HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN
FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA
PARANOID DI POLIKLINIK RS JIWA DAERAH PROPSU
MEDAN
SKRIPSI
Oleh
Septian Mixrofa Sebayang 071101019
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Title : The Relationship Family Social Support and Frequency of Relaps in Patients with Paranoid Schizophrenia in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan
Researcher : Septian Mixrofa Sebayang Study Program : Nursing Science
Academic Year : 2011
ABSTRACT
Social support is one source of stress management and influence a person's health condition.
The purpose of this study is to find out the relationship between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan. This study design is a descriptive correlation. Purposive sampling were required 32 respondents.
The result of the study shows that there is a significant correlation between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency (p = 0.028, ρ = - 0.388). The research suggest the nurses to involve families in the treatment of paranoid schizophrenia patients so that families can care for patients with paranoid schizophrenia at home.
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan
Peneliti :Septian Mixrofa Sebayang Jurusan :Ilmu Keperawatan
Tahun Akademik :2011
ABSTRAK
Dukungan sosial merupakan salah satu sumber penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. Desain penelitian ini deskriptif korelasi. Dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 32 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid (P =0,028; ρ =-0,388). Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia paranoid dengan baik di rumah.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah
Propsu Medan”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S1 Ilmu Keperawatan pada
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis dapat terlaksana berkat dukungan,
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini
izinkanlah penulis untuk menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya dan
setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara yaitu Prof. dr.
Syahril Pasaribu, DTM&H, Sp.A (K).
Selanjutnya kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes, Selaku Dekan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara,
Terima kasih penulis ucapkan kepada Jenny M. Purba, S.Kp, MNS selaku
dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari
proposal hingga penulisan skripsi ini selesai.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Sri Eka Wahyuni, S.Kep,
kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Selanjutnya terima kasih juga kepada dr. Dapot P Gultom, Sp. KJ selaku
Kepala Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan, yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian ini.
Tak terhingga terima kasih yang tulus kepada orangtua tercinta Ayahanda
T. Sebayang dan Ibunda E. Ketaren serta seluruh keluarga yang telah banyak
memberikan sumbangan moral dan materi.
Selanjutnya terima kasih juga kepada para dosen dan staf di lingkungan
Program Studi S1 Ilmu Keperawatan pada Fakultas keperawatan Universitas
Sumatera Utara Medan.
Terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat
berkonsultasi dalam penyusunan skripsi ini dan semua pihak yang telah
membantu proses penulisan skripsi ini hingga selesai.
Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini dengan
harapan, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang
keperawatan dan pengembangan ilmu keperawatan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR SKEMA ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Tujuan Penelitian ... 5
3. Pertanyaan Penelitian ... 6
4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8
1. Konsep Skizofrenia Paranoid ... 8
1.1 Pengertian Skizofrenia Paranoid ... 8
1.2 Gejala-Gejala Skizofrenia Paranoid ... 9
1.3 Faktor Risiko Skizofrenia Paranoid ... 10
1.4 Terapi Skizofrenia Paranoid ... 11
2. Konsep Keluarga ... 12
2.1 Defenisi Keluarga ... 12
2.2 Tipe Keluarga ... 12
3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga ... 13
4. Konsep Kekambuhan ... 17
4.1 Defenisi Kekambuhan ... 17
4.2 Faktor-Faktor Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid ... 17
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 19
1. Kerangka Konsep ... 19
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 24
1. Desain Penelitian ... 24
2. Populasi, Sampel Penelitian, dan Teknik Sampling ... 24
2.1 Populasi Penelitian... 24
2.2 Sampel Penelitian ... 24
2.3 Teknik Sampling... 24
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
4. Pertimbangan Etik ... 25
5. Instrumen Penelitian ... 26
5.1 Kuesioner Data Demografi... 26
5.2 Kuesioner Dukungan Sosial Keluarga ... 26
6. Uji Validitas dan Uji Realibilitas ... 27
7. Pengumpulan Data ... 28
8. Analisa Data ... 29
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
1. Hasil Penelitian ... 31
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
1. Kesimpulan ... 38
2. Saran ... 39
2.1 Praktek Keperawatan ... 39
2.2 Pendidikan Keperawatan ... 39
2.4 Keluarga ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
LAMPIRAN INSTRUMEN PENELITIAN ... 44
HASIL UJI RELIABILITAS ... 50
HASIL UJI SPEARMAN RHO ... 52
TAKSASI DANA ... 53
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Defenisi Operasional ... 20
Tabel 5.1 Tabel Karakteristik Umur Keluarga Pasien Skizofrenia Paranoid Di
Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan (n=32) ... 31
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Karakteristik Keluarga Pasien
Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
(N=32)... 32
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
(n=32) ... 33
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Dukungan Sosial Keluarga Pada
Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu
Medan (n=32) ... 33
Tabel 5.5 Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS
Jiwa Daerah Propsu Medan... 34
Relaps in Patients with Paranoid Schizophrenia in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan
Researcher : Septian Mixrofa Sebayang Study Program : Nursing Science
Academic Year : 2011
ABSTRACT
Social support is one source of stress management and influence a person's health condition.
The purpose of this study is to find out the relationship between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency in the Polyclinic Psychiatric Sumatera Utara Distric Hospital in Medan. This study design is a descriptive correlation. Purposive sampling were required 32 respondents.
The result of the study shows that there is a significant correlation between family social support with paranoid schizophrenia of patients relapse frequency (p = 0.028, ρ = - 0.388). The research suggest the nurses to involve families in the treatment of paranoid schizophrenia patients so that families can care for patients with paranoid schizophrenia at home.
Judul :Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan
Peneliti :Septian Mixrofa Sebayang Jurusan :Ilmu Keperawatan
Tahun Akademik :2011
ABSTRAK
Dukungan sosial merupakan salah satu sumber penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. Desain penelitian ini deskriptif korelasi. Dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 32 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid (P =0,028; ρ =-0,388). Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia paranoid dengan baik di rumah.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan fungsi otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya
perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar
pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi dan halusinasi (puspitasari,
2009).
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 memperkirakan
bahwa 1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama
oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat
berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat
penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi
pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Tomb, 2004).
Hasil survey di Indonesia memperlihatkan bahwa sekitar 1-2% penduduk
yang menderita skizofrenia hal ini berarti sekitar 2- 4 juta jiwa dari jumlah
tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Demikian
juga dengan Irmansyah (2005), bahwa penderita yang dirawat di bagian psikiatri
di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia (Chandra, 2006).
Data yang diperoleh dari Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat
orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah
1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.543 orang
(91,09%). Dari 1543 orang penderita yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak
1493 orang penderita remisi sempurna (96,76%), dan dari jumlah tersebut
penderita yang mengalami kekambuhan sebanyak 876 orang penderita (58,76%).
Data di atas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke
tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara dan juga
menunjukkan tingginya angka kekambuhan pada penderita (Rekaman Medik
RSJD Propsu, 2005). Data Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi
Sumatera Utara tahun 2009 ( Januari-Desember) menunjukkan bahwa pasien
skizofrenia paranoid yang rawat jalan sebanyak 3529 orang (Laporan Rekaman
RSJ, 2009)
Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehingga penderita
memerlukan terapi/ perawatan lama. Di samping itu semua etiologi, patofisiologi
dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/ heterogen bagi setiap penderita,
sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan
menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali
mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh penderita dan
juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan
melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada penderita.
Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh
dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita (Irmansyah, 2005).
Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam
cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang
ditempatkan pada lingkungan residensial. Penderita yang paling beresiko untuk
kambuh adalah penderita yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh
permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu
protektif terhadap penderita (Tomb, 2004).
Demikian juga menurut Sasanto, mengatakan bahwa banyak hal yang
dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu faktor yang
paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Kekambuhan dapat
diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis
dan non farmakologis, selain itu dukungan sosial keluarga juga sangat dibutuhkan
untuk resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Vijay, 2005).
Dukungan sosial merupakan cara keluarga untuk menghadapi/menangani
penderita skizofrenia sehingga tidak terjadi kekambuhan. Selain itu dukungan
sosial keluarga juga merupakan respons positif, afektif, persepsi dan respons
perilaku yang digunakan oleh keluarga untuk memecahkan masalah dan
mengurangi stress yang diakibatkan oleh penderita skizofrenia. Kekambuhan pada
penderita skizofrenia yang berada di tengah keluarga merupakan suatu tanda
bahwa keluarga gagal untuk melakukan dukungan sosial dengan baik.
Chandra (2005) menyatakan bahwa penderita skizofrenia remisi sempurna
akan dikembalikan kepada keluarga, maka keluarga harus mengenal gejala-gejala
skizofrenia. Selain itu penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan
empati dari keluarga. Itu sebabnya keluarga harus menumbuhkan sikap mandiri
dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap Expressed
memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan
dan menimbulkan kekambuhan (Chandra, 2005).
Pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga
yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan mengikuti program-program
intervensi keluarga yang menjadi satu dengan pengobatan skizofrenia seperti
family psycho education program, cognitive behavior therapy for family,
multifamily group therapy dan lain-lain. Di Indonesia program penanganan
keluarga ini belum mendapat perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu
dilakukan mengingat bahwa: pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam
perawatan, tetapi berada di tengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan
mental membuat penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga
penanganan oleh keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi
pengetahuan dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga,
keterampilan menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat
yang baik bagi penderita (Irmansyah, 2005).
Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, mereka membutuhkan
dukungan/penanganan yang baik dari keluarga setelah pulang dari rumah sakit,
sehingga kekambuhan bisa dikendalikan atau dicegah. Kenyataan yang ada di
lapangan tidak seperti yang diharapkan, pasien justru banyak yang mengalami
kekambuhan dan keluarga seolah pasrah dengan kondisi yang terjadi. Hal ini
didukung hasil penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa
dapat meningkatkan resiko kekambuhan sebesar 4,28 kali dibandingkan dengan
penerimaan yang baik dari keluarga.
Yosep (2008) mengemukakan, adanya suatu penyakit yang serius dan
kronis pada diri seseorang anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang
mendalam pada sistem keluarga, khususnya pada struktur peran dan pelaksanaan
fungsi-fungsi keluarga. Oleh karena itu keluarga merupakan sistem pendukung
utama yang memberikan perawatan langsung setiap keadaan sehat dan sakit
terhadap penderita. Sehingga dalam hal ini perlu adanya peran serta yang besar
dari keluarga dalam memberikan dukungan sosial dan pemenuhan kebutuhannya.
Dalam menghadapi stressor kehidupan penting untuk memberikan dukungan
sosial kepada pasien skizofrenia paranoid. Dukungan sosial merupakan salah satu
sumber penanggulangan terhadap stres yang penting yang mempunyai pengaruh
terhadap kondisi kesehatan seseorang (Rahmawati, 2009).
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu
Medan.
2. Tujuan Penelitian
2.1Tujuan umum
Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien
2.2 Tujuan Khusus
1 Mengetahui dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di
Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
2 Mengetahui frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik
RS Jiwa Daerah Propsu Medan
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di
Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
2. Bagaimana frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di
Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
3. Apakah ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah
Propsu Medan
4. Manfaat Penelitian
4.1Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi
perawat jiwa untuk meningkatkan peran serta keluarga dengan cara melibatkan
keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid
4.2 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
dan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan jiwa dalam
memberikan asuhan keperawatan yang terkait dengan dukungan sosial keluarga
mengetahui pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.
4.3Peneliti Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan
bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan dukungan sosial keluarga pada
pasien skizofrenia paranoid.
4.4Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
keluarga untuk dapat meningkatkan kemampuan keluarga memberikan perhatian,
bantuan dan penghargaan, memberikan semangat kepada pasien skizofrenia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1 Konsep Skizofrenia Paranoid
1.1 Pengertian Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan
menyimpan banyak tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berpikir
dan berkomunikasi dengan jelas, memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi
secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang lain, pemikiran
dan kata-kata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka tidak mampu
memelihara diri mereka sendiri (Nolen, 2004).
Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan
melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling
berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini
sering menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya
simpati dan perhatian. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus
hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan
persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis. Mereka
mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan menunjukkan sedikit ekspresi
(Greene, 2003).
Menurut Tubagus, skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti
jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia
terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku (Erwin, 2002).
fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku
dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaac, 2005).
1.2 Gejala-Gejala Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Gejala positif
a. Delusi atau waham
Suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah
dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi
Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya
penderita mendengar suara-suara/ bisikan-bisikan di telinganya padahal
tidak ada sumber dari suara/ bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikiran
Dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau,
sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d.Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya ”Orang Besar”, merasa serba mampu dan sejenisnya.
f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
2. Gejala negatif
a. Alam perasaan (affect) ”tumpul” dan ”mendatar”
Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak
menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain dan suka melamun.
c. Kontak emosional amat sedikit, sukar diajak bicara dan pendiam.
d. Pasif dan apatis serta menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Sulit dalam berpikir nyata.
f. Pola pikir steorotip.
g. Tidak ada/ kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.
1.3 Faktor Resiko Skizofrenia Paranoid
Faktor resiko skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Kembar identik
Kembar identik memiliki risiko skizofrenia 50%, walaupun gen mereka
identik 100% (Videbeck, 2008).
3. Struktur otak abnormal
Dengan perkembangan teknik pencitraan teknik noninvasif, seperti CT scan,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Positron Emission Tomography
(PET) dalam 25 tahun terakhir, para ilmuwan meneliti struktur otak dan
aktivitas otak individu penderita skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa
individu penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih
sedikit (Carpenter, 2000).
4. Sosiokultural
Lingkungan sosial individu dengan skizofrenia di negara-negara
berkembang mungkin menfasilitasi dan memulihkan (recovery) dengan
lebih baik daripada di negara maju (Jenkins, 2003). Di negara
berkembang, terdapat jaringan keluarga yang lebih luas dan lebih dekat
disekeliling orang-orang dengan skizofrenia dan menyediakan lebih
banyak kepedulian terhadap penderita. Keluarga-keluarga di beberapa
negara berkembang lebih sedikit melakukan tindakan permusuhan,
mengkritik, dan sangat terlibat jika dibandingkan dengan
keluarga-keluarga di beberapa negara-negara maju. Hal ini mungkin membantu
jumlah atau tingkat kekambuhan dari anggota-anggota keluarga penderita
skizofrenia.
5. Tampilan emosi
Sejumlah penelitian menunjukkan orang-orang dengan skizofrenia yang
keluarganya tinggi dalam mengekspresikan emosi, lebih besar
kemungkinannya untuk menderita kekambuhan psikosis daripada mereka
yang keluarganya sedikit atau kurang mengekspresikan emosi (Hooley,
2000).
1.4 Terapi Skizofrenia Paranoid
1. Farmakoterapi
2. ECT (Electro Convulsive Therapy)
3. Terapi Koma Insulin
2. Konsep Keluarga
2.1 Defenisi Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu
membentuk homeostasis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota
keluarga dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota
keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan
emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan
seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan
mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif
bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental
(Notosoedirdjo, 2005). Keluarga sebagai sistem sosial yang terdiri dua orang atau
lebih yang hidup bersama dan memiliki ikatan emosional yang kuat, interaksi
yang regular, dan berbagai kekhawatiran dan tanggung jawab (Isaacs, 2005).
2.2 Tipe Keluarga
Tipe keluarga dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu :
a. Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari suami, istri, dan anak-anak,
baik karena kelahiran maupun adopsi.
b. Keluarga Besar (extended family) terdiri dari keluarga inti ditambah
keluarga yang lain misalnya kakek, nenek, paman, bibi, sepupu
termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa
anak, serta keluarga pasangan sejenis.
c. Keluarga Berantai (social family) keluarga yang terdiri dari wanita dan
pria yang menikah lebih dari satu kali.
d. Keluarga asal (family of origin) merupakan satu unit keluarga tempat
asal seseorang dilahirkan.
e. Keluarga Komposit (composite family) adalah keluarga dari
perkawinan poligami dan hidup bersama.
f. Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan menurut ikatan
perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan. Sedangkan
keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan (Sudiharto,
2007).
3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan adalah memberi spirit dan psiko adalah jiwa (Bambang, 2000).
Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang
diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu
bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan memperhatikannya
(Setiadi, 2007). Hawari (2001) dukungan sosial merupakan terapi yang bertujuan
untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat
kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial.
Cohen dan Mc Kay, (1984) dalam Niven, (2000) bahwa
komponen-komponen dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut :
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional memberikan pasien nyaman, merasa dicintai
meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat,
empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya
merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan
rumah atau rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat emosional atau
menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan
emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian
kepada individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, rasa
memiliki dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam
bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres
mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka
dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan
kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan
tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.
2. Dukungan Pengharapan
Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan
motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian positif terhadap
individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang
masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga
kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan
pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi
koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman
yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan,
kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman.
Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan
keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik
dan mampu membangun harga diri pasien.
3. Dukungan Nyata
Dukungan ini meliputi penyedian dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan
material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/Material Support),
suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan
masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat
seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan
fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu
menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber
untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan
sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk
uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi,
dukungan nyata akan lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan
tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan
ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan menambah stres
individu.
4. Dukungan Informasi
Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama,
termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi
pasien di rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, pengarahan,
saran, atau umpan balik terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang.
dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi
individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi, keluarga
sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.
Pemberian asuhan keperawatan dan terapi saja kepada pasien skizofrenia
paranoid ternyata tidak cukup, tetapi peran keluarga untuk memberikan dukungan
sosial merupakan kunci utama. Kuntjoro (2002) memberi contoh nyata yaitu bila
ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara
ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut
maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.
Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (dalam
Kuntjoro 2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang
nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan
subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang
dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro
2002) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan,
kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan menghargai dan menyayangi
kita. Dalam hal ini pasien skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan
sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau
kesan yang menyenangkan. Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan
sosial dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga
mempengaruhi proses penyembuhan pasien dan juga mempengaruhi lamanya
pengobatan (Darsana, 2009).
4. Konsep Kekambuhan
4.1 Defenisi Kekambuhan
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama
seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (Andri,
2008). Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stres dapat memicu pada
orang yang mudah terkena depresi, dimana dapat ditemukan bahwa
orang yang mengalami kekambuhan lebih besar kemungkinannya daripada
orang-orang yang tidak mengalami kejadian-kejadian buruk dalam kehidupan mereka.
4.2 Faktor- Faktor Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid
Pasien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50 % pada
tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullinger, 1988) dan 100% pada tahun
kelima setelah pulang dari rumah sakit (Carson & Ross, 1987).
Menurut Sullinger (1988 dalam Keliat, 1996) ada 4 faktor penyebab pasien
kambuh dan perlu dirawat kembali di rumah sakit jiwa, yaitu :
a. Pasien
Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% pasien skizofrenia yang pulang dari
rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur (Appleton, dalam
Keliat 1996). Pasien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti
aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan
ketidakmampuan mengambil keputusan. Di rumah sakit perawat
bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat
b. Dokter
Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun
pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping
yang mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Pemberian obat oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik
sehingga dapat mencegah kekambuhan.
c. Penanggung Jawab Pasien (Case Manager)
Setelah pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus
mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan
pasien, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera
mengambil tindakan.
d. Keluarga
Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan
kekambuhan yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah pasien mudah
dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.
Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses
perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah
agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas
perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien
sehingga status kesehatan pasien meningkat.
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini pada dasarnya adalah kerangka hubungan
antara konsep-konsep yang diamati/diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan. Kerangka konsep penelitian dilakukan pada penelitian ini
menggambarkan hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu
Medan. Dukungan sosial keluarga dalam penelitian ini menjadi variabel bebas
sedangkan frekuensi kekambuhan menjadi variabel terikat. Secara skematis
kerangka konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Skema 3.1 Kerangka Konsep Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rs Jiwa
Daerah Propsu Medan Dukungan sosial keluarga
Dukungan Emosional Dukungan Pengharapan Dukungan Nyata Dukungan Informasi
Frekuensi kekambuhan
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
2. Defenisi Operasional
Tabel 3.1 Defenisi Operasional
Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Dukungan
Bantuan yang meliputi
Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
2. Dukungan Pengharapan yaitu
bantuan yang diberikan keluarga
berupa penghiburan,
memberikan dorongan, motivasi,
dan menjadi pendengar tentang
masalah yang dialami pasien
3. Dukungan Nyata yaitu
bantuan yang diberikan keluarga
berupa biaya
pengobatan/finansial dan materi
lainnya.
4. Dukungan Informasi yaitu
bantuan yang diberikan keluarga
berupa nasihat, pengarahan dan
saran yang dilakukan pasien,
komunikasi pada pasien,
mempunyai tanggung jawab
bersama dan memberikan solusi
tentang masalah pasien
Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Frekuensi
Kekambuhan
Jumlah dari keadaan
dimana pasien
di rumah sakit jiwa
3. Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif
(Ha) yaitu adanya hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif korelasi yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah
Propsu Medan.
2. Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Sampling
2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini seluruh keluarga dari pasien skizofrenia
paranoid yang mengalami kekambuhan dan sedang rawat jalan di Poliklinik
Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan dengan jumlah 237
pasien per bulan (Laporan Rekam Medik RSJ, 2009).
2.2 Sampel Penelitian
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
tabel power analysis. Dalam penelitian ini ditetapkan derajat ketepatan (α) sebesar
0.05, power sebesar 0.80 dan effect size sebesar 50 % sehingga besarnya jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 32 orang (Polit & Hungler, 1999).
2.3 Teknik Sampling
Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive
sampling dengan mengambil responden yang tersedia saat itu dan telah memenuhi
Kriteria yang ditentukan untuk subjek penelitian ini adalah : (1) keluarga
inti (ayah, ibu, kakak/ibu, suami/istri) dari pasien skizofrenia paranoid yang
mengalami kekambuhan skizofrenia paranoid yang sedang rawat jalan di
Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, (2) tinggal
serumah dengan pasien, (3) pasien menderita skizofrenia paranoid lebih dari 1
tahun (pasien lama).
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara Medan, pada bulan Desember 2010 sampai Januari 2011 di
Medan.
Alasan melakukan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara Medan karena Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Medan sebagai tempat untuk praktek pendidikan keperawatan jiwa dan pusat
rujukan bagi penderita gangguan jiwa di wilayah Sumut dan NAD.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapat surat izin peneliti
dari Fakultas Keperawatan USU maka peneliti menyerahkan surat izin penelitian
kepada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.
Setelah izin didapatkan dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara Medan maka peneliti melaksanakan penelitian dengan memberi penjelasan
kepada calon responden tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan
penelitian. Peneliti menyertakan langsung lembar persetujuan peneliti kepada
terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden
tidak bersedia atau menolak untuk dijadikan objek penelitian maka peneliti tidak
memaksa dan tetap menghormati haknya. Untuk menjaga kerahasiaan catatan
mengenai responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh
responden, Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Data yang
diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan
kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti (Nursalam,
2003).
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian dibuat dalam bentuk kuesioner
yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka (Kunjuro, 2002). Instrumen peneliti ini
terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang data demografi, yang kedua
berisi tentang dukungan sosial keluarga dan yang ketiga berisi tentang frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.
5.1 Kuesioner Data Demografi
Digunakan untuk mengkaji data demografi responden yang meliputi nomor
kode responden, umur, jenis kelamin, hubungan keluarga dengan pasien, status,
agama, suku, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan, lama anggota
keluarga menderita skizofrenia paranoid.
5.2 Kuesioner Dukungan Sosial Keluarga
Peneliti menyusun kuesioner dukungan sosial keluarga berdasarkan tinjauan
pustaka tentang konsep dukungan sosial keluarga, dengan penilaian kuesioner
menggunakan skala likert. Kuesioner dukungan sosial keluarga berisi tentang
16 pertanyaan yaitu dukungan emosional yang terdiri dari 4 pertanyaan yaitu
nomor 1-4, dukungan informasi terdiri dari 4 pertanyaan yaitu nomor 5-8,
dukungan nyata terdiri dari 4 pertanyaan yaitu nomor 9-12 dan dukungan
pengharapan 4 pertanyaan yaitu nomor 13-16. Kuesioner disusun dalam bentuk
pertanyaan positif dengan empat pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari
Selalu, Sering, Jarang dan Tidak pernah. Bobot nilai yang diberikan untuk setiap
pertanyaan adalah 0 sampai 3, dimana jawaban Selalu bernilai 3, Sering bernilai 2,
Jarang bernilai 1 dan tidak pernah bernilai 0.
Berdasarkan rumus statistik menurut Sudjana (2002)
Panjang kelas (p) =
kelas Banyak
kelas Rentang
Dengan P = 16 maka nilai tertinggi yang mungkin diperoleh adalah 48 dan
nilai terendah yang mungkin diperoleh adalah 0, maka rentang kelas adalah 48
dengan 3 kategori banyak kelas. Maka dukungan sosial keluarga pada pasien
skizofrenia paranoid dikategorikan dengan interval sebagai berikut :
0-16 : Dukungan kurang
17-32 : Dukungan cukup
33-48 : Dukungan baik
Frekuensi kekambuhan tinggi bila pasien dalam satu tahun kambuh lebih
dari atau sama dengan 2 kali, sedang bila kurang dalam satu tahun kambuh satu
kali, dan rendah bila dalam satu tahun tidak pernah kambuh (Nurdiana, 2007).
6. Uji Validitas dan Uji Realibilitas
Kuesioner dalam penelitian ini divalidasi oleh ahlinya dari Departemen
Uji realibilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui
apakah alat ukur dapat memperoleh hasil ukur yang konsisten atau tetap
(Notoatmodjo, 2005).
Uji realibilitas dilakukan terhadap 10 subjek yang sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan sesuai subjek studi. Uji tes dukungan keluarga dilakukan
dengan menggunakan teknik komputerisasi program SPSS untuk analisis
cronbach’s alpha pada item berkala (Arikunto, 1999). Hasil uji realibilitas untuk
kuesioner dukungan sosial keluarga adalah r = 0,839.
7. Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data secara mandiri dengan membagikan
kuesioner secara langsung kepada responden. Sebelum membagikan kuesioner
kepada responden, peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
pelaksaaan penelitian pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU.
Kemudian mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ke tempat penelitian
(Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan). Setelah mendapat
izin dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, peneliti
melaksanakan pengumpulan data penelitian, menjelaskan pada calon responden
tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner. Calon responden yang
bersedia diminta untuk menandatangani informed consent (surat persetujuan
menjadi responden). Selanjutnya menjelaskan cara pengisian kuesioner dan
responden diminta untuk mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti dengan
cermat dan tidak ada hal yang terlewatkan. Responden diberikan kesempatan
diisi oleh responden sesuai dengan yang dialami dan dirasakan, selanjutnya data
dikumpulkan untuk dianalisa.
8. Analisa Data
Setelah semua data dikumpul, maka peneliti melakukan analisa dan melalui
beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan identitas dan data responden
dan memastikan bahwa semua jawaban telah terisi. Setelah itu mengklarifikasi
dan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan serta dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan teknik komputerisasi yaitu program SPSS 15.0.
Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat dan bivariat, dimana data
univariat untuk menampilkan data demografi, dukungan sosial keluarga dan
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dan persentase. Sedangkan bivariat untuk mengidentifikasi hubungan
dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia
paranoid.
Hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid dianalisa secara statistik dengan menggunakan formula
korelasi Spearman. Hasil dari analisa korelasi Spearman ini ialah nilai koefisien
korelasi (ρ) dan nilai signifikansi (P).
Nilai ρ menginterpretasikan kekuatan hubungan. Jika nilai ρ berada pada level
0.80 – 1.00 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan
yang sangat kuat, level 0.60 – 0.79 (baik plus dan minus) menunjukan adanya
derajat hubungan yang kuat, level 0.40 – 0.59 (baik plus atau minus) menunjukan
adanya derajat hubungan yang sedang, level 0.20 – 0.39 (baik plus atau minus)
atau minus) menunjukan adanya derajat hubungan yang sangat lemah (Dahlan,
2008). Sedangkan untuk menginterpretasikan nilai signifikasi (P) untuk uji satu
arah, jika nilai P kurang dari atau sama dengan nilai α (0.05) berarti hubungan
yang signifikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesa alternatif
(Ha) diterima dan dapat diinterpretasikan sebagai adanya hubungan dukungan
sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan dan jika nilai P lebih dari nilai α
(0.05) berarti hubungan yang tidak signifikan, maka hipotesa alternatif (Ha)
ditolak dan otomatis menerima hipotesa nol (Ho). Hal ini dapat diinterpretasikan
sebagai tidak terdapatnya hubungan dukungan sosial keluarga terhadap frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid (Demsey, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta mengenai hubungan
antara dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia
paranoid di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan.
Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 11 Januari – 17 Januari 2011 di
Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan dengan
jumlah responden 32 orang.
1.1 Karakteristik Responden
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa usia responden yang paling muda adalah 19
tahun dan paling tua adalah 67 tahun, mayoritas responden berjenis kelamin
perempuan (65,6%). Hubungan keluarga dengan pasien paling banyak adalah
kakak/abang (28,2%) dan status keluarga sudah menikah (68,7%). Responden
mayoritas beragama Islam (65,6%) dan suku yang paling banyak adalah Batak
(50%). Sebagian besar pendidikan responden adalah SMP (31,3%) dan
berpenghasilan dibawah Rp. 800 ribu perbulan. Mayoritas pasien menderita
skizofrenia paranoid lebih dari 5 tahun.
Tabel 5.1 Tabel Karakteristik Umur Keluarga Pasien Skizofrenia Paranoid
Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan (n=32)
Variabel N Mean SD Min-Max
Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Dan Persentase Karakteristik Keluarga Pasien
Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan(N=32)
Karakteristik Responden Frekuensi Persentase
1.2 Frekuensi Kekambuhan
Tabel 5.3 menunjukkan sebagian besar pasien skizofrenia paranoid
mengalami frekuensi kekambuhan dalam kategori rendah sebanyak 14 orang
(44,0%). Frekuensi kekambuhan dalam kategori tinggi sebanyak 13 orang
(40,6%) dan kategori sedang berjumlah 5 orang ( 15,4%).
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Frekuensi Kekambuhan
Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu
Medan (n=32)
Data Frekuensi Kekambuhan Frekuensi Persentase
Tinggi
1.3 Dukungan Sosial Keluarga
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebanyak 5 responden (15,4%)
memberikan dukungan sosial keluarga dalam kategori kurang, 6 responden
(19,0%) memberikan dukungan sosial keluarga dalam kategori cukup dan 21
responden (65,6%) memberikan dukungan sosial keluarga dalam kategori baik.
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Dukungan Sosial Keluarga
Pada Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS Jiwa Daerah
Propsu Medan (n=32)
Dukungan Sosial Keluarga Frekuensi Persentase
1.4 Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan
Berdasarkan tabel 5.5 menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid dengan nilai signifikansi (P) 0,028 dan koefisien korelasi (ρ)
dengan nilai -0,388 yang berarti terhadap hubungan yang lemah dan berlawanan
arah antara dukungan keluarga terhadap kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.
Dalam arti semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.
Tabel 5.5 Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik RS
Jiwa Daerah Propsu Medan
Variabel 1 Variabel 2 (ρ) P
Dukungan sosial keluarga Frekuensi kekambuhan -0,388 0,028
2 Pembahasan
2.1 Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien skizofrenia
paranoid mengalami kekambuhan dalam kategori frekuensi rendah sebanyak 14
pasien (44,0%) dan 13 pasien (40,6%) mengalami kekambuhan dalam kategori
frekuensi tinggi. Pada pasien yang kronis, dimulai dengan pasien menunjukkan
tanda dan gejala psikotik yang terus menerus selama lebih dari 2 tahun.
Kekambuhan pasien skizofrenia paranoid merupakan bagian dari fase aktif dengan
ditandai sedikitnya 2 gejala psikotik (Kaplan, 1998). Kekambuhan pasien
tidur, isolasi sosial, peningkatan halusinasi pendengaran (Daley, 2001). Pasien
yang dipulangkan ke rumah mempunyai kecenderungan kambuh pada tahun
berikutnya dibandingkan dengan pasien yang dietempatkan pada lingkungan
residensial (Tomb, 2004). Kebanyakan pasien-pasien skizofrenia paranoid
mengalami perjalanan penyakit yang kronik dengan berbagai bentuk karakteristik
kekambuhan dengan eksaserbasi psikosis dan peningkatan angka rehospitalisasi
(Sena, 2003). Suatu kesimpulan dari riset klinis yang didasarkan pada studi follow
up menyatakan bahwa beberapa faktor yang berkontribusi dalam mengakibatkan
terjadinya kekambuhan adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan, faktor-faktor
farmakologi (dosis obat), faktor-faktor psikososial (termasuk dukungan sosial
keluarga), penyalahgunaan alkohol dan obat (Ayuso, 1997).
2.2 Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasien Skizofrenia Paranoid
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga memberikan
dukungan dalam kategori baik sebanyak 21 responden (65,6%) kepada pasien
skizofrenia paranoid. Hal ini menunjukkan bahwa anggota keluarga sudah optimal
dalam memberikan dukungan sosial untuk mencegah kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid. Penderita yang mendapatkan dukungan keluarga
mempunyai kesempatan berkembang kearah positif sehingga penderita skizofrenia
akan bersikap positif, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya (Puspitasari,
2009). Studi WHO menunjukkan hasil yang lebih baik pada pasien skizofrenia
paranoid secara tradisional, di negara-negara nonbarat, dimana keluarga lebih
toleran. Dukungan keluarga terhadap terapi pengobatan mungkin dapat
menurunkan atau paling tidak memperlambat kekambuhan pada pasien. Selain itu,
dengan pengobatan ternyata menghasilakan angaka kekambuhan yang rendah
dibandingkan dengan hanya menggunakan pengobatan (Ayuso, 1997). Dukungan
keluarga terhadap pasien-pasien skizofrenia menjadi hal yang sangat penting
dalam proses penyembuhan selain obat-obatan (Fahanani, 2010).
Berdasarkan data demografi faktor penghasilan, pendidikan, lama menderita
skizofrenia paranoid juga mempengaruhi pasien skizofrenia. Dengan mayoritas
pengahasilan dibawah Rp. 800.000, pendidikan SMP, dan semakin lama pasien
skizofrenia maka mempengaruhi dukungan sosial keluarga dalam proses
pengobatan pada penderita skizofrenia paranoid. Yang dapat mempengaruhi
dukungan sosial keluarga (meningkat stressor psikososial) adalah masalah dengan
kelompok pendukung utama (primary support group), masalah yang berkaitan
dengan lingkungan sosial, masalah pendidikan (pendidikan rendah), masalah
pekerjaan, masalah perumahan, masalah ekonomi (penghasilan), masalah akses
pelayanan kesehatan (APA, 1994)
2.3 Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan
Pasien Skizofrenia Paranoid
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
dan signifikan antara dukungan sosial keluarga terhadap frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia paranoid. Didapat nilai koefisien korelasi (ρ) = -0,388 dan nilai
signifikansi (P) = 0,028 dukungan sosial keluarga terhadap frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia paranoid dan tanda negatif koefisien korelasi menunjukkan
ketidaksearahan, artinya semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin
rendah frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid. hasil penelitian ini
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid. Hal ini didukung oleh
Fortinash (2000), yang menyatakan bahwa pasien skizofrenia, khususnya dengan
paranoid bentuk komunikasi yang empati di antara anggota keluarga dan
dukungan pada setiap anggota keluarga akan membantu koping positif pada
pasien yang sakit dan menunjukkan efek positif pada kasus skizofrenia.
Simanjuntak (2008) menyatakan bahwa dukungan dari keluarga (primary support
group) dan pengurangan expressed emotion dalam lingkungan keluarga terhadap
pasien-pasien skizofrenia paranoid dapat menurunkan kekambuhan. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Sirait (2008), yang memperlihatkan bahwa
keluarga penderita skizofrenia yang mengalami kekambuhan mencari dukungan
sosial dengan kategori kurang yaitu sebesar 60% sedangkan keluarga penderita
skizofrenia yang tidak mengalami kekambuhan mencari dukungan sosial kategori
kurang dari 15%. Berdasarkan hasil studi ini, dapat disimpulkan bahwa kurangnya
dukungan sosial keluarga akan meningkatkan frekuensi kekambuhan pasien.
Interaksi antara keluarga dan pasien terhadap proses gejala dapat diketahui. Oleh
karena itu, keluarga terutama keluarga inti harus dapat memberikan support
kepada pasien skizofrenia paranoid dan dapat mengenal penyakit yang
dideritanya, serta menciptakan lingkungan psikis yang sehat di dalam keluarga.
Hal ini penting untuk dikembangkan untuk mengantisipasi rencana yang diambil
keluarga ketika anggota keluarga mengidentifikasi perubahan gejala dan
memahami keterkaitan stres dan kekambuhan. Ini juga dapat membantu keluarga
untuk mewaspadai bentuk aktivitas pasien untuk mendeteksi tanda awal
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dengan uji statistik dan pembahasan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
a. Gambaran frekuensi variabel dukungan sosial keluarga dan variabel
frekuensi kekambuhan dalam penelitian ini menunjukkan :
1) Berdasarkan kategori data terhadap dukungan sosial keluarga pada
pasien skizofrenia paranoid maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas
keluarga memberikan dukungan sosial yang baik yaitu sebesar 65,6%.
2) Berdasarkan kategori data terhadap frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasien
skizofrenia paranoid mempunyai frekuensi kekambuhan yang rendah
yaitu sebesar 44,0%.
b. Gambaran hubungan variabel dukungan sosial keluarga dengan variabel
frekuensi kekambuhan dalam penelitian ini menunjukkan:
Ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial keluarga terhadap
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid dengan nilai
signifikansi (P) = 0,028 dan nilai koefisien korelasi (ρ) = -0,38
2. Saran
2.1 Praktek Keperawatan
Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat perlu melibatkan peran
keluarga misalnya memberikan penyuluhan tentang penyakit skizofrenia
paranoid kepada keluarga, memberikan informasi tentang cara minum
obat kepada keluarga, merujuk keluarga membawa pasien skizofrenia
paranoid ke tempat pelayanan kesehatan apabila kambuh dan memberikan
pengertian kepada keluarga akan menerima pasien skizofrenia paranoid
selama di rumah.
2.2 Pendidikan Keperawatan
Dalam penelitian ini didapatkan data bahwa ada hubungan antara
dukungan sosial keluarga dalam merawat pasien di rumah dengan
frekuensi kekambuhan pasien skizofenia paranoid, sehingga menjadi
bahan masukan untuk perkuliahan agar mempersiapkan mahasiswa untuk
melibatkan anggota keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan.
2.3 Penelitian Selanjutnya
Diharapkan penelitian lebih lanjut tentang hubungan frekuensi
kekambuhan dengan faktor-faktor lain (koping keluarga, stressor
psikososial, ketidakpatuhan) dengan jumlah sampel yang representatif
sehingga didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi
kekambuhan agar program pengobatan dapat berjalan terintegrasi dan
2.4 Keluarga
Berdasarkan hasil di lapangan praktek sehari-hari banyak anggota
keluarga yang kurang membawa pasien kontrol ke rumah sakit. Oleh
karena itu diharapkan bagi keluarga agar memberikan perhatian, bantuan
dan penghargaan, memberi semangat sehingga proses kesembuhan dapat
berjalan lebih optimal. Selain itu, keluarga juga perlu mengetahui
informasi yang dibutuhkan tentang pasien skizofrenia paranoid sehingga
apabila kambuh segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan.
Andri, (2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap for Schizophrenia.
APA. (1994) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Fourth Edition. Washington DC : American Psychiatric Association
Arikunto, Suharsimi. (1999) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Ayuso, Guiterrez. (1997) Factor Inluencing Relapse in The Long Term Course of Schizophrenia. Schizophrenia Research
Buchanan, R.W., & Carpenter, T.W. (2000). Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, Inc
Carson, Ross. (1987) Factors influencing relapse in the long-term course of schizophrenia. Schizophrenia Research
Carson, V. Benner (2000).Mental Health Nursing :The Nurse Patient Journey Philadelphia :W.B. Saunders Company
Chandra. (2005) Kenali Gejala Dini Skizofrenia. Dibuka pada website
_______. (2006) Skizofrenia danPenyalahgunaan Napza.Dibuka pada website
Dahlan, M.S. (2008)Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan.Jakarta:Salemba Medika.
Daley, Dennis. (2001) Clinician’s Guide to Mental Illnes. Singapore : Mc. Graw Hill
Darsana, W. (2009). Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Angina Pectoris. Dibuka pada website
Demsey A.P & Demsey DA, (2002).Riset Keperawatan:Buku Ajar dan Latihan Edisi 4.Jakarta:EGC.
Erwin. (2002). Pengertian Skizofrenia. Dibuka pada websit dibuka pada tanggal 29 januari 2011
Fortinash, K. M., & Holoday-Worret, P.A. (2000). The schizophrenia. Psychiatric mental health nursing (2nd ed.). St. Louis: Mosby, Inc.
Hawari. (2001).Manajemen stress, cemas dan depresi .Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hooley, J. M., & Hiller, J. B. (2000). Expressed emotion and the pathogenesis of relapse in schizophrenia. Journal of Abnormal Psychology
Irmansyah. (2006) Faktor Genetika Pada Skizofrenia. Dibuka pada website
Isaacs, Ann. (2005).Keperawatan Jiwa & Psikiatri. Edisi 3 Jakarta:EGC
Jenkins, J., & Karno, M. (2003). An Attributional Analysis of Expressed Emotion in
Mexican-American Families With Schizophrenia.Journal of Abnormal Psychology
Kaplan, Harold. (1998) Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat Jakarta : Widya Medika
Keliat, Budi. (1996). Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC
Kuntjoro, H. (2002). Dukungan Sosial pada Lansia. Dibuka pada websit
Maramis, W. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9 Surabaya : Airlangga University Press
Nevid, Rathus Greene. (2003).Psikologi Abnormal.Jakarta:Erlangga
Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan:Pengantar untuk perawat dan Profesional kesehatan lain.Jakarta:EGC
Nolen, Hoeksema, S. (2004). Abnormal Pyschology (3rd ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi 3 Jakarta:Rineka Cipta
Notosoedirdjo & Latipun. (2005).Kesehatan Mental, Konsep, dan Penerapan. Malang:UMM Press
Nurdiana. (2007). Korelasi Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keeperawatan Volume 3 Banjarmasin:Stikes Muhammadiyah
Nursalam.(2003).Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Jakarta:Salemba Medika
Polit, D.F. & Hungler, B.P.(1999).Nursing Research:Principles and Methods (6 th ed). Philadelphia:Lippincott
Puspitasari, Esti. (2009).Peran Dukungan Keluarga dalam Penanganan Penderita Skizofrenia. Skripsi Sarjana Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahmawati, N. (2009). Pengaruh Tingkat Depresi Pada Lansia di Desa Ngadirojo
Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Dibuka pada website
Saifullah. (2005) Penanganan Penderita Skizofrenia Secara Holistik di badan
Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe Aceh Darussalam. Tesis Pascasarjana USU
Sena, E. (2003) Relapse in Patients With Schizophrenia: a comparison between risperidone and haloperidol.Rev Bras Psiquiatr
Setiadi.(2007).Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan Edisi 1 Yogyakarta :Graha Ilmu
Simanjuntak, Yusak. (2008). Faktor Risiko Terjadinya Relaps pada Pasien Skizofrenia Paranoid. Tesis Magister Kedokteran Klinik. Universitas Sumatera Utara
Sirait, Asima. (2008) Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006. Tesis Magister Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan dengan Pendekatan Transkultural. Jakarta: EGC
Sudjana.(2002).Metode Statistika.Bandung:Tarsito
Tomb, David.(2004).Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta : EGC
Videbeck, Sheila L. (2008) Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC
Vijay.(2005) Cara Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Gangguan Jiwa. Dibuka pada websit
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
Judul Penelitian : Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik
RS Jiwa Daerah Propsu Medan
Peneliti : Septian Mixrofa Sebayang
NIM : 071101019
Saya adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Jalur A Universitas
Sumatera Utara yang melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan.
Partisipasi saudara dalam penelitian ini adalah bersifat sukarela dan tidak
ada paksaan dari pihak manapun. Apabila saudara bersedia menjadi responden
dalam penelitian ini maka saudara akan diberi formulir persetujuan menjadi
responden untuk ditandatangani sebagai lembar persetujuan.
Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan data yang responden
berikan. Informasi yang responden berikan akan saya simpan sebaik mungkin dan
apabila dalam pemberian informasi ada yang kurang dimengerti maka responden
dapat menanyakannya kepada peneliti.
Terima kasih atas partisipasi saudara/i dalam penelitian ini.
Medan, Januari 2011
Peneliti Responden
KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan
Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan
(Diisi oleh peneliti)
No. Responden :
Hari/Tanggal/Jam :
I. Kuesioner Data Demografi
Petunjuk Pengisian :
Bapak/Ibu/Saudara/I diharapkan :
3 Menjawab setiap pernyataan yang tersedia dengan memberikan tanda
checklist (√ ) pada tempat yang tersedia.
4 Semua pernyataan harus dijawab.
5 Tiap satu pernyataan ini diisi dengan satu jawaban.
6 Bila ada pertanyaan yang kurang dimengerti dapat ditanyakan pada
peneliti.
1. Umur : Tahun
2. Jenis kelamin :
( ) Laki-laki ( ) Perempuan
3. Hubungan keluarga dengan pasien :
( ) Ayah ( ) Adik
( ) Ibu ( ) Lain-lain, Sebutkan….
( ) Kakak
4. Status :
( ) Menikah ( ) Belum Menikah ( ) Janda/Duda
5. Agama :
( ) Islam ( ) Buddha ( ) Protestan