• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

E. Kerangka Pikir

Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 110 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP dalam perjalanannyadipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda.

Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) dari pidana hilang kemerdekaan ke pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun. Persoalannya adalah apakah pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan selama ini dimaksudkan untuk alternative goals atau alternative punishment.

Skema Kerangka Pikir

Undang-Undang Nomor 27 Tahun

1999 Tentang Hukum Pidana

Implementasi Pidana Denda

Kendala yang dihadapi dalam proses impelementasi

penerapan Pidana Denda

Tercapainya proses sistem pidana yang

berkeadilan

Kitab Undang-Undang nomor 18 Pasal 10

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena bermaksud menggambarkan, mengungkap dan menjelaskanImplementasi Pidana Denda pada tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020).

Demikian pula dinamakan penelitian deskriptif, karena bertujuan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Selain itu, tujuan deskripsi adalah untuk membantu pembaca tentang yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti pandangan partisipan yang berada di luar penelitian, dan seperti apa aktivitas yang terjadi di latar penelitian.

Penelitian berusaha untuk memperoleh dan menggambarkan data mengenai. “Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena bermaksud menggambarkan, mengungkap dan menjelaskan Eksistensi Pidana Denda dalam sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Negeri Makassar). Demikian pula dinamakan penelitian deskriptif, karena bertujuan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Selain itu, tujuan deskripsi adalah untuk membantu pembaca tentang yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti pandangan partisipan yang berada di luar penelitian, dan seperti apa aktivitas yang terjadi di latar penelitian. Penelitian berusaha untuk memperoleh dan menggambarkan data mengenai “Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi KUHP pidana (Studi Kasus Negeri Makassar Tahun 2020)”.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini penulis terfokus pada Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi KUHP pidana (Studi Kasus Negeri Makassar Tahun 2020).Maka dari itu penulis ingin menggunakan metode kualitatif, sebab penelitian ini memerlukan pengamatan terbuka.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian ini adalah Pengadilan Negeri Kota Makassar. Adapun waktu penelitian yakni, mulai dari observasi penelitian dilakukan pada bulan Maret 2021, penelitian akan dilakukan pada bulan April sampai Mei 2021, waktu penelitian peneliti menentukan selama dua bulan lamanya sebagai acuan dalam menyelesaikan penelitian. Selanjutnya, peneliti merancang penyusunan naskah tesis, untuk diseminarhasilkan.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh Arikunto (2012:107). Data penelitian ini diperoleh dari:

1. Data Primer

Ada dua data primer yang digunakan:

a. Responden

Responden adalah orang yang diminta untuk memberikan keterangan suatu fakta atau pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan yaitu ketika mengisi angket, atau lisan ketika menjawab pertanyaan.

Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah terdakwah dijatuhi Pidana Denda dalam sistem Peradilan Pidana.

b. Informan

Informan adalah orang yang memberikan informasi guna dapat memecahkan masalah yang diajukan. Informan dalam penelitian ini adalah:

1) Pimpinan Pengadilan Negeri Makassar.

2) Hakim.

3) Jaksa.

4) Penasehat Hukum.

5) Staf dan Pengurus Administrasi Pengadilan.

c. Data sekunder

Data sekunder yaitu sumber data yang didapat atau diperoleh dengan cara tidak langsung. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari:

1) Sumber tertulis sumber tertulis yang dipakai dalam penelitian ini meliputi arsip, dokumen-dokumen, catatan dan laporan rutin panti asuhan.

2) Foto Ada dua kategori foto yang dapat dipergunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti itu sendiri.

E. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang di butuhkan guna melengkapi pembahasan, maka penulis melakukan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi dalam hal ini adalah peneliliti melakukan pengumpulan data dengan mengunjungi secara langsung di lapangan dan melakukan tanya jawab singkat yang berhubungan dengan variabel. Dalam pelaksanaan observasi diharapkan

dapat memperoleh data yang tak dapat diperoleh melalui wawancara. Sasaran observasi dalam penelitian ini adalah Pengadilan Negeri Kota Makassar.

2. Wawancara

Teknik wawancara digunakan oleh penulis untuk mengetahui.Implementasi Pidana Denda pada tindak pidana korupsi KUHP pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020), Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang akurat dalam penelitian.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi sehubungan dengan masalah sumber dan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ialah alat bantu yang dipergunakan oleh peneliti dalam mengukur fenomena sosial serta alam yang sesuai dengan variabel penelitian, Sugiono (2012:15):

1. Lembar observasi

Lembar observasi merupakan pedoman peneliti dalam mengadakan pengamatan dan pencarian sistematik terhadap fenomena yang diteliti.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara merupakan pedoman peneliti dalam mewawancarai subjek penelian untuk menggali sebanyak-banyaknya tentang apa,mengapadan bagaimana tentang masalah yang di berikan oleh peneliti. Pedoman ini merupakan garis besar pertanyaan-pertanyaan yang akan di berikan peneliti kepada subjek penelitian sebagaimana terlampir pada lampiran. Sebelum wawancara di lakukan terlebih dahulu instrument penelitian berupa pedoman wawancara ini di validasi

dengan validasi ahli (dosen ahli) agar instrumentnya,shahih dan data yang diperoleh sesuai harapan.

3. Alat/bahan Dokumentasi

Alat/bahan dokumentasi adalah alat bantu yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berupa dokumen seperti foto-foto kegiatan dan transkip wawancara.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menurut Sugiono (2012:107) terdiri dari analisis data sebelum di lapangan dan analisis data selama di lapangan. Sedangkan Miles dan Huberman memberika gamabaran mengenai teknik analisi data yaitu :

1. Reduksi data (data reduction)

Data yang di peroleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama penelitian di lapangan, maka jumlah data akan makin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.

2. Penyajian data (data display)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraiansingkat, skema, bagan, tabel, hubungan antar kategori dan sejenisnya, yang berguna mendapatkan gambaran yang jelas dan memudahkan dalam penyusunan kesimpulan penelitian. Pada dasarnya, sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematis dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajian.

3. Kesimpulan dan pemeriksaan (conclusion drawing/verification)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakanpada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat penelitian kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang di kemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian.

Gambaran umum tentang Pengadilan Negeri Makassar, dalam hal ini didapatkan berdasarkan hasil wawancara dari salah satu panitra muda hukum di pengadilan Negeri Makassar yaitu Mustari dan menyarankan untuk membuka web pengadilan negeri makassar, dan hasil yang didapatkan yaitu sesuai yang dipaparkan penulis di bawah ini :

1. Sejarah Pengadilan Negeri Makassar.

Pengadilan Negeri Makassar didirikan sejak zaman pra kemerdekaan yakni tepatnya tahun 1916, pada awalnya berfungsi sebagai tempat penghukuman bagi rakyat pra bumi, pengadilan Negeri Makasar juga menjadi tempat untuk mencari tempat keadilan bagi warga asing yang bertempat tinggal di makassar dan sekitarnya. Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang gedung Pengadilan Negeri makassar sudah sering mengalami pemugaran atau renovasi tetapi tidak meninggalkan bentuk aslinya. Karena itulah gedung Pengadilan Negeri Makassar masih kental dengan corak khas belanda tersebut termasuk diantara situs-situs heritage (peninggalan bersejara) yang dilindungi oleh Pemerintahan Kota Makassar. Pengadilan Negeri Makasar merupakan pengadilan tingkat pertama yang dibentuk berdasarkan kepututsan Presiden dan bertindak sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan. Dan berikut merupakan sususan ketua pengadilan negeri makassar berdasarkan periode kepemimpinan dari masa ke masa yang sempat penulis dapatkan :

a. R. Harsadi Darsokusomo periode jabatan 1965-1969.

b. Abdul Samad,SH periode jabatan 1969-1973.

c. Andi Tahir Hamid,SH periode jabatan 1980-1982.

d. Slamet Rijianto,SH periode jabatan 1982-1984.

e. J.Serang,SH periode jabatan 1984-1985.

f. Ms.Lumme,SH periode jabatan 1985-1987.

g. Rijanto,SH periode jabatan 1987-1990.

h. Isno Suseno, SH periode jabatan 1990-1993.

i. Imam Soekrno,SH periode jabatan 1994-1995.

j. H.Soeharto,SH periode jabatan 1995-1996.

k. SjamsubrilnManan,SH periode jabatan 1996-1998.

l. Soewito,SH periode jabatan 1998-2000.

m. Ismed Ilahode,SH periode jabatan 2000-2002.

n. H.Haryono,SH periode jabatan 2002-2004.

o. Hj.A.Haedar,SH periode jabatan 2004-2006.

p. Sudirman Hadi,SH periode jabatan 2006-2007.

q. Soeroso Ono,SH.,MH periode jabatan 2007-2008.

r. Asli Ginting periode jabatan 2009-2010.

s. H.Makkasau,SH.,MH periode jabatan 2010-2012 20.

t. Andi Isna Reniswari C,SH,MH periode jabatan 2012-2015.

u. Baso Rasyid,SH,MH, periode jabatan 2017.

v. Kemal Tampubolon, S.H.,M.H, periode jabatan 2018-2019.

w. Tito Suhud, S.H.,M.H, periode 2020-saat ini.

2. Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar

Pengadilan Negeri Makassar masuk dalam wilayah hukum pengadilan tinggi Sulawesi selatan dan barat dengan luas wilayah kurang lebih 300,45 Kilometer yang terdiri dari 14 kecamatan, yaitu :

a. Kecamatan Ujung Pandang.

b. Kecamatan Makassar.

c. Kecamatan Mariso.

d. Kecamatan Mamajang.

e. Kecamatan Bontoala.

f. Kecamatan Wajo.

g. Kecamatan Tamalate.

h. Kecamatan Rappocini.

i. Kecamatan Panakukkang.

j. Kecamatan Maggala.

k. Kecamatan Ujung Tanah.

l. Kecamatan Tallo.

m. Kecamatan Biringkanaya.

n. Kecamatan Tamalanrea.

Pengadilan Negeri Makassar terdapat beberapa pengadilan khusus yang berada dibawah Pengadilan Negeri Makassar. Ketua pengadilan dan panitera pengadilan pada pengadilan negeri makassar juga bertindak ketua pengadilan dan panitera pengadilan pada pengadilan khusus tersebut. Adapun wilayah hukum pengadilan-pengadilan khusus pada pengadilan negeri adalah sebagai berikut :

1) Pengadilan Niaga Makassar a) Sulawesi Selatan dan Barat.

b) Sulawesi Tengah.

c) Sulawei Tenggara.

d) Sulawesi Utara.

e) Maluku Irian Jaya

2) Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar:

a) Sulawesi Selatan dan Barat.

b) Sulawesi Tenggara.

c) Sulawesi Tengah.

d) Sulawesi Utara.

e) Gorontalo.

f) Maluku.

g) Maluku Utara.

h) Irian Jaya.

3) Pengadilan hubungan industri pada Pengadilan Negeri Makassar daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi Sulawesi selatan.

Visi

“mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agumg”

Misi

a. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.

b. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan indenpenden, bebas dari campur tangan pihak lain.

c. Memperbaiki akses pelayaran dibidang peradilan kepada masyarakat.

d. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan bermoral.

Melaksanakan kekuatan kehakiman yang mandirir, tidak memihak dan transparan.

B. Hasil Penelitian

Dalam Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode Observasi dan wawancara pada Implementasi Pidana Denda dalam Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar), berikut hasil penelitian:

1. Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar

Aparat penegak hukum khususnya para Hakim sebagai pihak yang diberi kewenangan baik dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 di dalam penjatuhan pidana terhadap Korupsi.

Tuntutan bagi seorang hakim sebagaimana

yaitu hakim memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan politik. Seorang hakim memiliki kewajiban dan kemampuan untuk memahami proses perkembangan secara totalitas terhadap perilaku yang dikembangkannya dalam struktur kemasyarakatan.Berdasarkan letak geografis Kota Makassar yang mayoritas daerahnya terjangkau dan populasi masyarakatnya banyak, Pengadilan Negeri Makassar mempunyai inisiatif untuk melaksanakan persidangan secara satu wilayah hukum yang menjadi kewenangannya. Persidangan dilaksanakan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Acara Pidana Pengadilan Negeri Makassar, juga merespon suara masyarakat dengan wujud memberikan kemudahan terhadap masyarakat pencari keadilan di Kota Metropolitan. Berdasarkan hasil wawancara

dengan Bapak TD selaku hakim di Pengadilan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 23 Juni 2021),

Apabila PN telah menerima surat pelimpahan perkara dari Penuntut Umum (disingkat, PU), Ketua PN mempelajari hubungan perkara dengan wewenang mengadili yang dipimpinnya. Jika berwenang, maka menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan Hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang (Pasal 147 dan Pasal 152 KUHAP).

Mengenai pendapat kewenangan haruslah diartikan secara formal, berbeda dengan kewenangan kompetensi absolut/relatif, yang mana menjadi kewenangan Hakim yang mengadili perkara tersebut. Selanjutnya memerhatikan nilai barang sebagai obyek perkara untuk menentukan acara pemeriksaan apa yang digunakan.

Jika acara pemeriksaan cepat, terdakwa akan diperiksa dengan seorang Hakim atau Hakim Tunggal, pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (Pasal 205 ayat (3) KUHAP). Sedangkan, acara pemeriksaan biasa, terdakwa diperiksa dengan seorang hakim ketua sidang dan dibantu dengan hakim anggota, pada keadaan umum dibantu oleh dua hakim anggota dan pada keadaan khusus dibantu oleh empat hakim anggota. Namun berbeda yang disampaikan oleh Bapak AR selaku Hakim di Pengadilan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 25 Juni 2021), yang menyatakan bahwa:

Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia menghadap sidang Pengadilan.

Sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi ahli dan juru bahasa. Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari. Jangka atau tenggang waktu mulai diperhitungkan pada hari berikutnya (Pasal 207 ayat (1) huruf a, Pasal 205 ayat (2), Pasal 206, dan

Pasal 228 KUHAP). Waktu terlama adalah 5 hari dengan perkara Pencurian dan waktu tercepat adalah 1 hari adalah waktu tercepat. Namun, untuk perkara Pencurian hanya 3 kasus.

Kemudian hasil wawancara dengan IPJ selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 25 Juni 2021), yang menyatakan bahwa:

Penyidik atas kuasa penuntut umum, dapat bertindak atas nama dalam persidangan. Dengan kata lain, kehadiran penuntut umum dapat diwakilkan oleh penyidik kepolisian. Hal ini berbeda dengan Acara Pemeriksaan Biasa, yang mana hanya penuntut umum yang bisa melaksanakan persidangan, bukan penyidik kepolisian (Pasal 205 ayat (2) dan Pasal 207 KUHAP).

Dalam Rancangan KUHPidana (versi 2012), perbedaan antara misdrijf dengan overtreding dihapus15 atau tidak dikualifikasikan lagi. Pada sisi yang lain, RUU KUHPidana yang masih dalam tahap pembahasan hingga saat ini meniscayakan ruang diskursus. Namun, untuk sekarang, pendapat Jonkers dan RUU KUHP (versi 2012) yang masih dalam tahap revisi seharusnya tidak diberlakukan. Apalagi, jumlah Pengadilan sudah cukup dan berada ditiap wilayah administrasi pemerintahan. Lebih lanjut, kosakata misdrijf lebih mengarah kepada mala in se atau rechtdelicten dengan mala in prohibia atau wetdelicten dan terkait pembedaan antara felonies–misdemeanor-infraction seperti Amerika.

Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak ARselaku Hakim di Pengadilan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 23 Juni 2021),yang menyatakan bahwa:

Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Di dalam konsep Rancangan Undang-undang KUHP

(RUUKUHP) Nasional Tahun 2008, pidana denda masuk di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan keempat.

Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan oleh Bapak AR, merupakan suatu proses. Hakim dalam menerapkan pidana penjara di samping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), seperti misalnya faktor usia si pembuat tindak pidana, perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, kerugian terhadap korban, serta sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.

Menurut Bapak TD selaku hakim di Pengadilan Negeri (Wawancara dilakukan 23 Juni 2021),Adapun susunan urutannya menurut Pasal 65 (RUUKUHP) ayat (1) adalah sebagai berikut: Pidana Pokok terdiri dari :

a. Pidana penjara b. Pidana tutupan.

c. Pidana pengawasan.

d. Pidana denda.

e. Pidana kerja sosial.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan ringannya pidana. Dalam menjatuhkan pidana, peranan Hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, Hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan, pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana. Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan.

Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan Hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan kemerdekaan

(pidana penjara), kiranya eksistensi pidana perampasan kemerdekaan di dalam pemidanaan Indonesia tidak perlu diragukan dan dicemaskan lagi. Dalam praktiknya di Pengadilan, ternyata pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan kurungan masih merupakan pilihan utama dari pada hakim.

Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila Hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan serta pedomanpenerapan pidana penjara, maka Hakim dapat menjatuhkan pidana denda. Berdasarkan wawancara dengan IPJ selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 25 Juni 2021), yang menyatakan bahwa:

Di sini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif dan praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan. Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan, dan seringkali sebagai alternatif dengan pidana kurungan terhadap hampir semua

"pelanggaran" (overtredingen) yang tercanturn dalam Buku III KUHP.

Terhadap semua kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan. Pidana denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiaptiap pasal

dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Karena jumlah jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah jumlah itu perlu diperbesar/dipertinggi. Maka telah diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960.

Kemudian pendapat dari InformanMB selaku Pengacara/Advokat (wawancara, 23 Juni 2021) di Warkop Talasalapang, yang menyatakan bahwa:

Dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa : "Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undangundang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali".

Pidana denda ini adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila objek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan objek pidana mati adalah jiwa orang, objek dari pidana denda adalah harta benda terpidana. Sebagai salah satu jenis pidana tertentu, pidana denda ini bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan yang ekonomis, misalnya, sekedar untuk menambahpemasukan negara, melainkan harus kita kaitkan untuk menambah tujuan-tujuan pemidanaan. Ilmu hukum pidana modern telah

berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu satu pidana denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada satu pidana penjara jangka pendek.

Dalam melakukan ukuran efektivitas pidana denda, harus ada nilai keseimbangan antara pidana denda dengan pidana penggantinya, dalam hal si terpidana tidak dapat membayar denda yang telah ditentukan. Menurut ketentuan yang ada dalam KUHP sekarang penggantinya adalah pidana kurungan. Dengan asas keseimbangan ini maka dalam rangka eksekusi akan menjadi lebih mudah yaitu apabila tidak dapat dieksekusi pidana denda, maka dikenakan pidana penggantinya sehingga dengan demikian maka dalam realisasinya tidak akan terjadi apa yang selama ini dikenal sebagai "tunggakan kronis".Sebagaimana hasil wawancara dengan IPJ selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar (Wawancara dilakukan 23 Juni 2021), yang menyatakan bahwa:

Pengalaman selama ini yang dikeluhkan oleh eksekutor (Jaksa) tentang sulitnya penagihan denda kepada terpidana, perlu dipikirkan pada putusan Hakim yang berupa putusan verstek denda (putusan di luar hadirnya terdakwa), hendaknya jangan berbentuk pidana denda lagi akan tetapi berbentuk pidana kurungan.

Dalam konsep Rancangan KUHP telah dirumuskan alternatif pengganti daripada pidana denda yang tidak dapat dibayar. Terlebih lagi bila dipikirkan bahwa dalam KUHP baru nanti sebagai alternatif pidana denda adalah pidana pengawasan atau pelayanan masyarakat, pembayaran denda lebih dipertegas kemungkinan eksekusinya. Pidana pengganti denda ini barulah diterapkan, apabila

Dalam konsep Rancangan KUHP telah dirumuskan alternatif pengganti daripada pidana denda yang tidak dapat dibayar. Terlebih lagi bila dipikirkan bahwa dalam KUHP baru nanti sebagai alternatif pidana denda adalah pidana pengawasan atau pelayanan masyarakat, pembayaran denda lebih dipertegas kemungkinan eksekusinya. Pidana pengganti denda ini barulah diterapkan, apabila

Dokumen terkait