• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Sapi Bali Metode PCR-RFLP Amplifikasi Ruas Gen FSH sub-unit beta

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Sapi Bali Metode PCR-RFLP Amplifikasi Ruas Gen FSH sub-unit beta

Pada penelitian ini kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi awal 94oC selama 5 menit, denaturasi 94oC selama 45 detik, penempelan primer (annealing) 63oC selama 45 detik, suhu pemanjangan DNA baru 72oC selama 5 menit dan suhu pemanjangan akhir 72 oC selama 5 menit, namun pada penelitian ini untuk sapi Bali (Bos javanicus) annealing 55oC selama 45 detik. Perbedaan suhu annealing bisa disebabkan oleh bangsa sapi yang, ruas gen yang diamplifikasi, pereaksi PCR dan taq DNA polymerase yang digunakan. Panjang produk PCR ruas gen FSH sub-unit beta sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 adalah 313 bp disajikan pada Gambar 17.

Ket : M = Marker : ladder 100 bp, 1 – 16 sampel

Gambar 17 Produk PCR gen FSH sub-unit beta dengan panjang fragmen 313 bp.

Penentuan genotipe gen FSH sub-unit beta dilakukan dengan metode RFLP menggunakan enzim PstI. Hasil RFLP tervisualisasi menjadi 3 macam fragmen, yaitu fragmen yang tidak terpotong tervisualisasi satu pita genotipe BB (313 bp), dua pita genotipe AA (terdapat pita di 202 bp dan 111 bp) dan tiga pita genotipe AB atau heterozigot (327 bp, 202 bp dan 111 bp) (Gambar 18). Bangsa sapi yang dianalisis yaitu sapi Bali, Brahman, FH, Limousin dan Simmental. Dari 225 sampel sapi Bali yang dianalisis menunjukkan hanya genotipe BB yang

313 bp 300 bp

500 bp

200 bp

ditemukan, berbeda pada sapi Brahman, FH, limosin dan Simmental ditemukan 3 macam genotipe (BB, AB dan AA).

Gambar 18 Visualisasi hasil RFLP ruas gen FSH sub-unit beta menggunakan enzim restriksi Pst1.

Frekuensi Alel dan Genotipe Gen FSH sub-unit beta

Frekuensi alel A tertinggi berturut-turut pada sapi FH, Limousin, Simmental, Brahman. Amplifikasi fragmen gen FSH sub-unit beta pada ekson 3 (313 bp) pada sapi Bali tidak ditemukan adanya alel A, selanjutnya alel B tertinggi berturut-turut pada sapi Bali, Brahman, Simmental Limousin dan FH. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada sapi Bali, gen FSH sub-unit beta bersifat monomorfik. Schlee et al. (1994) meneliti gen FSH sub-unit beta pada bagian ekson 3 menemukan kondisi yang sama yaitu monomorfik pada sapi Gelbvieh, kerbau Murrah dan sapi FH German. Hoffmann (2011) melaporkan bahwa pada ternak lokal dan populasi yang tertutup cenderung monomorfik seperti sapi Bali.

Dai et al. (2009) telah meneliti ruas gen FSH sub-unit betapada sapi jantan di berbagai pusat inseminasi buatan di Amerika menemukan variasi gen pada sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 yang diasosiasikan dengan kualitas sperma cair dan sperma beku, ditemukan 3 alel yaitu alel A, B dan C, 3 genotipe ditemukan AB, BB dan BC. Genotipe AA dan BB berasosiasi dengan kualitas sperma cair dan sperma beku lebih baik dibandingkan dengan genotipe BC. Pada

300 bp

100 bp 500 bp

BB

M BB AA AA AB BB AA AB BB AB AA AA AB BB AB BB

Ket : M = Marker : ladder 100 bp, AA, AB, dan BB = genotipe sampel

313 bp 202 bp 111 bp

penelitian ini hanya ditemukan alel A dan B, dan genotipe AA, AB dan BB. Frekuensi alel dan genotipe gen FSH sub-unit beta disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Frekuensi alel dan genotipe gen FSH sub-unit beta PCR-RFLP

Populasi

Gen FSH sub-unit beta

Alel Genotipe A B AA AB BB Bali 0.000 1.000 0.000 (0) 0.000 (0) 1.000 (225) Brahman 0.174 0.826 0.087 (6) 0.174 (12) 0.739 (51) FH 0.891 0.109 0.880 (81) 0.022 (2) 0.098 (9) Simmental 0.700 0.300 0.600 (24) 0.200 (8) 0.200 (8) Limousin 0.818 0.182 0.592 (29) 0.306 (15) 0.102 (5) Gabungan Bos javanicus 0.000 1.000 0.000 (0) 0.000 (0) 1.000 (225) Bos indicus 0.174 0.826 0.087 (6) 0.174 (12) 0.739 (51) Bos taurus 0.830 0.170 0.761 (134) 0.136 (25) 0.102 (22)

Ket : angka di dalam kurung ( ) = jumlah individu Nilai Heterozigositas

Nei (1987) melaporkan bahwa untuk mengetahui variasi genetik dapat dilihat dari nilai heterozigositas. Pada Tabel 4 pengamatan heterozigositas menunjukkan ketidakseimbangan Hardy-Weinberg pada sapi Brahman, FH dan Simmental. Hal ini berarti terjadi perubahan frekuensi gen di suatu populasi pada generasi ke generasi lainnya yang mungkin disebabkan oleh adanya seleksi, migrasi, mutasi dan genetic drift (Noor 2008).

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) tertinggi pada sapi Limousin (0,318) dan nilai heterozigositas harapan (He) tertinggi pada sapi Simmental (0.420). Nei dan Kumar (2000) mengatakan bahwa heterozigositas merupakan persentase heterozygot tiap individu atau rataan persentase individu heterozygot dalam populasi. Pada pengamatan gabungan juga ditemukan bahwa heterozigositas pada Bos indicus dan Bos taurus terjadi ketidakseimbangan Hardy-Weinberg, berbeda pada sapi Bali atau Bos javanicus, masih dalam keseimbangan Hardy-Weinberg.

Jika melihat historis dari Bos taurus, dalam proses domestikasinya sudah banyak mengalami seleksi maupun mutasi, demikian pula dengan Bos indicus walaupun berasal dari iklim sub tropis juga telah banyak mengalami seleksi, terutama yang berada di Indonesia merupakan sapi yang bermigrasi dari India. Berbeda dengan

Bos javanicus mempunyai sifat adaptasi yang didapat dari seleksi alam di daerah tropis.

Tabel 4 Heterozigositas pengamatan dan harapan gen FSH sub-unit beta

Populasi Gen FSH sub-unit beta

n H o H e x2 PIC Bali 225 0.000 0.000 - - Brahman 69 0.174 0.287 10.75* 0.246 FH 92 0.022 0.194 72.51* 0.175 Simmental 40 0.200 0.420 10.97* 0.332 Limosin 49 0.318 0.298 0.21 tn 0.253 Gabungan Bos javanicus 225 0.000 0.000 - - Bos indicus 69 0.174 0.287 10.75* 0.246 Bos taurus 181 0.136 0.283 47.19 ** 0.243

Ket : tn =tidak berbeda nyata (p < 0.05), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata Analisis Sekuens Gen FSH sub-unit beta

Hasil analisis sekuens gen FSH sub-unit beta sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 sepanjang 313 bp disajikan pada Gambar 19. Sampel yang mewakili masing-masing genotipe disekuens untuk melihat perbedaan karakteristik runutan nukleotidanya. Berdasarkan hasil sekuens perbedaan genotipe disebabkan karena adanya mutasi di posisi basa ke 201 dan 202. Pada genotipe AA basa ke 201 dan 202 adalah CA, sedang pada genotipe BB basa ke 201 dan 202 adalah TG. Hasil sekuens nukleotida gen FSH sub-unit beta sesuai dengan Dai et al. (2009) bahwa pada bagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 (FSHB-3) terdapat beberapa mutasi atau multiple SNP yaitu pada posisi basa (4338T>C, 4341C>T, 4350G>A, 4452C>T, 4453A>C, 4461C>T, 4489A>C) (No.Akses GenBank : M83753). Terjadinya mutasi pada bagian tersebut berhubungan dengan kadar hormon FSH di dalam darah, kualitas semen cair dan semen beku. Keragaman gen FSH sub-unit beta bagian ekson 3 berpengaruh terhadap jumlah dan kualitas oosit pada kambing Matou yang disuperovulasi (Zhang et al. 2011), namun pada ekson 2 terdapat juga

keragaman yang berpengaruh terhadap liiter size pada kambing Boer dan kambing Saanen (Xiao-peng et al. 2010).

10 20 30 40 50 60 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

Homzigot AA CTTCCAGACT ACTGTAACTC ATCTGTCTCT CTCTCTGTCT CCTAAACCAC TCAGGACTTG Heterozigot AB ... ... ... ... ... ... Homozigot BB ... ... ... ... ... ...

70 80 90 100 110 120 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

Homzigot AA GTGTACAGGG ACCCAGCAAG GCCCAATATC CAGAAAACGT GTACCTTCAA GGAGCTGGTC Heterozigot AB ... ... ...C..T ...A. ... ... Homozigot BB ... ... ...C..T ...A. ... ...

130 140 150 160 170 180 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

Homzigot AA TACGAGACGG TGAAAGTGCC TGGCTGTGCT CACCATGCAG ACTCCCTGTA CACGTACCCA Heterozigot AB ... ... ... ... ... ... Homozigot BB ... ... ... ... ... ...

190 200 210 220 230 240 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

Homzigot AA GTAGCCACTG AATGTCACTG CAGCAAGTGC GACAGCGACA GCACTGACTG CACCGTGAGA Heterozigot AB ... ... YR...T ... ... ...C.. Homozigot BB ... ... TG...T ... ... ...C..

250 260 270 280 290 300 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| Homzigot AA GGCCTGGGGC CCAGCTACTG CTCCTTCAGG GAAATCAAAG AATAAAGAGC AGCGGATGCT Heterozigot AB ... ... ... ... ... ... Homozigot BB ... ... ... ... ... ...

Gambar 19 Hasil sekuens gen FSH sub-unit beta (313 bp)

Tingkat Abnormalitas Sperma pada Genotipe yang Berbeda

Pengamatan abnormalitas sperma pada genotipe FSH sub-unit beta yang berbeda menujukkan bahwa pada genotipe AA persentase tipe abaxial paling tinggi, kemudian, microchepalus, knobbed acrosome defect, macrochepalus dan

round head. Pada genotipe BB persentase paling tinggi pada tipe knobbed acrosome defect, paling rendah tipe round head, sedang pada genotipe AB persentase paling tinggi tipe abaxial dan paling rendah tipe knobbed acrosome defect. Namun secara keseluruhan persentasi abnormalitas sperma paling rendah genotipe AB dibanding dengan genotipe BB dan AA (Gambar 20).

Morales et al. (2010) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pengujian pejantan secara rutin dalam program IB sangat penting sebagai indikator fertilitas. Parameter yang diuji secara umum adalah konsentrasi spermatozoa, motilitas dan morfologi sperma yang menggambarkan normalitas dan abnormalitas sperma. Abnormalitas sperma menurut Chenoweth (2005) dan Frenau et al. (2009) terbagi

menjadi abnormalitas mayor (15 jenis) yang mengganggu fertilitas dan abnormalitas minor (16 jenis) yang tidak mengganggu fertilitas, namun yang diketahui merupakan faktor genetik adalah abaxial (abormalitas pada bagian ekor), round head, microchepalus, macrochepalus, knobbed acrosome defect

(abnormalitas pada bagian kepala).

Knobbed acrosome defect adalah abnormalitas sperma bagian kepala yang merupakan faktor genetik dan bersifat mayor (Chenoweth 2005; Frenau et al. 2009). Pada penelitian ini, ditemukan paling tinggi dalam genotipe BB. Knobbed acrosome defect juga ditemukan dalam genotype AB dan AA tetapi dalam jumlah yang kecil.

Gambar 20 Abnormal sperma pada genotipe yang berbeda gen FSH sub-unit beta berdasarkan PCR-RFLP.

Pengamatan abnormalitas sperma pada bangsa yang berbeda (Gambar 21) menunjukkan bahwa walupun Bos javanicus monomorfik, masih menunjukkan tingkat abnormalitas yang rendah dibanding dengan Bos taurus dan Bos indicus

yang bersifat polimorfik.

Meyer dan Bart (2001), Holt dan Look (2004), Al-Makhzoomi (2005) melaporkan bahwa abnormalitas sperma yang tinggi berakibat pada kegagalan fertilisasi. Selanjutnya Meyer dan Bart (2001), melaporkan bahwa abnormalitas spermatozoa bagian kepala menyebabkan rendahnya kemampuan sperma untuk menembus zona pellucida dan abnormalitas bagian ekor akan mengurangi

2.12 1.01 1.66 0.74 1.47 1.38 0.92 1.38 0.82 1.65 0.45 0.11 0.19 0.15 0.07 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Abaxial Macro chepalus Micro chepalus Round head Knobbed acrosome defect Ab n o rm ali tas S p erm a (% ) AA BB AB 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00

kemampuan melewati saluran reproduksi. Kegagalan fertilisasi, kematian embrio fase awal sebagai salah satu akibat dari tingginya persentase abnormalitas sperma (Enciso et al. 2011).

Gambar 21 Abnormalitas sperma berdasarkan bangsa sapi yang berbeda gen FSH sub-unit beta.

B. Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Pada Sapi Bali Metode PCR-SSCP