PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA
SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2014
TESIS
Oleh
CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF MEDICAL COMPLIANCE AND FAMILY COPING ON THE PREVENTION FROM RELAPSE IN SCHIZOPHRENIA
PARANOID PATIENTS IN THE MENTAL HOSPITAL OF NORTH SUMATERA, IN 2014
THESIS
By
CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM
MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA
SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2014
T E S I S
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
Judul Tesis : PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA
UTARA TAHUN 2014 NamaMahasiswa : Chinta Bangun Manik Nomor Induk Mahasiswa : 107032075
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H) (Dra. Tukiman, M.K.M
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S )
Telah Diuji
pada Tanggal : 09 Oktober 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Dra. Tukiman, M.K.M
PERNYATAAN
PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA
SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2014
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, 09 Oktober 2014
ABSTRAK
Skizofrenia Paranoid merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan 65,8% pasien skizofrenia paranoid yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Jenis penelitian adalah explanatory research desain kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 1.862 orang. Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang kambuh sebanyak 80 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak kambuh sebanyak 80 orang, data diambil dengan teknik nonprobability sampling secara consecutive yang dilakukan matching terhadap umur dan jenis kelamin penderita skizofrenia paranoid, data primer diambil dengan mengunakan kuesioner melalui wawancara dan dianalisis dengan regresi logistic ganda pada α = 0,05%.
Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga berpengaruh dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda bahwa Kepatuhan pengobatan (OR = 14,06, 95% CI 2,27- 86,88) koping keluarga internal (OR = 7,12, 95% CI 1,58 -31,99) dan koping keluarga eksternal (OR = 3,48, 95% CI 1,20- 10,09) berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Kepatuhan pengobatan merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.
Disarankan kepada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi pentingnya kepatuhan pengobatan dan peningkatan koping keluarga dalam merawat dan menangani penderita skizofrenia setelah pulang dari rumah sakit agar menjadi lebih baik sehingga mencegah kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.
ABSTRACT
Schizophrenia paranoid is a chronic psychotic disorder which has a relapse. The data from the Medical Research of the Mental Hospital of North Sumatera stated that 65.8% of schizophrenia paranoid patients who were treated in 2013 had a relapse so that they had to be sent again to the hospital. The high rate of relapse is probably related to the medical compliance and family coping. The objective of the research was to analyze the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients in the Mental Hospital of North Sumatera.
The research was an explanatory research with case control design. The population was 1, 862 schizophrenia paranoid patients treated in the Mental Hospital of North Sumatera. The case samples were 80 patients who had a relapse, and the control samples were 80 family members of the patients who did have a relapse, taken by using non-probability consecutive sampling technique which was done by using matching on the patients’ ages and sexes. The primary data were gathered by using questionnaires through interviews and analyzed by using multiple logistic regression tests at α = 0.05%.
The result of the analysis, using bivatriate analysis with chi square test, showed that there was the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The result of multivatriate analysis, using multiple logistic regression tests, showed that there was the influence of medical compliance (OR = 14.06, 95% CI 2.27-86.88), internal family coping (OR = 7.12, 95% CI = 1.58-31.99), and external family coping (OR= 3.48, 95% CI = 1.20-10.09) on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The variable of medical compliance had the most dominant influence on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients.
It is recommended that the management of the hospital increase the counseling program about the importance of medical treatment and family coping in taking care of and handling schizophrenia patients after they come back from the hospital so that they become better and there will be no relapse.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala yang
telah memberi rahmat dan hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan,
arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan
penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
4. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H dan Dra. Tukiman, M.K.M selaku dosen
pembimbing yang selalu meluangkan waktu dan sabar untuk membimbing dan
memotivasi penulis sehingga penulisan tesis ini selesai.
5. Prof. Dr. dr. HM. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) dan drh. Hiswani. M.Kes selaku
dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi
kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan ilmu selama penulis
mengikuti pendidikan.
7. Dr. Chandra Safei, Sp.OG selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan
penulisan tesis ini.
8. Kedua orang tua tercinta ayahanda H. Usman Manik dan Ibunda Hj. Rosminah
Angkat, serta saudara saudaraku yang senantiasa memberi perhatian, dukungan
baik moril maupun materil serta doa selama penulis menyelesaikan pendidikan
Program Pasca Sarjana IKM – FKM USU.
9. Terkhusus untuk suamiku tercinta Rahmansyah Ginting, SEI dan tersayang
Maryam Maritza Ginting yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan
doa serta rasa cinta yang dalam, memotivasi dan memberikan dukungan moril
maupun materil selama penulis menyelesaikan pendidikan program Pasca
10. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara khusunya Minat Studi Epidemiologi.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan bantuan, penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat-Nya.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat
bermanfaat.
Medan, Oktober 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Chinta Bangun Manik, dilahirkan di Sidikalang Sumatera
Utara pada tanggal 29 Desember 1985, anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari
pasangan Ayahanda H. Usman Manik dan Ibunda Hj. Rosminah Angkat.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN 060934 Medan
pada tahun 1992-1998, sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 21 Medan pada
tahun 1998-2001, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Medan pada tahun
2001-2004, dan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Sumatera Utara tahun 2004-2009. Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara Medan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
sejak tahun 2010-2014.
Penulis bekerja sebagai staf perawat di UPT Puskesmas Parongil Kabupaten
Dairi tahun 2010- 2012. Kemudian pindah tugas ke Rumah Sakit Jiwa Daerah
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Hipotesa ... 10
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Skizofrenia ... 12
2.1.1. Definisi Skizofrenia ... 12
2.1.2. Tipe Skizofrenia ... 13
2.1.3. Epidemiologi ... 17
2.1.4. Etiologi ... 18
2.1.5. Penatalaksaan ... 23
2.2. Kepatuhan Pasien ... 31
2.2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakpatuhan ... 32
2.2.2. Jenis Ketidakpatuhan ... 41
2.2.3. Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan ... 42
2.2.4. Akibat Ketidakpatuhan ... 44
2.2.5. Peningkatan Ketidapatuhan ... 45
2.3. Konsep Koping ... 46
2.3.1. Pengertian Koping ... 46
2.3.2. Macam-macam Koping ... 46
2.3.3. Metode Koping ... 47
2.3.4. Respons Koping ... 47
2.3.5. Koping Keluarga ... 48
2.3.6. Faktor yang Memengaruhi Strategi Koping ... 49
2.3.7. Tipe Strategi Koping Keluarga ... 51
2.4. Keluarga ... 56
2.4.2. Struktur Keluarga ... 56
2.4.3. Ciri-Ciri Struktur Keluarga ... 56
2.4.4. Tipe/bentuk Keluarga ... 57
2.4.5. Peranan keluarga ... 58
2.4.6. Tugas-tugas Keluarga... 59
2.5. Konsep Kekambuhan ... 59
2.5.1. Definisi Kekambuhan ... 59
2.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan... 61
2.6. Landasan Teori ... 62
2.7. Kerangka Konsep Penelitian ... 63
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 64
3.1. Jenis Penelitian ... 64
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65
3.3. Populasi ... 65
3.3.1. Populasi ... 65
3.4. Sampel ... 65
3.4.1. Kriteria Sampel ... 66
3.4.2. Besar Sampel ... 67
3.4.3. Teknik Sampling ... 68
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 69
3.5.1. Sumber Data ... 69
3.5.2. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 69
3.6. Variabel dan Definisi Operasional ... 71
3.6.1. Definisi Variabel Bebas ... 71
3.6.2. Definsi Variabel Terikat ... 73
3.7. Metode Pengukuran ... 74
3.8. Metode Analisis Data ... 76
3.8.1. Analisis Univariat ... 76
3.8.2. Analisis Bivariat ... 76
3.8.3. Analisis Multivariat ... 77
3.8.4. Analisis Populasi Attributable Risk ... 78
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 80
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 80
4.2. Struktur Organisas ... 82
4.3. Analisis Univariat ... 83
4.3.1. Karakteristik Responden ... 83
4.3.2. Karakteristik penderita ... 86
4.4. Analisis Bivariat ... 91
4.4.1. Kepatuhan pengobatan ... 91
4.5. Analisis Multivariat ... 103
4.6. Population Attribute Risk (PAR) ... 106
BAB 5. PEMBAHASAN ... 108
5.1. Karakteristik Responden ... 108
5.2. Karakteristik Penderita ... 110
5.3. Analisis bivariat ... 113
5.3.1. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid ... 113
5.3.2. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid ... 117
5.4. Analisis Multivariat ... 126
5.5. Keterbatasan Penelitian ... 129
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
6.1. Kesimpulan ... 130
6.2. Saran ... 131
DAFTAR PUSTAKA ... 132
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman 1.1. Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat dan Jumlah Penderita
Skizofrenia di RSJ Provinsi Sumatera Utara ... 7
3.1. Nilai OR Beberapa Penelian Sebelumnya ... 67
3.2. Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 75
3.3. Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 76
4.1 Tenaga Staf Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... 81
4.2. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Kelompok Umur Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 83
4.3. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Jenis Kelamin Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 84
4.4. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Hubungan Kekeluargaan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 84
4.5. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pekerjaan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 85
4.6. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pendidikan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 85
4.7. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Tempat Tinggal Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 86
4.9. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Kelompok Umur Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 87
4.10. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Agama Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 88
4.11. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Status Perkawinan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 88
4.12. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Suku Bangsa Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 89
4.13. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pendidikan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 89
4.14. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Lama Menderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 90
4.15. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Usia Pertama Kali Menderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara ... 90
4.16 Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Jenis Obat yang Dikonsumsi Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 91
4.17. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan (Faktor Penyakit, Faktor Regimen Terapi, dan Faktor Interaksi Pasien dengan Professional Kesehatan) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 92
4.18. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 94
Mengontrol Kembali Makna dari Masalah, Pemecahan Masalah Bersama, Fleksibilitas Peran dan Normalisasi) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 95
4.20. Pengaruh Koping Keluarga Internal terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 99
4.21. Pengaruh Koping Keluarga Eksternal (Mencari Informasi, Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas, Mencari Dukungan Sosial dan Mencari Dukungan Spiritual) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 100
4.22. Pengaruh Koping Keluarga Eksternal terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 102
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Landasan Teori ... 62
2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 63
3.2. Skema Rancangan Case Control ... 65
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 137 2. Kuesioner Penelitian ... 138 3. Data dan Hasil Uji Validitas dan Realibilitas... .
145
ABSTRAK
Skizofrenia Paranoid merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan 65,8% pasien skizofrenia paranoid yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Jenis penelitian adalah explanatory research desain kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 1.862 orang. Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang kambuh sebanyak 80 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak kambuh sebanyak 80 orang, data diambil dengan teknik nonprobability sampling secara consecutive yang dilakukan matching terhadap umur dan jenis kelamin penderita skizofrenia paranoid, data primer diambil dengan mengunakan kuesioner melalui wawancara dan dianalisis dengan regresi logistic ganda pada α = 0,05%.
Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga berpengaruh dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda bahwa Kepatuhan pengobatan (OR = 14,06, 95% CI 2,27- 86,88) koping keluarga internal (OR = 7,12, 95% CI 1,58 -31,99) dan koping keluarga eksternal (OR = 3,48, 95% CI 1,20- 10,09) berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Kepatuhan pengobatan merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.
Disarankan kepada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi pentingnya kepatuhan pengobatan dan peningkatan koping keluarga dalam merawat dan menangani penderita skizofrenia setelah pulang dari rumah sakit agar menjadi lebih baik sehingga mencegah kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.
ABSTRACT
Schizophrenia paranoid is a chronic psychotic disorder which has a relapse. The data from the Medical Research of the Mental Hospital of North Sumatera stated that 65.8% of schizophrenia paranoid patients who were treated in 2013 had a relapse so that they had to be sent again to the hospital. The high rate of relapse is probably related to the medical compliance and family coping. The objective of the research was to analyze the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients in the Mental Hospital of North Sumatera.
The research was an explanatory research with case control design. The population was 1, 862 schizophrenia paranoid patients treated in the Mental Hospital of North Sumatera. The case samples were 80 patients who had a relapse, and the control samples were 80 family members of the patients who did have a relapse, taken by using non-probability consecutive sampling technique which was done by using matching on the patients’ ages and sexes. The primary data were gathered by using questionnaires through interviews and analyzed by using multiple logistic regression tests at α = 0.05%.
The result of the analysis, using bivatriate analysis with chi square test, showed that there was the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The result of multivatriate analysis, using multiple logistic regression tests, showed that there was the influence of medical compliance (OR = 14.06, 95% CI 2.27-86.88), internal family coping (OR = 7.12, 95% CI = 1.58-31.99), and external family coping (OR= 3.48, 95% CI = 1.20-10.09) on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The variable of medical compliance had the most dominant influence on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients.
It is recommended that the management of the hospital increase the counseling program about the importance of medical treatment and family coping in taking care of and handling schizophrenia patients after they come back from the hospital so that they become better and there will be no relapse.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai
dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,
gangguan kognitif dan persepsi, gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya
minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan,
menunjukkan afek yang datar serta terganggunya relasi personal. Skizofrenia
merupakan suatu penyakit di bagian otak yang persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses
informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006).
Laporan American Psychiatric Association (1995) menunjukkan bahwa
prevalensi skizofrenia adalah 1% dari populasi penduduk dunia menderita gangguan
jiwa, sedangkan menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2%
penduduk yang menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah
tersebut diperkirakan penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa.
Oleh karena itu, siapa saja bisa terkena skizofrenia tanpa melihat jenis kelamin, status
sosial maupun tingkat pendidikan.(Siswanto, 2009).
beberapa faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh
genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang
stressor psikologis. Penting untuk memelajari seberapa banyak stress macam apa
yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang
mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak
boleh dilupakan. (Kaplan & Sadock, 2010)
Berdasarkan statistik usia terbanyak penderita Skizofrenia adalah 15-30 tahun,
namun pada imunologi dikenal juga penyakit skizofrenia yang dialami oleh
anak-anak sekitar usia 8 tahun dan pada usia lanjut lebih dari 45 tahun. Kondisi yang ada
lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani
dengan optimal baik oleh keluarga maupun tim medis yang ada. Pasien – pasien yang
menderita skizofrenia dibiarkan berada di jalan – jalan, bahkan ada pula yang
dipasung oleh keluarga. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan terjadi
peningkatan jumlah penderita skizofrenia yang memerlukan rawat inap di rumah sakit
dari waktu ke waktu. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya.(Linden, 2005)
Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan.
Sekitar 25% klien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada
tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan
pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada
diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi
dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang
Proses penyembuhan pada pasien gangguan jiwa harus dilakukan secara
holistik dan melibatkan anggota keluarga. Tanpa itu, sama halnya dengan penyakit
umum, gangguan jiwa pun bisa kambuh. Koping keluarga sangat penting untuk ikut
berpartisipasi dalam proses penyembuhan karena keluarga merupakan pendukung
utama dalam merawat pasien. Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang berfokus
pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan pasien tetapi bertujuan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah
kesehatan jiwa dalam keluarga. (Syaifullah, 2005)
Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan
“perawat utama” bagi penderita. Keluarga harus memiliki koping yang adaftif dalam
mengatasi/menghadapi penderita skizofrenia untuk menentukan cara atau perawatan
yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia
jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat
kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan
meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga
kemungkinan kambuh dapat dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah
kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang
menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang
tidak tahu cara menangani perilaku penderita dirumah. Keluarga jarang mengikuti
proses keperawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit,
Koping keluarga merupakan cara keluarga menghadapi/menangani penderita
skizoprenia remisi sempurna sehingga tidak terjadi relaps. Keluarga pasien perlu
mempunyai sikap yang positif untuk mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia.
Keluarga perlu memberikan dukungan (support) kepada pasien untuk meningkatkan
motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan perawatan secara mandiri.
Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan respons positif
kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota keluarga dan menumbuhkan sikap
tanggung jawab pada pasien. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota
keluarga terhadap pasien akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. (Keliat,
1996)
Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita
semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan
juga tidak baik. Koping keluarga sangat penting untuk membantu pasien
bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien
secara pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien. (Rubbyana, 2012)
Dinamika keluarga yang penuh konflik akan sangat mengganggu ruang hidup
yang ada pada keluarga dan akibatnya lebih beresiko pada kekambuhan pasien
skizofrenia. Pencegahan kekambuhan pasien di lingkungan keluarga dapat terlaksana
dengan persiapan pulang yang baik dan mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang
ada di masyarakat khususnya koping keluarga yang adaptif terhadap pasien (Arif,
Menurut Torrey sebagaimana yang dikutip oleh Gunarsa (2004), keluarga
perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia, disingkatnya dengan SAFE
(Sense of humor, Accepting the illness, Familliy balance, and Expectations are
realistic). Sedangkan menurut Freidmen(2005), strategi koping keluarga yang baik
merupakan kunci pertama proses penyembuhan atau pencegahan kekambuhan
skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi, tidak
mengasingkan penderita dan memuji tindakan yang dilakukan pasien.
Demikian juga menurut para ahli psikiatri, mengatakan banyak hal yang dapat
meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu yang paling kuat adalah
pengobatan yang tidak adekuat. Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan
atau dicegah melalui pengintegrasian intervensi farmakologis dan non farmakologis,
selain itu peran keluarga juga dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps
(Vijay 2005).
Penyebab kekambuhan pada penderita gangguan skizofrenia pasca dari RSJ
adalah keluarga yang kurang harmonis atau kurang kondusif. Hubungan dengan
saudara yang kurang akrab, penderita yang memang malas serta merasa bosan kontrol
secara rutin sehingga minum obat menjadi tidak teratur. Kurang adanya dukungan
dalam pengontrolan minum obat penderita dari keluarga sehingga rawat jalan menjadi
tidak stabil kemudian faktor di luar keluarga yaitu stressor lingkungan yang
berlebihan salah satunya pekerjaan yang menumpuk.(Abidin, 2007)
Ketidakpatuhan minum obat menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan, termasuk hubungan
dokter atau tim medis lainnya dengan pasien yang negatif, ongkos pengobatan, efek
samping obat yang dirasakan oleh pasien, lamanya pengobatan, dan dukungan sosial
yang buruk dari keluarga terdekat pasien skizofrenia. (Rubbyana, 2012)
Menurut Umbricht dan Kane (1996), tidak mengejutkan bila efek-efek
samping negatif obat juga merupakan faktor penting bagi penolakan pasien.
Antipsikotik dapat menghasilkan sejumlah gejala fisik yang tidak dikehendaki,
seperti grogginess (pusing), pandangan kabur, dan mulut kering (Durand, 2007).
Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang
tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan
pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh
obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan
kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau
pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat
dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya
(Tambayong, 2002).
Ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat
yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang
diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap
menjadi buruk (Siregar, 2006).
Penelitian yang dilakukan Ayuso Guitereez (1997) menjelaskan bahwa 73%
pengobatan. Keluarga dapat membantu kepatuhan pasien minum obat dengan
memperhatikan jadwal pasien minum obat dan mengamati efek samping yang terjadi
pada pasien. Tingkat perawatan kembali biasanya digunakan sebagai indikator dalam
bidang pelayanan kesehatan dan digunakan untuk menentukan efektifitas
penatalaksanaan selama rawat inap (Tattan, 2001).
Menurut data yang ditemukan berdasarkan penelitian Slamet, dibeberapa
rumah sakit lain menunjukkan bahwa di RSJ Jakarta, Prevalensi rawat ulang
penderita gangguan jiwa adalah 46% di RSJ Semarang, rawat ulang sebesar 56,4%
dan pada Instalasi Rawat Inap IV Perawatan Jiwa RSU dr Sardjito adalah 61%
(Indrati, 1990). Penelitian terakhir pada tahun 2003 oleh Slamet, di RS yang sama
menunjukkan peningkatan perawatan kembali pasien skizofrenia menjadi 69,9%
(Andriza, 2007).
Tabel 1.1. Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat dan Jumlah Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2010-2012 No Tahun
Jumlah Pasien Gangguan Jiwa
yang Dirawat
Jumlah Pasien Skizofrenia
Paranoid
Jumlah Pasien Skizofrenia Paranoid yang Dirawat Berulang
1 2010 1.949 1.728 (88,6%) 884 (51,1%)
2 2011 2.216 1.814 (81,8%) 925 (50,9%)
3 2012 2.138 1.671 (78,1%) 1.174 (70,2%)
4 2013 2.234 1.862 (83,3%) 1.226 (65,8%)
Sumber : Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2010- 2013
Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa adanya peningkatan jumlah pasien
gangguan jiwa dari tahun 2010 s.d 2013 di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
didiagnosa skizofrenia paranoid. Dari jumlah penderita skizofrenia paranoid tersebut
yang mengalami kekambuhan atau dirawat ulang kembali dari tahun 2010 s.d 2013
menurnjukkan peningkatan. Dari data pada tahun 2013 sebanyak 1.862 orang pasien
skizofrenia paranoid yang dirawat terdapat 1.226 orang ( 65,8%) adalah pasien yang
dirawat ulang kembali. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien
skizofrenia paranoid yang mengalami kekambuhan angkanya meningkat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik melakukan
penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga
Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014”. Hal ini juga didukung bahwa
belum ada data tentang pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga
terhadap pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah: bagaimana Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping
Keluarga Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan
pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita
skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun
2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh kepatuhan pengobatan (penyakit, regimen
terapi dan interaksi pasien dengan professional kesehatan) terhadap
pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga internal terhadap pencegahan
kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara.
c. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga eksternal terhadap
pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
d. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi kekambuhan dan
ketidakkambuhan berdasarkan karakteristik keluarga dan karakteristik
penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
e. Untuk mengetahui probabilitas pencegahan kekambuhan skizofrenia yang
diperankan oleh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga
f. Untuk mengetahui berapa besar proporsi kasus relaps skizofrenia paranoid
dalam populasi total dapat dicegah bila faktor resiko dihilangkan.
1.4. Hipotesa
Hipotesis penelitian adalah adanya pengaruh antara kepatuhan pengobatan
dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia
paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis
a. Pengembangan ilmu kedokteran jiwa terhadap penatalaksanaan pasien
skizofrenia paranoid.
b. Verifikasi tentang teori ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan koping
keluarga dengan perawatan kembali (Rehospitalisasi) pasien skizofrenia
paranoid.
1.5.2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di dalam
perencanaan kebijakan pelayanan khususnya sebagai pertimbangan dalam
b. Bagi keluarga
Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia paranoid koping
keluarga untuk mencegah kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.
c. Bagi Masyarakat
Masyarakat mengerti tentang skizoprenia paranoid dan dapat memberi
dukungan sosial mencegah kekambuhan sehingga dapat mengurangi
frekwensi perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid.
d. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Dapat melakukan program pelatihan dan edukasi bagi keluarga serta
melakukan program integrasi puskesmas agar kasus kasus gangguan jiwa
dapat terdeteksi secara dini dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dijangkau
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses
informasi, hubungan interpersonal serta memecahkan masalah (Stuart, 2002),
sedangkan menurut Hawari (2001) skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.
Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat
mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan
berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan
biasanya dalam jangka panjang . Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks
yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun
anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat mengganggu persepsi, pikiran,
pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris hampir semua aspek fungsinya sehari –
hari terganggu (Durand, 2007).
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, harus memenuhi kriteria DSM-IV.
Berdasarkan DSM-IV yaitu:
b. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
c. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
d. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood
mayaor, autism, atau gangguan organik. (DSM –IV-TR, 2000)
Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang baik. Sekitar 25% klien
dapat sembuh total dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat
premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah
pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada
diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi
dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang
pernah dirawat di RS akan sembuh sosial dan akan kambuh kembali.(Carson & Ross,
2000)
2.1.2. Tipe Skizofrenia
Berikut ini adalah tipe-tipe dari skizofrenia dari DSM-IV-TR. Diantaranya
yaitu sebagai berikut:
a. Tipe Paranoid
Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun.
Gambaran klinis di dominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, sering
kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama
dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak
menonjol.
Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum: a). waham
kejaran, rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi, istimewa), misi
khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan. b). Suara-suara halusinasi yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing). c). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut, tetapi
sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikannya deskripsi secara
jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya
kurang mengumpul di bandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang
ringan mengenai ketidakserasian dan gangguan suasana perasaan (mood) seperti
iritabilitas, “negatif” serta dorongan kehendak (volition) sering dijumpai tetapi tidak
mendominasi gambaran klinisnya (DSM-IV- TR, 2000)
Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodik, dengan
remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus yang kronis,
gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk membedakan
episode-episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang lebih tua dari
b. Tipe Disorganized (Kacau)
Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe
terdisorganisasi memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan dan
perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau afek tidak pas, seperti
tertawa dungu pada saat yang tidak tepat (American Psychiatric Association dalam
Durand, 2007). Tipe ini sebelumnya disebut tipe hebefrenik.
Individu-individu dengan diagnosis ini menunjukkan tanda-tanda kesulitan
sejak usia dini, dan masalah mereka sering kali bersifat kronis, jarang menunjukkan
remisi (perbaikan gejala) yang menjadi ciri bentuk-bentuk lain gangguan ini
(Harley-Bayle, Sarfati, dan Passerieu dalam Durand, 2007).
c. Tipe Katatonik
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang essensial
dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan
stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi
tubuh yang dipaksakan dapat di pertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode
kegelisahan disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran keadaan yang
mencolok. Gejala katatonik terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada saat
setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu adalah
lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya, yakni : a).
Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta
aktivitas spontan) atau autism. b). Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak
mengambil dan mempertahankan sikap tubuh tertentu tang tidak wajar atau
“bizarre”). d). Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap semua
intruksi atau upaya untuk digerakkan, atau bergerak kearah yang berlawanan ). e).
Rigiditas (rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya untuk
menggerakkannya). f). “waxy flexibility” (mempertahankan posisi anggota gerak dan
tubuh yang dilakukan dari luar). g). Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap
perintah (command automatism : ketaatan secara otomatis terhadap perintah), dan
perseverasi kata-kata serta kalimat-kalimat.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala katatonik dapat
juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alhokol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan (mood)
(DSM-IV-TR, 2000)
d. Tipe Undifferentiated (Tidak Tergolongkan)
Orang-orang yang tidak tepat dengan tipe-tipe di atas diklasifikasikan
mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi orang-orang yang
memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid,
terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik (Durand, 2007).
e. Tipe Residual
Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik
yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun
belum tentu irreversible.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi : a). Gejala “negatif” skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. b). Sedikitnya ada riwayat satu
episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk
skizofrenia. c). Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” skizofrenia. d). Tidak
terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut (DSM-IV-TR,
2000).
2.1.3. Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir
sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan
biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki
biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada
pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan
daerah rural (Sadock, 2003).
Di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara
laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa
ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset
untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun,
yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak
perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan
dengan laki-laki (Durand, 2007).
2.1.4. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
a. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan
mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan
seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren.
Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya
menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese
tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya.
b. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita skizofrenia di temukan
perubahan-perubahan atau gangguan pada sistem tranmisi sinyal penghantar
syaraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi
zat neuro-kimia seperti dopamine dan serotonin yang ternyata memengaruhi
fungsi-fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor
(perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif
Skizofrenia. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara
kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi
pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain.
Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine,
turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi
dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
1) Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
2) Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
c. Faktor Genetik
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun
1930-an, menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang
menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya persaudaraa tersebut.
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang di adopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh
oleh orangtua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama
besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya
(Kaplan & Sadock, 2010).
Faktor genetik skizofrenia adalah sejumlah faktor kausatif terimplikasi untuk
skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter,
kecelakaan dalam proses persalinan dan stressor psikologis. Penting untuk
memelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki
predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari
orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand,
2007).
Kallman menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan pada orangtua
memengaruhi kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin
parah skizofrenia orangtuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya untuk
mengembangkan gangguan yang sama. Memiliki keluarga yang mengalami
skizofrenia juga membuat sesorang memiliki kemungkinan lebih besar untuk
memiliki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi secara umum
yang tidak memiliki keluarga semacam itu (hanya sekitar 1%) (Durand, 2007).
d. Faktor Psikososial
Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa
atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak,
remaja atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan
mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan – keluhan di bidang
kejiwaan berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat (Hawari,
2001).
Pada sebahagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dapat
merupakan stressor psikososial, yaitu antara lain : a). Pola kehidupan masyarakat
dari semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat
individual, materialistis dan sekuler. b). Pola hidup sederhana dan produktif
cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif. c). Struktur keluarga yang
semula keluarga besar (extended family) cenderung ke arah keluarga inti (nuclear
family) bahkan sampai pada pola orang tua tunggal (single parent family). d).
Hubungan kekeluargaan (silaturahmi) yang semula erat dan kuat cenderung
menjadi longgar dan rapuh. Masing-masing anggota keluarga seolah-olah berjalan
sendiri-sendiri (nafsi-nafsi); sehingga seakan-akan hidup dalam keterasingan
(alienation). e). Nilai-nilai moral-etika agama dan tradisional masyarakat,
cenderung berubah menjadi masyarakat sekuler dan moder serta serba boleh
(permissive society). f). Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat
cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah. g). Ambisi karier dan
materi yang tak terkendali dapat menggangu hubungan interpersonal baik dalam
2.1.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan
terapi psikososial.
a. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif dan pembedahan bagian otak.
1. Terapi Psikofarmaka
Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. (Tomb, 2003) Antipsikotik (juga disebut neuroleptics) adalah kelompok
obat-obatan psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati
psikosis, yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim
antara lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai antipsikotik
telah dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama, yang dikenal sebagai
antipsikotik tipikal, ditemukan pada 1950-an.Sebagian besar obat-obatan pada
generasi kedua, yang dikenal sebagai antipsikotik atipikal, baru-baru ini telah
dikembangkan, meskipun anti-psikotik atipikal pertama, clozapine, ditemukan pada
1950-an, dan diperkenalkan secara klinis pada 1970-an. Kedua kelas obat-obatan
cenderung untuk memblokir reseptor di otak jalur dopamin, tetapi obat-obatan
antipsikotik mencakup berbagai target reseptor. (DSM IV-TR, 2000)
Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pada manusia yang sangat
berperan pada mekanisme terjadinya gangguan psikotik. Dopamin sendiri diproduksi
Dopamin juga merupakan neurohormon yang dihasilkan oleh hipotalamus. Fungsi
utama hormon ini adalah menghambat pembentukan prolaktin dan lobus anterior
kelenjer pituitary.
Dopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran pentingnya pada
perilaku dan kognisi, pergerakan volunter, motivasi, penghambat produksi prolaktin
(berperan dalam masa menyusui), tidur mood, perhatian, dan proses belajar.
Dopaminergik neuron (neuron yang menggunakan dopamin sebagai
neurotransmiter utamanya. terdapat pada area ventral tegmental (AVT) pada
midbrain, substantia nigra pars compacta dan nucleus arcuata pada hipotalamus, jalur
dopaminergik merupakan jalur neural pada otak yang mengirimkan dopamin dari
satu regio di otak ke regio lainnya.
Ada 4 jalur dopaminergik:
a) Jalur mesolimbic : jalur mesolimbic mengirimkan dopamin dari area
ventral tegmental (AVT) , ke nucleus accumbens. AVT terletak pada
daerah midbrain dan nucleus accumbens pada sistem l
b) Jalur mesocortical : jalur mesocortical mengirimkan dopamine dari AVT
ke frontal korteks. Gangguan pada jalur ini berhubungan dengan
skizofrenia
c) Jalur Nigrostriatal: jalur nigrostrialtal mengirimkan dopamin dari subtantia
nigra ke striatum. Jalur ini berhubungan dengan control motorik dan
d) Jalur tuberoinfundibular: jalur tuberoinfundibular mengirimkan dopamin
dari hipotalamus ke kalenjer pituitary. Jalur ini mempengaruhi hormon
tertentu termasuk prolaktin. Skizofrenia berhubungan dengan peningkatan
aktifitas pada jalur mesolimbik dan jalur mesocortical dopaminergik.
(DSM-IV-TR, 2000)
Dopamin memiliki reseptor yang berguna untuk menerima sinyal yang
dikirmkan dari satu bagian otak ke bagian yang lainnya. Reseptor dopamin
sebenarnya dibagi menjadi 2 tipe ( D1 dan D2 ). Saat ini terdapat 5 reseptor dopamin
yang digolongkan ke alam 2 tipe ini. Reseptor yang menyerupai D1 termasuk D1 dan
D5. Sementara yang menyerupai D2 adalah D2,D3,D4 . penelitian terbaru
menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT) menunjukkan
bahwa pada skizofrenia terdapat lebih banyak reseptor D2 yang di tempati. Hal ini
menunjukkan stimulasi dopaminergik yang lebih hebat. Hal ini menyebabkan semua
obat-obatan antipsikotik ditujukan untuk memblokade reseptor ini
Obat ini dibagi dalam dua kelompok , berdasarkan mekanisme kerjanya
dibagi 2 yaitu yang pertama dopamine receptor anatagonist (DRA) atau antispikotika
generasi I (APG-I) atau disebut juga tipikal. Dan kedua serotonin-dopamine
antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II atau disebut juga atipikal.
(DSM-IV-TR,2000)
Obat tipikal berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif
sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat, obat atipikal bermanfaat
(chlorpromazine, thioridazine, perphenazine), butyrophenones (haloperidol). Obat
atipikal yaitu clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, dan ziprasidone. (Amir,
N. 2010)
1) Beberapa Prinsip-Prinsip Terapetik
1) Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2) Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien
harus digunakan lagi.
3) Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu
pada dosis yang adekuat.
4) Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu
adalah jarang diindikasikan.
5) Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin
yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode
psikotik.(Tomb,2003)
2) Pemeriksaan Awal pada pemberian obat
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu
yang cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali
clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri
pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap
dengan indeks sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita
yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30
3) Kontraindikasi Utama Antipsikotik:
Beberapa kontraindikasi antipsikotik yaitu riwayat respon alergi yang
serius, kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan
berinteraksi dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf
pusat, resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau audiopatik, dan
adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik dengan
aktivitas antikolinergik yang bermakna.
4) Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan dikarenakan oleh ketidakpatuhan dengan
antipsikotik merupakan alasan utama untuk terjadinya relaps dan kegagalan
percobaan obat. Dan waktu percobaan yang tidak mencukupi dalam
menentukan pengobatan yang sesuai untuk penderita.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan
terapi antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi
yang berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi
antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti
carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine.
Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan
obat-obatan diatas gagal. Dan pengunaan obat anti pikosis long acting
(perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur
dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi
1 cc setiap bulan. Pambarian anti psikosis long acting (perenteral) hanya
untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia.
Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.(Tomb,2003
Beberapa kebiasaan konsumsi makanan dan minuman yang
menghambat kerja obat psikotik dalam tubuh. Sehingga penderita harus
menghindarinya yaitu :
1. Kebiasaan merokok dan pengguna narkoba dan zat aditif lainnya
2. Makanan protein yang dikultur atau diawetkan : keju, dan krim keju
3. Minuman beralkohol : bir, tuak, tape, durian, dll
4. Minuman yang mengandung kafein : kopi, teh, dll
5. Minuman berkarbonasi : cola (Tomb,2003)
2. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)
diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi
pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin
memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian
besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga
saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT
merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak
bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya
ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan
otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).
3. Pembedahan Bagian Otak
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,
dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses
operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara
ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada
penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini
ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya,
otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
b. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok
dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi
ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan
pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari
ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
(Tomb, 2003)
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon
membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
2.2. Kepatuhan Pasien
Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan adalah derajat dimana
pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Contoh dari
kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program
pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan
perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat
penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010).
Kepatuhan dalam pengobatan (medication compliance) adalah mengkonsumsi
obat-obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat dan pengobatan
hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam penggunaan obat (Siregar,
2006).
Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai
“Sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan”.
Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien
tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan
prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat,
atas pembelian atau pemberian ob