• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan

NILAI RASA BAHASA DAN DAYA BAHASA SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA

4. PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA

Jika dicermati dengan teliti masalah nilai rasa bahasa dan daya bahasa seperti yang sudah diuraikan di atas, nilai rasa dan daya bahasa dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan karakter bangsa. Yang perlu dipikirkan adalah rancang bangun seperti apa agar nilai rasa dan daya bahasa dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan bangsa.

Kata suatu bahasa memang berubah-ubah maknanya sesuai dengan daerah, waktu, dan suasana. Jika diamati dalam pemakaian, kata “kamu” memang merupakan kata ganti orang kedua tunggal. Dalam pemakaiannya, kata “kamu” hanya cocok dipakai oleh orang yang sederajat, baik usia, atau tingkat keakraban. Jika kata itu digunakan dengan salah, misalnya menyapa ayah “Kamu sudah makan, Pak?” rasanya sangat tidak sopan.

Namun, kata yang semula tidak dapat digunakan secara leluasa itu, sekarang mulai bergeser pemakaiannya. Para penyiar di radio ketika menyapa pendengarnya sudah biasa menggunakan kata “kamu” “Halo pendengar, kamu akan segera dapat bergabung dengan radio kesayanaganmu untuk berdendang bersama lagu-lagu paling populer dewasa ini!”. Pertanyaannya, apakah dengan menyapa pendengar dengan kata “kamu” masih dianggap kasar. Rasanya justru sebaliknya. Sapaan itu justru terasa menunjukkan hubungan yang akrab antara penyiar dan pendengar. Hal yang sama terjadi pada kata “Anda”. Dahulu, kata “Anda” dianggap sangat kasar untuk menyapa orang kedua. Namun, lama-kelamaan kata “Anda” dianggap menjadi sapaan paling netral karena dapat digunakan untuk menyapa siapa saja sebagai orang kedua.

Di beberapa bahasa daerah juga mengalami hal yang sama. Kata “genduk” dalam bahasa Jawa masih dirasa sangat santun jika dipakai oleh orang dewasa untuk menyapa anak muda perempuan. Meskipun, karena pengaruh televisi, kata “genduk” hanya dipakai untuk menyebut pembantu rumah tangga perempuan muda. Memang, nilai rasa bahasa mengalami pasang surut. Pasang surutnya nilai rasa bahasa bukan karena makna tetapi karena persepsi masyarakat. Kata “genduk” jika dilihat dari segi makna berarti “vagina”. Begitu juga penyebutan kata “thole” dalam bahasa Jawa yang merupakan pemendekan kata “konthole” (dakar). Atau kata “Dayak” sebutan salah satu suku di Kalimantan yang berasal dari bahasa Belanda “dajakers” berarti kata yang menunjukkan semua keburukan dan kejahatan.

Berkaitan dengan nilai rasa bahasa, ada dua pertanyaan besar yang perlu disikapi, yaitu (a) apakah nilai rasa pada bahasa perlu dipertahankan untuk ditanamkan kepada generasi penerus agar tetap berkadar nilai rasa seperti sebelumnya?, dan (b) apakah persepsi pemakai bahasa harus diubah agar persepsi yang dimiliki sesuaidengan pergeseran makna yang terjadi?

Dua pertanyaan tersebut nampaknya tidak dapat didikonomi. Banyak kata yang memang masih berlaku dan maknanya tidak bergeser/berubah sehingga nilai rasa yang ada perlu ditanamkan kepada generasi penerus. Di sisi lain, kenyataan harus diakui bahwa akibat berbagai pengaruh, nilai rasa bahasa dapat bergeser/berubah sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, bagi bangsa Indonesia yang ingin terus membangun dan mengembangkan karakter bangsa tidak perlu direpotkan oleh perdebatan itu. Masalah mempertahankan nilai rasa bahasa atau mengubah persepsi masyarakat terhadap nilai rasa bahasa biarlah ditangani oleh para ahli bahasa.

13

Begitu juga dengan daya bahasa. Kuat lemahnya daya bahasa juga sangat bergantung pada masyarakat pemakai bahasa sendiri. Orang sudah merasa dapat terbujuk (terpersuasi) dengan iklan model lama, seperti “Jika keseleo, belilah Panalson” (iklan obat gosok tahun 70-an). Kata belilah merupakan bentuk persuasi melalui perintah. Namun, persuasi model sekarang, sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakat, iklan mobil ditawarkan dengan mengatakan “Suzuki Ertiga irit banget” (Iklan mobil Suzuki Ertiga). Iklan model sekarang sama sekali tidak menyuruh calon konsumen untuk membeli Ertiga. Namun, dengan cara memberi informasi seperti itu sudah cukup untuk mempersuasi calon konsumen untuk membeli Ertiga. Dengan kata lain, daya persuasi sudah digunakan dengan cara sangat halus sehingga tidak perlu menyuruh untuk membeli.

Berdasarkan nilai rasa bahasa dan daya bahasa, pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a. Ada kata yang memiliki makna tetap dari dahulu hingga sekarang tidak berubah, namun ada pula kata yang maknanya berubah akibat persepsi dan pola pikir masyarakat yang berubah. Kedua nilai rasa bahasa tersebut harus tetap disosialisasi kepada masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan karakter bangsa.

b. Daya bahasa juga berubah-ubah modelnya. Pada zaman dahulu, untuk mempersuasi masyarakat selalu dilakukan secara langsung, jika tidak secara langsung dapat menimbulkan salah paham. Namun, sesuai dengan banyaknya sumber informasi dan semakin berkembangnya pola pikir masyarakat, cara mempersuasi tidak lagi dengan bentuk-bentuk perintah tetapi cukup memberikan informasi yang dibutuhkan.

c. Bentuk-bentuk tuturan tidak langsung, seperti sindiran, imajinasi, persuasi harus mendapat perhatian dalam pengembangan karakter bangsa karena dapat menghaluskan budi masyarakat.

d. Pengembangan karakter bangsa, baik melalui nilai rasa bahasa maupun daya bahasa harus dibatasi pada nilai rasa yang baik dan daya bahasa yang positif. Kata-kata yang bernilai rasa kasar dan berdaya bahasa keras seharusnya tidak perlu dikembangikan dalam pembentukan dan pengembangan karakter bangsa.

5. REKOMENDASI

Berdasarkan pembahasan di atas, pengembangan karakter bangsa dengan memanfaatkan nilai rasa bahasa dan daya bahasa dapat direkomendasikan sebagai berikut.

a. Faktor bahasa, terutama nilai rasa bahasa dan daya bahasa memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan karakter bangsa. Apapun faktor yang mempengaruhi, semuanya membutuhkan bahasa sebagai medianya. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang berkaitan dengan program pembentukan karakter bangsa harus melibatkan ahli bahasa.

b. Pengaruh nilai rasa bahasa dalam pembentukan karakter bangsa terutama melalui berbagai bentuk tuturan tidak langsung, seperti eufimisme, persuasi, permainan bunyi, kerendahan hati; dan daya bahasa, seperti daya persuasi, daya informasi, daya imajinasi, daya perintah tidak langsung, dan daya sindir perlu terus dikembangkan untuk membentuk budi luhur dan pekerti baik.

c. Kata-kata yang bermakna tetap atau yang sudah bergeser maknanya tetap harus diperhatikan tanpa memperdebatkan mana yang perlu dimanfaatkan untuk pembentukan karakter bangsa.

14