seleksi suboptimum (BULK_LSN-) dan N optimum N (BULK_LSN+) dan pedigri yang diseleksi di lingkungan N suboptimum N (PED_LSN-) dan optimum N (PED_LSN+) ditanam pada kondisi N suboptimum (N-) dan optimum (N+).

67 yang menghubungkan antar rataan hasil galur yang berasal dari seleksi metode MBM maupun pedigri pada kedua lingkungan seleksi di kedua kondisi N menunjukkan bahwa galur yang berasal dari pedigri yang diseleksi di optimum memilik hasil tertinggi dan responsif dibandingkan metode lainnya. Galur hasil seleksi MBM juga responsif meskipun hasilnya masih lebih rendah dari pedigri. Galur hasil metode pedigri diseleksi di optimum terlihat hasilnya stabil yang menunjukkan galur-galur tersebut lebih efisien menggunakan N namun tidak responsif.

Pada metode MBM, galur yang berasal dari lingkungan seleksi N suboptimum maupun optimum hasilnya tidak berbeda nyata jika masing- masing ditanam pada kondisi N suboptimum dan optimum. Hasil yang berasal dari metode pedigri dengan lingkungan seleksi suboptimum tidak berbeda nyata di lingkungan produksi suboptimum dengan optimum. Hal yang sama dikemukakan oleh Sarutayophat dan Nualsri (2010). Hasil galur yang berasal dari metode pedigri di lingkungan seleksi optimum nyata lebih tinggi pada kondisi lingkungan optimum.

Pada kacang panjang metode pedigri dengan lingkungan seleksi rendah N dapat digunakan untuk mendapatkan galur toleran N suboptimum. Seleksi dengan MBM dapat dilakukan pada kondisi lingkungan N suboptimum maupun optimum (Sarutayophat dan Nualsri 2010). Padi dan Ehlers (2008) melaporkan bahwa metode pedigri tidak efektif dibandingkan dengan MBM untuk seleksi karakter hasil kacang tunggak. Melalui simulasi komputer, Wang

et al. (2003) menunjukkan kemajuan seleksi komponen hasil yang lebih tinggi dan lebih efektif jika menggunakan MBM dibandingkan dengan pedigri. Jika dilihat berdasarkan kriteria toleran terhadap kondisi N rendah, maka metode pedigri lebih banyak menghasilkan galur toleran dan moderat dibandingkan metode modifikasi bulk (Gambar 6.3), meskipun galur moderat yang dihasilkan jauh lebih sedikit. Penelitian Sarutayophat dan Nualsri (2010) menginformasikan bahwa pada kacang panjang metode pedigri dengan lingkungan seleksi N rendah merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan galur toleran N suboptimum. Sebaliknya, menurut Padi dan Ehler (2008) seleksi pedigri tidak efektif digunakan pada tanaman cowpea.

Gambar 6.3. Jumlah galur dengan kriteria toleran, moderat dan peka yang dihasilkan dari metode MBM dan pedigri di lingkungan seleksi optimum dan suboptimum.

68

6.4 Simpulan

1. Metode pedigri pada lingkungan seleksi N suboptimum efektif untuk mendapatkan galur padi yang adaptif pada kondisi N suboptimum

2. Pada kondisi N suboptimum, galur-galur padi yang diseleksi dengan metode pedigri pada lingkungan N suboptimum menunjukkan hasil lebih tinggi daripada yang diseleksi dengan metode bulk

3. Galur yang berasal dari lingkungan seleksi N suboptimum memiliki jumlah anakan produktif lebih banyak dari galur yang berasal dari lingkungan selesi N optimum jika ditanam pada kondisi N suboptimum.

4. Umur berbunga dan kehijauan daun tidak dipengaruhi oleh asal metode dan lingkungan seleksi.

69

PEMBAHASAN UMUM

Varietas unggul padi yang ada sekarang ini sebagian besar berasal dari seleksi yang dilakukan pada kondisi hara cukup atau optimum bagi pertumbuhan padi sehingga kemampuan tanaman menyerap unsur hara khususnya nitrogen (N) bukan merupakan karakter yang diamati sejak awal program pemuliaan (Muurinen et al. 2006). Varietas unggul yang dihasilkan menjadi kurang atau tidak toleran terhadap kondisi lingkungan dengan N suboptimum. Pemupukan N yang berlebih sangat mempengaruhi kelestarian lingkungan dan berdampak negatif bagi kesehatan. Diperlukan varietas padi yang efisien N sehingga sehingga dapat tumbuh dan memiliki hasil baik pada keadaan terbatasnya satu atau beberapa unsur hara dengan mengembangkan mekanisme morfologi (Chen et al. 2012) maupun fisiologi (Rengel 2000). Menurut Chen et al. (2011), Matson et al. (2002), Robertson dan Vitousek (2009), dan Guo et al. (2010) pengurangan sepertiga dosis N tidak nyata mengurangi hasil namun dapat mengurangi dampak negatif N terhadap lingkungan. Efisiensi penyerapan hara N baik pada tajuk, gabah, maupun akar (Siregar dan Marzuki 2011) dan aktivitas fotosintesis dalam daun (Mae 1997) merupakan mekanisme efisiensi fisiologi penting dalam menentukan efisiensi suatu varietas padi terhadap N.

Dosis N secara nyata dapat meningkatkan biomassa dan jumlah anakan dibandingkan P dan pemberian N tergantung pada varietas dan sistem pertanaman (Aspeku dan Dowbe 2013). Peningkatan dosis N meningkatkan pengambilan N oleh tanaman padi (Faozi dan Wijonarko 2010; Tayefe et al. 2011). Selain itu, N juga mempengaruhi sistem perakaran tanaman padi. Genotipe dengan karakter akar lebih panjang, massa akar dan volume akar lebih besar merupakan mekanisme toleran N rendah (Kimani dan Tongoona 2008). Sehingga karakter akar merupakan salah satu karakter penting dalam mempelajari mekanisme toleransi tanaman terhadap kondisi N rendah selain mekanisme fisiologinya namun tidak diamati pada penelitian ini.

Keragaan galur-galur padi generasi F3 terlihat beragam pada ketiga

karakter yang diamati, yaitu tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot malai. Panjang malai dan bobot malai merupakan karakter komponen hasil. Karakter bobot malai populasi Progol/Asahan menunjukkan nilai heritabilitas tinggi. Heritabilitas dan kemajuan genetik tinggi terdapat pada karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah gabah isi dan bobot 1000 butir pada padi dataran tinggi (Seyoum et al. 2012) dan jumlah anakan produktif serta persentase gabah isi pada padi sawah (Ghosal et al. 2010). Bobot malai dan jumlah butir per tanaman dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk peningkatan hasil (Augustina et al. 2013). Penelitian lain menghasilkan bahwa nilai heritabilitas tertinggi diamati pada tinggi tanaman dengan 99.75% diikuti oleh panjang malai (96.90%) (Rafii et al. 2014). Kemajuan genetik tinggi diperoleh untuk jumlah anakan (49.4%), diikuti oleh hasil gabah (43.5%) dan tinggi tanaman (35.5%) (Ahmadikhah 2010). Kemajuan genetik panjang malai merupakan karakter yang digunakan sebagai kriteria seleksi karena korelasi positif dengan jumlah gabah, bobot 1000 butir dan hasil (Lakhsmi et al. 2014;

70

Senapati et al 2009.). Panjang malai dilaporkan memiliki pengaruh positif, tetapi tidak langsung terhadap gabah per malai (Iftekharuddaula et al. 2002).

Koefisien keragaman genetik (KKG) pada populasi Progol/Asahan tinggi baik pada karakter panjang malai maupun bobot malai (Tabel 6). Sebaliknya pada populasi Bintang Ladang/US2 dan Gampai/IR77674 KKG kedua karakter adalah rendah-sedang. Hal ini menunjukkan adanya keragaman genetik antar individu dalam populasi Progol/Asahan dibandingkan kedua populasi lainnya. Keragaman dalam populasi disebabkan pengaruh lingkungan atau kondisi lahan yang tidak seragam sehingga bersama dengan faktor genetik akan mempengaruhi fenotipe. Pada populasi dengan KKG tinggi seleksi dapat lebih mudah dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (Apriliyanti

et al. 2016).

Terdapat aksi gen aditif dan seleksi dapat dilakukan berdasarkan fenotipenya karena faktor genetik lebih berperan dari faktor lingkungan. Nilai heritabilitas tinggi sangat berperan dalam meningkatkan efektifitas seleksi karena pengaruh genetik lebih dominan dibandingkan lingkungan sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal. Pada populasi Bintang Ladang/ US2 dan Gampai/IR77674, panjang malai dan bobot malai memiliki nilai heritabilitas rendah yang berarti karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada genetik dan seleksi akan efektif dilakukan pada generasi akhir.

Pada generasi F4 sampai F6, seleksi dilakukan terhadap karakter bobot

malai per rumpun menggunakan metode seleksi modifikasi bulk dan pedigri pada dua kondisi lingkungan seleksi yaitu N suboptimum dan N optimum. Dalam penelitian ini, metode modifikasi bulk efektif untuk mendapatkan galur dengan hasil gabah tinggi yang berasal dari kombinasi persilangan Gampai/IR77674 dan Progol/Asahan serta panjang malai dan berat malai (Gambar 3.1). Kanbar et al. (2011) menyatakan bahwa hasil seleksi bulk lebih tinggi dibandingkan pedigri untuk hasil gabah, panjang malai, jumlah malai, jumlah anakan dan indeks panen pada generasi F3 dan tidak terdapat perbedaan

nyata antara galur generasi F6 hasil modifikasi bulk dengan pedigri.

Aplikasi N meningkatkan umur berbunga, berat malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, dan hasil Jumlah malai, panjang malai, dan jumlah butir per malai (Yoseftabar 2013). Nakano et al. (2012) mengungkapkan bahwa hasil tidak berbeda antara metode aplikasi N namun justru sebaliknya dengan jarak tanam. Pada percobaan ini, umur berbunga galur-galur dari Gampai/IR77674 dan Progol/Asahan lebih cepat pada N rendah. Pada kondisi N optimum, galur berbunga lebih lama 1-3 hari (Tabel 6.2). Pada N rendah umur berbunga padi NERICA Afrika lebih cepat daripada N tinggi (120 kg N ha-1).

Galur yang ditanam pada kondisi suboptimum memiliki daun yang lebih kuning dari tanaman di optimum dilihat dari nilai BWD. Di Cina terdapat varietas Guangluai 4 yang merupakan jenis padi toleran N rendah sehingga hasil gabah tinggi pada kondisi N rendah dan cocok ditanam pada kondisi tanah miskin hara (Yong-lan et al. 2015). Hasil meningkat dengan meningkatnya kepadatan tanam. Pemberian pupuk N sebelum tanam juga meningkat hasil padi dan jumlah anakan (Yong-mei et al. 2007). Blumenthal et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian N 180 kg ha-1 meningkatkan hasil dan

71 protein beras sebesar 30% dibandingkan dengan perlakuan tanpa nitrogen. Jika dibandingkan dengan percobaan ini, hasil gabah, jumlah anakan produktif, dan umur berbunga dari 86 galur yang dipilih dalam suboptimum dan optimum meningkat oleh aplikasi N, di dua N lingkungan produksi. Hasil dan jumlah anakan produktif populasi Gampai/IR77674 cenderung lebih tinggi daripada populasi Progol/Asahan.

Penggunaan metode dan lingkungan seleksi yang tepat untuk menghasilkan varietas baru sangat penting dalam pemuliaan tanaman. Seleksi pada kondisi input N rendah telah banyak diterapkan dalam padi, jagung, gandum (Fess et al. 2011). Genotipe mampu memanfaatkan nitrogen secara efisien jika memiliki hasil yang tinggi dalam kondisi suboptimum (Gueye dan Becker 2011). Pada percobaan ini digunakan sebanyak tiga populasi yang diseleksi pada kondisi N suboptimum pada generasi F3. Pada generasi F4 hanya

dua populasi yaitu Gampai/IR77674 dan Progol/Asahan yang dilanjutkan sampai generasi F6. Menurut Abdulrachman et al. (2009) kebutuhan hara N

yang optimum bagi tanaman padi adalah 90-120 kg N ha-1 dan sumbangan N dari hujan di daerah Bogor adalah 2 kg N per musimnya. Pada percobaan ini digunakan 34.5 kg N ha-1 untuk kondisi suboptimum. Mengingat sifat N yang

mudah tercuci dan menguap maka dosis N ini dapat dikatakan suboptimum bagi pertumbuhan padi dan sesuai digunakan sebagai lingkungan seleksi suboptimum. Hal ini terlihat dari pertumbuhan vegetatif tanaman yang kurang baik, pendek, daun kecil dan kuning serta jumlah anakan sedikit.

Nitrogen menentukan karakter malai seperti jumlah malai, kepadatan butir, panjang malai dan jumlah gabah per malai. Data pada percobaan ini menunjukkan bahwa galur dari kombinasi Progol/Asahan memiliki jumlah gabah tidak berbeda nyata dengan Gampai/IR77674. Studi korelasi digunakan untuk melihat keeratan hubungan antar karakter tanaman dengan hasil. Karakter yang berkorelasi nyata positif dengan hasil serta mudah diamati dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Nandan et al. (2010) melihat korelasi antar karakter dari 30 genotipe padi yang menunjukkan hubungan positif yang tinggi antara hasil gabah jumlah gabah per malai. Jumlah anakan produktif berkorelasi langsung dan positif dengan hasil gabah (Senapati et al. 2009). Tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah gabah isi per malai berkorelasi nyata positif dengan hasil gabah (Vanisree et al. 2013) karena heritabilitas dan kemajuan genetik tinggi (Rafii et al. 2014). Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per tanaman dan bobot malai memiliki nilai koefisien keragaman genotipe dan fenotipe tinggi (Gangashetty et al. 2013).

Seleksi menggunakan metode MBM dan pedigri di lingkungan suboptimum berturut-turut menghasilkan galur B14250F-1-4 dan B14250C- 174-2-3 pada lingkungan produksi N suboptimum (34.5 kg ha-1). Data hasil galur menunjukkan bahwa galur-galur tersebut memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan varietas cek terbaik Inpari 23 berdasarkan uji statistik LSI (Tabel 4.5 dan Tabel 5.6). Galur ini memiliki potensi adaptasi N rendah lebih baik dari hasil yang diperoleh Hach dan Nam (2006) yang menyatakan bahwa dosis terbaik untuk mendapatkan hasil tinggi adalah 60 kg N ha-1 pada musim hujan sedangkan dan 80 kg N ha-1 pada musim kemarau. Thanh et al. (2006) dan Ali (2010) menggunakan metode pedigri berturut-turut untuk mendapatkan kedelai tahan cuaca dingin namun tetap memiliki karakter yang baik di lokasi berbeda

72

dan galur toleran kekeringan. Percobaan kami menunjukkan bahwa penggunaan metode pedigri dengan lingkungan seleksi menyerupai lingkungan target, efektif untuk menghasilkan galur yang sesuai dengan lingkungan tersebut. Metode pedigri ditemukan tidak selalu efektif terhadap semua populasi pada gandum (Farag 2013) dan tidak efektif untuk hasil kacang tunggak (Padi dan Ehlers 2008).

Pada kedua metode seleksi, galur yang berasal dari lingkungan seleksi suboptimum memiliki hasil lebih tinggi daripada galur yang berasal dari optimum jika ditanam pada kondisi suboptimum. Galur yang berasal dari kondisi optimum nyata lebih tinggi jika ditanam pada kondisi optimum. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan galur efisien N atau galur yang dapat mempertahankan hasil pada kondisi N rendah, seleksi harus dilakukan pada kondisi suboptimum maupun optimum. Menurut Presterl et al. (2003) dan Gallais dan Coque (2005) untuk mendapat galur toleran kondisi suboptimum, lingkungan seleksi yang digunakan adalah suboptimum. Hal ini berbeda dengan Ortiz et al. (2008) serta Reynold dan Borlaugh (2006) yang menyatakan sebaliknya. Le Gouis et al. (2000) menemukan bahwa varietas gandum modern memiliki penampilan lebih baik dibandingkan gandum lokal pada kondisi N rendah.

Galur yang berasal dari lingkungan seleksi N suboptimum memiliki jumlah anakan produktif lebih banyak dari galur yang berasal dari lingkungan seleksi N optimum jika ditanam pada kondisi N suboptimum. Oleh karena itu, jumlah anakan produktif dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi selain bobot malai. Seleksi menggunakan metode modifikasi bulk dan pedigri efektif digunakan untuk menghasilkan galur toleran N suboptimum. Hal ini dapat dilihat dari nilai diferensial seleksi galur yang berasal dari lingkungan seleksi suboptimum yang tinggi pada lingkungan produksi optimum. Diferensial seleksi merupakan fungsi dari respon atau kemajuan seleksi. Metode pedigri dengan lingkungan seleksi N suboptimum yang paling banyak menghasilkan galur toleran N suboptimum. Menurut Ceccarelli (1996) untuk menghasilkan jagung toleran N rendah, seleksi juga harus dilakukan pada kondisi N rendah.

Terdapat berbagai keuntungan dengan diperolehnya varietas unggul baru padi toleran N rendah terhadap lingkungan, masyarakat dan pemerintah. Diharapkan penggunaan pupuk N dapat dikurangi untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan, pengurangan eksplorasi sumberdaya alam untuk membuat pupuk N, dan bagi wilayah yang kurang subur atau kurang pupuk akibat keterbatasan petani dalam mengakses atau membeli pupuk, hasil padi dapat dipertahankan agar tetap tinggi dan stabil.

73

SIMPULAN

1. Terdapat keragaman karakter agronomi dari tiga populasi F3 yang diuji.

2. Heritabilitas arti luas karakter teramati tergolong rendah sampai tinggi dengan nilai tertinggi pada populasi Progol/Asahanuntuk karakter bobot malai.

3. Karakter panjang malai dan bobot malai pada populasi Gampai/IR77674 dikendalikan oleh banyak gen dan aksi gennya aditif.

4. Seleksi meningkatkan bobot malai dan jumlah gabah isi pada generasi F5.

5. Kombinasi persilangan Gampai/IR77674 menghasilkan galur dengan potensi hasil lebih tinggi dibandingkan Progol/Asahan.

6. Metode pedigri dengan lingkungan seleksi N suboptimum paling banyak menghasilkan galur toleran N suboptimum.

7. Metode pedigri dengan lingkungan seleksi N suboptimum efektif digunakan untuk menghasilkan galur harapan padi toleran N suboptimum.

SARAN

1. Seleksi untuk mendapatkan galur harapan padi toleran N suboptimum sebaiknya mulai generasi awal dilakukan pada lingkungan seleksi N suboptimum.

2. Perlu dilakukan studi fisiologi tentang mekanisme toleransi galur-galur harapan padi pada kondisi N suboptimum.

3. Studi perakaran terhadap galur harapan padi yang toleran N suboptimum dapat dilakukan sebagai tambahan informasi karakter toleransi.

74