• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Masa Inkubasi, Periode Prepaten, Periode Demam dan Gejala Klinis pada

Setiap SpesiesPlasmodium ... 12

2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan DHP dan Primakuin ... 15

2.3 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan DHP dan Primakuin ... 16

2.4 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin ... 16

2.5 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin ... 16

2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan DHP ... 18

2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan Artesunat + Amodiakuin ... 18

5.1 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kelompok Umur... 28

5.2 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Perawatan ... 29

5.4 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 29

5.5 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Tempat Tinggal ... 30

5.6 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Riwayat Perjalanan.. 31

5.7 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ada Tidaknya Pengukuran atau Pencatatan Berat Badan ... 31

5.8 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Manifestasi Klinis ... 32

5.9 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Spesies Plasmodium ... 32

5.10 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kadar Hemoglobin yang Dikelompokkan ... 33

5.11 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Regimen

Terapi Antimalaria ... 33 5.12 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Pemberian

Primakuin ... 34 5.13 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan

Pemilihan Jenis Obat Antimalaria ... 34 5.14 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan Dosis

Obat Antimalaria Golongan Artemisin ... 35 5.15 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan

Terapi Malaria Tanpa Komplikasi ... 35 5.16 Distribusi Frekuensi Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

Berdasarkan Pemberian Primakuin ... 36 5.17 Distribusi Frekuensi Spesies Plasmodium Berdasarkan Regimen

DAFTAR SINGKATAN AAQ Artesunat dan Amodiakuin

ACT Artemisin-based Combination Therapy AHA Acute Hemolytic Anemia

API Annual Parasite Incidence

BB Berat Badan

DHP Dihydroartemisinin dan Piperakuin FDC Fixed Dose Combination

G6PD Glucose-6-phospate dehydrogenase

IL-6 Interleukin-6

KLB Kejadian Luar Biasa LPB Lapangan Pandang Besar

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NTB Nusa Tenggara Barat NTT Nusa Tenggara Timur RDT Rapid Diagnostic Test RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SP Systolic Pressure

SPSS Statistical Product and Service Solution TNF Tumor Necrosis Factor

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Data Induk (Master data) dan Output Lampiran 3 Formulir Pengambilan Data

Lampiran 4 Ethical Clearance Lampiran 5 Surat Izin Penelitian

ABSTRAK

Terapi malaria tanpa komplikasi yang dianjurkan oleh Depkes RI saat ini adalah obat kombinasi berbasis artemisin atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapy). Akhir-akhir ini terjadi kasus resistensi parasit terhadap pengobatan tersebut di beberapa negara di Asia Tenggara dan hal tersebut mendesak WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat bagi negara-negara terkait agar segera memperbaiki kualitas penanganan malaria.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012. Tiga puluh enam pasien yang mendapatkan obat antimalaria secara oral dijadikan sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi adalah wanita hamil dan pasien dengan manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO. Data diperoleh dari rekam medis dan kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 47,2% dari keseluruhan sampel yang diteliti mendapatkan terapi malaria yang tepat pemilihan jenis dan dosis obat, 19,4% mendapatkan obat yang tepat dengan dosis yang tidak tepat, 5,6% tidak dapat dinilai karena tidak tercantum dosis obat, dan 27,8% sampel mendapatkan obat antimalaria golongan non-artemisin. Dalam hal pemilihan jenis obat, 72,2% pasien mendapatkan obat antimalaria berbasis artemisin. ACT yang dipakai adalah kombinasi artesunat dengan amodiakuin (38,8%) dan kombinasi dihydroartemisin dengan piperakuin (33,3%). Sementara itu, pemberian dosis ACT yang tepat dijumpai pada 70,8% kasus.

Terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik masih bervariasi. Para klinisi masih menggunakan obat antimalaria golongan non-artemisin sebagai terapi lini pertama.

ABSTRACT

Uncomplicated malaria therapy currently recommended by health ministry in Indonesia is artemisin-based combination therapy (ACT). Recently, there are reports from some countries in Southeast Asia regarding the occurrence of resistance of these drugs, and it urges WHO in making emergence protocol to inform the corresponding countries to fix the quality of malaria management.

This research aims to identify the uncomplicated malaria therapy given at RSUP H. Adam Malik Medan in 2009-2012. Thirty-six patients were given oral antimalarial drugs and were taken as samples by using total sampling method. Pregnant women and patients with severe malaria manifestation defined by WHO were excluded. The data were taken from medical records and then analyzed by using descriptive statistic.

As a result, 47.2% samples were given appropriate malaria therapy in terms of class and dose of medication, 19.4% samples were not given correct doses despite correct drugs, 5.6% samples cannot be determined because of the lack of dosing data, and 27.8% samples were not given the recommended antimalarial treatment. In terms of drugs given, 72,2% patients were treated with artemisin derivatives. ACT which was used include 38,8% for artesunate plus amodiaquine and 33.3% for dihydroartemisin plus piperaquine. Of all artemisin derivatives prescribed, appropriate dosing was found in 70,8% cases.

The result of this study indicated that the uncomplicated malaria drug regimen chosen in the hospital were still variable. Physicians still prescribed non-artemisin antimalarial drugs as first-line therapies.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Malaria merupakan penyakit yang sepenuhnya dapat dicegah dan ditangani apabila intervensi terkini yang direkomendasikan telah sepenuhnya diterapkan mulai dari kontrol terhadap vektor sampai penanganan dengan obat antimalaria yang sesuai (WHO, 2012). Malaria sendiri masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena turut mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Laihad & Arbani, 2008). Malaria tanpa komplikasi didefinisikan sebagai malaria simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa adanya gambaran klinis atau tanda dari disfungsi organ vital (WHO, 2010).

Menurut WHO, jumlah penderita malaria di seluruh dunia diperkirakan mencapai 154-289 juta jiwa pada tahun 2010 dengan jumlah kematian 490.000-836.000 jiwa dan mayoritas kasus terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Pada tahun 2010 persentase kabupaten/kota endemis malaria di Indonesia diperkirakan sebesar 65%, dengan perkiraan 45% penduduk di kabupaten tersebut memiliki risiko penularan (Dinas Kesehatan RI, 2010). Pada tahun 2011 Indonesia menjadi penyumbang kasus malaria terbesar ke-3 di wilayah Asia Selatan dan Tenggara, di bawah India dan Myanmar (WHO, 2012). Sementara itu, 6,1 dari 1.000 penduduk di Sumatera Utara diperkirakan menderita penyakit malaria pada tahun 2005 (Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2012).

Pada tahun 2009 Departemen Kesehatan (Depkes) RI telah mencanangkan program eliminasi malaria secara bertahap untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan diagnosis dan pengobatan malaria di tanah air. Di Sumatera, program tersebut diharapkan akan tuntas pada tahun 2020. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program tersebut yang kegiatannya mencakup diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, pengawasan, dan pengendalian vektor dalam hal pendidikan masyarakat dan pengertian tentang kesehatan lingkungan, yang semuanya ditujukan untuk

memutus mata rantai penularan malaria (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI, 2009). Eliminasi malaria dapat ditandai dengan pelaporan kasus malaria setahun kurang dari 1 dari 1000 populasi yang berisiko (WHO, 2011). Sesuai dengan anjuran Depkes RI, diagnosis penyakit malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan gold standard berupa sediaan darah tebal dan tipis (thick and thin blood smear) dengan mikroskop (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Penatalaksanaan kasus malaria tanpa komplikasi mempunyai tujuan mengurangi transmisi misalnya untuk mengurangi reservoir infeksi dan mencegah penyebaran resistensi (WHO, 2010). Kegagalan dalam pengobatan dapat menyebabkan infeksi berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Peningkatan resistensi tersebut akan meningkatkan angka morbiditas dan meluasnya penyakit infeksi (Harijanto, 2008).Untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO merekomendasikan pengobatan malaria secara global dengan penggunaan regimen obat kombinasi berbasis artemisin atau yang disebut dengan ACT (Artemisinin-based combination therapy). Oleh karena itu, komisi ahli malaria dari Depkes RI telah menyetujui penggunaan obat ACT sebagai obat lini pertama di seluruh Indonesia sejak tahun 2004, sebagai pengganti klorokuin dan sulfadoksin-pirimethamin (Dinas Kesehatan RI, 2010). Dengan kombinasi obat antimalaria dengan mekanisme kerja berbeda dan pemberian dosis yang tepat, resistensi dapat dicegah (WHO, 2010).

Sebuah studi di Nigeria pada tahun 2012 pernah meneliti tentang manajemen kasus malaria tanpa komplikasi pada anak di bawah 5 tahun di berbagai fasilitas kesehatan. Jumlah pemberian dosis terapi ACT yang sesuai dengan pedoman nasional adalah sebanyak 300 (64,8%), dosis tidak tepat sebanyak 109 (23,5%), dan kesalahan pemilihan obat sebanyak 41 (8,9%) (Udoh et al., 2013). Penelitian di Italia yang meneliti regimen pengobatan malaria pada 291 pasien dewasa di bagian bangsal penyakit infeksi menunjukkan bahwa 8,6% pasien tersebut tidak mendapatkan terapi sesuai dengan pedoman (Antinori et al., 2011). Sementara itu, studi di India pada tahun 2008 meneliti tentang praktik peresepan obat golongan artemisin yang dilakukan dengan wawancara terhadap

511 dokter di 196 fasilitas kesehatan, 530 apoteker, dan 1.832 pasien. Monoterapi artemisin ternyata masih tersedia secara luas di banyak apotik (72,6%) dan diresepkan oleh dokter untuk kasus malaria tanpa komplikasi di seluruh negara bagian yang diteliti. Penggunaan monoterapi artemisin masih tergolong banyak dengan 14,8% pasien yang mendapatkan resep tersebut. Penggunaan ACT yang direkomendasikan hanya sebanyak 4,9% (Mishra et al., 2011). Penelitian lain di Uganda menganalisis kepatuhan tenaga medis terhadap pedoman nasional dalam pemberian terapi antimalaria berupa klorokuin pada anak di bawah 5 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hanya 34% dari 463 anak tersebut yang mendapatkan dosis terapi yang tepat (Nshakira et al., 2002).

Atas dasar terjadinya kasus resistensi malaria terhadap obat golongan artemisin akhir-akhir ini di beberapa negara Asia Tenggara, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran pemberian terapi malaria tanpa komplikasi di salah satu rumah sakit umum pusat kota Medan dan menilai kesesuaian pemberian terapi dengan pedoman penatalaksanaan kasus malaria yang direkomendasikan Depkes RI.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitan yaitu sebagai berikut: “Bagaimana gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009-2012?”.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui ketepatan pemilihan obat dalam terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Mengetahui ketepatan pemberian dosis obat antimalaria golongan artemisin dalam terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Masyarakat

Dapat memperbaiki angka kesembuhan, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah terjadinya resistensi obat antimalaria sehingga mengurangi transmisi.

1.4.2. Bagi Institusi Kesehatan

Dapat memberikan gambaran mengenai keberhasilan implementasi program pemberantasan malaria oleh Depkes RI dan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan untuk dapat terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dalam penatalaksanaan kasus malaria, khususnya malaria tanpa komplikasi.

1.4.3. Bagi Peneliti

Dapat menjadi bahan pembelajaran, pengalaman belajar, dan penambah wawasan dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan ke depannya.

1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan peneliti lain yang membutuhkannya sebagai bahan referensi karya tulis ilmiahnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria

2.1.1. Pengertian dan Sejarah Malaria

Malaria merupakan penyakit infeksi akibat Protozoa dari genus Plasmodium dan ditularkan terutama melalui tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles betina. Terdapat lebih dari 120 spesies Plasmodium yang menginfeksi mamalia, unggas, dan reptil, tapi hanya empat spesies yang dikenal menginfeksi manusia secara konsisten, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale (Hoffman, Campbell & White, 2006). Kasus infeksi manusia oleh spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya menginfeksi kera ekor panjang (Macaca

sp.), P. knowlesi, semakin banyak dilaporkan di wilayah perhutanan Asia

Tenggara (WHO, 2010).

Malaria merupakan penyakit purba yang telah menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan manusia selama sejarah peradaban manusia. Malaria juga turut mempengaruhi pola pemukiman penduduk dunia dan menimbulkan dampak kesehatan secara global. Malaria diduga berasal dari negara Afrika dan telah ikut berevolusi bersama dengan inang dan vektornya (Carter & Mendis, 2002). Pada abad ke-18, malaria (mal aria = udara kotor) diberi nama atas dasar kepercayaan Roman kuno bahwa penyakit ini ditransmisikan melalui asap berbahaya dari daerah sekitar rawa yang mengelilingi Roma (Rosenthal & Kamya, 2012). Pada tahun 1880 Alphonse Laveran, dokter militer berkebangsaan Perancis, mendeskripsikan parasit malaria di dalam darah penderita untuk pertama kalinya. Transmisi malaria oleh nyamuk Anopheles ditemukan pada tahun 1897 oleh dokter militer berkebangsaan Britania, Ronald Ross. Laveran (1907) dan Ross (1902) diberi hadiah Nobel atas penemuannya. Sementara itu, siklus hidup dalam manusia diuraikan pada tahun 1898-1899 oleh ilmuwan Italia bernama Amico Bignami, Giusseppe Bastianelli, dan Battista Grassi. Penemuan dari siklus hidup ini menjadi titik awal dari usaha mengontrol populasi nyamuk yang bertujuan mengurangi transmisi malaria (Hoffman, Campbell & White, 2006).

2.1.2. Epidemiologi

Infeksi malaria tersebar luas di berbagai negara dan transmisi terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Oceania, di Amerika Tengah, Haiti, dan Republik Dominika, dan di Brazil serta negara Amerika Latin lainnya. Intensitas transmisi Plasmodium paling tinggi terdapat di benua Afrika (Hoffman, Campbell & White, 2006). WHO mengestimasi bahwa terdapat 219 juta kasus malaria dan 660 ribu kematian pada tahun 2010. Selain itu, diperkiran 3,3 miliar jiwa penduduk berisiko tertular penyakit malaria pada tahun 2011 dan 99 negara masih terjadi transmisi malaria secara aktif (WHO, 2012).

Sekitar 17% populasi di Indonesia memiliki transmisi tinggi, 44% populasi memiliki transmisi rendah, dan sisanya bebas malaria. Di Indonesia, kebanyakan kasus malaria diakibatkan oleh P. falciparum (55%) dan P. vivax (45%) (WHO, 2012). Di antara penderita malaria, 5-7% terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium. Koinfeksi antar spesies Plasmodium tersebut pernah dideskripsikan dalam vektor nyamuk parasit malaria (Marchand et al., 2011). Infeksi campuran antara P. falciparum dan P. vivax sering dijumpai di Indonesia dan Thailand. Pada tahun 2010 P. knowlesi pernah dilaporkan di Pulau Kalimantan. P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain Lampung, NTT, dan Papua. P. ovale pernah ditemukan di NTT dan Papua. Prevalensi malaria nasional berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional terdapat di NTB, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan NTT (4,4%) (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Terdapat empat faktor yang menentukan epidemiologi malaria, yaitu faktor lingkungan, vektor, parasit, dan inang. Faktor-faktor tersebut yang menentukan tingkat kestabilan malaria di suatu negara (Lucas & Gilles, 2003).

2.1.3. Siklus Hidup Plasmodium

Ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi menghisap darah manusia, rata-rata 5-10 sporozoit akan masuk ke jaringan atau langsung ke peredaran darah. Setelah itu sporozoit secara cepat akan menuju organ hati dan menginvasi hepatosit (sel hati) dalam 30 menit. Selama sekurangnya 5,5 hari, sporozoit yang memiliki satu inti tersebut akan berkembang menjadi skizon hati dewasa yang terdiri dari 10,000-40,000 merozoit hati dengan satu inti. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman atau hipnozoit yang dapat tinggal di dalam sel hati selama 3 tahun. Infeksi rekurensi akibat pengaktifan hipnozoit tersebut akan menimbulkan relaps.

Skizon hati dewasa akan pecah, melepas ribuan merozoit, yang akan menginvasi eritrosit (sel darah merah). Berbeda dengan ketiga parasit lainnya, merozoit P. vivax tidak dapat menginvasi eritrosit yang tidak terdapat antigen grup darah Duffy. Di dalam eritrosit, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit menjadi skizon dengan rata-rata 16 merozoit satu inti. Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Stadium eritrosit aseksual ini berlangsung sekitar 48 jam untuk P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale dan sekitar 72 jam untuk P. malariae. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi akan pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi eritrosit lainnya. Parasit pada stadium eritrositer ini dapat berkembang menjadi parasit pada stadium seksual yang dinamakan gametosit. Di dalam usus nyamuk Anopheles betina, gametosit keluar dari eritrosit dan membentuk gamet. Gamet jantan dan betina akan terjadi pembuahan membentuk zigot. Sekitar 5 jam setelah penghisapan darah, zigot akan mengalami meiosis dua langkah. Pada 18 sampai 24 jam berikutnya, zigot akan mengalami transformasi menjadi ookinet. Selanjutnya ookinet menembus dinding lambung nyamuk melalui sel epitel dan menetap di sekitar lamina basalis. Di sini ookinet akan bertransformasi menjadi ookista. Selanjutnya mulai dari hari ke-6 ookista akan mengalami pembelahan sel yang pada akhirnya akan terbentuk sekitar 8.000 sporozoit. Pada hari ke-12, sporozoit tersebut akan bermigrasi ke

kelenjar ludah nyamuk dan siap ditularkan ke manusia. (Hoffman, Campbell & White, 2006)

2.1.4. Patogenesis Malaria

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Demam dapat terjadi setiap hari pada infeksi P. falciparum, selang waktu satu hari pada infeksi P. vivax atau P. ovale, dan selang dua hari pada infeksi P. malariae.

Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. P. vivax dan P. ovale hanya menginfeksi kurang dari 2% sel darah merah muda (retikulosit), sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua/ matang yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax, P. ovale, dan P. malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. P. falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis (Dinas Kesehatan RI, 2010). Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit (Rampengan, 2008).

Pembesaran limpa atau splenomegali sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa biasanya akan teraba 3 hari setelah serangan infeksi akut (Harijanto, 2008). Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis (Rampengan, 2008).

Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang khusus. Permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL-6, dan lain-lain) yang diproduksi oleh sel makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor

endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses cytoadhesion. Proses ini menyebabkan penyumbatan pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Pembentukan mediator-mediator tersebut menyebabkan gangguan fungsi jaringan tertentu (Dinas Kesehatan RI, 2010). Hal inilah yang menjadikan P. falciparum berpotensi tinggi mengakibatkan gejala klinis berat seperti malaria otak (cerebral malaria) dan malaria pada kehamilan (pregnancy-associated malaria) (Noviyanti, 2008).

2.1.5. Gejala Klinis

Gejala klinis merupakan petunjuk penting dalam diagnosis malaria dan dipengaruhi oleh spesies Plasmodium, imunitas tubuh, usia, dan jumlah parasit yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbul gejala klinis dikenal sebagai masa inkubasi. Sementara itu, periode prepaten adalah rentang waktu antara terjadinya infeksi sampai terdeteksinya parasit di dalam eritrosit dengan pemeriksaan mikroskopis (Harijanto, 2008). Baik anak maupun orang dewasa tidak menampakkan gejala semasa periode inkubasi. Tiap spesies memiliki periode inkubasi berbeda: P. falciparum, 9-14 hari; P. vivax, 12-17 hari; P. ovale, 16-18 hari; P. malariae, 18-40 hari. Periode inkubasi dapat memanjang pada pasien dengan adanya imunitas atau pada pasien yang mendapatkan kemoprofilaksis tidak lengkap. Periode inkubasi bisa sampai 6-12 bulan untuk P. vivax (Krause, 2011). Keluhan prodromal dapat terjadi selama 2-3 hari sebelum timbul demam dan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, sakit tulang, otot, atau sendi, rasa lelah, anoreksia, dan diare ringan. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P.ovale, sedangkan pada P. falciparum dan P.malariae keluhan prodromal kurang jelas dan bahkan dapat timbul gejala secara mendadak (Harijanto, 2008).

Gejala klasik malaria, yang jarang dijumpai pada penyakit infeksi lain, terdiri dari serangan demam tiba-tiba dan periodik. Serangan ini diawali dengan periode dingin berlangsung kira-kira 1-2 jam dan diikuti oleh demam tinggi. Kemudian, penderita akan mulai berkeringat, dan suhu tubuh akan menurun kembali normal atau di bawah normal. Trias malaria secara keseluruhan dapat

berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax (Harijanto, 2008). Sakit kepala hampir selalu terjadi dan dapat juga disertai gejala penyerta seperti batuk, rasa lelah atau tidak enak badan, nyeri otot, nyeri sendi, mual, muntah, diare, pucat, atau ikterus. Banyak penderita, terutama pada awal infeksi, tidak menunjukkan gejala klasik tersebut tapi dapat terjadi beberapa serangan demam ringan dalam sehari. Periodisitas demam terjadi bersamaan dengan rupturnya skizon dan tergantung tiap spesiesnya (misalnya 48 jam untuk P. vivax, dan P. ovale). Periodisitas sering tidak diamati pada infeksi P. falciparum dan infeksi campuran. Umumnya kejadian periodisitas demam tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk diagnosis malaria. Anak-anak dengan malaria sering menampakkan gejala yang berbeda dibandingkan orang dewasa. Anak berusia lebih dari 2 tahun tanpa adanya imunitas dapat menampakkan gejala klinis yang bervariasi (Krause, 2011).

P. falciparum merupakan jenis organisme penyebab malaria yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Malaria ini memiliki parasitemia tinggi dan sering terjadi komplikasi. Bila tidak diobati segera, angka

Dokumen terkait