• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MAKASSAR 2020).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MAKASSAR 2020)."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

MUH NURHADI 105431101717

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021

(2)
(3)
(4)

VI MOTTO

“Aku mencari segala bentuk rezeki, tapi tidak menemukan rezeki yang lebih baik daripada sabar".

(Umar binKhattab)

"Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah keadaan tenang dan sabar".

"Manusia yang berkal adalah manusia yang suka menerima dan meminta nasihat", dan Bila engkau hendak memuji seseorang, maka pujilah Allah”.

(5)

VII

PERSEMBAHAN

Dengan segenap rasa syukurku persembahkan karya sederhana ini sebagai tanda terima kasihku kepada Ayah dan Ibuku tercinta atas segala pengorbanan, doa, dan

motivasi yang selalu mengiringi langkahku hingga saat ini

Penghargaan dan ungkapan rasa saying kepada saudara-saudaraku, dan seluruh keluargaku yang telah memberikan bantuan, dukungan dan motivasi sebagai

penyemangat dalam hidupku

Sahabat-sahabatku.

Terima kasih

(6)

viii

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar. (dibimbing oleh Dr.

Rahim, M.Hum, S.Hum dan Aulia Andika Rukman S.Hum, M.Hum). Tujuan Penelitian pertama Untuk Mengetahui Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020), dan kedua untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam proses Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020).

Implementasi Pidana Denda dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika ditinjau efektivitas daripada keberhasilan dalam pelaksanaan penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana di Pengadilan Negeri Makassar, maka hal tersebut dapat dikatakan belum efektif karena dari putusan yang menjatuhkan pidana pembayaran uang Denda pada Tindak Pemberantasan Korupsi.

Kendala Implementasi pelaksanaan/eksekusi pidana pembayaran uang denda dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Makassar hambatan dari faktor hukumnya, yaitu ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari faktor hukumnya sendiri telah memiliki dasar hukum yang kuat sehingga faktor ini tidak menjadi kendala yang meng-hambat tujuan dari pada undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Kedua, hambatan dari faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, Jaksa merasa sulit untuk melacak harta benda milik terpidana yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. dan Ketiga, hambatan dari faktor masyarakat, kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melaporkan atau memberitahukan tindak pidana korupsi di lingkungannya serta harta benda yang dimiliki terdakwa, kepedulian atau kesadaran masyarakat untuk memberikan informasi secara dini kepada penegak hukum terhadap orang yang dicurigai melakukan tindak pidana korupsi masih kurang. Terdakwa yang seharusnya mengembalikan uang pengganti namun tidak bisa membayar uang pengganti.

Kata Kunci : Pengadilan Negeri Kelas IA Makassar, Implementasi Pidana Denda, dan Ekseskusi Pidana.

(7)

ix

Pancasila and Citizenship Education, Faculty of Teacher Training and Education, University of Muhammadiyah Makassar. (supervised by Dr. Rahim, M. Hum, S. Hum and Aulia Andika Rukman S. Hum, M. Hum). The purpose of the first research is to find out the implementation of fines in criminal acts of corruption (Makassar District Court Case Study in 2020), and secondly to find out the obstacles faced in the process of implementing fines in corruption crimes (Makassar District Court Case Study 2020).

The implementation of fines in the eradication of Corruption Crimes if viewed from the effectiveness of the success in the implementation of the criminal payment of compensation for criminal acts in the Makassar District Court, it can be said that it is not effective because of the decision that imposed the criminal payment of fines on the Corruption Eradication Act.

Obstacles Implementing the implementation/execution of the criminal payment of fines in criminal acts of corruption at the Makassar District Attorney's Office are obstacles from the legal factor, namely the provisions of Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption, from the legal factor itself has a strong legal basis so that this factor does not become an obstacle that hinders the purpose of the law on eradicating corruption in the context of accelerating the eradication of corruption in Indonesia. Second, the obstacles from law enforcement factors, namely the parties who form and apply the law, the Prosecutor finds it difficult to trace the property of the convict obtained from the proceeds of corruption. and Third, barriers from community factors, lack of awareness from the public to report or notify criminal acts of corruption in their environment as well as property owned by the defendant, public awareness or awareness to provide early information to law enforcement against people suspected of committing criminal acts of corruption is still lacking.

. The defendant was supposed to return the replacement money but could not pay the replacement money.

Keywords: Makassar Class IA District Court, Implementation of Criminal Fines, and Criminal Executions.

(8)

Penyayang, yang dengan limpahan rahmat segala nikmat karunia-Nya yang telah diberikan, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat beriringkan salam seomga senantiasa terlimpahkan kepada sang pemimpin umat Islam yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mewariskan Al-Quran kepada manusia sebagai pedoman hidup yang baik di dunia sampai yaumil akhir.

Ucapan terima kasih yang teristimewa dan tak akan pernah terbalaskan sepanjang hayat disampaikan kepada Ayahanda Johamzah dan Ibunda Salma kedua Orang Tua saya yang telah membesarkan, mendidik, dan selalu mengasihi hatiku dengan doa-doa yang terselip disetiap shalatmu serta menjadi kebanggan dalam hidupku. Rasa terima kasih ini takkan pernah cukup membalas limpahan jasa-jasa dan kebahagian telah didapatkan hingga saat ini. Kemudian ucapan terima kasih kepada teman seperjuangan saya ketika masih mahasiswa baru, dan tidak lupa pula kepada teman seperjuangan saya di Kelas Ppkn 17 A, berkat doa dan dorongan mereka sehingga saya bisa seperti sekarang.

Adapun yang menjadi maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat guna menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Banyak permasalahan dan hambatan yang secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini, hingga akhirnya dapat juga terselesaikan berkat doa, bimbingan, bantuan, dukungan, dan uluran tangan dari berbagai pihak,baik secara materil maupun no-materil. Atas kerja keras yang selama ini telah dijalani dengan

(9)

1. Keluarga Besar Johamzah

2. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Erwin Akib, S.Pd, M.Pd, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

4. Dr. Muhajir, M.Pd.,selaku Ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

5. Dr. Rahim, S.Hum, M.Hum, selaku dosen pembimbing pertama yang telah membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir.

6. Aulia Andika Rukman, S.Hum. M.Hum, selaku dosen pembimbing kedua dan Dosen Wali saya yang telah memotivasi saya dari mulai pertama saya kuliah dan mengarahkan penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir.

7. Sahabat-sahabat terbaik Andi Asmi Fujysusanti, Dahlia Hadman, Asmita, Novi Krismayanti, dan Nirwana Tercinta untuk terus memotivasi dalam pembuatan skripsi ini sampai selesai.

(10)

pihak-pihak yang memerlukan, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia- sia nantinya.

Makassar,15 Agustus 2021

Muh Nurhadi

(11)

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTARCT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

A. Sanksi Pidana Denda ... 8

B. Sanksi Pidana Denda Dalam KUHP ... 15

C. Sanksi Pidana Denda dalam Sistem Pengadilan Negeri. ... 27

D. Prospek Perumusan dan Penerapan Pidana Denda. ... 34

E. Kerangka Pikir ... 38

BAB III METODE PENELITIAN... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

(12)

E. Pengumpulan Data ... 42

F. Instrumen Penelitian ... 43

G. Teknik Analisis Data... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Deskripsi Lokasi Penelitian. ... 46

B. Hasil Penelitian ... 50

C. Pembahasan ... 69

BAB V PENUTUP ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85 DAFTAR PSUTAKA

LAMPIRAN

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana Denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Walaupun tentu saja pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Dalam sistem hukum islam maupun hukum adat misalnya, pidana denda juga dikenal walaupun bersifat ganti kerugian. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 Tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, BAB II DENDA Pasal 3 Memutuskan : Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 Ayat 1 dan Ayat 2, 303 bis Ayat 1 dan Ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

Pidana denda di Indonesia hanya sebagai sanksi alternative karena menurut penegak hukum yang mempunyai efek jera lebih besar adalah Pidana penjara,kita bisa melihat banyak persidangan di Indonesia ini paling banyak pidana penjara lebih diutamakan dari pada pidana denda. Pidana penjara hanya merugikan Negara karena pidana penjara hanya banyak mengeluarkan angaran Negara untuk kebutuhan sehari-hari nara pidana. Penegak hukum harus lebih adil dalam memerhatikan pidana denda bagi para koruptor dan penyeludupan barang di Indonesia yang sangat tidak menyeimbangkan antara sanksi pidana denda yang dikenakan terlalu sedikit dengan kerugian Negara yang terlalu besar yang

(14)

disebabkan oleh tipikor dan penyeludupan barang di Indonesia, Sekian banyak tahanan dan nara pidana di Indonesia sekarang ini dari data yang saya peroleh pada bulan april 2015 tahanan berjumlah 53,950, sedangkan narapidana berjumlah 116,476 jadi total keseluruhannya 170,426 manusia yang harus diberikan angaran untuk keperluan makanan dan minuman sehari-hari berapa banyak angaran Negara kita yang dikeluarkan untuk tahanan dan nara pidana dalam jangka waktu satu tahun.

Menurut Pasal 193 ayat (1) KUHAP Implementasi pidana atau pelaksanaan pidana merupakan lanjutan dari putusan pemidanaan yang diputuskan oleh majelis hakim. Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan pengadilan Negeri.Putusan pemidanaan terjadi, jika majelis hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa terdakwa telah terikuti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang terbukti melalui sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakin terdakwa yang bersalah melakukan hal itu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP. Pelaksanaan pidana denda di Indonesia saat ini hanya sebagai sanksi alternatif karena penegak hukum hanya cenderung menjatuhkan pidana penjara karena menurut semua penegak hukum pidana penjaralah yang mempunyai efek jera dari pidana denda yang hanya melibatkan sanksi ganti rugi berupa uang yang harus dibayar oleh terdakwa tersebut, menurut DR. Suhariyono mengusulkan penerapan pidana denda hanya diperuntukan pada tindak pidana ringan. Sedangkan kejahatan yang diancam

(15)

hukuman dibawah tujuh tahun, pidana denda dijadikan sanksi alternatif selain penjara. Sementara, kejahatan berat dijatuhi pidana penjara.

Selain itu, pidana denda juga diterapkan dalam tindak pidana yang berkait dengan harta benda,misalnya penipuan tapi harus dilihat motifnya, misalnya, pencurian yang motifnya karena butuh uang bukan karena profesi harus dijatuhi hukuman denda.Sementara, pencurian yang dilakukan dengan kekerasan dan pembunuhan bisa dihukum penjara.Harus dipilah motifnya dan modus operasionalnya, kalau tidak mempengaruhi masyarakat luas lebih baik pidana denda. Pidana denda juga menjadi alternatif, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bisa digunakan untuk membiayai operasional penegakan hukum.Karena itu, pidana denda juga harus mengacu pada peraturan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Itu sebagai bentuk pengawasan dan perolehan dana APBN.

Faktanya sekarang PNPB dari perkara yang diputus denda relatif lebih kecil dibandingkan dengan biaya eksekusi pidana penjara oleh Lembaga Permasyarakatan. Pada tahun 2007/2008, misalnya, dana penyelenggaraan permasyarakatan berjumlah Rp 628,779 miliar. Sementara di tahun yang sama PNPB dari pidana denda di Kejaksaan Agung jumlahnya hanya mencapai Rp 13,2 miliar. Minimnya penjatuhan pidana denda, disebabkan karena nilai besaran denda dalam KUHP tidak memadai lagi.Jumlahnya hanya kisaran puluhan hingga ratusan rupiah. Dalam Pasal 205 KUHAP sendiri diatur tindak pidana ringan dengan pemeriksaan pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan

(16)

pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda Rp 7.500 rupiah.

Penurunan nilai mata uang itu mengakibatkan penegak hukum enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak mendorong pelaksanaan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan.Pidana denda cenderung dijatuhkan bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara.Ditambah lagi, undang-undang menentukan batas minimal dan maksimal penjatuhan pidana penjara, tidak jarang pula interval hukuman pidana minimum dan maksimal sangat rendah.Aturan itu yang menyulitkan hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil.Perpu itu bisa mengadopsi pola pidana denda yang dirumuskan dalam RUU KUHP, yakni pada pidana denda paling banyak dijatuhkan pada korporasi dan harus mempertimbangkan kemampuan terpidana, pelaku bisa membayar pidana denda bisa dengan mencicil bila tidak mampu. Harus dibayar oleh pelaku sendiri agar tidak terkesan bisa dibayar orang lain. Jika tidak mampu maka denda bisa diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana.Dapat juga diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan dan alternatif terakhir pidana penjara (A. Budivaja, Y.

Bandrio. 2010:28).

Efektivitas pidana denda dalam sistem pidana Indonesia masih dianggap sebagai sanksi sekunder bila dibandingkan dengan pidana penjara.Perbincangan tentang sanksi pidana secara langsung mengarah pada pidana penjara.Kajian- kajian ahli pun lebih banyak yang membahas pidana penjara daripada pidana

(17)

denda sebagai sanksi alternatif pidana dan pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Realitas ini diperparah oleh putusan pengadilan yang menjadikan pidana penjara sebagai primadona.Hampir bisa dipastikan bahwa tiap-tiap putusan hakim selalu menempatkan pidana penjara sebagai garda terdepan dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan. Padahal, pidana penjara sendiri mengandung kelemahan, seperti perampasan kemerdekaan seseorang, pemberosan keuangan negara, dan stigmatisasi yang akan selamanya melekat pada seseorang. Usaha untuk meminimalisasi penggunaan pidana penjara dan menjadikan pidana denda sebagai alternatif pidana semakin mengemuka (Adami Chazawi. 2013:66).

Pidana denda semakin banyak digunakan baik dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP maupun dalam undang-undang administrasi.Selain itu, diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia secara langsung mengeliminir penggunaan pidana penjara, karena tidak mungkin korporasi dijatuhi pidana penjara ketika melakukan tindak pidana.

Sanksi pidana yang mengmungkinkan dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana denda tidak mungkin pidana perempasan kemerdekaandijatuhkan kepada korporasi yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Banyaknya penggunaan pidana denda dalam perundang-undangan pidana selama ini tidak kemudian menyebabkan kajian tentang hal itu tidak memiliki urgensitas dan relevansi bagi pembagunan hukum pidana Indonesia (Jan Remmelink, 2003:166).

Hal ini karena dibanyak negara ternyata pidana denda semakin banyak digunakan menggantikan posisi pidana penjara yang dirasa kurang efektif untuk

(18)

membuat jera pelaku.Realitas demikian perlu direspon agar hkum di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip medernisasi pidana yang rasional dan humanistis.

Kajian formulasi pidana denda dalam hukum pidana positif, penjatuhan pidana denda dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi, dan kebijakan ideal formulasi pidana denda dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi misalnya, merupakan persoalan-persoalan yang perlu dikaji secara akademis dan mendalam.Sehingga eksistensi pidana denda dalam sistem pidana dan pemidanaan memiliki nilai strategis dalam pembagunan hukum pidana Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan di atas maka peneliti dapat menarik beberapa masalah yang akan diangkat untuk dibahas antara lain adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Implementasi Pidana Denda pada Tinda korupsi KUHP pidana di pengadilan negeri makassar

2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi KUHP pidana di pengadilan negeri makassar

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah dalam bidang Hukum, khususnya tentang hukum formal dan hukum adat. Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi KUHP Pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020).

(19)

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam proses Implementasi Pidana Denda pada Tindak Pidana Korupsi KUHP pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2020).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran, keilmuan, dan bahan kajian dalam studi ilmu pendidikan pancasila dan kewarganegaraan terkait dengan Eksistensi Pidana Denda dan Pemidanaan dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Pengadilan Negeri Makassar.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi Gerakan- gerakan Sosial lainnya dalam melakukan aktivitas-aktivitas kolektif yang bertujuan melakukan perubahan sosial.

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Sanksi Pidana Denda

Menurut Barda Nawawi Arief (2014:99) Pidana semata-mata merupakan sebuah alat :yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan . Pidana sebagai alat tersebut dapat diartikan sebagai hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan pemidanaan yang telah ditentukan dapat dicapai. Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Dalam konteks hukum, sanksi juga diartikan sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Umumnya sanksi itu muncul dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum (Jan Remmelink, 2003:16).

Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.

Pengertian khusus tersebut artinya, masih ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan, jadi dengan adanyasanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali. 2013:12).

Menurut pendapat Sudarto, yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan

(21)

yang memenuhi syaratsyarat tertentu (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2015:19).

Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu (Mahrus Ali, 2013:43). Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh diatas, jika dilihat unsur-unsur serta ciri-cirinya yang terdapat dalam istilah pidana, adalah sebagai berikut:

a. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang.

d. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.

Menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of Criminal Sanction, pengertian sanksi pidana adalah: “Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorizes) in cases of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal law to be quilty of crime”

(Herbert L.Packer, 1968). Sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan pidana ataukejahatan melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi. Serta bertujuan

(22)

sebagai upaya untuk menjaga ketentraman dan keamanan serta pengaturan atau kontrol yang lebih baik dari masyarakat.

1. Jenis-jenis Sanksi Pidana Denda

Jenis-jenis sanksi pidana ada bermacam-macam, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Dalam ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jenis-jenis pidana dibagi menjadi dua jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari 5 jenis pidana yaitu:

a. Pidana mati

Pidana mati adalah pidana yang paling berat dari keseluruhan pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan di dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Hukuman mati adalah pidana yang terberat menurut peerundang- undangan pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas kepentingan umum yaitu jiwa dan nyawa manusia (Tolib Setiady, 2002:122).

b. Pidana penjara

Pidana penjara merupakan suatu bentuk pidana yang membatasi kemerdekaan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Pidana penjara yang paling berat atau maksimal adalah penjara seumur hidup sedangkan yang paling ringan atau minimal adalah minimum 1 hari.

(23)

c. Pidana kurungan

Pidana kurungan adalah bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terpidana yaitu pemisahan si terpidana dari pergaulan hidup masyarakat dalam waktu tertentu, dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang.

Namun pidana kurungan dapat dikatakan lebih ringan dibandingkan dari pidana penjara. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP yang mengatur :

a) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.

b) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 (a) KUHP.

c) Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.

d. Pidana denda

Pidana denda adalah pidana berupa kewajiban seseorang untuk menebus kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pada urutan sistematika pidana pokok Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa pidana denda berada pada urutan keempat atau urutan terakhir setelah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Hal ini berarti pidana denda biasanya dijatuhkan terhadap delik- delik ringan bisa berupa pelanggaran ataupun kejahatan ringan. Pidana denda selain diatur pada Pasal 10 KUHP, juga diatur secara lebih rinci pada Pasal 30 KUHP, yakni:

1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.

2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.

3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung

(24)

paling banyak satu hari demikian pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.

5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

e. Pidana tutupan.

Pidana tutupan adalah jenis pidana yang didasarkan pada Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Pidana tutupan ini berdasarkan undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai pidana pengganti penjara dan biasanya pidana ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan yang bersifat politik (Tolib Setiady, 2004:33).

f. Pidana tambahan.

Menurut sistem pemidanaan kita saat ini, penjatuhan dari pidana tambahan sifatnya adalah fakultatif, dalam arti hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan terserah pada pertimbangannya apakah di samping menjatuhkan pidana pokok, hakim juga telah bermaksud untuk menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2003:223). Ketentuan Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa jenis pidana tambahan digolongkan menjadi 3 (tiga) yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim, selanjutnya akan dijelaskan sebagai beriut:

a. Pencabutan hak-hak tertentu.

Pencabutan hak-hak tertentu dimaksudkan sebagai pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut “burgerlijke dood”.

Pencabutan hak-hak tertentu dapat mulai berlaku sejak putusan pemidanaan

(25)

dijatuhkan tanpa menunggu eksekusi pidana pokok yang bersangkutan.

Pencabutan tidak sama dengan pemberhentian atau pemecatan. Pencabutan menyatakan tidak adanya hak seseorang. Pemecatan atau pemberhentian merupakan hak atau tugas dari atasan ataupimpinan terpidana yang bersangkutan (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2003:224).Hak-hak yang dapat dicabut dalam putusan hakim dari hak si bersalah dimuat dalam ketentuan Pasal 35 KUHP, yaitu:

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.

2) Hak menjadi anggota angkatan bersenjata.

3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

4) Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.

5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.

6) Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

b. Perampasan barang tertentu.

Dalam pelaksanaan perampasan barang-barang tertentu Jaksa dapat menjual barang-barang yang telah disita sebelumnya dan hasilnya dimasukkan ke kas negara, sedangkan untuk barang-barang yang belum disita barang- barang tersebut harus diserahkan oleh terdakwa kepada Jaksa untuk selanjutnya disita kemudian dijual dan hasilnya akan masuk ke kasnegara namun apabila terdakwa menolak untuk menyerahkan barangbarang tersebut maka wajib dikenakan pidana kurungan pengganti (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2003:34).

(26)

Perampasan merupakan pidana terhadap harta kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barangbarang yang dapat dirampas, yaitu:

a) Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.

b) Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.

c. Pengumuman putusan hakim.

Pada ketentuan Pasal 43 KUHP menyatakan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undangundang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terkait pengumuman putusan hakim merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini mengingatkan bahwa pidana tambahan tersebut telah mendatangkan suatu penderitaan yang sangat berat kepada terpidana, karena nama baiknya telah dicemarkan di depan banyak orang. Tujuannya adalah membuat terpidana agar sulit dan terpidana tidak lagi dapat melakukan tindak pidana yang sejenis dikemudian hari (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2003:67).

Jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut, sanksi pidana perampasan kemerdekaan yaitu pidana penjara atau pidana kurungan paling tidak disukai oleh para pelaku tindak pidana (Niniek Suparmi, 2007:22). Selain jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang tercantum dalam ketentuan Pasal 10 KUHP tersebut, terdapat pula beberapa jenis pidana tambahan yang saat ini berlaku dalam hukum pidana Indonesia. UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(27)

mengenal pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk sanksi pidana minimum khusus, sanksi pidana penjara 20 tahun, sanksi pidana penjara seumur hidup, maupun sanksi pidana mati serta sanksi pidana denda. Pengaturan jenis pidana tambahan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Narkotika terdapat pada ketentuan Pasal 130 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a) Pencabutan izin usaha; dan/atau b) Pencabutan status badan hukum.

B. Sanksi Pidana Denda Dalam KUHP

Kemajuan di bidang transportasi, dan komunikasi modern pada era globalisasi seperti di jaman sekarang ini, berdampak pada perkembangan tindak pidana. Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (corporate crimes), maka eksistensi sanksi pidana denda pun mutlak sangat diperlukan. Penggunaan pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalah-masalah delik-delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yangdiatur dalam beberapa undang-undang pidana khusus atau perundang- undangan pidana di luar KUHP.

Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok yang terdapat dalam stelsel pemidanaan di Indonesia yang diatur dalam KUHP. Ketentuan Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif maupun pidana tunggal dalam Buku II dimulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan dan Buku III KUHP dimulai Pasal 489 sampai Pasal 569 untuk pelanggaran. Pidana denda merupakan

(28)

jenis pidana pokok yang keempat di dalam KUHP sebagai hukum positif di Indonesia. Yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan :

”Pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen” dan pada ketentuan Pasal 31 menyatakan:

a) Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan penggantinya denda tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar denda itu.

b) Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya.

c) Pembayaran sebagai dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar.

Denda adalah salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, sama-sama penghukuman, yang berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh terhukum. Pidana denda yang dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan penegak hukum tidak menerapkan pidana denda (Suhariyono AR, 2012:322).

Salah satunya di Indonesia, nilai mata uang yang tidak pernah sama dari tahun ketahun dan terus berfluktuasi menyebabkan tidak adanya pedoman tetap mengenai berapa jumlah uang untuk ditetapkan dalam suatu pidana denda. Namun setelah terbitnya Perma Nomor 2 Tahun 2012 jumlah pidana denda dalam KUHP tersebut dikonversikan serta disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ketentuan Pasal (3) yang menyatakan bahwa: “Tiap

(29)

jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu) kali.” Peraturan perundang-undangan pada saat ini kurang memperhatikan faktor kemampuan masyarakat yang juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi.

Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif yang akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau keterkaitan dengan harta benda atau kekayaan. Pidana denda dalam praktek hukum pidana, harus melalui putusan peradilan, untuk menentukan besarnya jumlah denda yang harus dibayar dan tidakdiperkenankan untuk melawannya dengan mekanisme keperdataan (Syaiful Bakhri, 2016:177).

Pada putusan-putusan pengadilan, nampak keengganan para hakim untuk menerapkan sanksi pidana denda, dikarenakan masih belum dianggap mempunyai efek jera, dalam sistem pembalasan, yang masih berpangkal tolak pada pidana penjara. Hal lain yang menyebabkan kurangnya penerapan pidana denda, disebabkan model pelaksanaannya yang selalu mengalternatifkan dengan pidana kurungan atau penjara. Bilamana sanksi pidana denda tidak mampu dibayar, sehingga mengakibatkan pidana denda kehilangan posisinya sebagai pidana modern.

(30)

Walaupun dalam banyak teori dan perkembangan pemidanaan diberbagai daerah maju, telah memenuhi rasa keadilan di masyarakatnya, tentang pidana denda yang humanistis, berkeadilan, dan berkeadaban. Pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi hukum adalah bagian dari hukum penintensier, yakni hukum yang mengatur tentang stelsel sanksi meliputi peraturan tentang pemberian pidana (straftoemeting), jenis pidana (straftsoort), dan bentuk atau cara pemidanaan (straftmodus), dan eksekusi sanksi hukum pidana, yakni pelaksanaan pidana atau tindakan secara konkrit oleh aparat eksekusi (Syaiful Bakhri, 2016:133).

Pelaksanaan pidana denda terikat pada ketentuan umum menurut Pasal 30 KUHP. Ketentuan Pasal 30 KUHP tersebut tidak ada pengaturan mengenai ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda tersebut harus dibayar dan tidak ada ketentuan mengenai tindakan-tindakan apa yang menjamin agar terpidanadapat dipaksa untuk membayar dendanya, misalnya dengan paksaan membayar denda dengan jalan merampas harta kekayaan benda terpidana. Sistem KUHP, alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana tidak mau membayar pidana denda hanyalah dengan mengenakan kurungan sebagai pengganti.

Kurungan tersebut dalam KUHP hanya berkisar antara 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan) bulan dalam hal perbarengan, pengulangan, atau melakukan kejahatan dalam jabatan.

Tingginya pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, apabila terpidana tidak mau membayar maka konsekuensinya hanyalah dikenakan pidana kurungan maksimum 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan) bulan. Dalam hal perbuatan pidana tersebut dapat menghasilkan keuntungan materiil yang jumlahnya relatif banyak,

(31)

seperti tindak pidana narkotika atau tindak pidana korupsi, maka yang bersangkutan dapat menikmati hasil kejahatan dengan tidak perlu khawatir harta benda atau kekayaannya akan dirampas atau disita. Memang hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu namun pidana tambahan ini menurut sistem KUHP hanya bersifat fakultatif saja dan hanya dalam hal-hal tertentu yang bersifat imperatif, serta yang dapat dirampas hanya barang-barang yang diduga hasil kejahatan (Syaiful Bakhri, 2016:178).

Penggunaan pidana denda yang terus menerus diupayakan, tidak berarti bahwa pidana penjara tidak berdaya guna sama sekali, dikarenakan pidana penjara tidak menghasilkan pendapatan bagi negara. Biaya-biaya sosial pidana penjara jauh lebih besar dibandingkan dengan pengumpulan pidana denda dari seorangterdakwa yang mampu membayar. Penjara banyak beban lain yang harus dikeluarkan seperti pemeliharaan, operasionalisasi penjara, termasuk hilangnya produktivitas manusia setelah keluar dari penjara. Dengan demikian salah satu alternatif terbaik untuk pemidanaan yaitu penggunaan pidana denda (Syaiful Bakhri, 2016:179).

a. Bertanggung Jawab dalam Sanksi Pinda Denda

Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Kemampuan bertanggung jawab dalam istilah Bahasa Belanda adalah Toerekeningsvatbaar.Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Tanggung jawab pidana dalam istilah asing disebut juga sebagai criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pertindak dengan

(32)

maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.Untuk dapat dipidana harus ada tanggungjawab pidana.Pertanggung jawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objectif terhadap perbbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana, Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan, kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negative) dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan pasal 44 KUHP.

Pertanggungjawaban pidana adalah menyangkut persoalan, apakah orang yang melakukan perbuatan (tindak pidana) dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (tindak pidana yang telah dilakukan).Pertanggungjawaban pidana melekat pada orang bukan pada perbuatan atau tindak pidana.Dikatakan dapat mempertanggungjawabkan,apabila orang tersebut punya kesalahan. Menurut Simons “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau

(33)

secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan”. Selanjutnya seorang pelaku Tindak Pidana mampu bertanggung jawab apabila:

1. Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

2. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran.

Selanjutnya Menurut Van Hamel yang dimaksud dengan toerekeningsvatbaarheid itu merupakan een staat van psyhische normaliteit en rijpheid welke drieerlei geshiktheid medebrengt (suatu keadaan yang normal dan suatu kedewasaan secara psikis yang membuat seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan), sebagai berikut:

1. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia lakukan.

2. Mampu untuk menyadari bahwa tindakanya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyaraka; dan

3. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia lakukan.

Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana.Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana pada penindaknya, akan tetapi ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidak mampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya.

(34)

Pengertian daritoerekeningsvatbaarheid(Pertanggungjawaban Pidana), menurut Satochid Kartanegara berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang, dimana keadaan jiwa seseorang itu harus memenuhi syarat-syarat agar disebut toerekeningsvatbaarheid, sebagai berikut:

1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga mengerti akan perbuatannya.

2. Keadaan jiwa orang itu harus sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan itu.

3. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila (Leden Merpaung.

2008:24).

Ketiga syarat diatas harus dipenuhi bilamana seseorang dapat dianggap mampu bertanggung jawab, sehingga ia dapat dimintai pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Menurut satochid kertanegara, seorang anak yang masih muda adalah tidak dapat diharapkan untuk mengerti akan segala akibat daripada perbuatannya, dan tidak dapat pula diharapkan untuk mengerti akan nilainilai dari pada perbuatannya. Demikian pula, terhadap orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat menyadari akan perbuatan yang dilakukan itu dilarang, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun susila.

Setelah menguraikan tentang pertanggungjawaban pidana, berikut ini akan diuraikan tentang pengertian sanksi pidana.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), mengatur tentang adanya jenis-jenis sanksi pidana.Dalam Buku I Bab II pasal 10 KUHP membedakan sanksi-sanksi pidana

(35)

menjadi dua klasifikasi, yaitu Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun jenis sanksi pidana menurut Pasal 10 KUHP yang dimaksud, sebagai berikut:

1. Pidana Pokok, meliputi:

a. Pidana Mati.

b. Pidana Penjara.

c. Pidana Kurungan.

d. Denda.

e. Pidana tutupan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946) 2. Pidana Tambahan, meliputi:

a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu.

b. Perampasan beberapa barang yang tertentu.

c. Pengumuman putusan hakim.

Memperhatikan ketentuan pasal tersebut di atas, maka sanksi pidana adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-unang. Adapun pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut pendapat Immanuel Kant dalam Teori Absolut, bahwa pemidanaan hanya dapat dijatuhkan kepada seseorang karena kesalahannya melakukan kejahatan.

Menurutnya dalam kejahatan itu dapat ditemukan alasan-alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana, yang cenderung disepakati bahwa siapa saja yang menimbulkan penderitaan kepada orang lain, maka pelaku harus dibuat menderita atau sepantasnya mengalami hal yang sama dengan perbuatannya menimbulkan orang lain menderita.

Kemudian pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut pendapat Anselm von Feuerbach dalam Teori Relatif adalah sanksi pidana bukan ditujukan sebagai pembalasan, melainkan untuk mencapai suatu tujuan atau maksud dari pemidanaan itu, sehingga teori ini dikenal sebagai teori tujuan. Jadi tujuan

(36)

pemidanaan adalah kemanfaatan, selain mencegah timbulnya kejahatan dan memperbaiki pribadi pelaku. Selanjutnya pengertian sanksi pidana itu sendiri, menurut teori gabungan mengajarkan bahwa penjatuhan pidana ditujukan untuk menjaminketertiban masyarakat dan memperbaiki perilaku pelaku (Hartono.

2010:78).

Sehingga penjatuhan pidana berdasarkan teori pembalasan atau teori tujuan dipandang berat sebelah, sempit dan sepihak.Menurut teori gabungan ini mengakui bahwa penjatuhan pidana sebagai pembalasan yang didasarkan pada kejahatannya.Selain itu, diakui pula penjatuhan pidana mempunyai tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka sanksi pidana adalah merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan diadakan hukum pidana. Pemberian pidana menjadi persoalan dan pemikiran di kalangan para ahli di dalam mencari alasan-alasan dan syarat-syaratseseorang dapat dijatuhi pidana.

b. Konsep Pidana Menurut Hukum Islam

Sebagai agama yang sempurna, ajaran Islam mengatur secara jelas berbagai aspek kehidupan manusia. Penegakan hukum dan keadilan merupakan bagian kehidupan yang juga diatur dan mendapat perhatian dalam ajaran Islam. Termasuk di antaranya masalah hukum pidana yang diatur melalui Al-Ahkam al-Jinayah (hukum pidana Islam).

Hukum pidana Islam tumbuh lebih cepat dibanding hukum pidana konvensional. Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, hukum pidana konvensional tak ubahnya seperti bayi yang baru lahir, tumbuh dari kecil dan lemah lalu tumbuh besar dan bertambah kuat sedikit demi sedikit.„‟Sedangkan hukum pidana Islam tidak

(37)

dilahirkan laksana anak kecil yang kemudian tumbuh dan berkembang, tetapi dilahirkan langsung laksana pemuda, yang diturunkan langsung dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW secara sempurna dan komprehensif,‟‟ ujar Audah.Mustafa Zarqa, seperti dikutip dalam Ensiklopedi Islam, membagi pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam ke dalam tujuh periode.

Pertama, periode risalah, yakni selama hidup Rasulullah SAW. Kedua, periode al-Khulafa ar-Rasyidun (empat khalifah utama) sampai pertengahan abad pertama Hijriyah. Ketiga, dari pertengahan abad pertama Hijriyah sampai permulaan abad kedua Hijiriyah.Keempat, dari awal abad kedua Hijriyah sampai pertengahan abad keempat Hijiriyah. Kelima, dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh Hijriyah.

Kenam, dari pertengahanan abad ketujuh Hijriyah sampai munculnya Majallah al- Ahkam al-Adliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani.

Ketujuh, sejak munculnya kodifikasi hingga era modern.

Menurut Audah, hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa yang pendek, yakni dimulai sejak masa kerasulan Nabi Muhammad SAW dan berakhir dengan kewafatannya atau berakhir ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.." (QS Al-Maidah [5]: 3)„‟.

Hukum Islam diturunkan bukan untuk suatu golongan atau sebagian kaum ataupun sebagian negara, melainkan untuk seluruh manusia, baik orang Arab

(38)

maupun orang dari etnis lainnya, baik di Barat maupun di Timur,‟‟ papar Audah.Hukum Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia yang berbeda-beda kecendrungannya, berlainan kebiasaan, tradisi, dan sejarahnya. Singkatnya, hukum Islam adalah hukum bagi seluruh keluarga, kabilah, masyarakat, dan negara.

Sedangkan hukum konvensional diciptakan oleh suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan dalam mengatur kehidupan antarmereka. Dengan demikian, hukum konvensional dapat berkembang dengan cepat manakala tatanan masyarakatnya juga berkembang dan maju dengan cepat.Para ahli hukum sepakat bahwa awal mula berkembangnya hukum konvensional berawal dari sebuah keluarga dan kabilah. Seperti hukum keluarga yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga, hukum kabilah dipimpin oleh seorang kepala suku atau kabilah.

Hukum ini terus berkembang hingga akhirnya membentuk sebuah negara yang merupakan penyatuan antara hukum-hukum keluarga dan kabilah, di mana hukum antarkabilah atau hukum antarkeluarga berbeda satu sama lain. Di sinilah peran negara untuk menetapkan suatu hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh individu, keluarga, dan kabilah yang masuk ke dalam wilayah suatu negara hukum meskipun hukum tiap negara biasanya berbeda.

Perbedaan antarhukum negara terus berlangsung hingga akhir abad ke-18 M (Revolusi Perancis) ketika munculnya teori filsafat, ilmu pengetahuan dan sosial.

Sejak itu sampai kini hukum konvensional mengalami perkembangan besar, di antaranya berdiri di atas dasar yang tidak dimiliki oleh hukum-hukum konvensional sebelumnya.Menurut Audah, berbeda dengan hukum konvensional,

(39)

hukum Islam lahir dengan sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya; bersifat komprehensif, yakni menghukumi setiap keadaan dan tidak ada keadaan yang luput dari hukumnya; mencakup segala perkara individu, masyarakat, dan negara.

Hukum Islam mengatur hukum keluarga, hubungan antarindividu, menyusun hukum, administrasi, politik, dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat.

Hukum Islam juga mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai.Hukum Islam dibuat untuk tidak terpengaruh oleh perkembangan dan perubahan waktu, yang tidak menuntut adanya pengubahan kaidah-kaidah umumnya dan teori-teori dasarnya. Karena itu, seluruh kaidah dasarnya terdiri atas nas-nas yang bersifat umum dan fleksibel yang dapat menghukumi setiap kondisi dan kasus yang baru meskipun kesempatan terjadinya tidak dimungkinkan.

C. Sanksi Pidana Denda dalam Sistem Pengadilan Negeri.

Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 110 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP dalam perjalanannyadipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda (Gatot Supramono.

2007:21).

Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) dari pidana hilang

(40)

kemerdekaan ke pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun. Persoalannya adalah apakah pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan selama ini dimaksudkan untuk alternative goals atau alternative punishment.

Dari faktor di atas, pidana denda belum mempunyai fungsi dan peran yang optimal karena penegak hukum cenderung memilih pidana penjara atau kurungan daripada pidana denda. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi (Andi Sofyan dan Nur Azisa. 2016:16).

Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidanayang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.

Disadari bahwa keberadaan "undangundang pidana khusus" dalam rangka politik kriminal merupakan kebutuhan yang tidak mungkin dapat dihindari, maka perlu diingat bahwa pembentukannya (undangundang pidana khusus) harus dibatasi, yaitu hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dimasukkan dalam

(41)

kodifikasi hukum dalam KUHP, karena adanya "undangundang pidana khusus"

itu memberikan corak kepada tata hukum pidana yang terpecah-pecah.

Di samping itu menurut (Solahuddin. 2008:08)penyimpangan- penyimpangan yang tidak memperhatikan asas-asas hukum pidana yang terdapat dalam ketentuan umum hukum pidana potensial mengakibatkan politik kriminal dari negara tidak efektif karena adanya kesimpangsiuran dalam penegakan hukum. Tepatlah apa yang dikatakan oleh John Kaplan dalam bukunya yang berjudul "Criminal Justice", pada bab tentang "Sentencing: khususnya yang berhubungan dengan masalah "Legislative specification of penalties" antara lain yaitu: "One of the most chaostic aspects of the law relating to sentencing is the condition of the penal codes themselves. It is easily demonstrable in most states that the sanction available for different offenses are utterly without any rational basis. This in tum is one of the significant contributors of disparity in the treatment off offenders of comparable culpability".("Salah satu aspek yang paling kacau balau dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemidanaan ialah kondisi dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu sendiri. Secara mudahdapat ditunjukkan di kebanyakan negara bahwa sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik- dellk yang berbeda,, (Dibuat) sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional. Inilah yang pada gilirannya merupakan salah satu penyokong utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding").

Berdasarkan uraian di atas, fenomena kebijakan legislatif mengenai sanksi pidana denda yang berkorelasi dengan hukum penitensier menarik sekali untuk

(42)

dikaji. Karena secara substansial, masalah yang berkaitan dengan hukum penitensier merupakan bagian penting dari pemidanaan, khususnya dalam merumuskan kebebasan yang diberikan kepada hakim dalam menentukan jenis pidana, jumlah (besarnya) serta cara pelaksanaan sanksi pidana denda. Ditinjau dari sudut sistem pemidanaan, kebijakan legislatif sesuai dengan fungsi yang diembannya mempunyai peran yang sangat penting, karena di sini akan ditetapkan sistem sanksi pidana dan pemidanaan yang akan mendasari dan mempermudah penerapannya maupun pelaksanaannya dalam rangka operasionalisasi pidana (denda) secara inconcreto dalam kesatuan sistem pidana denda (Solahuddin.

2008:10).

Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Di dalam konsep Rancangan Undang-undang KUHP (RUUKUHP) Nasional Tahun 2008, pidana denda masuk di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan keempat.Adapun susunan urutannya menurut Pasal 65 (RUUKUHP) ayat (1) adalah sebagai berikut. Pidana Pokok terdiri dari :

a. pidana penjara.

b. pidana tutupan.

c. pidana pengawasan.

d. pidana denda.

e. pidana kerja sosial.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan ringannya pidana. Dalam menjatuhkan pidana, peranan Hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, Hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat

(43)

tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan, pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana (Wijayanto, Indung. 2015:21).

Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan. Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan di muka, merupakan suatu proses. Hakim dalam menerapkan pidana penjara di samping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), seperti misalnya faktor usia si pembuat tindak pidana, perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, kerugian terhadap korban, serta sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya (Suhariyono. 2012:12).

Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan Hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), kiranya eksistensi pidana perampasan kemerdekaan di dalam pemidanaan Indonesia tidak perlu diragukan dan dicemaskan lagi. Dalam praktiknya di Pengadilan, ternyata pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan kurungan masih merupakan pilihan utama dari pada hakim.

Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila Hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan, pedoman

(44)

pemidanaan serta pedomanpenerapan pidana penjara, maka Hakim dapat menjatuhkan pidana denda. Di sini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif dan praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan. Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan, dan seringkali sebagai alternatif dengan pidana kurungan terhadap hampir semua "pelanggaran" (overtredingen) yang tercanturn dalam Buku III KUHP.

Terhadap semua kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan. Pidana denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain. Mengenai pidana denda oleh pembuat undang- undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum.

Dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim.

Karena jumlah jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah jumlah itu perlu diperbesar/dipertinggi (Wirjhono. 2011:145).

(45)

Maka telah diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa :

"Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali".9 Jadi, denda tertinggi yang disebut dalam KUHP dalam Pasal 403 yaitu Rp. 1.000,- sekarang menjadi Rp. 15.000,-. Ayat (2) menentukan bahwa : "Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi".Berbeda dengan halnya batas maksimum umum pidana denda, maka KUHP menentukan satu batas minimum yang umum pidana denda, yaitu 25 sen (Pasa1 30 ayat (1)).

Mengingat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi : 15 x 25 sen = Rp. 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Pidana denda ini adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila objek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan objek pidana mati adalah jiwa orang, objek dari pidana denda adalah harta benda terpidana. Sebagai salah satu jenis pidana tertentu, pidana denda ini bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan yang ekonomis, misalnya, sekedar untuk menambahpemasukan

(46)

negara, melainkan harus kita kaitkan untuk menambah tujuan-tujuan pemidanaan.

Ilmu hukum pidana modern telah berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu satu pidana denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada satu pidana penjara jangka pendek.

D. Prospek Perumusan dan Penerapan Pidana Denda.

a. Efektifitas Penjatuhan Pidana Denda

Dalam melakukan ukuran efektivitas pidana denda, harus ada nilai keseimbangan antara pidana denda dengan pidana penggantinya, dalam hal si terpidana tidak dapat membayar denda yang telah ditentukan. Menurut ketentuan yang ada dalam KUHP sekarang penggantinya adalah pidana kurungan. Dengan asas keseimbangan ini maka dalam rangka eksekusi akan menjadi lebih mudah yaitu apabila tidak dapat dieksekusi pidana denda, maka dikenakan pidana penggantinya sehingga dengan demikian maka dalam realisasinya tidak akan terjadi apa yang selama ini dikenal sebagai "tunggakan kronis".

Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana denda menjadi kurang efektif apabila dibandingkan dengan pidana penjara, hal ini terutama apabila ditinjau dari segi penjeraannya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak mungkin diwakilkan oleh orang lain. Di samping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dari mana saja untuk melunasi/membayar denda tersebut (Adami Chazawi. 2013:77).

Dalam konsep Rancangan KUHP telah dirumuskan alternatif pengganti daripada pidana denda yang tidak dapat dibayar. Terlebih lagi bila dipikirkan bahwa dalam KUHP baru nanti sebagai alternatif pidana denda adalah pidana

(47)

pengawasan atau pelayanan masyarakat, pembayaran denda lebih dipertegas kemungkinan eksekusinya. Pidana pengganti denda ini barulah diterapkan, apabila terpidana samasekali tidak mempunyai barang apapun untuk dilelang. Yaitu berupa pidana pengawasan atau kerja sosial.

Walaupun demikian menurut (Adami Chazawi. 2013:56)masih perlu dikaji apakah pidana pengawasan atau pidana kerja sosial sebagai pidana pengganti denda adalah efektif sebagai pengganti pidana denda. Pengalaman selama ini yang dikeluhkan oleh eksekutor (Jaksa) tentang sulitnya penagihan denda kepada terpidana, perlu dipikirkan pada putusan Hakim yang berupa putusan verstek denda (putusan di luar hadirnya terdakwa), hendaknya jangan berbentuk pidana denda lagi akan tetapi berbentuk pidana kurungan.

Kemudian dalam buku (Gatot Supramono. 2007:45) Uraian di atas memberikan perbandingan terhadap usaha penanggulangan kesulitan dalam hal eksekusi pidana denda. Dalam hal ini disadari bahwa kemungkinan tersebut dapat saja terjadi, oleh sebab itu maka pidana pengganti denda tetap merupakan hal yang perlu dipikirkan. Pidana denda bukan merupakan sarana pengumpul dana, sehingga permasalahannya bukan kuantitas pidana denda yang dijatuhkan. Akan tetapi sejauh mana tujuan pemidanaan dapat tercapai dengan adanya penjatuhan pidana denda. Untuk mengefektifkan pidana denda itu, perlu pula ketentuan yang terdapat dalam KUHP diubah, yaitu tentang penyitaan. Di mana perlu ditambahkan dengan kata-kata:"dapat juga disita barang-barang; uang milik tersangka untuk dipersiapkan membayar denda". Jadi kurungan pengganti denda benar-benar merupakan obat terakhir. Apalagi bila dipikirkan bahwa dalam

(48)

KUHP baru nanti alternatif pengganti denda adalah mungkin pidana pengawasan atau pelayanan masyarakat.

b. Kelemahan Dan Keuntungan Pidana Denda

Kelemahan pidana denda yang secara inherent terkandung di dalam pidana denda itu sendiri. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah bahwa pidana denda ini dapat dibayarkan atau ditanggung oleh pihak ketiga (majikan, suami atau istri, orang tua, teman/ kenalan baik, dan lainnya) sehingga pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh si terpidana sendiri (Ali Mahrus.

2011:21).

Hal mana membawa akibat tidak tercapainya sifat dan tujuan pemidanaan untuk membina si pembuat tindak pidana agar menjadi anggota masyarakat yang berguna, serta mendidik si pembuat tindak pidana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tidakkah dengan demikian si pembuat tindak pidana akan berulang-kali berbuat tindak pidana lagi (karena misalnya memiliki bakat atau tingkah laku sebagai pembuat tindak pidana), sebab ia merasa bahwa pertanggungan jawab akan dipikul oleh orang lain. Kalau pembayaran denda tidak dapat dipenuhi karena tidak mempunyai uang untuk membayar denda atau tidak ada barang yang dapat dilelang, bukankah tindak pidana lain yang baru lagi akan lahir untuk mendapatkan uang pembayar denda. Ini berarti tindak pidana yang satu melahirkan tindak pidana yang baru, dan keadaan ini dapat berlanjut seterusnya (Suhariyono. 2012:21).

Kelemahan yang lain bahwa pidana denda juga dapat membebani pihak ketiga yang tidak bersalah, dalam arti pihak ketiga dipaksa turut merasakan pidana tersebut, misalnya uang yang dialokasikan bagi pembayaran pidana denda yang

Referensi

Dokumen terkait

Endang sendiri juga demikian, apabila rumah tersebut laku dijual, uang digunakan untuk memenuhi kewajibannya agar keluarganya tidak akan terbebani nantinya dengan permasalahan

Dalam penelitian ini juga ingin melihat “SMA” Senjoyo sebagai arena yang strategis dan merupakan arena perebutan sesuai dengan arena menurut Pierre Bourdieu..

Pokok perhatian dari Activity Based Costing System ( ABC System ) adalah aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam perusahaan, dengan menelusuri biaya yang mengacu pada

tidak sekedar berpartisipasi, tidak sekedar sebagai mitra sejajar melainkan bersama-sama Perum Perhutani sebagai pelaku utama dalam melakukan pengelolaan sumber daya

PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan hal-hal yang berkaitan dengan arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 sehingga dapat memberi saran bagi orang-orang awam

Implikasi penelitian ini adalah : 1) Metode pembelajaran Whole Brain Teaching dapat diterapkan pada pembelajaran fisika, hal ini dapat dilihat pada hasil

a) Memilih tari suku dayak dari 5 suku dayak besar di Kalimantan timur yang masing- masing Dayak mewakili 3 tarian yaitu Dayak kenyah tari perang, tari leleng,

Penelitian dilakukan terhadap 6 ekor sapi perah laktasi, data diambil dalam 3 tahap kegiatan yaitu tahap pertama sesuai dengan manajemen peternak (P0), tahap kedua