• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 33 Abnormalitassperma pada bangsa sapi yang berbeda pada gen GH

PEMBAHASAN UMUM

Pada tahun 2007 terjadi peningkatan konsumsi daging sapi dari 1.95 kg per kapita per tahun menjadi 2 kg per kapita per tahun tahun 2008, dan tahun berikutnya meningkat 2.24 kg per kapita per tahun. Meningkatnya konsumsi berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan daging dan jeroan dari dari 455.755 ton pada tahun 2008 menjadi 516.603 ton pada tahun 2009 (BPS 2009). Jumlah tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor sapi pada tahun 2009. Kebutuhan tersebut dipenuhi melalui impor daging sebesar 110.246 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768.133 ekor pada tahun 2009. Hal ini dilakukan karena sapi lokal hanya dapat mensuplai kebutuhan daging sebesar 49% dari kebutuhan daging nasional pada tahun 2009 (BPS 2009).

Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah memberi peluang pengembangan sapi lokal. Di Indonesia beberapa sapi lokal seperti Bali, sapi Aceh, sapi Pesisir dan sapi Madura. Total populasi sapi di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 12.7 juta ekor. Total tersebut, terdapat 2.6 ekor sapi Bali dan

A b n o rmal ita s S p e rma % 0.5 0.0 1.0 2.0 1.5 3.0 2.5 4.0 5.0 0.39 2.12 4.19

1.961 juta ekor sapi lokal lainnya (sapi Aceh, sapi Pesisir dan sapi Madura) (Martojo 2012). Hal ini membuktikan bahwa posisi sapi lokal dalam memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat strategis. Peningkatan populasi sapi lokal seperti sapi Bali dilakukan dengan perbaikan sistem kelembagaan, integrasi dengan sistem usahatani tanaman pangan dan perkebunan, perbaikan pakan dan peningkatan reproduktivitas melalui penerapan teknolgi IB. Dari evaluasi pelaksanaan IB sampai tahun 2009 bahwa dari tiga kriteria wilayah pengembangan IB (introduksi, pengembangan dan swadaya) belum mencapai target yang ditentukan.

Sapi Bali yang merupakan sapi asli Indonesia telah dibuktikan oleh Mohamad et al. (2009) bahwa dengan analisis kromosom Y dan mitokondria DNA menunjukkan posisi spesifik sapi Bali dengan sapi lokal lainnya yang ada di Indonesia. Merkens (1926) melaporkan bahwa hasil penelitian taksonomi Schlegel dan Muller pada tahun 1836 membuktikan bahwa sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banten. Lenstra dan Bradley (1999) mengatakan bahwa Banteng adalah wild progenitor sapi Bali dan telah didomestikasi sekitar 3500 tahun sebelum masehi. Adaptasi sapi Bali berupa perubahan morfologi tubuh dibanding tetuanya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan di iklim tropis, serat kasar yang tinggi dan nutrisi rendah pada kandungan pakan, eksternal parasit. Jika dibandingkan dengan Banteng berat jantan dewasa 600 – 800 kg, betina dewasa 600 – 650 kg (Purwantara et al. 2012), sedang pada sapi Bali menurut Talib et al. (2002) saat ini umumnya ditemukan berat jantan dewasa 335

– 365 kg, berat betina dewasa 300 kg. Hasil perbandingan data tersebut bahwa sapi Bali telah mengalami perubahan morfologi tubuh dibanding dengan Banteng sekitar 50 %. Bentuk adaptasi ini merupakan trade of dari sapi Bali bahwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi sehingga harus mengubah bentuk tubuhnya lebih kecil dan ramping.

Peningkatan populasi lokal seperti sapi Bali di Indonesia dilakukan dengan penerapan teknologi tepat guna seperti IB. Saat ini beberapa wilayah pengembangan sapi di Indonesia membentuk Balai IB. Sapi Bali jantan yang digunakan hanya diseleksi berdasarkan fenotipe dan tidak dilakukan BSE secara keseluruhan. Bebagai uji kualitas semen dilakukan dalam BSE, diantaranya

konsentrasi, motilitas dan morfologi sperma. Konsentrasi dan motilitas telah dilakukan dengan baik, tetapi morfologi spermatozoa sampai saat ini masih jarang dilakukan.

Pengembangan populasi sapi Bali ke depan sebaiknya dilakukan seleksi berdasarkan nilai pemuliaan (breeding value), penggunaan penciri genetik terutama yang mengontrol reproduksi dan penerapan BSE sehingga sapi jantan yang akan ditempatkan di balai IB dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya, karena jantan tersebut akan menyebarkan sifat sifat unggul ke populasi. Pengembangan pengujian pejantan dengan metode BSE telah dilakukan di negara maju (Bellin et al. 1999; Hopkins 2005; Godfrey & Dodson 2005; Chenoweth 2011; Escriche & Recio 2011), serta penciri genetik untuk kualitas semen (Lechniak et al. 1998; Dai et al. 2009; Gorbani et al. 2009b; Afshar et al. 2011 dan Chenoweth 2011).

Keberhasilan IB, ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya oleh kualitas semen beku yang dihasilkan. Semen beku yang dikualitas akan diperoleh jika semen segar yang diejakulasikan oleh seekor jantan yang telah terseleksi sebelumnya. Kombinasi penerapan BSE dan penciri genetik pada seleksi sapi Bali jantan untuk program IB maupun jantan yang akan dipertahankan di dalam populasi akan meningkatkan kualitas genetiknya. Hal ini disebabkan jantan yang sudah terseleksi akan menyebarkan sifat-sifat unggul ke populasi. Martinez (2012) melaporkan bahwa penggunaan jantan terseleksi pada program IB akan meningkatkan kualitas genetiknya sebesar 50 %. Selanjutnya Menegassi et al. (2011) melaporkan bahwa dengan penerapan BSE pada program IB akan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Pada penelitian ini amplifikasi gen FSH sub-unit beta menggunakan metode RFLP, SSCP, gen FSH reseptor menggunakan metode PCR-RFLP dan gen GH menggunakan metode PCR-PCR-RFLP menunjukkan bahwa sapi Bali bersifat monomorfik. Walaupun sapi Bali monomorfik dari semua gen yang diamplifikasi, namun abnormalitas spermatozoa pada sapi Bali lebih rendah dibanding sapi lain yang dianalisis. Persentase abnormalitas spermatozoa sapi Bali pada penelitian ini adalah abaxial (0.48%), microcephalus (0.24%),

Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian dari Arifiantini et al. (2006a), yang mendapatkan nilai abaxial (0.25%), microcephalus

(0.52%), macrocephalus (0.3%), round head (0.0%) dan knobbed acrosom defect

(0.2%). Hal tersebut dapat dipahami mengingat sample yang digunakan Arifiantini et al. (2006b), hanya berasal dari UPTD Baturiti yang memang merupakan BIBD khusus sapi Bali, sedangkan sampel spermatozoa pada penelitian ini berasal dari berbagai balai IB di Indonesia yang mempunyai lingkungan dan manajemen yang berbeda.

Gambar 34 Tipe abnormalitas sperma (Williams stains 1000x magnification)

Abnormalitas sperma tipe round head Abnormalitas sperma tipe Knobbed acrosome defect

Abnormalitas sperma tipe microcephalus Abnormalitas sperma tipe macrocephalus

Berdasarkan SNI produksi semen beku Indonesia No 01-4869.1-2005 mensyaratkan bahwa, persentase abnormalitas sperma yang diizinkan untuk diproduksi menjadi semen beku adalah 20%. Abnormalitas sperma terbagi atas primer dan sekunder. Abnormalitas sekunder adalah kelainan sperma yang umumnya terjadi pada bagian ekor dan mudah diperbaiki untuk dideteksi pada saat pemeriksaan motilitas karena spermatozoa yang mempunyai abnormalitas pada bagian ekor biasanya tidak bergerak progresif (Arifiantini et al. 2010). Abnomalitas primer umumnya terjadi pada bagian kepala, sebagian bersifat genetik dan mempunyai dampak pada fertilitas. Pada penelitian ini abnormalitas primer yang berdampak menurunnya fertilitas adalah knob acrosome defect. Ditemukannya penciri genetik dengan teknik genetika molekuler sehingga didapat beberapa kandidat gen, seperti yang mengontrol kualitas sperma, maka hasil penelitian ini dapat diterapkan di BIB pusat maupun BIB di daerah melalui penambahan satu tahapan yaitu pengujian kualitas sperma.

Penggunaan catatan produksi dan dan silsilah akan menghasilkan beberapa parameter genetik yang diperlukan untuk mengestimasi nilai pemuliaan, seperti performans individu dan kelompok, serta nilai heritabilitas sifat yang akan diseleksi. Seleksi berdasarkan nilai pemuliaan akan menghasilkan keturunan yang dapat diprediksi keunggulannya, dalam jangka panjang seleksi ini akan menghasilkan trend genetik yang semakin meningkat.

Seleksi berdasarkan nilai pemuliaan selanjutnya dapat dikombinasikan melalui tahapan pengujian kualitas sperma berdasarkan hasil penelitian ini. Khusus untuk sapi Bali, tahapan pengujian yang disarankan adalah pengujian polimorfisme gen FSH sub-unit beta dan gen GH, sapi Bali dan harus memiliki genotipe BB dan gen FSH reseptor harus memiliki genotipe GG. Hasil tahapan seleksi tambahan ini diharapkan akan berdampak pada hasil seleksi sapi Bali unggul dengan kualitas reproduksi yang baik (tingkat persentase abnormalitas spermanya rendah).