• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.3. Analisis bivariat

5.3.2. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Pencegahan

a. Koping Keluarga Internal

Hasil analisis pengaruh koping keluarga internal terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,0001 < 0,05, artinya ada pengaruh antara koping keluarga internal dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid, dengan OR sebesar 76,0 (95%CI=24,18-238,82) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 76,0 kali kecenderungan koping keluarga internal kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sesuai dengan Fleischacker yang menyatakan bahwa dukungan dan bantuan keluarga merupakan variable penting dalam kepatuhan pengobatan yang akhirnya mengakibatkan relaps. (Simanjuntak,2008). Hal tersebut sesuai dengan fungsi keluarga dalam Friedman (1998), fungsi internal keluarga merupakan dasar kekuatan keluarga dimana didalamnya keluarga saling mendukung, saling menghargai, dan saling mengasihi antar anggota keluarga.

Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau

perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di tumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah (Keliat, 2007).

Hasil analisis pengaruh mengandalkan kelompok keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 56 orang (67,0%) pada mengandalkan kelompok keluarga cukup baik kopingnya sedangkan sebaliknya pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 74 orang (92,5%) koping baik. Dengan OR sebesar 28,7 (95% CI= 11,02- 75,12 ) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 28,7 kali kecenderungan dengan mengandalkan kelompok keluarga kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh

Hal ini sejalan menurut Friedman (1998) dalam buku Keperawatan keluarga Teori dan Praktek mengatakan bahwa keluarga ketika menghadapi masalah akan lebih mengamdalkan sumber-sumber mereka sendiri karena mereka menilai dan melihat bahwa kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama masa-masa sulit. Sealin itu anggota keluarga perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka sendiri.

Hasil analisis pengaruh penggunaan humor terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 63 orang (78,8%) cukup baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh)

sebanyak 72 orang (92,5%) koping baik. Dengan OR sebesar 33,3 (95% CI=13,48- 82,51) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 33,3 kali kecenderungan dengan penggunaan humor kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Menurut Friedman (1998), perasaan humor merupakan asset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan perubahan bagi sikap- sikap keluarga terhadap masalah-masalah dan perawatan kesehatan. Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi individu dan kelompok untuk menghilangkan rasa cemas dan stress/tegang. Dan dapat memberikan sumbangan perbaikan bagi sikap-sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan kesehatan anggota keluarganya.

Hasil analisis pengaruh memelihara ikatan keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 57 orang (71,3%) cukup baik kopingnya sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 62 orang (77,5%) koping baik. Dengan OR sebesar 11,9(95% CI=5,7- 25,02) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 11,9 kali kecenderungan dengan memelihara ikatan keluarga kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sejalan menurut Marpaung (2010) bahwa ikatan keluarga yang kuat sangat membantu menghadapi masalah, karena anggota keluarga yang sakit sangat membutuhkan dukungan. Hal ini perlu dibangun dalam setiap keluarga terutama keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna sehingga kemungkinan relaps dapat dicegah atau dikurangi.

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan mencegah kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan. (Geddes J, 2008; Lauriello, 2005).

Hasil analisis pengaruh mengontrol kembali makna dari masalah terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 59 orang (73,8%) cukup baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 61 orang (76,3%) koping baik. Dengan OR sebesar 9,02 (95% CI=4,40-18,46) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 9,02 kali kecenderungan dengan mengontrol kembali dari masalah kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sejalan menurut Marpaung (2010), bahwa mengontrol kembali makna masalah dapat mengurangi stress atau menetralisir secara kognitif rangsangan berbahaya yang dialami keluarga. Dimana koping ini tidak hanya untuk mengurangi keadaan yang penuh dengan masalah tetapi untuk mencegah timbulnya masalah- masalah potensial agar tidak terjadi.

Hasil analisis pengaruh pemecahan masalah bersama terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 35 orang (43,8%) kurang baik sedangkan sebaliknya pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 72 orang (90,0%) koping baik. Dengan OR sebesar 15,5 (95%CI=6,78-35,53) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia

paranoid yang kambuh 15,5 kali kecenderungan dengan pemecahan masalah bersama kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sejalan dengan teori oleh Friedman (1998), bahwa keluarga dapat mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-sama , mengupayakan solusi jalan keluar dari masalah. Keluarga yang menggunakan koping ini dinamakan keluarga yang peka terhadap lingkungan dan tidak menunjukkan masalah sebagai masalah internal.

Hasil analisis pengaruh fleksibilitas peran terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 27 orang (33,8%) baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 76 orang (95,0%). dengan OR sebesar 37,2 (95% CI =12,32-112,84) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 37,2 kali kecenderungan dengan fleksibilitas peran kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh. Menurut Davis (1986) dalam Friedman (1998) bahwa memperkuat fleksibilitas peran dalam keluarga merupakan suatu strategi koping fungsional dengan menemukan bahwa peran keluarga bisa fleksibel untuk membedakan tingkat berfungsinya keluarga.

Hasil analisis pengaruh normalisasi terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 59 orang (73,8%) cukup baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 76 orang (95,0%) normalisasi baik. Dengan OR sebesar 15,5 (95% CI=17,38-163,93) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh

15,5 kali kecenderungan dengan normalisasi kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sesuai dengan penelitian Marpaung (2010), bahwa keluarga penderita skizofrenia harus melibatkan penderita kegiatan sehari-hari dirumah, melatih dalam kegiatan mandiri serta memberikan penghargaan ketika mereka berhasil melakukan sesuatu yang benar atauu salah.

Bahwa strategi ini menurut Friedman (1998) sering digunakan dalam keluarga yang mengalami anggota keluarga sakit kronis.

b. Koping Keluarga Eksternal

Hasil analisis pengaruh koping keluarga eksternal terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,0001 < 0,05, artinya ada pengaruh antara koping keluarga eksternal dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid, dengan OR sebesar 23,74 (95% CI=10,29-54,78) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 23,74 kali kecenderungan koping keluarga eksternal kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh. Hal ini sesuai dengan penelitian Sirait (2008), bahwa koping keluarga eksternal yang tidak baik dapat meningkatkan kejadian relaps pada penderita skizofrenia 19 kali dibandingkan dengan koping keluarga eksternal yang baik.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa

aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat menghadapi masalah seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang- orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan di cintai. Contoh nyata yang paling sering dilihat dan dialami adalah bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial (Friedman, 1998).

Hasil analisis pengaruh mencari informasi terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 34 orang (42,5%) pada mencari informasi kurang baik sedangkan sebaliknya pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 50 orang (62,5%) mencari informasi baik. Dengan OR sebesar 4,7 (95% CI =2,84-8,02) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 4,7 kali kecenderungan dengan mencari informasi kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sullinger (1988), menyatakan bahwa keluarga berperan dalam mencegah kekambuhan pasien gangguan jiwa. Jika keluarga mengetahui tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan memengaruhi proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada pasien dan akhirnya memiliki dampak pada kekambuhan pasien (Yosep, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2003), salah satu sumber pengetahuan adalah adalah berasal dari informasi yang berasal dari orang lain, dalam hal ini orang yang berperan

penting dalam memberikan informasi gangguan jiwa adalah petugas kesehatan terutama perawat. Berdasarkan hal tersebut, jika keluarga telah mendapatkan informasi yang benar dari petugas kesehatan atau dari media cetak dan elektronik, hal yang diharapkan adalah keluarga akan memiliki sikap yang baik untuk menerima pasien gangguan jiwa yang telah tenang, sehingga kemungkinan pasien gangguan jiwa untuk kambuh kembali dapat diminimalisir.

Hasil analisis pengaruh memelihara hubungan aktif dengan komunitas terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 42 orang (52,5%) baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 75 orang (93,8%) . dengan OR sebesar 6,4 (95%CI=3,0-13,82) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 6,4 kali kecenderungan dengan memelihara hubungan aktif dengan komunitas kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Menurut Vijay (2005), penting adanya pengetahuan masyarakat untuk tidak mengecap penderita dengan kata-kata seperti “gila” atau “kurang waras” bahkan mengejek atau menghujat mereka. Keluarga harus membina hubungan baik dengan komunitas, mengikuti kegiatan sosial untuk mendapatkan dukungan moril dan material serta yang paling penting adalah untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi.

Hasil analisis pengaruh mencari dukungan sosial terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus

(kambuh) sebanyak 45 orang (56,3%) baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 48 orang (60,0%) . Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,631 < 0,05, artinya tidak ada pengaruh antara variable mencari dukungan sosial dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Hal ini berbeda dengan penelitian (Butar-Butar, 2012) dukungan sosial juga berhubungan dengan kepatuhan pasien skizofrenia minum obat. Berdasarkan observasi bahwa sebagian besar keluarga selalu memberi dukungan kepada anggota keluarganya agar cepat sembuh dengan menemani pasien pada saat jadwal berobat atau kontrol ulang. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga, teman, waktu dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi atau menghilangkan godaan pada ketidaktaatan, dan mereka sering kali dapat menjadi kelompok pendukung dalam mencapai kepatuhan.

Hasil analisis pengaruh mencari dukungan spiritual terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid diperoleh bahwa kelompok kasus (kambuh) sebanyak 24 orang (30,0%) baik sedangkan pada kelompok kontrol (tidak kambuh) sebanyak 55 orang (68,8%). Dengan OR sebesar 4,5 (95% CI=2,63-7,68) menunjukkan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang kambuh 4,5 kali kecenderungan dengan mencari dukungan spiritual kurang baik dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh.

Friedman (2003) mengatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh anggota keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga

untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Dukungan spiritual membantu keluarga mentolenransi yang bersikap krotis dan lama. Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang bersifat kronis dan lama, sehingga keluarga perlu melakukan konsultasi dengan tokoh agama, melakukan ibadah secara teratur dan mengikuti kegiatan kerohanian agar mereka kuat dan mampu menghadapi masalah yang terjadi ditengah keluarga. (Marpaung, 2010).

5.4. Analisis Multivariat

Hasil analisis uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan mempengaruhi pencegahan kekambuhan penderita sizofrenia paranoid di Rumah sakit Jiwa daerah Provinsi Sumatera Utara adalah variabel kepatuhan pengobatan dengan nilai OR sebesar 14,06 (95% CI = 2,27-86,88) artinya bahwa Penderita skizofrenia yang kambuh 14,06 kali kecenderungan mempunyai kepatuhan pengobatan yang tidak patuh dibanding dengan penderita skizofrenia yang tidak kambuh. Hal ini menunjukkan variabel tersebut memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Hal ini sejalan dengan penelitian Simanjuntak (2008) bahwa faktor yang paling penting sehubungan dengan relaps pada skizofernia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Bahkan dalam penelitian terkontrol, persentase pasien-pasien yang tidak memakai obat (36,5 %) secara nyata lebih tinggi dariapada pasien-pasien yang menjalani pengobatan secara rutin.

Menurut Ayuso, (1997), keuntungan dengan melanjutkan penggunaan antipsikotik dalam mencegah eksaserbasi klinis dari skizofrenia merupakan suatu penegasan, menunjukkan perbedaan yang besar secara signifikan dalam hal angka kekambuhan antara pengobatan aktif dan placebo. Pada saat ini angka kekambuhan dapat diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan pengobatan antipsikotik. Artinya, tidak hanya membuat perbaikan yang sangat besar dalam kualitas hidup pasien, akan tetapi secara langsung telah menyelamatkan milyaran dolar uang Negara.

Antipsikotik (juga disebut neuroleptics) adalah kelompok obat-obatan psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati psikosis, yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim antara lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai antipsikotik telah dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama, yang dikenal sebagai antipsikotik tipikal, ditemukan pada 1950-an. Sebagian besar obat-obatan pada generasi kedua, yang dikenal sebagai antipsikotik atipikal, baru-baru ini telah dikembangkan, meskipun anti-psikotik atipikal pertama, clozapine, ditemukan pada 1950-an, dan diperkenalkan secara klinis pada 1970-an.Kedua kelas obat-obatan cenderung untuk memblokir reseptor di otak jalur dopamin, tetapi obat-obatan antipsikotik mencakup berbagai target reseptor. Obat tipikal berguna terutama untuk mengontrol gejala- gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat, obat atipikal bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif (kecemasan, nafsu makan, kognisi, prose belajar, memori, mood, mual, tidur. termoregulasi).

Pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral dapat diganti dengan anti psikosi long acting (perenteral). Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pambarian anti psikosis long acting (perenteral) hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus

skizpfrenia. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam

penerapannya.(Tomb,2003)

Kepatuhan (compliance), juga dikenal sebagai ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Kepatuhan dalam pengobatan (medication compliance) adalah mengkonsumsi obat- obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat dan pengobatan hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam penggunaan obat ( Siregar, 2006). Menurut Feuerstein et al, 1986 dalam Niven (2002) terdapat 5 faktor yang mendukung kepatuhan pasien yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi, meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien.

Suatu variasi modalitas pengobatan dibutuhkan untuk perawatan yang menyeluruh pada pasien skizofrenia. Obat-obat antipsikotik merupakan dasar pengobatan, penggunaannya untuk meminimalkan beratnya gejala skizofrenia. Untuk mencapai dan mempertahankan pemulihan fungsi dan hilangnya gejala skizofrenia dibutuhkan pula intervensi lain termasuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi

keluarga, case management, perawatan di rumah sakit, kunjungan rumah dan pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional (Sadock, 2003).

Dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia digunakan pendekatan eklektik holistik, bahwa manusia harus dipandang sebagai suatu keseluruhan yang paripurna, termasuk adanya faktor lingkungan yang terdekat yaitu keluarga. Keluarga berperan dalam pemeliharaan dan rehabilitasi anggota keluarga yang menderita skizofrenia (Durand, 2007).

Dokumen terkait