• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Sanksi Pidana Denda Dalam KUHP

Kemajuan di bidang transportasi, dan komunikasi modern pada era globalisasi seperti di jaman sekarang ini, berdampak pada perkembangan tindak pidana. Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (corporate crimes), maka eksistensi sanksi pidana denda pun mutlak sangat diperlukan. Penggunaan pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalah-masalah delik-delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yangdiatur dalam beberapa undang-undang pidana khusus atau perundang-undangan pidana di luar KUHP.

Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok yang terdapat dalam stelsel pemidanaan di Indonesia yang diatur dalam KUHP. Ketentuan Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif maupun pidana tunggal dalam Buku II dimulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan dan Buku III KUHP dimulai Pasal 489 sampai Pasal 569 untuk pelanggaran. Pidana denda merupakan

jenis pidana pokok yang keempat di dalam KUHP sebagai hukum positif di Indonesia. Yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan :

”Pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen” dan pada ketentuan Pasal 31 menyatakan:

a) Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan penggantinya denda tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar denda itu.

b) Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya.

c) Pembayaran sebagai dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar.

Denda adalah salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, sama-sama penghukuman, yang berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh terhukum. Pidana denda yang dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan penegak hukum tidak menerapkan pidana denda (Suhariyono AR, 2012:322).

Salah satunya di Indonesia, nilai mata uang yang tidak pernah sama dari tahun ketahun dan terus berfluktuasi menyebabkan tidak adanya pedoman tetap mengenai berapa jumlah uang untuk ditetapkan dalam suatu pidana denda. Namun setelah terbitnya Perma Nomor 2 Tahun 2012 jumlah pidana denda dalam KUHP tersebut dikonversikan serta disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ketentuan Pasal (3) yang menyatakan bahwa: “Tiap

jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu) kali.” Peraturan perundang-undangan pada saat ini kurang memperhatikan faktor kemampuan masyarakat yang juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi.

Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif yang akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau keterkaitan dengan harta benda atau kekayaan. Pidana denda dalam praktek hukum pidana, harus melalui putusan peradilan, untuk menentukan besarnya jumlah denda yang harus dibayar dan tidakdiperkenankan untuk melawannya dengan mekanisme keperdataan (Syaiful Bakhri, 2016:177).

Pada putusan-putusan pengadilan, nampak keengganan para hakim untuk menerapkan sanksi pidana denda, dikarenakan masih belum dianggap mempunyai efek jera, dalam sistem pembalasan, yang masih berpangkal tolak pada pidana penjara. Hal lain yang menyebabkan kurangnya penerapan pidana denda, disebabkan model pelaksanaannya yang selalu mengalternatifkan dengan pidana kurungan atau penjara. Bilamana sanksi pidana denda tidak mampu dibayar, sehingga mengakibatkan pidana denda kehilangan posisinya sebagai pidana modern.

Walaupun dalam banyak teori dan perkembangan pemidanaan diberbagai daerah maju, telah memenuhi rasa keadilan di masyarakatnya, tentang pidana denda yang humanistis, berkeadilan, dan berkeadaban. Pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi hukum adalah bagian dari hukum penintensier, yakni hukum yang mengatur tentang stelsel sanksi meliputi peraturan tentang pemberian pidana (straftoemeting), jenis pidana (straftsoort), dan bentuk atau cara pemidanaan (straftmodus), dan eksekusi sanksi hukum pidana, yakni pelaksanaan pidana atau tindakan secara konkrit oleh aparat eksekusi (Syaiful Bakhri, 2016:133).

Pelaksanaan pidana denda terikat pada ketentuan umum menurut Pasal 30 KUHP. Ketentuan Pasal 30 KUHP tersebut tidak ada pengaturan mengenai ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda tersebut harus dibayar dan tidak ada ketentuan mengenai tindakan-tindakan apa yang menjamin agar terpidanadapat dipaksa untuk membayar dendanya, misalnya dengan paksaan membayar denda dengan jalan merampas harta kekayaan benda terpidana. Sistem KUHP, alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana tidak mau membayar pidana denda hanyalah dengan mengenakan kurungan sebagai pengganti.

Kurungan tersebut dalam KUHP hanya berkisar antara 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan) bulan dalam hal perbarengan, pengulangan, atau melakukan kejahatan dalam jabatan.

Tingginya pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, apabila terpidana tidak mau membayar maka konsekuensinya hanyalah dikenakan pidana kurungan maksimum 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan) bulan. Dalam hal perbuatan pidana tersebut dapat menghasilkan keuntungan materiil yang jumlahnya relatif banyak,

seperti tindak pidana narkotika atau tindak pidana korupsi, maka yang bersangkutan dapat menikmati hasil kejahatan dengan tidak perlu khawatir harta benda atau kekayaannya akan dirampas atau disita. Memang hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu namun pidana tambahan ini menurut sistem KUHP hanya bersifat fakultatif saja dan hanya dalam hal-hal tertentu yang bersifat imperatif, serta yang dapat dirampas hanya barang-barang yang diduga hasil kejahatan (Syaiful Bakhri, 2016:178).

Penggunaan pidana denda yang terus menerus diupayakan, tidak berarti bahwa pidana penjara tidak berdaya guna sama sekali, dikarenakan pidana penjara tidak menghasilkan pendapatan bagi negara. Biaya-biaya sosial pidana penjara jauh lebih besar dibandingkan dengan pengumpulan pidana denda dari seorangterdakwa yang mampu membayar. Penjara banyak beban lain yang harus dikeluarkan seperti pemeliharaan, operasionalisasi penjara, termasuk hilangnya produktivitas manusia setelah keluar dari penjara. Dengan demikian salah satu alternatif terbaik untuk pemidanaan yaitu penggunaan pidana denda (Syaiful Bakhri, 2016:179).

a. Bertanggung Jawab dalam Sanksi Pinda Denda

Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Kemampuan bertanggung jawab dalam istilah Bahasa Belanda adalah Toerekeningsvatbaar.Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Tanggung jawab pidana dalam istilah asing disebut juga sebagai criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pertindak dengan

maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.Untuk dapat dipidana harus ada tanggungjawab pidana.Pertanggung jawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objectif terhadap perbbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana, Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan, kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negative) dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan pasal 44 KUHP.

Pertanggungjawaban pidana adalah menyangkut persoalan, apakah orang yang melakukan perbuatan (tindak pidana) dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (tindak pidana yang telah dilakukan).Pertanggungjawaban pidana melekat pada orang bukan pada perbuatan atau tindak pidana.Dikatakan dapat mempertanggungjawabkan,apabila orang tersebut punya kesalahan. Menurut Simons “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau

secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan”. Selanjutnya seorang pelaku Tindak Pidana mampu bertanggung jawab apabila:

1. Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

2. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran.

Selanjutnya Menurut Van Hamel yang dimaksud dengan toerekeningsvatbaarheid itu merupakan een staat van psyhische normaliteit en rijpheid welke drieerlei geshiktheid medebrengt (suatu keadaan yang normal dan suatu kedewasaan secara psikis yang membuat seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan), sebagai berikut:

1. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia lakukan.

2. Mampu untuk menyadari bahwa tindakanya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyaraka; dan

3. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia lakukan.

Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana.Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana pada penindaknya, akan tetapi ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidak mampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya.

Pengertian daritoerekeningsvatbaarheid(Pertanggungjawaban Pidana), menurut Satochid Kartanegara berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang, dimana keadaan jiwa seseorang itu harus memenuhi syarat-syarat agar disebut toerekeningsvatbaarheid, sebagai berikut:

1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga mengerti akan perbuatannya.

2. Keadaan jiwa orang itu harus sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan itu.

3. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila (Leden Merpaung.

2008:24).

Ketiga syarat diatas harus dipenuhi bilamana seseorang dapat dianggap mampu bertanggung jawab, sehingga ia dapat dimintai pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Menurut satochid kertanegara, seorang anak yang masih muda adalah tidak dapat diharapkan untuk mengerti akan segala akibat daripada perbuatannya, dan tidak dapat pula diharapkan untuk mengerti akan nilainilai dari pada perbuatannya. Demikian pula, terhadap orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat menyadari akan perbuatan yang dilakukan itu dilarang, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun susila.

Setelah menguraikan tentang pertanggungjawaban pidana, berikut ini akan diuraikan tentang pengertian sanksi pidana.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), mengatur tentang adanya jenis-jenis sanksi pidana.Dalam Buku I Bab II pasal 10 KUHP membedakan sanksi-sanksi pidana

menjadi dua klasifikasi, yaitu Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun jenis sanksi pidana menurut Pasal 10 KUHP yang dimaksud, sebagai berikut:

1. Pidana Pokok, meliputi:

a. Pidana Mati.

b. Pidana Penjara.

c. Pidana Kurungan.

d. Denda.

e. Pidana tutupan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946) 2. Pidana Tambahan, meliputi:

a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu.

b. Perampasan beberapa barang yang tertentu.

c. Pengumuman putusan hakim.

Memperhatikan ketentuan pasal tersebut di atas, maka sanksi pidana adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-unang. Adapun pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut pendapat Immanuel Kant dalam Teori Absolut, bahwa pemidanaan hanya dapat dijatuhkan kepada seseorang karena kesalahannya melakukan kejahatan.

Menurutnya dalam kejahatan itu dapat ditemukan alasan-alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana, yang cenderung disepakati bahwa siapa saja yang menimbulkan penderitaan kepada orang lain, maka pelaku harus dibuat menderita atau sepantasnya mengalami hal yang sama dengan perbuatannya menimbulkan orang lain menderita.

Kemudian pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut pendapat Anselm von Feuerbach dalam Teori Relatif adalah sanksi pidana bukan ditujukan sebagai pembalasan, melainkan untuk mencapai suatu tujuan atau maksud dari pemidanaan itu, sehingga teori ini dikenal sebagai teori tujuan. Jadi tujuan

pemidanaan adalah kemanfaatan, selain mencegah timbulnya kejahatan dan memperbaiki pribadi pelaku. Selanjutnya pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut teori gabungan mengajarkan bahwa penjatuhan pidana ditujukan untuk menjaminketertiban masyarakat dan memperbaiki perilaku pelaku (Hartono.

2010:78).

Sehingga penjatuhan pidana berdasarkan teori pembalasan atau teori tujuan dipandang berat sebelah, sempit dan sepihak.Menurut teori gabungan ini mengakui bahwa penjatuhan pidana sebagai pembalasan yang didasarkan pada kejahatannya.Selain itu, diakui pula penjatuhan pidana mempunyai tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka sanksi pidana adalah merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan diadakan hukum pidana. Pemberian pidana menjadi persoalan dan pemikiran di kalangan para ahli di dalam mencari alasan-alasan dan syarat-syaratseseorang dapat dijatuhi pidana.

b. Konsep Pidana Menurut Hukum Islam

Sebagai agama yang sempurna, ajaran Islam mengatur secara jelas berbagai aspek kehidupan manusia. Penegakan hukum dan keadilan merupakan bagian kehidupan yang juga diatur dan mendapat perhatian dalam ajaran Islam. Termasuk di antaranya masalah hukum pidana yang diatur melalui Al-Ahkam al-Jinayah (hukum pidana Islam).

Hukum pidana Islam tumbuh lebih cepat dibanding hukum pidana konvensional. Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, hukum pidana konvensional tak ubahnya seperti bayi yang baru lahir, tumbuh dari kecil dan lemah lalu tumbuh besar dan bertambah kuat sedikit demi sedikit.„‟Sedangkan hukum pidana Islam tidak

dilahirkan laksana anak kecil yang kemudian tumbuh dan berkembang, tetapi dilahirkan langsung laksana pemuda, yang diturunkan langsung dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW secara sempurna dan komprehensif,‟‟ ujar Audah.Mustafa Zarqa, seperti dikutip dalam Ensiklopedi Islam, membagi pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam ke dalam tujuh periode.

Pertama, periode risalah, yakni selama hidup Rasulullah SAW. Kedua, periode al-Khulafa ar-Rasyidun (empat khalifah utama) sampai pertengahan abad pertama Hijriyah. Ketiga, dari pertengahan abad pertama Hijriyah sampai permulaan abad kedua Hijiriyah.Keempat, dari awal abad kedua Hijriyah sampai pertengahan abad keempat Hijiriyah. Kelima, dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh Hijriyah.

Kenam, dari pertengahanan abad ketujuh Hijriyah sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani.

Ketujuh, sejak munculnya kodifikasi hingga era modern.

Menurut Audah, hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa yang pendek, yakni dimulai sejak masa kerasulan Nabi Muhammad SAW dan berakhir dengan kewafatannya atau berakhir ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.." (QS Al-Maidah [5]: 3)„‟.

Hukum Islam diturunkan bukan untuk suatu golongan atau sebagian kaum ataupun sebagian negara, melainkan untuk seluruh manusia, baik orang Arab

maupun orang dari etnis lainnya, baik di Barat maupun di Timur,‟‟ papar Audah.Hukum Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia yang berbeda-beda kecendrungannya, berlainan kebiasaan, tradisi, dan sejarahnya. Singkatnya, hukum Islam adalah hukum bagi seluruh keluarga, kabilah, masyarakat, dan negara.

Sedangkan hukum konvensional diciptakan oleh suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan dalam mengatur kehidupan antarmereka. Dengan demikian, hukum konvensional dapat berkembang dengan cepat manakala tatanan masyarakatnya juga berkembang dan maju dengan cepat.Para ahli hukum sepakat bahwa awal mula berkembangnya hukum konvensional berawal dari sebuah keluarga dan kabilah. Seperti hukum keluarga yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga, hukum kabilah dipimpin oleh seorang kepala suku atau kabilah.

Hukum ini terus berkembang hingga akhirnya membentuk sebuah negara yang merupakan penyatuan antara hukum-hukum keluarga dan kabilah, di mana hukum antarkabilah atau hukum antarkeluarga berbeda satu sama lain. Di sinilah peran negara untuk menetapkan suatu hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh individu, keluarga, dan kabilah yang masuk ke dalam wilayah suatu negara hukum meskipun hukum tiap negara biasanya berbeda.

Perbedaan antarhukum negara terus berlangsung hingga akhir abad ke-18 M (Revolusi Perancis) ketika munculnya teori filsafat, ilmu pengetahuan dan sosial.

Sejak itu sampai kini hukum konvensional mengalami perkembangan besar, di antaranya berdiri di atas dasar yang tidak dimiliki oleh hukum-hukum konvensional sebelumnya.Menurut Audah, berbeda dengan hukum konvensional,

hukum Islam lahir dengan sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya; bersifat komprehensif, yakni menghukumi setiap keadaan dan tidak ada keadaan yang luput dari hukumnya; mencakup segala perkara individu, masyarakat, dan negara.

Hukum Islam mengatur hukum keluarga, hubungan antarindividu, menyusun hukum, administrasi, politik, dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat.

Hukum Islam juga mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai.Hukum Islam dibuat untuk tidak terpengaruh oleh perkembangan dan perubahan waktu, yang tidak menuntut adanya pengubahan kaidah-kaidah umumnya dan teori-teori dasarnya. Karena itu, seluruh kaidah dasarnya terdiri atas nas-nas yang bersifat umum dan fleksibel yang dapat menghukumi setiap kondisi dan kasus yang baru meskipun kesempatan terjadinya tidak dimungkinkan.

Dokumen terkait