• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat sering timbul permasalahan hukum, yang mana permasalahan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan maupun lewat jalur hukum. Biasanya yang menimbulkan permasalahan hukum tersebut dimulai dengan timbulnya konflik ataupun sengketa. Konflik dan sengketa itu sendiri memiliki tafsiran yang bermacam-macam dari para ahli hukum.1

Mari kita coba mendeskripsikan kritik yang paling umum dilontarkan kepada pengadilan. Kritik umum ini dirangkum dari beberapa negara, meskipun wujud kritiknya hampir sama. Yang terpenting di antaranya:2

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi yang Sangat Lambat

Inilah penyakit pertama yang dianggap melekat pada pengadilan. Penyelesaian sengketa tidak cepat, lambat dan formalistik. Jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memulai pemeriksaan saja pun harus menunggu waktu yang lama.

      

1

Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, Visi Media, 2011, hal. 26.

  2 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hal. 153-159.

(2)

Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi, merupakan kenyataan yang umum di seluruh pelosok dunia. Lihat saja kenyataan yang terjadi di Jepang. Rata-rata antara 10-15 tahun. Menurut informasi yang diperoleh, rata-rata antara 5-7 tahun. Hal ini merupakan kenyataan yang dihadapi masyarakat di Indonesia. Penyelesaian perkara mulai dari tingkat pertama sampai kasasi, rata-rata antara 7-12 tahun. Kelambatan itu sulit dihilangkan, sebab semua perkara diajukan banding dan kasasi. Bahkan permintaan peninjauan kembali sudah menjadi mode. Masyarakat pencari keadilan sudah dirasuki sikap irasional. Mereka tidak lagi mempersoalkan apakah putusan yang dijatuhkan benar dan adil. Kekalahan dianggap sebuah ketidakadilan. Oleh karena itu, segala upaya hukum yang dibenarkan undang-undang, dimanfaatkan. Pemanfaatannya terkadang nyata-nyata mengandung itikad buruk, sekedar untuk menjegal terjadinya pelaksanaan eksekusi. Dalam keadaan yang seperti itu, benar-benar sistem peradilan tidak mampu memperkecil, apalagi melenyapkan penggunaan upaya hukum yang diselimuti dengan itikad buruk. Kesimpulannya, sistem litigasi memang sangat potensial memperlambat penyelesaian perkara.

Sekitar tahun 1992, digariskan suatu kebijaksanaan oleh Mahkamah Agung. Setiap perkara yang ditangani peradilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dan banding (Pengadilan Tinggi), harus selesai dalam tempo 6 bulan. Apa yang dapat dipetik dari kebijaksanaan tersebut? Arus perkara makin cepat dan deras melaju ke tingkat kasasi. Akhirnya Mahkamah Agung kewalahan menampung limpahan yang bertubi-tubi

(3)

dari bawah. Akibatnya terjadi tunggakan yang makin besar. Penyelesaian pada peradilan tingkat pertama dan banding, dapat dikatakan lancar. Namun penyelesaian di tingkat kasasi mandek, karena atara jumlah yang diselesaikan dan yang masuk tidaklah seimbang.

2. Biaya Berperkara Mahal

Suatu gambaran tentang mahalnya biaya berperkara melalui litigasi, dapat dilihat data yang dikemukakan Tony Mc. Adams. Pada tahun 1985, pendapatan total 750.000 pengacara di Amerika berjumlah $ 64,5 miliar. Berdasar data ini, timbul kritik bahwa hukum sudah menjadi bisnis besar. Tingginya biaya berperkarapun dianggap sebagai faktor yang sangat merusak terhadap perekonomian Amerika.

Kerisauan tentang besarnya biaya berperkara melalui peradilan, terdapat di mana-mana. Di Korea Selatan misalnya. Meskipun proses penyelesaian perkara dianggap relatif cepat, antara lima sampai tujuh tahun, kecepatan ini tetap mengeruk biaya resmi peradilan. Ditambah upah pengacara yang tinggi, menjadikan jumlah biaya perkara yang dikeluarkan pihak yang berperkara, bisa melampaui nilai hasil kemenangan.

3. Peradilan Pada Umumnya Tidak Responsif

Selain daripada penyelesaian perkara melalui proses litigasi memakan waktu lama, dan harus pula mengeluarkan biaya yang mahal, peradilan pada umumnya dianggap masyarakati tidak responsif.

Pertama, peradilan kurang bahkan tidak tanggap terhadap kepentingan umum. Sering pengadilan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan

(4)

masyarakat banyak. Mata pengadilan sering tertutup melihat dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Malahan masyarakat mengkritik, pengadilan sering memberi perlakuan tidak adil, karena dianggap hanya memberi kesempatan dan keleluasaan kepada lembaga-lembaga besar dan orang-orang kaya.

Kedua, peradilan kurang tanggap melayani kepentingan rakyat biasa dan kalangan miskin. Rakyat miskin dan rakyat biasa sering tidak mendapat pelayanan yang wajar, karena mareka tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya pengacara. Memang kewajiban membayar perkara merupakan syarat formal yang dilekatkan dalam proses berperkara, namun syarat inilah yang menjadi penghalang bagi rakyat biasa mendapat pelayanan yang wajar dari pengadilan. Bisa juga ketidakpedulian itu terjadi karena rakyat biasa yang berperkara tidak didampingi oleh pengacara, disebabkan mahalnya biaya pengacara. Terpaksa rakyat biasa tersebut tampil tanpa didampingi oleh seorang ahli hukum, meskipun rakyat biasa tersebut sama sekali buta terhadap hukum. Hal-hal seperti inilah yang membuat terkadang pengadilan tidak memberi pelayanan yang layak dan manusiawi.

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah

Tidak semua putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa ke arah penyelesaian masalah. Yang paling dikecam masyarakat, putusan yang dijatuhkan sangat membingungkan. Terkadang

(5)

tanpa dasar dan alasan yang masuk akal, pengadilan menjatuhkan putusan ganti rugi yang sangat merugikan salah satu pihak.

Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini para pihak cenderung menggunakan penyelesaian sengketa alternatif (PSA), hal ini disebabkan oleh jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan yang lama sehingga dipandang tidak praktis dan membutuhkan biaya besar.

Penyelesaian sengketa alternatif merupakan salah satu pilihan bagi para pihak yang hendak menyelesaikan sengketa mereka dengan tidak melalui pengadilan maupun arbitrase. Pilihan tersebut sepenuhnya bergantung pada keinginan dari masing-masing pihak yang bersengketa.

Terjadinya sengketa di antara para pihak, memberikan pilihan kepada masing-masing pihak untuk memilih cara yang akan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Masing-masing pihak dapat memilih melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pada umumnya, penyelesaian sengketa melalui pengadilan ditempuh berdasarkan inisiatif dari salah satu pihak. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat ditempuh oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak, dengan kata lain ada itikad baik dari masing-masing pihak.3

Kelebihan dari penyelesaian sengketa di luar hukum yang berlaku untuk pelaksanaannya yang cepat dan biaya murah, tetapi memiliki resiko tinggi. Misalnya penagihan hutang. Dalam hal terjadi utang piutang dan salah satu pihak       

3

(6)

tidak mampu atau enggan membayar utang, sering kali penyelesaian terhadap masalah ini dilakukan dengan cara menagih secara langsung kepada pihak yang bersangkutan dengan cara-cara kekerasan dan bahkan dengan ancaman-ancaman. Tindakan dari kreditor yang melakukan kekerasan dan ancaman-ancaman tersebut sering kali disikapi oleh debitor dengan cara melaporkan ke kepolisian sehingga hal yang semula mudah menjadi sulit untuk diselesaikan.4

Sejarah umat manusia menunjukkan selalu terjadi pertentangan kepentingan antara manusia satu dengan yang lain, karena memang hukum itu ada adalah untuk menghilangkan atau paling tidak untuk meminimalkan konflik atau sengketa yang terjadi di masyarakat, sehingga tercipta ketertiban dan kedamaian.

Untuk mengatasi atau menyelesaikan sengketa, dalam kehidupan sosial manusia dilakukan dengan berbagai cara yaitu:5

a. Membiarkan saja (lumping it) b. Mengelak (avoidance)

c. Paksaan dengan menggunakan kekerasan (coercion) d. Perundingan (negotiation)

e. Mediasi (mediation) f. Arbitrase (arbitration) g. Peradilan (ajudication)

Pilihan cara-cara tersebut dilakukan tergantung pada budaya, nilai-nilai, dan tujuan dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam kehidupan sosial yang semakin       

4

Ibid., hal. 26-27.

5

(7)

tertib yang telah ditata dengan hukum, sudah tentu penggunaan cara kekerasan atau main hakim sendiri akan sangat dihindari.6

Persengketaan yang timbul di antara para pihak tidaklah selalu bersifat negatif, sehingga penyelesaiannya haruslah dikelola dengan baik untuk menuju hasil penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan kedua pihak. Oleh karena itu penyelesaian sengketa merupakan salah satu aspek hukum yang penting dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum, untuk terciptanya ketertiban dan kedamaian. Agar ketertiban dan kedamaian terpelihara dengan baik, hukum haruslah sesuai dengan cita hukum masyarakat negara tersebut.7

Dewasa ini banyak orang yang masih kurang mengerti tentang pelaksanaan mediasi dan arbitrase di negara Indonesia, baik dari segi prosedur yang benar maupun apa saja kelebihan dan kekurangan dari penggunaan penyelesaian sengketa alternatif yang tersebut sebelumnya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan mengenai mediasi menurut PERMA nomor 1 tahun 2008 dan Arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999?        6 Ibid. 7 Ibid., hal. 3. 

(8)

2. Bagaimana perbandingan antara Mediasi menurut PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan Arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999?

3. Bagaimana menganalisis perbandingan antara PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan Undang-Undang nomor 30 tahun 1999?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian mediasi menurut PERMA nomor 1 tahun 2008 dan pengertian arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999

2. Untuk mengetahui perbandingan antara mediasi yang di atur dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan arbitrase yang di atur di dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999

3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari mediasi dan arbitrase

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang jelas bagi para praktisi hukum dalam membandingkan antara hal-hal yang berkaitan dengan mediasi yang diatur dalam

(9)

PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan hal-hal yang berkaitan dengan arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 sehingga dapat memberi saran bagi orang-orang awam yang ingin menyelesaikan masalah hukum melalui penyelesaian sengketa alternatif baik mediasi maupun arbitrase.

Serta dapat menjadi bahan pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut tentang mediasi menurut PERMA nomor 1 tahun 2008 dan arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999

b. Secara praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi masyarakat yang ingin menyelesaikan masalah hukum melalui mediasi dan arbitrase, tahu prosedur mediasi dan arbitrase di Indonesia, tahu kelebihan dan kekurangan dari mediasi dan arbitrase, dan juga dapat memberikan gambaran bagi masyarakat tentang perbandingan antara mediasi yang diatur dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan Undang-Undang nomor 30 tahun 1999.

D. Keaslian Penulisan

Judul yang diambil dalam penulisan skripsi ini yaitu Analisa Perbandingan Antara PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berlum pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan sebelumnya.

(10)

Hal ini didasarkan penelusuran yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustaka

Penyelesaian Sengketa Alternatif pertama kali berkembang di negara Amerika Serikat, di mana pada saat itu Penyelesaian Sengketa Alternatif berkembang karena dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut.8

1. Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.

4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan

Dalam perkembangannya sesuai dinamika sosial, mengenai proses penyelesaian perkara perdata tidak saja melalui proses formal (pengadilan) akan tetapi dapat juga melalu proses nonformal (di luar pengadilan). Hal ini secara hukum dibenarkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 58 UU No. 48       

8

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal.10.

(11)

Tahun 2009, yang sebelumnya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo. penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang memberikan peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan. Peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini juga sebelumnya telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, yang telah dijadikan dasar hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872), yang selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini dapat disimak dalam konsiderans dan penjelasan umum UU No. 30 Tahun 1999 tersebut yang menyebutkan, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (maksudnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970), penyelesaian sengketa perdata disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.9

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “mediare” yang berarti “berada di tengah”. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak

      

9

(12)

yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak yang bersengketa.10

Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat diidentifikasikan unsur-unsur esensial mediasi, yaiu:11

- Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak;

- Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator;

- Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak;

Adapun usur-unsur mendasar dari mediasi adalah sebagai berikut:

- Adanya sengketa yang harus diselesaikan - Penyelesaian dilaksanakan melalui perundingan - Perundingan ditujukan untuk mencapai kesepakatan - Adanya peranan mediator dalam membantu penyelesaian

Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, antara lain:12

      

10

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 23-24

11

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011,hal. 13 

12

(13)

- Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.

- Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.

- Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

Selain Mediasi juga ada penyelesaian sengketa alternatif lainnya yaitu

Arbitrase, di mana Arbitrase itu diambil dari bahasa latin yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-norma huum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.13

Berikut adalah beberapa definisi mengenai arbitrase. Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar       

13

(14)

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 14

Menurut Sidik Suraputra, S.H., dalam karangannya yang berjudul

Beberapa Masalah Hambatan terhadap Pelaksanaan Perwasitan Internasional

yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977, mengutip batasan (definisi) yang diberikan oleh Frank Elkouri dan Edna Elkouri dalam buku mereka How Arbitration Works

Washington D.C., 1974, definisi arbitrase adalaha sebagai berikut:15

Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.

Namun perlu diingat, bahwa kebolehan mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, harus didasarkan atas kesepakatan bersama (mutual consent). Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama, merupakan landasan keabsahan ikatan perjanjian arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, keabsahan dan mengikatnya setiap perjanjian arbitrase, harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai pilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.16        14 Ibid. 15 Ibid.  16 Ibid., hal. 37

(15)

F. Metode penulisan

Kata metode berasal dari kata Yunani Methods yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.17

Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bersifat korelasional. Penelitian korelasional merupakan jenis penelitian yang mempelajari hubungan antara dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain. Derajat hubungan variabel-variabel dinyatakan dalam satu indeks yang dinamakan koefisien korelasi. Koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan antara variabel atau untuk menyatakan besar kecilnya hubungan antara kedua variabel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat keterkaitan antara variasi suatu faktor dengan variasi faktor lain berdasarkan koefisien korelasi.18

      

17

Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia, 1997, hal.16

18

Hasrawati, http://hasrawati-hasrawati.blogspot.com/2011/03/jenis-jenis-penelitian-berdasarkan_20.html , diakses 16 September 2013, pukul 20.34 WIB.

(16)

2. Metode Pendekatan

Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative, yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap kaitan hukum antara PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

3. Alat Pengumpul Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang dipergunakan untuk mendukung isi skripsi ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library research), dengan bahan-bahan hukum:

a. Bahan Hukum Primer

Yakni bahan hukum yang mengikat, dengan fokus utama berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah mediasi dan arbitrase, yang tercakup di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, dan lain sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier

Yakni yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, majalah dan internet.

(17)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya dalam 5 (lima) bab yang secara terperinci sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pembukaan dari hal-hal yang umum yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI MEDIASI

MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang dan pengertian mendasar mengenai mediasi menurut yang diatur didalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, bagaimana prosedurnya, apa saja kelebihan dan kekurangannya, serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mediasi.

(18)

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE

MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN

1999

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai arbitrase secara lebih dalam berdasarkan Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dan literatur lainnya, perbandingan arbitrase dengan penyelesaian sengketa lainnya, alasan digunakannya arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa, dan bilamana pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase itu terjadi.

BAB IV : KAITAN ANTARA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008

DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999

Pada bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan Mediasi menurut PERMA Nomor 1 tahun 2008 dan Arbitrase menurut Undang Undang nomor 30 tahun 1999, bagaimana perbandingannya, dan analisis perbandingannya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan pembahasan dan disini diberikan beberapa kesimpulan dari hasil pembahasan dan juga mengutarakan beberapa saran yang dianggap perlu yang memungkinkan bermanfaat dalam

(19)

mengatasi masalah yang terjadi, sehingga tujuan yang diharapkan akan tercapai dan dapat diterima dengan baik

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat roman ini merupakan buah karya dari Albert Camus, dan diterbitkan pada tahun yang sama dengan esai gagasan absurditas Camus, tentu saja sangat menarik untuk

[r]

Dari hasil observasi dan wawancara peneliti dengan guru bidang studi ekonomi di SMA Swasta Pencawan Medan ternyata nilai rata-rata untuk mata pelajaran ekonomi

'J'ugas akhir ini merupakan studi tentang pola antrian penumpang pada Terminal Pe!ahuhan Penumpang Tanjung Perak Surahaya.. Manjaat dan Tujuan dari

Penelitian ini berdasarkan pada Yurisprudensi Nomor 11K/AG/2001 tanggal 10 Juli 2003 yang menyatakan bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat

STMIK HANDAYANI MAKASSAR TAHUN 2017.. Menjelaskan konsep Sistem Informasi Manjemen dan Keuangan, Siklus Akuntansi. Mencatat transaksi dalam jurnal, membuat buku besar dan

Rancangan isi dari media pembelajaran interaktif sejarah Indonesia memuat menu- menu yang akan ditampilkan dan sesuai dengan rancangan yang sudah di buat.Adapun

tingkat saya yang telah membantu dalam pengambilan data hujan, serta selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh