• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konsep

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi Operasional ... 20 Tabel 5.1 Tabel Karakteristik Umur Keluarga Pasien Skizofrenia Paranoid Di

Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan (n=32) ... 31 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Karakteristik Keluarga Pasien

Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (N=32)... 32 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Frekuensi Kekambuhan Pasien

Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (n=32) ... 33 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Dukungan Sosial Keluarga Pada

Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (n=32) ... 33 Tabel 5.5 Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Frekuensi

Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS

Jiwa Daerah Propsu Medan... 34

Relaps in Patients with Paranoid Schizophrenia in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan

Researcher : Septian Mixrofa Sebayang Study Program : Nursing Science

Academic Year : 2011

ABSTRACT

Social support is one source of stress management and influence a person's health condition.

The purpose of this study is to find out the relationship between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan. This study design is a descriptive correlation. Purposive sampling were required 32 respondents.

The result of the study shows that there is a significant correlation between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency (p = 0.028, ρ = - 0.388). The research suggest the nurses to involve families in the treatment of paranoid schizophrenia patients so that families can care for patients with paranoid schizophrenia at home.

Judul :Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan

Peneliti :Septian Mixrofa Sebayang Jurusan :Ilmu Keperawatan

Tahun Akademik :2011

ABSTRAK

Dukungan sosial merupakan salah satu sumber penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. Desain penelitian ini deskriptif korelasi. Dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 32 responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid (P =0,028; ρ =-0,388). Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia paranoid dengan baik di rumah.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan fungsi otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi dan halusinasi (puspitasari, 2009).

Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 memperkirakan bahwa 1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Tomb, 2004).

Hasil survey di Indonesia memperlihatkan bahwa sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia hal ini berarti sekitar 2- 4 juta jiwa dari jumlah tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Demikian juga dengan Irmansyah (2005), bahwa penderita yang dirawat di bagian psikiatri di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia (Chandra, 2006).

Data yang diperoleh dari Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.183

orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna (96,76%), dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami kekambuhan sebanyak 876 orang penderita (58,76%). Data di atas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka kekambuhan pada penderita (Rekaman Medik RSJD Propsu, 2005). Data Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara tahun 2009 ( Januari-Desember) menunjukkan bahwa pasien skizofrenia paranoid yang rawat jalan sebanyak 3529 orang (Laporan Rekaman RSJ, 2009)

Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehingga penderita memerlukan terapi/ perawatan lama. Di samping itu semua etiologi, patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/ heterogen bagi setiap penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita (Irmansyah, 2005).

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan. Penderita yang dipulangkan ke rumah lebih

cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan residensial. Penderita yang paling beresiko untuk kambuh adalah penderita yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap penderita (Tomb, 2004).

Demikian juga menurut Sasanto, mengatakan bahwa banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu faktor yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu dukungan sosial keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Vijay, 2005).

Dukungan sosial merupakan cara keluarga untuk menghadapi/menangani penderita skizofrenia sehingga tidak terjadi kekambuhan. Selain itu dukungan sosial keluarga juga merupakan respons positif, afektif, persepsi dan respons perilaku yang digunakan oleh keluarga untuk memecahkan masalah dan mengurangi stress yang diakibatkan oleh penderita skizofrenia. Kekambuhan pada penderita skizofrenia yang berada di tengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal untuk melakukan dukungan sosial dengan baik.

Chandra (2005) menyatakan bahwa penderita skizofrenia remisi sempurna akan dikembalikan kepada keluarga, maka keluarga harus mengenal gejala-gejala skizofrenia. Selain itu penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan empati dari keluarga. Itu sebabnya keluarga harus menumbuhkan sikap mandiri dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap Expressed Emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu

memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan dan menimbulkan kekambuhan (Chandra, 2005).

Pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan mengikuti program-program intervensi keluarga yang menjadi satu dengan pengobatan skizofrenia seperti family psycho education program, cognitive behavior therapy for family,

multifamily group therapy dan lain-lain. Di Indonesia program penanganan

keluarga ini belum mendapat perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan mengingat bahwa: pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam perawatan, tetapi berada di tengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan mental membuat penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga penanganan oleh keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi pengetahuan dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga, keterampilan menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat yang baik bagi penderita (Irmansyah, 2005).

Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, mereka membutuhkan dukungan/penanganan yang baik dari keluarga setelah pulang dari rumah sakit, sehingga kekambuhan bisa dikendalikan atau dicegah. Kenyataan yang ada di lapangan tidak seperti yang diharapkan, pasien justru banyak yang mengalami kekambuhan dan keluarga seolah pasrah dengan kondisi yang terjadi. Hal ini didukung hasil penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nanggroe Aceh Darussalam, dimana penerimaan yang tidak baik dari keluarga

dapat meningkatkan resiko kekambuhan sebesar 4,28 kali dibandingkan dengan penerimaan yang baik dari keluarga.

Yosep (2008) mengemukakan, adanya suatu penyakit yang serius dan kronis pada diri seseorang anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistem keluarga, khususnya pada struktur peran dan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Oleh karena itu keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung setiap keadaan sehat dan sakit terhadap penderita. Sehingga dalam hal ini perlu adanya peran serta yang besar dari keluarga dalam memberikan dukungan sosial dan pemenuhan kebutuhannya. Dalam menghadapi stressor kehidupan penting untuk memberikan dukungan sosial kepada pasien skizofrenia paranoid. Dukungan sosial merupakan salah satu sumber penanggulangan terhadap stres yang penting yang mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang (Rahmawati, 2009).

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan.

2. Tujuan Penelitian 2.1Tujuan umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan.

2.2 Tujuan Khusus

1 Mengetahui dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

2 Mengetahui frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di

Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

2. Bagaimana frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

3. Apakah ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

4. Manfaat Penelitian 4.1Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi perawat jiwa untuk meningkatkan peran serta keluarga dengan cara melibatkan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid

4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait dengan dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid dan sebagai informasi bagi mahasiswa untuk

mengetahui pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.

4.3Peneliti Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid.

4.4Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi keluarga untuk dapat meningkatkan kemampuan keluarga memberikan perhatian, bantuan dan penghargaan, memberikan semangat kepada pasien skizofrenia paranoid.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1 Konsep Skizofrenia Paranoid 1.1 Pengertian Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan menyimpan banyak tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berpikir dan berkomunikasi dengan jelas, memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri (Nolen, 2004).

Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis. Mereka mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan menunjukkan sedikit ekspresi (Greene, 2003).

Menurut Tubagus, skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku (Erwin, 2002). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai

fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaac, 2005).

1.2 Gejala-Gejala Skizofrenia Paranoid

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1. Gejala positif

a. Delusi atau waham

Suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

b. Halusinasi

Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/ bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/ bisikan itu.

c. Kekacauan alam pikiran

Dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.

d.Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

e. Merasa dirinya ”Orang Besar”, merasa serba mampu dan sejenisnya. f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman

terhadap dirinya.

2. Gejala negatif

a. Alam perasaan (affect) ”tumpul” dan ”mendatar”

Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain dan suka melamun.

c. Kontak emosional amat sedikit, sukar diajak bicara dan pendiam. d. Pasif dan apatis serta menarik diri dari pergaulan sosial.

e. Sulit dalam berpikir nyata. f. Pola pikir steorotip.

g. Tidak ada/ kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.

1.3 Faktor Resiko Skizofrenia Paranoid

Faktor resiko skizofrenia adalah sebagai berikut: 1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga

2. Kembar identik

Kembar identik memiliki risiko skizofrenia 50%, walaupun gen mereka identik 100% (Videbeck, 2008).

3. Struktur otak abnormal

Dengan perkembangan teknik pencitraan teknik noninvasif, seperti CT scan,

Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Positron Emission Tomography

(PET) dalam 25 tahun terakhir, para ilmuwan meneliti struktur otak dan aktivitas otak individu penderita skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit (Carpenter, 2000).

4. Sosiokultural

Lingkungan sosial individu dengan skizofrenia di negara-negara berkembang mungkin menfasilitasi dan memulihkan (recovery) dengan lebih baik daripada di negara maju (Jenkins, 2003). Di negara berkembang, terdapat jaringan keluarga yang lebih luas dan lebih dekat disekeliling orang-orang dengan skizofrenia dan menyediakan lebih banyak kepedulian terhadap penderita. Keluarga-keluarga di beberapa negara berkembang lebih sedikit melakukan tindakan permusuhan, mengkritik, dan sangat terlibat jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga di beberapa negara-negara maju. Hal ini mungkin membantu jumlah atau tingkat kekambuhan dari anggota-anggota keluarga penderita skizofrenia.

5. Tampilan emosi

Sejumlah penelitian menunjukkan orang-orang dengan skizofrenia yang keluarganya tinggi dalam mengekspresikan emosi, lebih besar kemungkinannya untuk menderita kekambuhan psikosis daripada mereka yang keluarganya sedikit atau kurang mengekspresikan emosi (Hooley, 2000).

1.4 Terapi Skizofrenia Paranoid

1. Farmakoterapi

2. ECT (Electro Convulsive Therapy) 3. Terapi Koma Insulin

2. Konsep Keluarga 2.1 Defenisi Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostasis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarga dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo, 2005). Keluarga sebagai sistem sosial yang terdiri dua orang atau lebih yang hidup bersama dan memiliki ikatan emosional yang kuat, interaksi yang regular, dan berbagai kekhawatiran dan tanggung jawab (Isaacs, 2005).

2.2 Tipe Keluarga

Tipe keluarga dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu :

a. Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari suami, istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran maupun adopsi.

b. Keluarga Besar (extended family) terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga yang lain misalnya kakek, nenek, paman, bibi, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejenis.

c. Keluarga Berantai (social family) keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali.

d. Keluarga asal (family of origin) merupakan satu unit keluarga tempat asal seseorang dilahirkan.

e. Keluarga Komposit (composite family) adalah keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama.

f. Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan menurut ikatan perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan. Sedangkan keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan (Sudiharto, 2007).

3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga

Dukungan adalah memberi spirit dan psiko adalah jiwa (Bambang, 2000). Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan memperhatikannya (Setiadi, 2007). Hawari (2001) dukungan sosial merupakan terapi yang bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial.

Cohen dan Mc Kay, (1984) dalam Niven, (2000) bahwa komponen-komponen dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut :

1. Dukungan Emosional

Dukungan emosional memberikan pasien nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat kepada pasien yang dirawat di

rumah atau rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, rasa memiliki dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.

2. Dukungan Pengharapan

Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan

keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien.

3. Dukungan Nyata

Dukungan ini meliputi penyedian dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan menambah stres individu.

4. Dukungan Informasi

Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien di rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tempat,

dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi, keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

Pemberian asuhan keperawatan dan terapi saja kepada pasien skizofrenia paranoid ternyata tidak cukup, tetapi peran keluarga untuk memberikan dukungan sosial merupakan kunci utama. Kuntjoro (2002) memberi contoh nyata yaitu bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.

Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro 2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro 2002) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan menghargai dan menyayangi kita. Dalam hal ini pasien skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan

Dokumen terkait