• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONDISI UMUM

DAFTAR PUSTAKA

1.4 Kerangka Berpikir

Desa Gedongjetis merupakan salah satu sentra produksi rambutan di Kabupaten Klaten yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan agrowisata. Potensi pada tapak yang digunakan pada penelitian ini adalah potensi pengunjung, potensi tanaman pangan dan tanaman rambutan, potensi infrastruktur serta potensi masyarakat. Potensi tersebut kemudian dilakukan proses analisis sintesis yang menghasilkan rekomendasi pengembangan kawasan agrowisata yang dituangkan dalam bentuk konsep dasar yang dikembangkan menjadi konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep fasilitas dan utilitas, serta konsep vegetasi. Pengembangan konsep ini menghasilkan gambar block plan yang diolah lebih lanjut menjadi rencana lanskap dan gambar site plan sebagai hasil akhir dari penelitian ini, sehingga terwujud suatu lanskap kawasan agrowisata dengan

tanaman rambutan sebagai unggulannya di Desa Gedongjetis, Kabupaten Klaten. Gambaran kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap adalah kemampuan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data, memproyeksikan masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Knudson, 1980). Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan dan berkaitan yang tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi perubahan pada suatu bagian, akan mempengaruhi bagian lainnya (Simonds, 1983). Menurut Gold (1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas rekreasi dan wisata berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan yang dapat dilakukan pada masa mendatang.

3. Pendekatan ekonomi, yaitu penentuan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi.

4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.

Menurut Laurie (1994), perencanaan tapak merupakan bentuk pendekatan ke masa depan terhadap suatu lahan yang diikuti imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak. Untuk menghasilkan rencana dan rancangan area rekreasi yang baik, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, dipelajari, dan dianalisis. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), hal-hal yang perlu diperhatikan adalah potensi dan kendala tersedia, potensi pengunjung, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan sumberdaya dan penggunanya, alternatif dan dampak dari perencanaan dan pelaksanaan ulang yang dilakukan, dan pemantauan hasil

perencanaan dan perancangan. Untuk itu perlu mengetahui dan memahami prinsip dasar dalam perencanaan. Menurut Gold (1980), prinsip umum dalam perencanaan terutama perencanaan suatu kawasan rekreasi adalah:

1. Semua orang harus melakukan aktivitas dan memakai fasilitas rekreasi. 2. Rekreasi harus dikoordinasikan dengan kemungkinan-kemungkinan rekreasi

yang lain untuk menghindari duplikasi.

3. Rekreasi harus berintegrasi dengan pelayanan umum lain seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

4. Fasilitas-fasilitas harus dapat beradaptasi dengan permintaan di masa yang akan datang.

5. Fasilitas dan program-programnya secara finansial harus dapat dilaksanakan.

6. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan.

7. Perencanaan harus merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan evaluasi.

8. Perencanaan lokal dan regional harus berintegrasi.

9. Terlebih dahulu harus ada lahan yang akan dikembangkan menjadi taman atau tempat wisata.

10. Fasilitas-fasilitas yang ada harus membuat lahan menjadi seefektif mungkin dalam menyediakan tempat yang sebaik-baiknya demi kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan pengunjung.

Perencanaan lanskap kawasan wisata alam merupakan suatu perencanaan yang menyesuaikan dengan bentuk program rekreasi yang menjaga kelestarian suatu lanskap. Program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar atau bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas rekreasi manusia yang menunjang keinginan, kepuasan dan kenyamanannya, dimana proses perencanaan dimulai dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya dalam menggunakan tapak untuk kawasan wisata (Knudson, 1980).

2.2 Rekreasi dan Wisata

Rekreasi merupakan apa yang terjadi yang berhubungan dengan kepuasan diri dari sebuah pengalaman (Gold, 1980). Selanjutnya, menurut Douglass (1992),

rekreasi adalah kegiatan yang menyenangkan dan konstruktif serta menambah pengetahuan dan pengalaman mental dari sumberdaya alam dalam ruang dan waktu yang terluang. Dilihat dari sudut tempat kegiatan rekreasi dilakukan, terdapat rekreasi di dalam ruangan dan rekreasi di luar ruangan. Rekreasi di luar ruangan termasuk di dalamnya rekreasi alam. Rekreasi alam terbuka merupakan suatu kegiatan rekreasi yang dilakukan tanpa dibatasi adanya bangunan, yang berhubungan dengan lingkungan dan berorientasi pada penggunaan sumberdaya alam seperti air, hujan, pemandangan alam, atau kehidupan bebas.

Rekreasi menuntut pilihan berbagai aktivitas oleh individu atau kelompok, baik yang aktif maupun pasif (Gold, 1980). Aktivitas rekreasi terjadi pada berbagai tingkatan umur manusia, ditentukan elemen waktu, kondisi dan sikap manusia serta situasi lingkungan. Rekreasi aktif lebih berorientasi pada manfaat fisik dan pelakunya aktif secara fisik. Sedangkan rekreasi pasif lebih berorientasi pada mental. Pada praktiknya, kegiatan rekreasi dapat berupa aktivitas berenang, memancing, berperahu, berpiknik, jogging, berkemah, mendaki gunung, dan sebagainya.

Pariwisata adalah industri yang berkaitan dengan perjalanan untuk mendapatkan rekreasi. Menurut Adisasmita (2010) pariwisata meliputi berbagai jenis karena beragamnya keperluan dan motif perjalanan wisata, misalnya pariwisata pantai, pariwisata etnik, pariwisata agro, pariwisata perkotaan, pariwisata sosial dan pariwisata alternatif. Dan menurut Soemarno (2008), pariwisata adalah kegiatan seseorang dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan perbedaan waktu kunjungan dan motivasi kunjungan. Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktifitas lainnya. Selanjutnya sebagai sektor yang komplek juga meliputi industri-industri klasik yang sebenarnya seperti industri kerajinan dan cinderamata, penginapan dan transportasi, secara ekonomis juga dipandang sebagai industri. Hakekat pariwisata dapat dirumuskan sebagai seluruh kegiatan wisatawan dalam perjalanan dan persinggahan sementara dengan motivasi yang beraneka ragam sehingga menimbulkan permintaan barang dan jasa.

Kawasan yang ditunjuk sebagai obyek wisata alam harus mengandung potensi daya tarik alam, baik flora, fauna beserta ekosistemnya, formasi geologi, dan gejala alam. Kawasan yang demikian nantinya mampu mendukung pengembangan selanjutnya sesuai dengan fungsi dan memenuhi motivasi pengunjung. Motivasi pengunjung pada hakekatnya akan timbul karena 5 kelompok kebutuhan (Soemarno, 2008), yaitu :

1. adanya daya tarik,

2. angkutan dan jasa kemudahan yang melancarkan perjalanan, 3. perjalanan,

4. akomodasi, serta

5. makanan dan minuman.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengembangan pariwisata menurut Soemarno (2008) adalah :

1. tersedianya obyek dan atraksi wisata, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang yang mengunjungi suatu kawasan wisata, misalnya keindahan alam kebun buah-buahan, taman teknologi, tata cara produksi, adat istiadat masyarakat, festival tradisional produk buah,

2. adanya fasilitas aksesibilitas, yaitu sarana dan prasarana perhubungan dengan segala fasilitasnya, sehingga memungkinkan para wisatawan dapat mengunjungi suatu kawasan wisata tertentu, dan

3. tersedianya fasilitas amenitas, yaitu sarana kepariwisataan yang dapat memberi pelayanan pada wisatawan selama dalam perjalanan wisata yang dilaksanakannya.

2.3 Agrowisata

Agrowisata atau disebut pula wisata agro merupakan suatu perjalanan untuk meresapi dan mempelajari kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan yang bertujuan untuk mengajak wisatawan ikut memikirkan sumberdaya alam dan kelestariannya (Adisasmita, 2010). Wisatawan tinggal bersama keluarga petani atau tinggal di perkebunan untuk ikut merasakan kehidupan dan kegiatannya. Menurut Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 204/KPTS/HK050/4/1989 dan

No. KM.47/PW.004/MPPT-89 tanggal 6 April 1989, bahwa wisata agro adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha dibidang agro yang dilakukan secara terus menerus.

Ditambahkan oleh Tirtawinata dan Fachruddin (1996) bahwa agrowisata merupakan upaya dalam rangka menciptakan produk wisata baru (diversifikasi). Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam sebuah perencanaan agrowisata, yaitu sebagai berikut:

1. perencanaan agrowisata sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tempat agrowisata itu berada,

2. perencanaan dibuat secara lengkap, tetapi sesederhana mungkin,

3. perencanaan mempertimbangkan tata lingkungan dan kondisi sosial masyarakat sekitar,

4. perencanaan selaras dengan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumber dana dan teknik-teknik yang ada, selanjutnya

5. perlu dilakukan evaluasi sesuai dengan perkembangan yang ada.

Lebih lanjut Tirtawinata dan Fachruddin (1996) menjelaskan ruang lingkup dan potensi agrowisata yang dapat dikembangkan di Indonesia meliputi bidang sebagai berikut :

1. Kebun Raya. Obyek wisata kebun raya memiliki kekayaan berupa tanaman yang berasal dari berbagai spesies. Daya tarik yang dapat ditawarkan kepada wisatawan mencakup kekayaan flora yang ada, keindahan pemandangan di dalamnya dan kesegaran udara yang memberikan rasa nyaman.

2. Perkebunan. Kegiatan usaha perkebunan meliputi perkebunan tanaman keras dan tanaman lainnya oleh perkebunan swasta nasional maupun asing, BUMN, dan perkebunan rakyat. Berbagai kegiatan obyek wisata perkebunan dapat berupa pra produksi, produksi, dan pasca produksi.

3. Tanaman pangan dan hortikultura. Lingkup kegiatan wisata tanaman pangan meliputi usaha tanaman padi dan palawija serta hortikultura yakni bunga, buah, sayur, dan jamu-jamuan. Berbagai proses kegiatan mulai dari pra panen, pasca panen berupa pengolahan hasil, sampai kegiatan pemasarannya dapat dijadikan obyek agrowisata.

4. Perikanan. Ruang lingkup kegiatan wisata perikanan dapat berupa kegiatan budidaya perikanan sampai proses pasca panen. Daya tarik perikanan sebagai sumberdaya wisata diantaranya pola tradisional dalam perikanan serta kegiatan lain, seperti memancing ikan.

5. Peternakan. Daya tarik peternakan sebagai sumberdaya wisata antara lain pola beternak, cara tradisonal dalam peternakan serta budidaya hewan ternak.

Dalam mewujudkan suatu kawasan wisata yang baik harus memperhatikan daya dukung dari kawasan tersebut. Daya dukung rekreasi menurut Gold (1980) merupakan kemampuan suatu area rekreasi secara alami dari segi fisik dan sosial untuk dapat mendukung aktivitas rekreasi dan dapat memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan.

Adanya agrowisata mampu memberikan manfaat sebagai berikut (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996) :

1. meningkatkan konservasi lingkungan,

2. meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam, 3. memberikan nilai rekreasi,

4. meningkatkan kegiatan ilmiah dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan 5. mendapatkan keuntungan ekonomi.

2.4 Produksi Rambutan

Rambutan (Nephellium lappaceum L.) merupakan tanaman buah hortikultural berupa pohon dengan famili Sapindacaeae. Tanaman buah tropis yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Hairy Fruit merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia. Hingga saat ini rambutan telah menyebar luas di daerah yang beriklim tropis seperti Filipina dan negara-negara Amerika Latin dan ditemukan pula di daratan yang mempunyai iklim sub-tropis. Menurut Kalie (1994), beberapa wilayah di Indonesia bagian barat memiliki ekologi yang sesuai untuk pertumbuhan rambutan, seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatra yang memiliki iklim relatif basah sepanjang tahun sehingga merupakan sentra produksi rambutan. Rambutan dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran rendah

hingga daerah dengan ketinggian 600 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan iklim basah merata sepanjang tahun hingga iklim yang memiliki 1-3 bulan kering. Tanaman buah rambutan sengaja dibudidayakan untuk dimanfaatkan buahnya yang mempunyai gizi, zat tepung, sejenis gula yang mudah terlarut dalam air, zat protein dan asam amino, zat lemak, zat enzim-enzim yang esensial dan nonesensial, vitamin serta zat mineral makro dan mikro yang menyehatkan keluarga (Anonim, 2000). Selanjutnya menurut Kalie (1994), buah rambutan memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi. Buah ini cukup digemari masyarakat sebagai buah segar maupun buah olahan. Selain buahnya, bagian tubuh lain dari pohon rambutan dapat bermanfaat. Tunas atau pucuk daun muda pohon rambutan bermanfaat untuk mengubah warna kain sutra yang telah berubah kuning menjadi hijau. Akar pohon rambutan dapat menurunkan demam dengan merebusnya. Kulit batangnya yang keras dan kuat dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi ada pula masyarakat yang memanfaatkan sebagai pohon pelindung di pekarangan, sebagai tanaman hias.

Rambutan sebagai tanaman buah dengan banyak manfaat banyak dibudidayakan masyarakat baik sebagai penghias pekarangan maupun diproduksi dalam jumlah besar. Berdasarkan data Anonim (2000), terdapat 22 jenis rambutan baik yang berasal dari galur murni maupun hasil okulasi atau penggabungan dari dua jenis dengan galur yang berbeda. Ciri-ciri yang membedakan setiap jenis rambutan dilihat dari sifat buah (dari daging buah, kandungan air, bentuk, warna kulit, panjang rambut). Dari sejumlah jenis rambutan di atas hanya beberapa varietas rambutan yang digemari orang dan dibudidayakan dengan memilih nilai ekonomis relatif tinggi, diantaranya:

1. Rambutan Rapiah. Varietas ini berasal dari Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Buah tidak terlalu lebat tetapi mutu buahnya tinggi. Kulit berwarna hijau-kuning-merah tidak merata dengan berambut agak jarang, daging buah manis dan agak kering, kenyal, ngelotok dan daging buahnya tebal. Daya tahan dapat mencapai 6 hari setelah dipetik.

2. Rambutan Aceh Lebak Bulus. Pohonnya tinggi dan lebat buahnya dengan hasil rata-rata 160-170 ikat per pohon. Kulit buah berwarna merah kuning,

halus, rasanya segar manis-asam banyak air dan ngelotok. Daya simpan 4 hari setelah dipetik, buah ini tahan dalam pengangkutan.

3. Rambutan Simacan, kurang lebat buahnya dengan rata-rata hasil 90-170 ikat per pohon. Kulit berwarna merah kekuningan sampai merah tua, rambut kasar dan agak jarang, rasa manis, sedikit berair. Rambutan jenis ini kurang tahan dalam pengangkutan.

4. Rambutan Binjai yang merupakan salah satu rambutan yang terbaik di Indonesia yang berasal dari Binjai, Sumatra Utara. Buahnya cukup besar, kulit berwarna merah darah sampai merah tua rambut buah agak kasar dan jarang, serta rasanya manis dengan asam sedikit, hasil buah tidak selebat aceh lebak bulus tetapi daging buahnya ngelotok.

5. Rambutan Sinyonya, jenis rambutan ini lebat buahnya dan banyak disukai terutama orang Tionghoa. Rambutan ini memiliki batang yang kuat sehingga cocok untuk diokulasi. Warna kulit buah merah tua sampai merah anggur, dengan rambut halus dan rapat, rasa buah manis asam, banyak berair, lembek dan tidak ngelotok.

Budidaya tanaman rambutan di Indonesia pada umumnya bersifat pekarangan. Jarak tanamnya tidak beraturan, tindakan agronomis seperti pemeliharaan tanaman, pemupukan, pengendalian hama penyakit dan lainnya kurang diperhatikan. Kerapatan dan kepadatan tanaman tiap satuan luas cukup tinggi, mencapai 50-78 tanaman per hektar, sehingga kualitas dan kuantitas rambutan yang dihasilkan juga sangat beragam. Untuk menghasilkan kuantitas yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik diperlukan perbaikan dalam tindakan agronomis (Kalie, 1994).

Rambutan menurut Kalie (1994) termasuk tanaman yang berbunga banyak. Bunganya dapat berbentuk bunga jantan atau bunga sempurna yang tersusun dalam suatu malai bunga atau panicula. Malai rambutan terdiri dari satu tangkai utama dengan panjang 15-20 cm dan memiliki cabang banyak, serta setiap cabangnya bercabang lagi. Malai tersebut tumbuh pada tunas ujung yang disebut tunas terminal. Pada malai terdapat bunga kecil-kecil yang tersusun rapat berjumlah sekitar 50-2.000 bunga. Bunga-bunga ini berwarna hijau kekuningan serta diselaputi rambut dan tepung halus. Terkadang di bawah malai akan tumbuh

tunas samping atau tunas lateral yang kemudian menghasilkan malai bunga yang lebih kecil. Ketika malai bermunculan dan bermekaran akan memberikan pesona yang lebih pada pohon rambutan tersebut. Pesona akan semakin bertambah ketika tajuk pohon mulai dipenuhi dengan buah rambutan yang bergelantungan dengan warna merah dan oranye yang merona.

Proses pembungaan dan pembuahan pada pohon rambutan lebih lanjut menurut Kalie (1994) terjadi pada tajuk bagian luar. Pada proses pembungaan, pohon yang menghasilkan bunga jantan merupakan pohon jantan yang tidak dapat menghasilkan buah. Dengan kata lain, tanaman rambutan yang dapat menghasilkan buah adalah pohon yang menghasilkan bunga sempurna. Pembungaan pohon rambutan terjadi pada penghujung musim kemarau. Iklim kering selama sekitar sebulan, merupakan kebutuhan awal aktivitas pembentukan tunas-tunas bunga rambutan. Apabila musim kemarau berkepanjangan, bunga yag dihasilkan akan berguguran dan apabila terjadi pembuahan, buah yang dihasilkan bermutu rendah. Bunga sempurna mulai mekar dan masak pada pagi hari dan masa mekar bunga sempurna cukup singkat, yakni sekitar 1-8 hari. Sehingga proses penyerbukan pohon rambutan tergolong singkat dan memerlukan perhatian khusus. Untuk menjamin proses penyerbukan, sebaiknya rambutan yang ditanam dari beberapa varietas sekaligus dalam satu pertanaman. Penyerbukan pohon rambutan biasanya dibantu oleh serangga, yaitu lebah madu. Bunga-bunga rambutan yang telah mekar membutuhkan kelembaban dan air hujan. Akan tetapi apabila hujan turun terus-menerus, maka bunga-bunga akan berguguran. Selanjutnya pada masa pertumbuhan pentil buah membutuhkan kelembaban dan hujan yang kian melebat. Pada saat pertumbuhan buah, kualitas dan intensitas cahaya merupakan faktor penentu keberhasilan pematangan buah. Cahaya yang diperlukan berkisar 40-80%. Buah yang terkena cahaya matahari akan lebih cepat masak berwarna merah menyala. Buah yang telah masak dan berwarna merah menyala sudah siap panen.

Masa panen buah rambutan terjadi pada musim penghujan. Di Indonesia masa panen buah rambutan sekitar 2-3 bulan. Setiap wilayah memiliki waktu panen yang berbeda-beda tergantung dengan letak geografis, suhu dan cahaya matahari yang berpengaruh pada datangnya musim kering yang berbeda pula.

Buah rambutan yang dipanen harus buah yang telah matang di pohon. Apabila buah dipetik sebelum masak, maka kualitas buah akan menurun. Hal ini karena setelah dipetik, proses pemasakan buah telah terhenti. Proses respirasi dan produksi etilen relatif tetap, sehingga proses pemasakan tidak dapat berlanjut. Buah yang memiliki sifat fisiologis demikian ini disebut buah non klimaterik

(Kalie, 1994).

Cara yang baik untuk menentukan kapan waktu panen yang tepat untuk buah rambutan menurut Kalie (1994) adalah dengan melihat warna kulit dan rambut buah. Warna merah kekuningan sampai merah untuk rambutan varietas berkulit dan berambut merah, serta warna kuning kehijauan hingga kuning untuk varietas berkulit dan berambut kuning. Selain itu, saat panen juga dapat ditentukan dari umur buah. Umur buah mulai dari masa pembungaan sampai saat buah siap dipanen adalah 90-120 hari. Buah-buah yang terdapat dalam satu tangkai masak secara tidak serempak. Sehingga pemetikan sebaiknya dilakukan bertahap agar kualitas buah dapat terjaga. Buah yang telah dipetik sebaiknya dihindarkan dari paparan sinar matahari langsung. Buah rambutan yang telah dipanen tidak tahan lama, hanya tahan 1-2 hari. Setelah dua hari, rambut akan berubah warna menjadi coklat dan lama kelamaan menghitam. Meski daging buahnya masih terasa enak tetapi buah sudah tidak laku dipasaran.

Buah rambutan yang telah dipanen dapat segar lebih lama dengan penyimpanan pada suhu 8,9-11,1°C dengan kelembaban nisbi 90-95%. Penyimpanan rambutan dengan suhu dingin ini akan bertahan hingga 12 hari masih terlihat segar. Penyimpanan rambutan pada suhu lebih rendah dari 8,9°C akan menyebabkan kerusakan fisiologis, yakni kulit dan rambut buah berubah warna menjadi lebih gelap. Buah rambutan selama ini lebih banyak dinikmati dengan dimakan langsung ketika masih segar. Selain dimakan langsung, rambutan dapat diolah menjadi buah kalengan dan manisan buah untuk memperpanjang masa penyimpanan (Kalie, 1994).

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai bulan Februari 2011 hingga bulan Juni 2011 di Sentra Produksi Rambutan Gedongjetis, Tulung, Klaten (Gambar 2).

Gambar 2. Lokasi Penelitian

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan data dikumpulkan dalam penelitian ini, diantaranya adalah : 1. Data objek, tata ruang, dan aksessibilitas.

2. Data view (foto-foto kondisi eksisting tapak), 3. Data peta.

Data peta yang dikumpulkan berupa peta dasar yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan analisis, yaitu :

1. Peta tutupan lahan, peta topografi, peta tata guna lahan, dan peta hidrologi. 2. Foto udara (www.googleearth.com) tahun 2010 yang diunduh pada 06

Oktober 2011 dan 05 Februari 2012.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kamera digital Nikon.

2. Notebook Acer Tipe ASPIRE 4736 dengan processor Intel® Core™ 2 Duo. 3. Software ArcGIS 9.3, AutoCAD 2009, Corel Draw X5, Photoshop CS5, dan

Microsoft Excel 2010 untuk mengolah data.

4. Software Microsoft Word 2010 dan Microsoft Power Point 2010 untuk penyusunan dan penyajian skripsi.

5. GPS (Global Positioning System) Garmin Colorado 300 untuk ground check

ketinggian tapak.

3.3 Metode

Studi ini dilakukan dengan mengikuti proses perencanaan yang dikemukakan Gold (1980) dengan pendekatan sumberdaya dan aktivitas (Gambar 3), yang dibatasi hingga proses perencanaan dengan hasil akhir berupa rencana lanskap (siteplan). Tahap-tahapnya meliputi :

1. Pengumpulan Data (Inventarisasi)

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer (Tabel 1). Data sekunder yang dikumpulkan didapat dari Bappeda, Dinas Pertanian, dan instansi lainnya. Data sekunder yang dikumpulkan berupa peta administrasi dan peta infrastruktur dari Bappeda Kabupaten Klaten. Peta topografi, peta tanah dan tata guna lahan diperoleh dari pemetaan dan data sekunder dari Bappeda Kabupaten Klaten. Data yang juga diambil adalah data sosial, ekonomi dan data-data pendukung lainnya.

Di samping data sekunder, dikumpulkan juga data primer yang diambil dengan metode survey dan wawancara untuk melengkapi data sekunder. Kegiatan wawancara dibagi menjadi dua, yaitu wawancara kepada pemerintah dan

pengelola, serta wawancara kepada pengunjung. Kegiatan wawancara kepada pemerintah dan pengelola dilakukan dengan mendatangi instansi yang

Dokumen terkait