• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan

PERATURAN TENTANG RETRIBUSI DI INDONESIA (Sriyanto, Badan Bahasa)

2. Kerangaka Teor

Bahasa memiliki berbagai varian yang biasa disebut dengan ragam bahasa atau speech variety. Pembagian berbagai ragam itu dikemukakan oleh para ahli. Halliday dalam Suhardi (2009) membedakan ragam bahasa menjadi dua, yaitu register dan dialek. Dijelaskan lebih lanjut bahwa register adalah ragam bahasa menurut pemakaiannya, sedangkan dialek adalah ragam bahasa menurut pemakainya. Selanjutnya, register dibedakan menurut bidang (field),

tenor (tenor), dan cara (mode). Bidang mengacu pada latar sosial dan

maksud komunikasi, tenor mengacu pada peserta komunikasi, dan cara

berkaitan dengan sarana komukasi. Sementara itu, Hudson dalam Rochayah menjelaskan ragam bahasa sebagai berikut.

4 Apabila kita memandang bahasa sebagai suatu fenomena yang mencakup bahasa-bahasa di dunia, istilah ragam bahasa dapat digunakan untuk mengacu ke manifestasi ragam tersebut. Sama seperti cara kita menganggap musik sebagai fenomena umum dan kemudian membeda-bedakan ragam musik yang berbeda. Yang membuat suatu ragam berbeda dengan lainnya adalah butir bahasa yang tercakup di dalamnya. Jadi, kita dapat mendefinisikan ragam bahasa sebagai suatu kumpulan butir bahasa dengan distribusi yang

serupa. (Rochayah, 1995)

Jika dicermati penjelasan tentang ragam bahasa yang disampaikan oleh Halliday dan Hudson terdapat kesamaan. Halliday menyebut ragam bahasa sebagai dialek dan pada sisi lain ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya menjadi ragam bahasa menurut bidang, tenor, dan cara. Sementara itu, Hudson menjelaskan ragam bahasa sebagai suatu kumpulan butir bahasa dengan distribusi yang serupa. Dengan kata lain, ragam bahasa dapat diartikan sebagai pemakaian bahasa menurut distribusinya. Distribusi yang dimaksud oleh Hudson tampaknya sama dengan bidang, tenor, dan cara yang disebut oleh Halliday.

Penjelasan yang hampir sama terdapat dalam Alwi dkk. (1998: 3—9) yang pada intinya adalah bahwa ragam bahasa dibedakan menurut golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaiannya. Ragam bahasa menurut penuturnya dibedakan menjadi daerah atau dialek, pendidikan, dan sikap penutur. Perbedaan bahasa yang masih dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya disebut dialek. Ragam bahasa berdasarkan pendidikannya dapat dibedakan menjadi ragam bahasa penutur yang berpendidikan dan tidak berpendidikan. Menurut sikap penuturnya ragam bahasa sangat dipengaruhi oleh lawan kominikasi, antara lain, mencakup umur, kedudukan sosial, keakraban antarpenutur, dan tujuan penyampaian informasi. Selanjutnya, ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) ragam bahasa dari sudut bidang atau pokok persoalan, (2) ragam bahasa menurut sasarannya, dan (3) ragam bahasa yang mengalami percampuran. Ragam bahasa menurut pokok persoalannya dapat dibedakan, misalnya, menjadi ragam ilmu, politik, agama, teknologi, atau hukum. Ragam bahasa menurut sasarannya dapat dibedakan menjadi ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Selanjutnya, yang dimaksud dengan ragam bahasa yang mengalami percampuran atau mengalami interferensi adalah ragam bahasa yang mendapat pengaruh dari bahasa lain yang mengakibatkan gangguan komunikasi.

Sugono (1991: 8—25) membagi ragam bahasa berdasarkan tiga hal, yaitu (1) berdasarkan media yang digunakan, (2) latar belakang penutur, dan (3) pokok persoalan yang dibicarakan. Menurut medianya, ragam bahasa

5 dibedakan menjadi ragam lisan dan ragam tulis. Menurut latar belakang penuturnya, ragam bahasa dibedakan menjadi dialek, ragam bahasa terpelajar, ragam bahasa resmi, dan ragam bahasa tidak resmi. Kemudian, menurut pokok persoalannya ragam bahada dibedakan, misalnya, menjadi ragam bahasa iklan, hukum, politik, agama, jurnalistik, atau sastra.

Pembagian ragam bahasa yang dikemukakan Alwi dan Sugono di atas pada prinsipnya hampir sama. Dasar pembagian yang disampaikan sama, tetapi ada istilah yang berbeda. Dalam Alwi disebutkan bahwa salah satu dasar pembagian ragam bahasa adalah sarana komunikasi, sedangkan dalam Sugono disebutnya media kmunikasi. Ada satu perbedaannya, yaitu dalam Alwi disebut ragam bahasa yang mengalami percampuran, sedang dalam Sugono hal tersebut tidak disebutkan. Jika dibandingkan pembagian ragam bahasa yang dikemukakan Halliday, Hudson, Alwi, atau Sugono, dapat ditarik garis yang sama, yaitu adanya pembagian ragam bahasa menurut bidang atau pokok persoalannya.

Berdasarkan uraian di atas, istilah bahasa hukum yang sering kita baca atau kita dengar sesungguhnya bahasa Indonesia juga. Bahasa hukum

sebenarnya bentuk pendek dari bahasa Indonesia ragam hukum (demi kepraktisan, dalam makalah ini digunakan istilah bahasa hukum). Ragam bahasa itu merupakan salah satu ragam bahasa jika dilihat dari bidang atau pokok persoalannya. Penentuan ini penting agar tidak ada kesan bahwa bahasa hukum bukan bahasa Indonesia atau tidak sama dengan bahasa Indonesia sehingga kaidahnya berbeda dengan bahasa Indonesia yang lain.

Bahwa dalam bahasa hukum memiliki kekhasan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ragam bahasa hukum yang biasa disebut bahasa hukum merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia menurut pokok persoalannya. Hal itu berarti bahwa bahasa hukum juga bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa hukum harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan sebagai berikut.

Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.

Dengan ketentuan di atas, jelaslah bahwa ragam bahasa hukum dalam bahasa Indonesia mempunyai keterikatan yang sama dengan bahasa ragam

6 bahasa Indonesia yang lain dalam hal penerapan kaidahnya. Anggapan bahwa ragam bahasa hukum tidak sama dengan ragam bahasa yang lain tidak sepenuhnya benar karena ragam bahasa hukum harus tunduk pada kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Dalam hubungan itu, jauh sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dibuat, Saleh (1983: 11) menyata- kan, “Bahasa hukum merupakan bagian dari bahasa Indonesia. Sebagai bagian dari bahasa nasional Indonesia, maka bahasa hukum itu sendiri haruslah mengikuti ketentuan-ketentuan, aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam bahasa Indonesia.” Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa bahasa hukum yang tidak jelas akan mengakibatkan ketidakjelasan isi dan pada akhirnya akan berakibat ketidakpastian hukum. Bahasa perundang- undangan yang susunan kalimatnya panjang-panjang dan bertele-tele tidak akan dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat pemakai perundang- undangan. Sejalan dengan itu, Mochtar Kusumaatmadja dalam Saleh menyatakan bahwa pembinaan hukum nasional tidak mungkin terwujud apabila karya-karya dalam bidang hukum ditulis dalam bahasa yang tidak dipahami rakyat.

Di atas telah dinyatakan bahwa bahasa hukum merupakan bagain dari bahasa Indonesia, tetapi mempunyai kekhususan. Dalam Simposium Bahasa dan Hukum tahun 1974 di Medan, Moeliono dalam Saleh (1983: 17—18) memberikan ciri-ciri bahasa hukum sebagai berikut:

1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan; 2. objektif dan menekan prasangka pribadi;

3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran;

4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;

5. cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya berdasarkan konvensi;

6. gaya bahasa keilmuan tidak dogmatis atau fanatik;

7. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai; dan 8. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada

yang dimiliki kata biasa.

Dalam Seminar Bahasa Notaris di Pusat Bahasa Jakarta, Moeliono (2001) menyederhanakan ciri ragam bahasa hukum menjadi empat ciri, yaitu (1) kecendekiaan, (2) kepaduan pikiran, (3) kelugasan (zakelijkheid), dan (4) keresmian. Selanjunya, Moeliono menjelaskan bahwa kecendekiaan menuntut ketelian, kecermatan, dan kesaksamaan. Kepaduan pikiran diwujudkan dengan menjauhi pelanturan rumusan. Kelugasan dalam gaya dinyatakan oleh corak yang deskriptif dan analitis. Gaya bahasa hukum tidak sama dengan bahasa cerita. Bahasa yang digunakan dalam hukum harus bahasa yang baku.

7 Hadikusuma (2010: 2—5) menyatakan, ”Bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karateristik tersendiri.” Selanjutnya, dijelaskan bahwa karakteristik bahasa hukum terletak pada istilah-istilah yang digunakan, komposisi, dan gaya bahasanya. Dalam hubungan itu, Mahendra (1974) mengatakan, “Pada hemat saya, ‘Bahasa Indonesia Hukum’ yang sering disebut-sebut itu secara normatif seharusnya dianggap tidak ada. Sebab, yang ada hanyalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi.” Mahendra selanjutnya menjelaskan bahwa seharusnya para akademisi hukum dalam berbahasa Indonesia tetap menghormati dan menaati kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selanjutnya, Nahattands (1974) berpendapat bahwa dia cenderung menggunakan istilah ragam bahasa dalam hukum dan berundang-undangan daripada bahasa hukum dan perundang-undangan. Artinya, bahasa yang digunakan dalam hukum dan perundang-undangan adalah bahasa Indonesia yang harus tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Lalu, Mahadi dan Sabaruddin dalam Ngani (2012: 34) menyatakan bahwa bahasa hukum adalah suatu corak penggunaan bahasa resmi yang mempunyai ciri tersendiri, baik pemeliharaan kata-kata, istilah, maupun ungkapan-ungkapan.” Kemudan, Gustav Rabruch dalam Prasetyo (2012: 22) mengemukakan bahwa bahasa hukum harus bebas dari emosi, tanpa perasaan, dan datar seperti rumusan matematika.

Jika kita cermati semua pengertian bahasa hukum di atas, dapat ditarik pengertian bahwa bahasa hukum adalah bagian ragam bahasa Indonesia yang harus tunduk pada kaidah bahasa Indonesia baku, tetapi bahasa hukum mempunyai kekhususan tersendiri. Kekhususan itu, antara lain, mengenai istilah-istilah atau gaya bahasanya. Sebagai sebuah ragam bahasa, kekhususan seperti itu sangat lazim sebagaimana ragam bahasa yang lain.