• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Berpikir

4.1 Rancangan Penelitian ... 30

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian

2. Rekapitulasi Hasil Jawaban Responden 3. Transformasi Data Ordinal ke Interval 4. Statistik Deskriptif

5. Output SPSS Uji Validitas 6. Output SPSS Uji Reliabilitas 7. Output SPSS Uji Normalitas 8. Output SPSS Uji Multikolinearitas 9. Output SPSS Uji Heteroskedastisitas 10. Output SPSS Uji Regresi Linier Berganda

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia membutuhkan stabilitas ekonomi serta pengelolaan yang transparan dan akuntabel untuk dapat melakukan pembangunan yang berkesinambungan. Auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah salah satu profesi yang dapat mewujudkan kondisi tersebut karena berperan dalam peningkatan kualitas informasi laporan keuangan. Informasi tersebut digunakan oleh publik untuk pengambilan keputusan ekonomi. Stabilitas akan terwujud apabila informasi yang tersedia memberikan gambaran riil kondisi keuangan suatu entitas. Kondisi ini merupakan tujuan yang ingin dicapai semua pihak di Indonesia melalui terbitnya Undang-Undang Akuntan Publik No. 5 Tahun 2011.

Aturan mengenai profesi akuntan publik disusun untuk mewujudkan kondisi ideal di bidang akuntansi dan audit. Namun dalam pelaksanaannya, suatu aturan tidak selalu dapat mengantisipasi permasalahan yang ada. Salah satu contoh adalah dilema etika yang dihadapi auditor KAP. Etika menjadi isu yang sering dibahas dalam setiap diskusi mengenai profesionalisme di bidang akuntansi dan audit (O’Leary dan Cotter, 2000). Hal ini menunjukkan profesi di bidang akuntansi dan audit tidak dapat terlepas dari permasalahan etika. Khusus di bidang audit, maka profesi akuntan publik yang sering menghadapi dilema etika tersebut. Masalah etika muncul ketika akuntan publik menyeimbangkan kepentingan dari berbagai pihak yang terkait (Shaub et al., 1993).

Krisis kepercayaan pada profesi auditor KAP di Indonesia terjadi setelah Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memberi sanksi kepada 10 KAP yang melanggar standar audit pada tahun 2002 (Rustiana, 2006). Audit KAP Eddi Pianto & Rekan terhadap PT. Telkom adalah salah satu contoh kasus audit mengenai dilema etika yang dihadapi KAP di Indonesia (Ludigdo, 2006). Kasus berawal dari penolakan KAP Haryanto Sahari & Rekan untuk memberikan laporan audit sebelumnya sebagai acuan audit. KAP Eddi Pianto & Rekan mengalami kesulitan untuk mendapatkan penjelasan atas audit sebelumnya, sehingga terjadi keterlambatan pelaporan keuangan dan konsekuensi dari keterlambatan tersebut adalah pemberian sanksi terhadap KAP Eddi Pianto & Rekan. Hal ini membuktikan bahwa auditor harus bersikap profesional serta dapat mengambil keputusan yang tepat dan cepat dalam menjalankan tugas.

Anderson dan Ellyson (1986) menyatakan American Institute of Certified

Public Accountant (AICPA) memberikan syarat kepada para auditor untuk

melatih sensitivitas etika dan moral dalam semua aktivitasnya. Sensitivitas etika menjadi dasar dalam memahami sifat dasar etika dari suatu keputusan (Shaub et

al., 1993). Indonesia dapat mengadopsi syarat tersebut untuk menciptakan kondisi

ideal melalui penerapan UU Akuntan Publik dengan melatih sensitivitas etika. Kasus audit yang terjadi dapat dijadikan evaluasi dalam memperbaiki orientasi etika, meningkatkan komitmen profesional serta pengalaman auditor untuk menghadapi masalah etika. Evaluasi juga dapat dilakukan dalam lingkungan organisasi akuntan profesional untuk menghilangkan masalah etika yang melekat (Poneman dan Gabhart, 1993; Leung dan Cooper, 1995).

Sensitivitas etika didefinisikan oleh Shaub et al. (1993) sebagai kemampuan dalam mengambil suatu keputusan dengan mempertimbangkan sifat dasar etika dari keputusan yang dibuat. Kemampuan tersebut sangat penting bagi auditor ketika harus menghadapi dilema etika dalam menjalankan tugasnya. Hunt dan Vitell (1986) menyatakan bahwa pemahaman seseorang mengenai masalah etis dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan. Pengukuran sensitivitas etika dilakukan dengan mempertimbangkan kegagalan akuntan yang berkaitan dengan waktu, penggunaan waktu untuk kepentingan pribadi dan judgement akuntan yang berhubungan dengan prinsip-prinsip akuntansi. Irawati dan Supriyadi (2012) mengembangkan pengukuran sensitivitas etika dalam penelitian yang mereka lakukan dengan memodifikasi instrumen penelitian Shaub (1989). Penelitian ini menggunakan kedua pengukuran tersebut untuk mengukur sensitivitas etika.

Knoers dan Haditono (1999) menyatakan bahwa pengalaman adalah proses pembelajaran dan pertambahan potensi tingkah laku yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal. Auditor berkembang berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui diskusi, pelatihan dan penggunaan standar (Jones, 1991; Januarti, 2011). Auditor yang memiliki pengalaman dianggap lebih konservatif saat mengahadapi dilema etika (Larkin, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman sangat penting, karena semakin teliti auditor maka semakin meningkat sensitivitas etika yang dimiliki auditor. Gusnardi (2003) secara lebih spesifik menyatakan bahwa pengukuran terhadap pengalaman audit dapat dilakukan dengan mengetahui jabatan auditor, lama bekerja, peningkatan keahlian, serta pelatihan audit yang pernah diikuti.

Seorang auditor juga harus memiliki komitmen (Irawati dan Supriyadi, 2012). Komitmen dibedakan menjadi dua, yaitu komitmen profesional dan komitmen organisasional (Bline et al., 1992). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Chang dan Choi (2007) yang menemukan bahwa komitmen organisasional dan komitmen profesional adalah dua hal yang berbeda. Larkin (1990) menyatakan bahwa komitmen profesional adalah loyalitas pada profesi yang dimiliki oleh individu, sedangkan Kwon dan Banks (2004) menyatakan bahwa komitmen organisasional merupakan loyalitas pada organisasi. Komitmen pada organisasi dan/atau profesi memunculkan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi dan/atau profesi (Aranya et al., 1981; Aranya dan Ferris, 1984). Salah satu cara yang dapat dilakukan seorang auditor untuk bertahan sebagai anggota dari organisasi dan/atau profesinya adalah memahami sifat dasar etika dari suatu keputusan yang dibuat, pemahaman yang cukup dapat meningkatkan sensitivitas etikanya (Anderson dan Ellyson, 1986; Shaub et al., 1993). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komitmen profesional dan komitmen organisasional dengan sensitivitas etika. Pengukuran komitmen profesional dan organisasional dilakukan dengan menggunakan indikator berbeda. Penelitian ini menggunakan lima indikator untuk mengukur komitmen profesional dan empat indikator untuk mengukur komitmen organisasional, sesuai dengan Irawati dan Supriyadi (2012). Indikator komitmen profesional dalam penelitian ini berkaitan dengan komitmen auditor terhadap profesinya sebagai auditor, sedangkan indikator komitmen organisasional berkaitan dengan komitmen auditor terhadap organisasi tempat ia bekerja.

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan dilema etika adalah orientasi etika. Orientasi etika merupakan alternatif pola perilaku seseorang untuk menyelesaikan dilema etika, yang dibentuk oleh idealisme dan relativisme (Forsyth, 1980; Higgins dan Kelleher, 2005). Penelitian ini menggunakan masing-masing sepuluh indikator untuk mengukur idealisme dan relativisme, sesuai dengan Irawati dan Supriyadi (2012). Pengukuran idealisme berkaitan dengan tindakan yang berpedoman pada nilai-nilai etika dan moral, sedangkan relativisme berkaitan dengan penolakan terhadap nilai-nilai etika dan moral (Forsyth, 1980). Kedua pengukuran tersebut penting digunakan untuk mengukur hubungan orientasi etika dengan sensitivitas etika.

Beberapa penelitian mengenai sensitivitas etika telah dilakukan. Irawati dan Supriyadi (2012) menyatakan bahwa terdapat pengaruh komitmen organisasional terhadap sensitivitas etika. Hasil tersebut berbeda dengan Shaub et al. (1993) serta Aziza dan Salim (2007) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara komitmen organisasional dengan sensitivitas etika. Januarti (2011) menyatakan bahwa orientasi etika berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan pertimbangan etis, sedangkan pengalaman, komitmen profesional, dan nilai etika organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan pertimbangan etis. Hasil berbeda ditunjukkan Khomsiyah dan Indriantoro (1998) yang menemukan bahwa komitmen profesional mempengaruhi sensitivitas etika. Fallah (2006) menunjukkan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh terhadap idealisme dan tidak berpengaruh pada relativisme, sedangkan relativisme berpengaruh signifikan pada sensitivitas etika dan idealisme tidak berpengaruh.

Motivasi dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh variabel komitmen dan orientasi etika pada sensitivitas etika auditor dengan menambahkan variabel pengalaman, serta penggunaan dimensi waktu dan tempat yang berbeda (confirmatory research). Perbedaan dimensi waktu yang dimaksud adalah penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013, sedangkan perbedaan dimensi tempat yang dimaksud adalah Kantor Akuntan Publik di Bali. Terdapat beberapa alasan dipilihnya auditor pada Kantor Akuntan Publik sebagai responden dalam penelitian ini. Alasan pertama, karena beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak menguji sensitivitas etika pada auditor pemerintah, seperti, auditor BPK dan pemeriksa internal Bawasda. Faktor lain yang menjadi pertimbangan dipilihnya auditor KAP adalah budaya organisasi yang cenderung heterogen pada masing-masing KAP jika dibandingkan dengan BPK yang memiliki budaya organisasi yang cenderung homogen, karena berada pada satu organisasi yang memiliki kesamaan budaya. Kesamaan budaya pada BPK diperkuat dengan sistem e-audit yang diterapkan oleh BPK untuk seluruh anggotanya, sehingga mengarah pada penyeragaman program audit (www.bpk.go.id). Perbedaan budaya KAP dengan BPK diduga akan berpengaruh pada keputusan individu auditor, penelitian ini mencoba untuk melihat fenomena tersebut dari objek penelitian yang berbeda. Selain itu, penelitian sebelumnya menggunakan skala Likert 1 sampai 7, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert 1 sampai 4 untuk menghindari multi interpretable, central tendency effect dan menghindari banyak informasi yang hilang (Hadi, 1991; Kriyantono, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah disusun sebagai berikut:

1) Apakah pengalaman berpengaruh pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali?

2) Apakah komitmen profesional berpengaruh pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali?

3) Apakah komitmen organisasional berpengaruh pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali?

4) Apakah idealisme berpengaruh pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali?

5) Apakah relativisme berpengaruh pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkaan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1) Mengetahui pengaruh pengalaman pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali.

2) Mengetahui pengaruh komitmen profesional pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali.

3) Mengetahui pengaruh komitmen organisasional pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali.

4) Mengetahui pengaruh idealisme pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali.

5) Mengetahui pengaruh relativisme pada sensitivitas etika auditor Kantor Akuntan Publik di Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diberikan melalui penelitian ini adalah: 1) Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam pengembangan ilmu akuntansi keprilakuan yang berkaitan dengan audit. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan sensitivitas etika auditor. 2) Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada seluruh pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini, khususnya kepada Kantor Akuntan Publik mengenai fenomena sensitivitas etika yang dialami auditor.

9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Etika

Etika menjadi salah satu panduan bagi profesi auditor dalam mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya (Januarti, 2011). Auditor Kantor Akuntan Publik adalah salah satu profesi yang tidak dapat lepas dari permasalahan etika. Hal tersebut dibuktikan melalui kasus pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kepada 10 KAP yang melanggar standar audit pada tahun 2002 (Rustiana, 2006). Kasus tersebut berkaitan dengan proses auditor dalam mengambil suatu keputusan yang tepat dan cepat saat menjalankan tugas. Auditor dalam segala aktivitasnya harus mempertimbangkan banyak hal karena banyaknya kepentingan yang melekat pada proses audit (Damman, 2003). Tsui (1996) serta Tsui dan Gul (1996) juga menyatakan hal yang sama, seorang auditor sering berada dalam konflik audit saat melaksanakan tugasnya. Konflik yang terjadi akan berkembang menjadi dilema etika ketika auditor menghadapi situasi pembuatan keputusan yang menyangkut independensi dan integritas dengan imbalan ekonomis di sisi lain (Windsor dan Askhanasy, 1995). Bertens (2000) menyatakan bahwa teori etika dapat membantu proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan moral dan justifikasi terhadap keputusan tersebut, sehingga kasus-kasus yang terjadi di Indonesia diharapkan dapat berkurang di masa yang akan datang.

Etika adalah tatanan moral yang telah disepakati bersama dalam suatu profesi dan ditujukan untuk anggota profesi (Risa, 2011). Duska (2003) mengembangkan tiga teori etika, ketiga teori tersebut digunakan untuk mengembangkan penelitian ini, yaitu:

1) Utilitarianism Theory

Teori ini membahas mengenai optimalisasi pengambilan keputusan individu untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif. Terdapat dua macam utilitarisme, yaitu:

a. act utilitarisme yaitu perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang, b. rule utilitarisme yaitu aturan moral yang diterima oleh masyarakat luas. 2) Deontologi Theory

Teori ini membahas mengenai kewajiban individu untuk memberikan hak kepada orang lain, sehingga dasar untuk menilai baik atau buruk suatu hal harus didasarkan pada kewajiban, bukan konsekuensi perbuatan. Deontologi menekankan bahwa perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan karena kewajiban yang harus dilakukan (Bertens, 2000).

3) Virtue Theory

Teori ini membahas watak seseorang yang memungkinkannya untuk bertingkah laku baik secara moral. Terdapat dua bagian virtue theory, yaitu: a. pelaku bisnis individual, seperti: kejujuran, fairness, kepercayaan dan

keuletan,

b. taraf perusahaan, seperti: keramahan, loyalitas, kehormatan, rasa malu yang dimiliki oleh manajer dan karyawan.

2.1.2 Perkembangan Moral Kognitif

Kohlberg (1971) menyatakan bahwa moral kognitif adalah faktor penentu dalam pengambilan keputusan etis. Pengukuran terhadap perkembangan moral kognitif seseorang tidak hanya dapat diamati dari perilakunya saja, namun juga harus melihat kesadaran moral seseorang dalam membuat suatu keputusan.

Jones (1991) juga menyatakan bahwa pemahaman seseorang terhadap moral dalam mengambil suatu keputusan etis bergantung pada dirinya sendiri (pengalaman, orientasi etika dan komitmen profesional) dan situasi (nilai etika organisasi). Selain itu, Trevino (1986) menyatakan bahwa faktor organisasional berpengaruh terhadap perilaku etis seseorang. Seseorang memiliki alasan untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap benar berdasarkan komitmen dan melihat hal tersebut sebagai dasar mengevaluasi suatu aturan (Velasques, 2005).

2.1.3 Akuntansi Keperilakuan

Akuntansi keperilakuan merupakan bagian dari studi akuntansi yang mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan sistem akuntansi (Siegel et

al., 1989). Sistem akuntansi terkait dengan seluruh desain alat pengendalian

manajemen, meliputi sistem pengendalian, sistem penganggaran, desain akuntansi pertangungjawaban, desain organisasi, desain pengumpulan biaya, desain penilaian kinerja serta pelaporan keuangan. Ruang lingkup akuntansi keperilakuan tidak hanya meliputi bidang akuntansi manajemen saja, tetapi juga menyangkut etika, auditing, sistem informasi akuntansi bahkan juga akuntansi keuangan.

Hudayati (2002) menjelaskan secara lebih rinci mengenai ruang lingkup akuntansi keperilakuan yang meliputi:

1) mempelajari pengaruh antara perilaku manusia terhadap desain, konstruksi, dan penggunaan sistem akuntansi yang diterapkan dalam perusahaan

2) mempelajari pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia

3) memprediksi bagaimana sistem akuntansi dapat dipergunakan untuk mempengaruhi perilaku.

2.1.4 Audit

Audit merupakan proses sistematis guna mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi mengenai tindakan dan kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian asersi dengan kriteria yang ditetapkan, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan (Jusup, 2001). Definisi lainnya mengenai audit disampaikan oleh Boyton (2003) yang menyatakan bahwa audit merupakan proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif tentang asersi-asersi suatu kegiatan dan peristiwa ekonomi yang bertujuan untuk menetapkan kesesuaian antara asersi-asersi dengan kriteria yang ditetapkan, kemudian hasilnya disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. Sedangkan Agoes (2004) berpendapat bahwa audit bersifat kritis dan sistematis, aktivitasnya dilakukan oleh pihak independen, dengan memeriksa laporan keuangan manajemen beserta catatan pembukuan dan bukti pendukung, dengan tujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan.

Dari beberapa definisi yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat beberapa ciri penting yang ada dalam definisi audit adalah:

1) suatu proses sistematis 2) pemeriksaan secara kritis

3) memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif 4) asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi 5) kriteria yang telah ditetapkan

6) penyampaian hasil

7) pihak-pihak yang berkepentingan

2.1.5 Aspek Keperilakuan dalam Audit

Akuntansi berfungsi menghasilkan informasi keuangan untuk berbagai pihak yang berkepentingan guna pengambilan keputusan bisnis. Akuntansi terdiri dari beberapa konsentrasi, salah satunya adalah audit. Aktivitas audit muncul dari hubungan keagenan yang timbul antara pihak pemberi tugas yang disebut prinsipal dan penerima tugas yang disebut agen. Djakman (2003) menyatakan bahwa prinsipal mempekerjakan agen untuk mendelegasikan wewenang dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan suatu entitas. Audit berfungsi sebagai salah satu penyedia informasi kepada kedua pihak untuk dapat menghindari munculnya masalah-masalah keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa agen tidak selalu bertindak yang terbaik untuk prinsipal, sehingga audit juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan tersebut. Audit pada saat ini menjadi bagian penting dalam perkembangan akuntansi.

Tingginya pemahaman masyarakat umum atas pentingnya fungsi audit meningkatkan peran auditor dan lembaganya. Mengacu pada definsi audit, dapat disimpulkan bahwa audit adalah proses pembuktian oleh pihak independen terhadap suatu asersi manajemen dengan menggunakan pertimbangan dan bukti.

Menurut Siegel dan Marconi (1989), auditor harus dapat melepaskan diri dari faktor personalitas saat melaksanakan aktivitas audit. Personalitas bisa menyebabkan kegagalan audit dan risiko yang tinggi bagi auditor. Ada dua kondisi yang dihadapi oleh auditor. Pertama, auditor dipengaruhi oleh persepsi mereka pada lingkungan audit. Kedua, auditor harus selaras serta sinergi dalam pekerjaan kelompok, sehingga muncul interaksi yang akan menimbulkan proses keperilakuan. Suartana (2010) berpendapat bahwa akuntansi keperilakuan merupakan bagian dari disiplin akuntansi yang mengkaji hubungan perilaku manusia dan sistem akuntansi, serta dimensi keperilakuan dari organisasi dimana manusia dan sistem akuntansi itu berada. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat aspek keperilakuan dalam audit.

2.1.6 Sensitivitas Etika

Shaub et al. (1993) berpendapat bahwa sensitivitas etika adalah kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etika dalam suatu keputusan. Hunt dan Vitell (1986) menjelaskan bahwa kemampuan seseorang untuk memahami masalah etis dipengaruhi oleh lingkungan budaya, lingkungan industri, lingkungan organisasi, dan pengalaman pribadi. Irawati dan Supriyadi (2012) yang mengukur sensitivitas etika dengan memodifikasi skenario sensitivitas etika Shaub (1989), yaitu:

kegagalan akuntan yang berkaitan dengan waktu, penggunaan waktu untuk kepentingan pribadi dan judgement akuntan yang berhubungan dengan prinsip akuntansi. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) tentang Standar Pengendalian Mutu Nomor 1 bagi KAP menyatakan bahwa setiap individu dalam KAP harus patuh pada ketentuan yang berlaku. Standar ini memperjelas definisi audit Shaub et al. (1993) dan Vitell (1986) bagi auditor untuk semakin meningkatkan kemampuannya memahami nilai etika.

2.1.7 Pengalaman

Pengalaman adalah proses pembelajaran dan pertambahan potensi tingkah laku yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal (Knoers dan Haditono, 1999). Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan pelaksanaan audit harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai seorang auditor. Pengalaman dapat diperoleh melalui pelatihan, supervisi, maupun review kinerja yang diberikan oleh auditor senior. Januarti (2011) berpendapat bahwa pengalaman auditor berkembang searah dengan pengalaman audit, diskusi audit, pelatihan, dan penggunaan standar. Jones (1991) juga menyatakan bahwa perkembangan moral kognitif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman. Auditor yang memiliki pengalaman dianggap lebih konservatif saat mengahadapi dilema etika (Larkin, 2000). Sikap konservatif tersebut membantu auditor untuk meningkatkan sensitivitas etikanya. Gusnardi (2003) mengukur pengalaman audit melalui jabatan auditor, lama bekerja, peningkatan keahlian, serta pelatihan audit yang pernah diikuti.

2.1.8 Komitmen

Aranya et al. (1981) serta Aranya dan Ferris (1984) mendefinisikan komitmen sebagai berikut:

1) sebuah kepercayaan, penerimaan tujuan dan nilai organisasi dan/atau profesi, 2) kesediaan mengerahkan usaha untuk organisasi dan/atau profesi,

3) keinginan mempertahankan keanggotaan dalam organisasi dan/ atau profesi. Bline et al. (1992) menemukan bahwa komitmen profesional dan komitmen organisasional mengindikasikan dua hal yang berbeda. Komitmen organisasional dan komitmen profesional dibedakan secara empiris dan diprediksi oleh variabel yang berbeda (Brierly, 1996; Leong et al., 2003). Kwon dan Banks (2004) menyatakan bahwa komitmen organisasional berkaitan dengan jenis organisasi karyawan, sedangkan komitmen profesional diperkirakan oleh dukungan untuk kelompok, sikap positif terhadap profesi dan karakteristik pekerjaan. Penjelasan tentang komitmen profesional juga diungkapkan oleh Jeffrey dan Weatherholt (1996), komitmen profesional yang kuat akan mengarahkan auditor untuk taat pada aturan. Chang dan Choi (2007) menemukan bahwa komitmen profesional dan organisasional adalah pengalaman psikologis yang dapat dijelaskan oleh variabel individu dan organisasi yang berbeda.

1) Komitmen profesional

Larkin (1990) menyatakan sikap yang profesional menunjukkan tingkat loyalitas seorang individu pada profesi, seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut. Profesionalisme membantu auditor menciptakan pelayanan yang baik untuk klien atau masyarakat melalui kemampuan profesionalnya.

Tenaga profesional dididik untuk menjalankan tugas secara independen dan memecahkan masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi secara profesional (Badjuri, 2009).

2) Komitmen organisasional

Mowday et al. (1982) menyatakan bahwa komitmen organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap dalam organisasi, yaitu sebagai berikut:

a. Identification merupakan pemahaman atau penghayatan tujuan organisasi. b. Involvement merupakan perasaan menyenangkan yang muncul untuk terlibat

dalam suatu pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan yang dilakukan. c. Loyalty merupakan perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan

tempat tinggal sehingga muncul kesetiaan terhadap organisasi.

2.1.9 Orientasi Etika

Orientasi etika merupakan alternatif pola perilaku seseorang untuk menyelesaikan dilema etika dan konsekuensi yang diharapkan oleh fungsi yang berbeda (Higgins dan Kelleher, 2005). Orientasi etika berhubungan dengan faktor eksternal seperti lingkungan budaya, lingkungan industri, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi yang merupakan faktor internal individu tersebut (Hunt dan Vitell, 1986). Norma etis, standar perilaku individu, standar perilaku dalam keluarga, serta standar perilaku dalam komunitas mengarahkan perilaku seseorang untuk mengenali permasalahan (Tsalikis dan Fritzsche, 1989; Wiley, 1998).

Finn et al. (1988) mengembangkan penelitian Hunt dan Vitell (1986) dengan menggunakan skala idealisme dan relativisme untuk membentuk orientasi etika. Forsyth (1980) dan Shaub et al. (1993) mengidentifikasi idealisme dan relativisme sebagai prediktor penting penilaian moral. Sikap idealis diartikan sebagai sikap yang tidak melanggar nilai-nilai moral, serta tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan, sedangkan relativisme adalah sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang bersifat absolut.

2.1.10 Akuntan Publik

Definisi mengenai Profesi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik (KAP) tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008. Profesi

Dokumen terkait